MasukJennar mendadak kaku. Bekas lipsticknya juga mungkin masih rancu.
Suasana di apartemen mewah Alexa mendadak terasa terlalu hening. Jennar berdiri kaku di ujung meja. Bibirnya seolah rapat tak bisa menjawab pertanyaan mudah dari Alexa yang tadi mempertanyakan tentang hubungannya dengan Birru. “Jen, lo tidur dimana?” Alexa memecah keheningan dengan nada pertanyaan yang diselipi curiga. Ia masih berdiri di ambang pintu kamar, matanya tak lepas mengamati makanan yang terhidang di meja. Bubur ayam tersaji lengkap, tapi sudah dingin. Teh melati yang masih mengepul tipis memberi petunjuk, Birru lah yang menyiapkannya. “Eum… Lex. Itu…” gumam Jennar, nyaris tak terdengar. Alexa mengembuskan napas keras. Pandangannya yang awalnya hanya menuntut penjelasan, pelan-pelan merayap turun, menyapu setiap detail dari Jennar yang terlihat salah tempat pagi itu. Blazer Jennar kusut, blousenya miring karena kancing bagian atas tidak bertemu dengan lubang yang semestinya. Riasannya luntur dengan eyeliner memudar, lipstik nyaris hilang. Rambut yang biasanya rapi kini mengembang. Alexa bersedekap. Rasa penasaran meletup tajam, membuatnya yakin ada sesuatu di antara Jennar dan Birru yang tidak ia ketahui. Gadis berpiyama itu mendekat beberapa langkah. “Kenapa sih muka lo panik gitu?” Jennar mengembuskan napas gugup, berusaha memahami dirinya sendiri. G–gue–” Alexa memijit pelipisnya. “Oke, coba dari awal. Pelan-pelan.” Semakin Jennar mencoba menjelaskan, semakin kacau kalimatnya. Suaranya saling bertabrakan dengan degup jantungnya sendiri. Sementara itu Birru tampak santai sekali, satu tangan memegang cangkir kopi yang baru saja selesai ia seduh, tangan lain bersandar di meja dapur. Seolah pemandangan canggung ini bukan sesuatu yang membuat jantung orang lain ingin copot. Alexa akhirnya menarik napas, “Lo tidur di ruang tamu, Jen?” “Kenapa gak bangunin gue?” Ia menatap Birru dari atas ke bawah. Pria itu hanya melirik sebentar lalu mengangkat cangkirnya, menyeruput kopi perlahan. Alis Alexa naik, meragukan kecanggungan ini. Jennar menggigit bibir, suara nyaris tercekat. Matanya terpejam sesaat, hampir saja terbongkar. Jennar menelan saliva, kebingungan, antara jujur atau sekadar menutupinya. Birru akhirnya angkat suara, tapi bukan untuk membela, malah menambah berat suasana. “Dia bangun di kamar tamu. Dan ... ya, kondisinya cukup mengenaskan,” katanya ringan. Jennar sontak menoleh tajam. “Birru!” Namun Birru hanya menaikkan bahu kecil, datar, tanpa ekspresi bersalah sedikitpun dan dia menyeruput kopinya lagi seolah tidak ada badai emosi yang menggulung di ruangan itu. Alexa menatap tajam, bibirnya mengeras. “Kakak gak liat make upnya berantakan?” Alexa berbalik, menoleh ke Birru dengan pandangan menusuk. Birru menghela napas tipis, matanya berkedip pelan, “Semalam, pas aku sampai di sini, dia lagi tiduran di sofa, ngomong-ngomong nggak jelas tentang nama… Eum, siapa, ya?” Alexa langsung menyambar, “Daniel?” “Iya, itu, Kak! Mbak Jennar banyak bicara yang aneh-aneh,” Birru menatap Jennar sekilas, sudut bibirnya menegang seperti menahan senyum. "Apa ya aku lupa? Selingkuh? Gitu katanya, kak.” Jennar mendadak membeku di tempatnya. Alexa mengernyit, nada suaranya berubah penasaran. “Jen?” Jenner