MasukSetelah berhasil melewati satu sarapan paling canggung di apartemen sahabatnya itu, Jennar akhirnya pamit. Jarum jam tepat menunjuk angka delapan ketika ia mencondongkan tubuh, mencium pipi Alexa, lalu menarik napas panjang sebelum meraih sepatu haknya.
“Lo yakin nggak mau diantar?” Alexa memeluk lengannya sendiri, matanya meneliti wajah Jennar yang masih sedikit kacau. Jennar mencoba tersenyum. “Nggak perlu, Lex. Gue pesan ojek online aja. Lagipula lo ada da—” “Aku aja yang antar, Kak.” Suara Birru memotong kalimatnya. Pemuda itu muncul dari lorong dengan tampilan jauh lebih rapi daripada saat sarapan, dengan kaus polo hitam menempel pas di tubuhnya, jeans gelap, rambut basah yang disisir asal, dan kunci mobil Alexa berputar di jarinya. Ia berdiri santai seperti tidak ada yang aneh dengan aksinya. Alexa melotot, “Tumben?! Biasanya kamu paling anti urusan antar jemput manusia, dik.” Birru mengangkat bahu. Lalu Jennar merasakan tatapan Alexa jatuh padanya, seperti menanyakan keberaniannya untuk mempercayai adik lelaki itu. Setelah menimbang ulang kondisi Jennar yang jelas-jelas masih kacau setelah mabuk, Alexa akhirnya mengangguk. “Ya sudah. Lo diantar sama Birru, ya. Gue lebih tenang kalau adik yang antar. Penampilan lo itu berantakan. Dan, Jen...” suara Alexa melunak, “Daniel itu nggak pantas lagi lo tangisi.” “Oke? Anytime you need, lo ke sini.” Pernyataan itu mengenai tepat sasaran. Jennar menelan salivanya, menunduk, lalu menatap haru mata sahabatnya. Satu-satunya orang yang peduli akan apa yang terjadi pada kandasnya hubungannya dengan Daniel, tunangannya. “Cepetan. Nanti macet,” sela Birru sembari membungkuk mengambil sepatunya. “Hati-hati, Ru! Sahabat kakak jangan sampai dibuat lecet, atau nanti Kakak aduin sama Papa biar kamu dideportasi ke Yogyakarta!” teriak Alexa sambil mengusap lengan Jennar hangat-hangat. Birru menegakkan badan, “Ya.” Jennar hanya bisa menghembuskan napas, lalu langkah high heels-nya terdengar menuju pintu. Alexa melambaikan tangan sampai tubuh keduanya hilang dari pandangan. Begitu pintu tertutup, hening langsung menyelimuti mereka. Jennar menunduk memandangi karpet lorong, sementara dari sebelahnya Birru bersiul kecil, seolah menikmati kegugupan perempuan di sebelahnya. Ting! Pintu lift terbuka perlahan. Mereka masuk bersamaan, langkah kaki Jennar tercepat tapi agak berat. Birru santai melangkah sambil menempelkan kartu aksesnya, matanya menyipit tipis memandang Jennar dari ujung bibir. Begitu pintu tertutup rapat, sunyi menjalar di antara mereka. Hanya suara mesin lift berdengung rendah dan detak jantung Jennar yang berdetak terlalu kencang sampai terasa di pelipisnya. Lampu putih di langit-langit memantul di dinding kaca, menciptakan bayangan mereka yang bertumpuk-tumpuk. Jennar menundukkan kepala, wajahnya tersembunyi, seolah malu menatap bayangan dirinya sendiri — apalagi sosok Birru yang ada persis di samping. “Mbak Jennar capek?” tanya Birru, nada suaranya manis dan menggoda, tapi ada getar menantang di balik itu. Jennar mengangkat wajahnya sedikit, matanya cepat menjauh ke samping, cuma menatap sekilas lewat ujung kelopak. “Lumayan.” “Hmm...” Birru mengerutkan dahi dan memiringkan kepala seperti sedang menimbang sesuatu yang menarik. “Capek pikiran, atau capek fisik?” Jennar berkedip, ragu, “Maksud kamu?” Birru melangkah mendekat, jaraknya menyusut hanya beberapa inci. Napasnya yang hangat nyaris menyentuh tengkuk Jennar. Suaranya turun