“Luruskan bahumu. Senyumnya jangan palsu” bisik ibunya, sambil merapikan veil di atas kepala Leah.
Senyum Leah mengeras, bukan karena kurang latihan, tapi karena terlalu sering dipaksa. Setiap pasang mata menyorot setiap langkahnya menuju altar, di mana pria yang akan menjadi suaminya berdiri seperti patung marmer. Dingin, sempurna dan tak terjangkau.
Valesco Arden.
Pria dengan setelan hitamnya, rambut rapi dan wajah tenang nyaris tak menunjukkan ekspresi. Ia hanya menatap Leah seperti benda seni yang baru saja ia beli.
Leah tahu, dirinya bukanlah pengantin... ia adalah sebuah trofi. Ia benda yang dipamerkan dalam gala kemenangan dan dimiliki oleh seorang pria yang tak pernah benar-benar ingin mencintai.
Leah tak benar-benar peduli tentang perannya, tapi didalam, jiwanya gemetar. Setiap langkah menuju Valesco adalah satu langkah menjauh dari dirinya sendiri. Dari mimpi-mimpi yang pernah ia rajut diam-diam. Dari suara tawa yang dulu bebas ia lepaskan di pagi hari. Kini, semuanya redup, tertutup sorot cahaya dari altar dan undangan yang bersorak palsu.
Langkah demi langkah terasa berat di bawah tatapan tamu undangan yang sebagian besar bahkan tidak dikenalnya. Musik orkestra mengalun lembut, tapi tidak cukup untuk menutupi detak jantung Leah yang terlalu keras hingga terasa di telinganya sendiri.
Sampai di altar, ia mengangkat wajah. Mata mereka bertemu dan seperti yang sudah ia duga, Valesco tidak tersenyum. Hanya menatap, menilai, seperti seorang kurator yang masih belum yakin pada lukisan di depannya.
“Leah Caldwell” Dia bersuara.
Untuk pertama kali Leah mendengar pria yang akan menjadi suaminya itu bicara dan ini adalah pertemuan pertama mereka. Pertemuan yang langsung dilakukan diatas altar.
Valesco mengulurkan tangan. Gerakannya lambat, penuh kendali, seperti tak ada ruang untuk spontanitas di hidupnya. Leah meletakkan tangan di atasnya, merasakan betapa dinginnya kulit itu, dingin bukan karena suhu, tapi karena jiwa yang beku di balik tulang dan fisik yang terlihat sempurna.
Pendeta mulai berbicara. Kalimat-kalimat suci melayang di udara, sementara Leah menatap pria di hadapannya, berusaha menemukan manusia di balik nama besar itu.
Namun, yang dilihatnya hanya cangkang.
Cangkang yang telah memilihnya bukan karena cinta, tapi karena Leah cocok dengan gambaran istri ideal: anggun, tenang, dan diam.
“kau terlihat cantik” puji Valesco lirih, tapi tidak ada senyum di matanya. Namun Leah tahu jika itu ucapan yang jujur
“Terimakasih, kau juga” balas Leah pelan, senyum di bibirnya tetap utuh, karena banyak mata yang melihatnya termasuk kedua orang tua Valesco.
Dan saat pendeta bertanya, “Apakah kau bersedia...?”
Leah menoleh, menatap jemarinya yang masih digenggam ringan. Jantungnya berdetak pelan namun mantap. Ia tahu jawabannya. Tapi ia juga tahu, tak semua jawaban harus diucapkan hari ini.
Mungkin... tidak semua pernikahan dimulai dengan kata ‘ya’.
“Aku bersedia” ucapnya pada akhirnya.
Suara itu terdengar mantap, namun hanya Leah yang tahu betapa hampa rasanya. Riuh tepuk tangan membanjiri ruangan pemberkatan itu. Lampu-lampu kristal di langit-langit berpendar gemerlap, menyambut janji yang bahkan tak pernah benar-benar lahir dari hati.
Pernikahan selesai. Cincin tersemat. Ciuman di dahi—bukan bibir—menjadi tanda yang paling “hangat” dari pria yang kini resmi menjadi suaminya.
Tamu mulai berdiri. Tak banyak, hanya sekitar 40 orang karena pernikahan ini terasa sangat ‘intimated wedding’ meski tidak satupun dari keintiman itu benar-benar terasa bagi Leah.