mendesah kecil–memijit pelipisnya kecil. “Iya Lex. Daniel selingkuh.” *** Situasi tegang di depan kamar Alexa akhirnya luruh sendiri, digantikan oleh rasa lapar yang menyerang tiga orang di apartemen pagi itu. Mereka kini berpindah ke ruang makan, berusaha bersikap normal meski atmosfer aneh masih menggantung di udara. Alexa, dengan piyama kusut dan rambut yang diikat asal, berdiri di depan meja dapur. Ia memecahkan telur, memasukkannya ke mangkuk sambil berpikir tentang yang dibicarakan Jennar tadi. Diselingkuhi tunangan yang sudah jalan enam tahun. Benar, mengenaskan. Dalam sekejap, dapur dipenuhi suara-suara kecil yang menenangkan, mulai dari dentang sendok, desis minyak panas. Aroma telur dadar mulai merebak, tapi tidak cukup kuat untuk menutupi ketegangan yang mengikat dua orang di meja makan. Birru duduk tepat di sebelah Jennar. Mereka diam, seakan ada garis tak kasat mata yang membuat keduanya enggan bergerak terlalu cepat atau berbicara terlalu keras. Jennar terus mengaduk buburnya yang sudah dingin, entah karena bingung atau karena takut menatap siapapun. Sementara Birru menyuap buburnya pelan-pelan, sendoknya sesekali mengetuk mangkuk dengan ritme kecil yang justru membuat Jennar makin sulit menenangkan detaknya sendiri. Alexa akhirnya kembali dengan piring nasi dan telur dadar. Ia duduk, menatap adiknya tanpa basa-basi. “Birru,” panggilnya datar. “Sekarang kamu jelasin. Kenapa bisa tiba-tiba datang ke sini semalam?” Birru mengunyah sampai benar-benar selesai sebelum membuka suara. “Karena mulai hari ini aku bakal tinggal di sini.” Sendok Jennar hampir jatuh dari tangannya. Napasnya tercekat. Alexa memicingkan mata. “Tinggal di sini? Maksudnya apa?” Birru menyuap buburnya lagi sebelum menjelaskan, “Iya, Kak. Aku akan tinggal di sini beberapa bulan. Karena Pak Suryo pensiun, Papa minta aku pegang cabang perusahaan yang di Jakarta dan dia minta kakak awasi aku di sini.” Alexa tertawa kecil, meledek, “Jadi akhirnya kamu mau juga di Jakarta?! Harusnya Pak Suryo pensiun dari dulu.” “Papa bilang cuma sementara. Karena memang sulit cari pengganti Pak Suryo. Kakak tau sendiri, Papa susah banget untuk langsung percaya sama orang baru.” Alexa hanya manggut-manggut mendengar ucapan Birru. Sementara itu, dunia Jennar seolah terguling. Ia merasakan tubuhnya tiba-tiba mual karena kenyataan di depannya. Sesuatu di belakang kepalanya berkata hal memalukan semalam yang ia lakukan pada Birru, tidak akan bisa dibuang begitu saja. Birru tahu, dan dari cara pria itu duduk santai di sampingnya jelas ia sangat tahu. “Jadi, bisnis apa selanjutnya?” lanjut Alexa. “Rencana mau buka tempat gym, kak.” “Ooh, lumayan. Prospeknya cukup bagus. Nanti kakak bisa promosikan dengan teman-teman kantor,” jawab Alexa, lalu menghentak kecil. “Duh, telurnya kurang kecap!” Ia bangkit, kursi berderit. Suasana kembali sunyi dengan sunyi yang berat, seperti baru saja turun dari langit-langit. Birru menunduk, matanya terpaku pada mangkuk di depannya, tapi sekilas ia melirik ke arah Jennar. Tatapan singkat itu menyusup, mengirimkan gelombang dingin yang merayap di lengan Jennar. Jennar buru-buru mengambil gelas tehnya, mencoba menghilangkan gemetar di ujung jarinya. Alexa melangkah pergi ke dapur, meninggalkan