satu oktaf, hampir seperti bisikan. “Soalnya semalam Mbak Jennar all out banget waktu …. Joget gitu.” Jantung Jennar seakan melompat. Ia sedikit memutar badan, mulutnya terbuka hendak bertanya, tapi kata-kata itu membeku di tenggorokannya. Apa maksud Birru? Sejauh mana ‘joget’ yang dimaksud? Apa yang sebenarnya terjadi setelah itu? Namun tepat saat kata-kata itu naik ke bibirnya, tiba-tiba pintu lift terbuka. Birru melangkah keluar tanpa sepatah kata lagi, meninggalkan senyum tipis di sudut bibirnya yang sulit ditafsirkan. “Eh?! Birru, tunggu!” Jennar tercekat. Ia buru-buru menyusul, tapi langkahnya sempat tersendat ketika ingatan semalam berkelebat di kepalanya mulai dari kilatan lampu, tawa yang menggema, tangan yang ia genggam, atau justru tangan yang menggenggamnya? Ucapan Birru terus berdengung di telinganya, membuat denyut jantungnya seolah berhenti sesaat, lalu berdebar dua kali lebih kencang. *** Birru menekan tombol kunci mobil, dan lampu Mini Cooper merah milik Alexa berkedip pelan di antara deretan kendaraan. Basement di hari Sabtu tampak lengang karena sebagian penghuni lebih suka berdiam diri menikmati akhir pekan dengan beristirahat. Jennar masuk ke kursi penumpang, aroma interior mobil yang bersih dan wangi leather bercampur dengan sisa parfum Alexa yang terlalu akrab bagi Jennar. Gadis cantik itu meletakkan tas di pangkuan dan menarik napas panjang, berusaha mengusir sisa pening dari kepalanya. Birru menyusul di balik kemudi, menurunkan kursi sedikit, lalu memutar setir untuk memastikan posisinya nyaman. Ia menyalakan mesin. AC berhembus dingin. Musik pelan terdengar Mobil meluncur keluar basement, melewati tiang-tiang beton yang dingin. Begitu keluar ke permukaan, kilatan matahari langsung memercik masuk melalui kaca depan. Lagu pop dengan beat lembut mengalun. Jennar memejamkan mata sebentar. Mencoba menyerap energi itu ke dalam tubuhnya. Rasanya hangat, terang dan tenang. “Jadi … Daniel itu siapa, Mbak?” tanya Birru tiba-tiba, nadanya datar namun jelas membawa rasa ingin tahu. Jennar spontan menengok ke samping, melihat wajah Birru yang semakin tegas diterpa sinar matahari pagi. Garis rahangnya, mata yang menatap penuh fokus, tangan yang erat menggenggam setir. Ada sesuatu yang membuat Jennar tak sengaja menatap lebih lama. “Mbak?” Birru menegur ringan, tidak sadar sedang diamati. Jennar segera mengalihkan pandangan, sedikit canggung. “Eh? Ada lah pokoknya. Anak kecil kayak kamu gaperlu tau.” Birru tertawa pelan. Bukan mengejek, tapi seperti seseorang yang tahu fakta berbeda. “Bukan siapa-siapa gitu Mbak? Tapi semalam kamu bawa bawa namanya.” Mata Jennar membulat, sorotannya berubah jadi tajam. “Semalam—” “—aku gak ngapa-ngapain, kan?” Birru mengangkat satu sudut bibir. “Aku yang diapa-apain.” Senyum yang berbahaya. “Mbak Jennar, mungkin memang lebih baik nggak usah tahu. Biar jadi rahasia kecil kita.” Jennar mengerutkan dahi, penasaran dan kesal bercampur rona merah di pipi yang malu. “Bisa dong.” Birru mengurangi kecepatan sedikit, seolah memberi ruang untuk kalimatnya. “Atau, Mbak memang ingin tau bagaimana Mbak liat aku dengan tatapan menggoda. Lalu Mbak membuka baju dan menarikku ke sofa. Mbak duduk di pangkuanku lalu kita ber—” “STOP!” Jennar hampir membanting tasnya sendiri. Birru tertawa pelan tapi tidak memalingkan wajah dari jalan. “Apa aku bilang barusan. Lebih baik Mbak nggak tau, kan?” Jennar tak berani membuka mulutnya lagi. Saat ini pipinya memerah