Musik klasik mengalun. Dan Leah, seperti boneka porselen, berjalan bersama Valesco menuruni altar. Sekedar formalitas untuk menyapa tamu.
Tiba-tiba, suara langkah hak tinggi mendekat tergesa. Sang ibu, mengenakan gaun satin biru tua yang mewah namun tak terlalu mencolok, berdiri di hadapan Valesco dan Leah.
Senyumnya palsu, tapi matanya tajam penuh tuntutan.
“Sudah selesai. Sekarang, mana janjimu?” Ucap Lilith tanpa malu, seolah upacara suci tadi adalah transaksi jual beli biasa.
Diam-diam Leah terkekeh. Ibunya benar-benar menjiwai peran dan Leah tak boleh kalah dari ibunya itu.
“Ibu—”
“Diam, Leah!” potong ibunya tajam. “Kau sudah jadi milik orang. Ibu sudah serahkan segalanya. Sekarang giliran dia yang membayar.”
Valesco menoleh perlahan. Tatapannya tak berubah, tetap datar. Namun mata elangnya melirik ke sisi kanan, ke arah seseorang yang berdiri nyaris tak terlihat di balik pilar besar.
Eriko, asistennya yang setia, melangkah maju. Rapi, tenang, dan seperti biasa, tanggap. Ia mengeluarkan sebuah amplop hitam dari dalam map kulit, lalu menyerahkannya pada Lilith, Ibu Leah.
“Sebagaimana telah disepakati” ujar Eriko santai namun terasa dingin. “Jumlah penuh. Dengan ini, hubungan antara anda dan Nyonya Leah resmi berakhir.”
“A-apa?” Leah berbisik, matanya membelalak.
Lilith justru tersenyum lebar. “Akhirnya” gumamnya seraya membuka amplop itu sedikit, melihat cek bernilai 100 juta dollar dan dokumen yang terlipat rapi di dalamnya.
Lilith menatap Leah. “Kau dapat yang kau inginkan. Ibu juga. Jadi jangan pernah menyesal. Hiduplah dengan tenang” Lalu ia berbalik, hak tingginya berdetak tajam di lantai marmer saat ia meninggalkan ruangan, seperti tak pernah menjadi bagian dari hidup Leah.
Leah tak bergerak. Tangannya mulai bergetar tanpa sadar.
Leah tahu jika semuanya sudah direncanakan namun mengapa rasanya tetap menyakitkan?
Valesco hanya menatapnya, lalu berkata datar “Tak semua warisan layak dipertahankan.”
Satu kalimat yang menusuk... tapi mungkin benar.
Tapi disini, Leah-lah yang paling tahu semua kebenaran tentang itu.
“Leah...”
Suara lembut seseorang memanggilnya.
Leah menoleh. Seorang wanita paruh baya dengan gaun berwarna champagne mendekatinya. Anggun, penuh wibawa, dengan senyum yang terasa terlalu halus untuk acara semegah ini. Di sampingnya berdiri seorang pria dengan jas abu gelap, wajahnya tegap dan mata tajam, seperti potret Valesco dua puluh tahun ke depan.
“Selamat” ucap wanita itu—Joy Arden, ibu Valesco, saat menghampiri mereka “Kalian terlihat... serasi.”
Leah mengangguk sopan. “Terima kasih” Leah membalas senyum, samar. Ia tak mau berkata apa-apa lagi. Tubuhnya masih terasa seperti properti dalam sebuah acara pameran. Tapi ia tetap angguk sopan, menjaga etiket yang ditanam sejak kecil.
“Aku pergi dulu” Pamit Valesco pada kedua orang tuanya. Mata gelap itu sempat melirik Leah sejenak sebelum menuju beberapa tamu pria
Joy menyentuh lengannya pelan. “Kami tahu Valesco... sulit didekati. Tapi dia anak yang baik. Hanya... keras kepala. Seperti ayahnya.” Ia menoleh singkat ke suaminya.