sunyi yang semakin berat di ruangan. Saat itu Birru menggeser kursinya dengan sangat pelan, seolah tak ingin terdengar. Refleks, Jennar menegakkan badan, matanya mengawasi tiap gerakan Birru. Birru berjalan memutar meja dengan pura-pura meraih tisu di sisi seberang, tapi langkahnya melambat saat melewati kursi Jennar. Satu tangan bertumpu ringan di sandaran kursi, tubuhnya condong sedikit dan itu cukup untuk membuat napas Jennar tercekat. Aroma sabun mandi yang segar dan maskulin lebih dulu menyentuh inderanya. “Mbak Jennar,” ucap Birru lembut, rendah, nyaris seperti gumaman yang hanya dirancang untuk satu orang. Getaran halus merayap di tengkuk Jennar. “Tenang saja…” bisiknya, nadanya tenang namun memiliki bobot yang membuat denyut nadi Jennar kacau, “aku nggak berniat jadi rahasia kecil. Kecuali kamu sendiri yang mau nyebarin.” Tanpa memberi kesempatan untuk bereaksi, Birru mengambil tisu itu, berbalik, dan kembali duduk. Ekspresi wajahnya berubah netral, seolah tak terjadi apa-apa di belakang punggung Jennar. Alexa datang membawa botol kecap, tersenyum ringan tanpa menyadari badai kecil yang baru saja lewat. Sementara Jennar duduk membeku. Jantungnya berlomba dengan pikirannya yang semakin kacau dan semakin tidak ia pahami. Bersambung...Birru kaku seketika saat bibir Jennar menyentuh bibirnya, pelan tapi pasti melumat tanpa ampun. Dunia di sekitarnya mendadak sunyi, waktu seakan berhenti. Tubuh Birru terdiam, otaknya bergolak antara melawan dan menyerah. Seharusnya dia mendorong Jennar atau bangun dari situ, tapi anehnya, ada rasa hangat yang tiba-tiba merayapi dadanya, menyelimuti segala keraguannya. “Mbak, Jennar, ini nggak benar,” bisik Birru, suaranya tercekat, berusaha menahan getaran perasaannya yang bertentangan. Bau alkohol yang pekat menyusup ke hidungnya, bercampur dengan aroma manis lipstik Jennar yang membuat pikirannya makin kabur. Ironisnya, justru hal itu meruntuhkan segala benteng yang ia pasang. “Tak ada yang benar atau salah malam ini, Birru,” Jennar menjawab diantara cecapan lembutnya di bibir Birru. Tangannya menempel hangat di pipi Birru, seperti menjaga agar pria itu tetap tinggal di sana, dalam pelukannya. Menyerah, Birru mulai menggerakkan bibirnya pelan. Jennar tersenyum, matanya terpejam
Cantik? Apa-apaan ini? Sejak kapan ia bisa disini? Jennar berjalan pelan di samping Birru, tumit stilettonya memantul nyaring di lantai marmer lobi. Dia bisa merasakan tatapan Daniel yang masih menempel di punggungnya dari dalam kafe—tatapan yang menusuk, seolah Daniel punya hak atas hidupnya setelah semua pengkhianatan itu. Untung tadi Birru datang tepat waktu, menyudahi potensi drama murahan antara dia dan Kinanti. Dan untungnya— kenapa juga dia ada disini? “Sama-sama…” ucapan itu tiba-tiba terlepas dari bibir Birru tanpa beban. Tangan kanannya santai memegang paper cup kopi Americano milik Jennar, sementara tangan kiri masuk dalam saku celana. Jennar menatapnya dengan mata terbelalak, ragu. “Maksudnya?” suaranya pelan, seperti menunggu jawaban yang aneh. Birru melirik setengah malas. “Oh, ya ampun. Kalau gitu makasih ya, Birru,” jawab Jennar, nadanya datar, pikirannya masih tertinggal di masa lalu yang remuk itu. “Mbak memang susah banget bilang makasih, ya?”