dan memanas. Dia tak menyangka aksinya saat mabuk semalam sampai sejauh itu. Sunyi beberapa detik. Hanya suara mesin dan lagu lama yang mengisi kabin. “Jadi…” Birru memecah hening lagi, “Daniel itu siapa?” “Bukan siapa-siapa,” jawab Jennar keras kepala, tangan memijat pelipis, kepala berat oleh sisa alkohol dan patah hati yang belum usai. Jennar menekan pelipisnya sambil bersandar lemah pada headrest kursi mobil. “Sebaiknya kamu fokus nyetir. Jangan sampai salah alamat. Ini pertama kali kamu ke rumahku, kan?” Birru menggeleng santai. “Aku udah pernah kok ke rumah Mbak.” Jennar langsung menoleh, mata membelalak. “Hah? Kapan?” Birru menyipitkan mata, setengah menggoda. “Adalah, satu waktu.” “Seriusan? Kok bisa?” Jennar masih tak percaya. Birru hanya tersenyum kecil, tak menanggapi lebih lanjut dan fokus dengan jalanan. Karena Birru tidak membalas. ia memilih diam. Tatapannya membeku, lurus ke luar jendela, di mana pohon-pohon berkelebat pelan, tapi kepalanya sesak oleh bayangan Daniel. Ruang dalam hatinya terasa penuh, tidak menyisakan tempat untuk nama lain. Birru juga diam, dadanya bergejolak. Ada yang aneh di dalam hatinya, sebuah rasa ingin melindungi yang tak bisa ia jelaskan, tumbuh seiring sentuhan malam itu yang masih membekas hangat. “Mbak.” tanyanya diantara perhentian. “Mau aku ajari gak?” Jennar menautkan alis. “Ajari apa?” “Aku harus ajarin kamu gimana caranya lupa nama Daniel sebelum kamu coba godain laki-laki lain?” Bersambung...Birru kaku seketika saat bibir Jennar menyentuh bibirnya, pelan tapi pasti melumat tanpa ampun. Dunia di sekitarnya mendadak sunyi, waktu seakan berhenti. Tubuh Birru terdiam, otaknya bergolak antara melawan dan menyerah. Seharusnya dia mendorong Jennar atau bangun dari situ, tapi anehnya, ada rasa hangat yang tiba-tiba merayapi dadanya, menyelimuti segala keraguannya. “Mbak, Jennar, ini nggak benar,” bisik Birru, suaranya tercekat, berusaha menahan getaran perasaannya yang bertentangan. Bau alkohol yang pekat menyusup ke hidungnya, bercampur dengan aroma manis lipstik Jennar yang membuat pikirannya makin kabur. Ironisnya, justru hal itu meruntuhkan segala benteng yang ia pasang. “Tak ada yang benar atau salah malam ini, Birru,” Jennar menjawab diantara cecapan lembutnya di bibir Birru. Tangannya menempel hangat di pipi Birru, seperti menjaga agar pria itu tetap tinggal di sana, dalam pelukannya. Menyerah, Birru mulai menggerakkan bibirnya pelan. Jennar tersenyum, matanya terpejam
Cantik? Apa-apaan ini? Sejak kapan ia bisa disini? Jennar berjalan pelan di samping Birru, tumit stilettonya memantul nyaring di lantai marmer lobi. Dia bisa merasakan tatapan Daniel yang masih menempel di punggungnya dari dalam kafe—tatapan yang menusuk, seolah Daniel punya hak atas hidupnya setelah semua pengkhianatan itu. Untung tadi Birru datang tepat waktu, menyudahi potensi drama murahan antara dia dan Kinanti. Dan untungnya— kenapa juga dia ada disini? “Sama-sama…” ucapan itu tiba-tiba terlepas dari bibir Birru tanpa beban. Tangan kanannya santai memegang paper cup kopi Americano milik Jennar, sementara tangan kiri masuk dalam saku celana. Jennar menatapnya dengan mata terbelalak, ragu. “Maksudnya?” suaranya pelan, seperti menunggu jawaban yang aneh. Birru melirik setengah malas. “Oh, ya ampun. Kalau gitu makasih ya, Birru,” jawab Jennar, nadanya datar, pikirannya masih tertinggal di masa lalu yang remuk itu. “Mbak memang susah banget bilang makasih, ya?”