Kenneth Arden tertawa kecil, lebih seperti dengusan puas. “Dia pria yang tahu apa yang dia inginkan. Dan dia memilihmu, Leah. Itu sudah cukup bukti. Cukup lakukan seperti yang selama ini kau pelajari” Bisiknya pelan, memastikan kalimat terakhir itu hanya terdengar dari antara mereka bertiga
“Baik, Tuan Arden” ucap Leah patuh
Leah dipilih seperti furnitur. Seperti arloji. Seperti investasi.
Dirinya yang pintar dan unggul selama kuliah dipilih menjadi salah satu alat investasi keluarga Arden dan celakanya, Leah tak bisa menolak atau keluarganya terancam.
Joy menatapnya dalam, seolah mencoba menyelami pikirannya. “Kami berharap kamu bisa membuatnya lebih hangat. Valesco bukan anak yang pandai menunjukkan perasaan. Tapi dia bukan pria jahat, Leah. Kami percaya padamu dan setelah kamu berhasil, kami akan memberikan keinginanmu sesuai kesepakatan”
Leah mengangguk lagi “Terima kasih, Nyonya Arden.”
“Panggil aku Joy” jawab wanita itu cepat, senyum tak berubah. “Sekarang kau keluarga Arden”
Keluarga.
Leah memandangi Valesco di kejauhan. Pria itu berdiri dengan segelas sampanye di tangan, masih seperti patung dalam museum. Pandangannya datar, tak sedang mencari Leah. Ia hanya berdiri. Seperti pilar batu. Teguh, dingin, dan abadi.
Pesta baru saja dimulai.
Dan perannya sebagai istri Valesco Arden... baru saja ditulis di lembar pertama.
Hallo,ini merupakan cerita ke-8 aku dan cerita kali ini agak berbeda dari series lainnya karena akan memuat beberapa unsur psikologi namun tetap dengan genre dark-romance hehe... Hope u guys enjoy this story... sampai jumpa dibab berikutnya... lUV YAAA
Gadis kecil itu mengenakan hoodie abu-abu dan celana tidur, rambutnya tergerai acak. Mata abunya terlihat kontras di bawah cahaya lampu gudang yang pucat. Ia menggenggam payung lipat yang tampak belum sempat dipakai, dan di wajahnya tidak ada ketakutan. Hanya rasa ingin tahu yang tenang dan sedikit keheranan.“Papa?” suaranya lembut tapi membuat dada Alesco menegang. “Papa ngapain di sini?”Alesco membeku sesaat. Ia tidak pernah berniat memperlihatkan sisi ini pada putrinya. Tangannya masih memegang senjata yang belum ia letakkan. Dengan cepat ia menurunkannya, menyandarkannya di meja kerja, lalu menatap Valeriah datar.“Kenapa kau bangun sepagi ini?” suaranya rendah, nyaris serak.Valeriah mengangkat bahu. “Aku dengar suara dari jendela. Kupikir ada orang. Tapi ternyata Papa.” Ia menatap sekitar, mata mudanya menangkap peti-peti besar yang belum tertutup rapat. “Ini semua... apa?” tanyanya lagi,
Alesco keluar dari kamar mandi dengan langkah tenang, hanya mengenakan handuk putih yang melingkar di pinggang. Rambutnya basah, tetes air mengalir perlahan di sepanjang punggungnya yang berotot dan berhenti di garis pinggang, membuat cahaya lampu malam yang hangat memantul samar di kulitnya.Ia mengambil celana training longgar dari walk in closet, memakainya dengan gerakan otomatis, tenang, presisi, seperti seseorang yang terbiasa mengatur segalanya dengan disiplin militer. Saat ia merapikan sabuk, suara hujan di luar makin deras, mengguyur atap rumah hingga terdengar seperti irama berat dari jauh.Leah sudah tertidur. Napasnya tenang, perutnya naik turun perlahan. Alesco beranjakduduk di tepi ranjang, menatapnya istrinya dengan lembut. Tangannya menyentuh perut Leah lama. Seolah ia mencoba mengingat sensasi kehidupan itu untuk menahan dirinya tetap manusia.Ponsel yang ia lekatakn di atas nakal berbunyi — pesan singkat dari Morgan.“P
Rumah mereka di pinggiran kota Columbus masih terang saat mobil Alesco berhenti di depan gerbang.Jam menunjukkan pukul 01.16 dini hari ketika penjaga membukakan gerbang secara otomatis dan menunduk hormat padanya.Alesco masuk pelan, menutup pintu tanpa suara. Di ruang tamu, lampu gantung masih menyala lembut. Leah tertidur di sofa, selimut menutupi sebagian tubuhnya. Buku terbuka di dadanya, rambutnya berantakan.Pemandangan yang bagi kebanyakan orang sederhana tapi bagi Alesco, itu seperti pisau tajam yang menusuk pelan.Ia berjalan mendekat, menatap wajah istrinya dari jarak dekat. Ada noda kecil di kemejanya, bukan darah, tapi debu logam halus yang berkilat samar. Ia berusaha menyibakkannya sebelum Leah terbangun, tapi terlambat.“...Ale?” suara lembut itu terdengar.Leah membuka mata perlahan, matanya setengah sayu.“Kau baru pulang?”“Ya,” jawabnya cepat. “Ada urusan di pelabuhan.