“Ini kan rumahnya, Mbak?” tanya Birru sambil mencondongkan tubuh sedikit, memastikan nomor rumah. Ia pernah ke sini sekali, bertahun-tahun lalu, ketika dirinya masih berseragam putih abu-abu. Mobil yang dikemudikan Birru melambat, lalu benar-benar berhenti di depan sebuah rumah sederhana dua lantai dengan pagar hitam yang catnya sudah mulai mengelupas dimakan cuaca. Jennar tersenyum kecil. “Iya. Makasih, Ru. Ternyata benar kamu pernah ke sini.” Ia merapikan tasnya, hendak membuka pintu mobil. “Aku nggak diajak mampir?” goda Birru, suaranya ringan tapi ada sesuatu yang mendesak di balik itu. Jennar menoleh cepat, tiba-tiba gugup. “Eh? Kamu mau mampir?” Birru tertawa pelan, menggeleng. “Enggak, Mbak. Bercanda. Mending Mbak masuk dan istirahat. Wajah Mbak cape banget.” Ucapan itu dikeluarkan Birru tanpa memikirkan dampaknya. Begitu selesai bicara, ia justru terdiam, tercengang pada dirinya sendiri dan berpikir sejak kapan dia peduli pada seorang perempuan? Jennar hanya m
Setelah berhasil melewati satu sarapan paling canggung di apartemen sahabatnya itu, Jennar akhirnya pamit. Jarum jam tepat menunjuk angka delapan ketika ia mencondongkan tubuh, mencium pipi Alexa, lalu menarik napas panjang sebelum meraih sepatu haknya. “Lo yakin nggak mau diantar?” Alexa memeluk lengannya sendiri, matanya meneliti wajah Jennar yang masih sedikit kacau. Jennar mencoba tersenyum. “Nggak perlu, Lex. Gue pesan ojek online aja. Lagipula lo ada da—” “Aku aja yang antar, Kak.” Suara Birru memotong kalimatnya. Pemuda itu muncul dari lorong dengan tampilan jauh lebih rapi daripada saat sarapan, dengan kaus polo hitam menempel pas di tubuhnya, jeans gelap, rambut basah yang disisir asal, dan kunci mobil Alexa berputar di jarinya. Ia berdiri santai seperti tidak ada yang aneh dengan aksinya. Alexa melotot, “Tumben?! Biasanya kamu paling anti urusan antar jemput manusia, dik.” Birru mengangkat bahu. Lalu Jennar merasakan tatapan Alexa jatuh padanya, seperti menan
Jennar mendadak kaku. Bekas lipsticknya juga mungkin masih rancu.Suasana di apartemen mewah Alexa mendadak terasa terlalu hening.Jennar berdiri kaku di ujung meja. Bibirnya seolah rapat tak bisa menjawab pertanyaan mudah dari Alexa yang tadi mempertanyakan tentang hubungannya dengan Birru.“Jen, lo tidur dimana?” Alexa memecah keheningan dengan nada pertanyaan yang diselipi curiga. Ia masih berdiri di ambang pintu kamar, matanya tak lepas mengamati makanan yang terhidang di meja. Bubur ayam tersaji lengkap, tapi sudah dingin. Teh melati yang masih mengepul tipis memberi petunjuk, Birru lah yang menyiapkannya.“Eum… Lex. Itu…” gumam Jennar, nyaris tak terdengar.Alexa mengembuskan napas keras.Pandangannya yang awalnya hanya menuntut penjelasan, pelan-pelan merayap turun, menyapu setiap detail dari Jennar yang terlihat salah tempat pagi itu.Blazer Jennar kusut, blousenya miring karena kancing bagian atas tidak bertemu dengan lubang yang semestinya. Riasannya luntur dengan eyeliner
“Eungh...” sebuah lenguhan kecil terlepas dari bibirnya. Pagi mulai menyelinap lewat celah jendela apartemen lantai 10. Jam digital di atas nakas menyala redup, menunjukkan pukul enam. Dari kejauhan, suara klakson kendaraan bergemuruh samar di jalan raya, tapi di dalam kamar tamu bercat putih itu, sunyi begitu pekat. Jennar Marissa terbaring tertelungkup di ranjang queen size, selimut tipis menutupi sebagian tubuhnya yang dingin. Napasnya tersengal halus. Tubuhnya bergerak pelan, bergeser ke posisi terlentang. Keningnya berkerut, mata berat itu terbuka perlahan, matanya bergerak memandang sekeliling ruangan dengan pandangan samar, lalu mengerang pelan. “Ini… kamar tamu di apartemen Alexa...” gumamnya serak. Sakit kepala mendadak menebal, seolah jarum menusuk setiap sisi otaknya. Ingatannya mulai muncul samar: semalam dia mabuk. Tubuhnya tiba-tiba menggigil, merasa sangat dingin, ia menarik selimut ke samping dengan tangan gemetar. Napasnya tercekat saat menyadari ia terbaring ta