“Ini kan rumahnya, Mbak?” tanya Birru sambil mencondongkan tubuh sedikit, memastikan nomor rumah. Ia pernah ke sini sekali, bertahun-tahun lalu, ketika dirinya masih berseragam putih abu-abu. Mobil yang dikemudikan Birru melambat, lalu benar-benar berhenti di depan sebuah rumah sederhana dua lantai dengan pagar hitam yang catnya sudah mulai mengelupas dimakan cuaca. Jennar tersenyum kecil. “Iya. Makasih, Ru. Ternyata benar kamu pernah ke sini.” Ia merapikan tasnya, hendak membuka pintu mobil. “Aku nggak diajak mampir?” goda Birru, suaranya ringan tapi ada sesuatu yang mendesak di balik itu. Jennar menoleh cepat, tiba-tiba gugup. “Eh? Kamu mau mampir?” Birru tertawa pelan, menggeleng. “Enggak, Mbak. Bercanda. Mending Mbak masuk dan istirahat. Wajah Mbak cape banget.” Ucapan itu dikeluarkan Birru tanpa memikirkan dampaknya. Begitu selesai bicara, ia justru terdiam, tercengang pada dirinya sendiri dan berpikir sejak kapan dia peduli pada seorang perempuan? Jennar hanya m
Setelah berhasil melewati satu sarapan paling canggung di apartemen sahabatnya itu, Jennar akhirnya pamit. Jarum jam tepat menunjuk angka delapan ketika ia mencondongkan tubuh, mencium pipi Alexa, lalu menarik napas panjang sebelum meraih sepatu haknya. “Lo yakin nggak mau diantar?” Alexa memeluk lengannya sendiri, matanya meneliti wajah Jennar yang masih sedikit kacau. Jennar mencoba tersenyum. “Nggak perlu, Lex. Gue pesan ojek online aja. Lagipula lo ada da—” “Aku aja yang antar, Kak.” Suara Birru memotong kalimatnya. Pemuda itu muncul dari lorong dengan tampilan jauh lebih rapi daripada saat sarapan, dengan kaus polo hitam menempel pas di tubuhnya, jeans gelap, rambut basah yang disisir asal, dan kunci mobil Alexa berputar di jarinya. Ia berdiri santai seperti tidak ada yang aneh dengan aksinya. Alexa melotot, “Tumben?! Biasanya kamu paling anti urusan antar jemput manusia, dik.” Birru mengangkat bahu. Lalu Jennar merasakan tatapan Alexa jatuh padanya, seperti menan
Jennar mendadak kaku. Bekas lipsticknya juga mungkin masih rancu.Suasana di apartemen mewah Alexa mendadak terasa terlalu hening.Jennar berdiri kaku di ujung meja. Bibirnya seolah rapat tak bisa menjawab pertanyaan mudah dari Alexa yang tadi mempertanyakan tentang hubungannya dengan Birru.“Jen, lo tidur dimana?” Alexa memecah keheningan dengan nada pertanyaan yang diselipi curiga. Ia masih berdiri di ambang pintu kamar, matanya tak lepas mengamati makanan yang terhidang di meja. Bubur ayam tersaji lengkap, tapi sudah dingin. Teh melati yang masih mengepul tipis memberi petunjuk, Birru lah yang menyiapkannya.“Eum… Lex. Itu…” gumam Jennar, nyaris tak terdengar.Alexa mengembuskan napas keras.Pandangannya yang awalnya hanya menuntut penjelasan, pelan-pelan merayap turun, menyapu setiap detail dari Jennar yang terlihat salah tempat pagi itu.Blazer Jennar kusut, blousenya miring karena kancing bagian atas tidak bertemu dengan lubang yang semestinya. Riasannya luntur dengan eyeliner
“Eungh...” sebuah lenguhan kecil terlepas dari bibirnya. Pagi mulai menyelinap lewat celah jendela apartemen lantai 10. Jam digital di atas nakas menyala redup, menunjukkan pukul enam. Dari kejauhan, suara klakson kendaraan bergemuruh samar di jalan raya, tapi di dalam kamar tamu bercat putih itu, sunyi begitu pekat. Jennar Marissa terbaring tertelungkup di ranjang queen size, selimut tipis menutupi sebagian tubuhnya yang dingin. Napasnya tersengal halus. Tubuhnya bergerak pelan, bergeser ke posisi terlentang. Keningnya berkerut, mata berat itu terbuka perlahan, matanya bergerak memandang sekeliling ruangan dengan pandangan samar, lalu mengerang pelan. “Ini… kamar tamu di apartemen Alexa...” gumamnya serak. Sakit kepala mendadak menebal, seolah jarum menusuk setiap sisi otaknya. Ingatannya mulai muncul samar: semalam dia mabuk. Tubuhnya tiba-tiba menggigil, merasa sangat dingin, ia menarik selimut ke samping dengan tangan gemetar. Napasnya tercekat saat menyadari ia terbaring ta