Udara di pelabuhan Cleveland malam itu terasa berat. Dingin yang menusuk datang dari perairan luas di belakang kompleks terminal kargo, bercampur bau logam, solar, dan debu garam yang menempel di udara. Lampu-lampu sodium di sepanjang dermaga memantulkan warna oranye redup di permukaan air, membuat bayangan peti-peti besi tampak seperti siluet monster raksasa yang berbaris di bawah langit kelabu.Sebuah SUV hitam berhenti di sisi dermaga 17—area yang secara resmi digunakan untuk pengiriman alat berat. Tapi malam ini, di bawah bendera legalitas perusahaan logistik “LES International Shipping”, aktivitas yang berlangsung jauh dari kata bersih.Dari dalam SUV, pintu terbuka perlahan. Sepasang sepatu kulit menginjak tanah lembab.Alesco keluar tanpa suara.Kemeja hitamnya terbalut mantel panjang hingga lutut, kerahnya tegak menahan angin malam. Sorot matanya menatap lurus ke arah tumpukan kontainer yang tertata rapi, tapi hanya ia dan beberapa
Leah baru saja meninggalkan kamar dengan langkah pelan, membawa piring kue dan gelas jus yang sempat ia tawarkan sebelumnya. Pintu tertutup lembut di belakangnya, meninggalkan Althea dan Valeriah berdua di ruangan yang kini terasa terlalu sunyi.Althea menarik napas kecil, menatap sekeliling kamar yang begitu berbeda dari bayangannya tentang kamar anak lima tahun. Meja panjang di sisi jendela penuh dengan kuas, cat air, dan kertas tebal. Lampu sorot kecil diarahkan tepat ke kanvas, membuat ruangan itu lebih menyerupai studio seniman ketimbang kamar anak-anak.“Valeriah” panggil Althea pelan, mencoba memulai percakapan. “Lukisanmu … cantik sekali. Tante jarang lihat anak seusiamu bisa menggambar dengan detail seperti itu.”Valeriah tidak langsung menjawab. Ia hanya memutar kuasnya di tangan, lalu menatap cat air yang mulai mengering di paletnya. “Tante bilang cantik, tapi tadi tatapan tante seperti tidak suka” ucapnya tenang, tanpa menatap Althea.Althea terdiam sesaat, tidak menyangka
Suara bel terdengar dua kali sebelum Leah sempat menurunkan piring dari meja makan. Ia buru-buru menyeka tangannya dengan serbet, lalu melangkah ke pintu utama. Udara sore di Ohio terasa sejuk ketika daun pintu terbuka dan di sana berdiri sosok yang membuat Leah sempat terdiam beberapa detik.“Althea?” gumamnya pelan.Wanita itu tersenyum lembut, tapi ada sesuatu yang berbeda dari penampilannya hari ini. Althea tidak lagi mengenakan jas putih dan kacamata tipis seperti saat di klinik.Rambut hitam pendeknya kali ini ditata rapi ke samping, sedikit bergelombang di ujung, dan bibirnya berwarna merah pekat, kontras mencolok di kulit pucatnya. Blazer krem yang pas di tubuhnya dipadukan dengan blus satin berpotongan rendah, membuat tampilannya jauh lebih feminin, hampir… menggoda.“Semoga aku tidak datang terlalu cepat,” ucap Althea sambil tersenyum ramah, seolah tak menyadari tatapan Leah yang masih sempat menilai dari ujung ram