LOGINSeorang pria bermantel hitam pekat bertubuh tinggi dengan sepatu boots senada keluar dari mobil.
Pintu di samping Marco tiba-tiba terbuka. Di bawah cahaya terang matahari yang menyilaukan mata, pria tinggi itu menarik tubuh Marco hingga terpental keluar. Setelahnya, dengan gerakan cepat, dia mengeluarkan Sofia bahkan menggendong wanita itu tanpa permisi.
Sofia yang sedang ketakutan tadi, kini merasa ada sesuatu berbeda dalam dirinya.
Perasaan aman dan … tentu dia mengenali aroma parfum maskulin ini ….
“Tuan Arogan?” Dia mendongak menatap wajah tampan pria itu yang tidak kelihatan jelas.
Pria itu tetap berjalan tanpa menjawab pertanyaannya.
Sofia dibawa ke dalam mobil hitam mengilap itu, yang kini melaju dengan kecepatan sedang menuju perumahan Monte Sereno.
Selama perjalanan, Sofia tidak henti menatap suami dadakannya itu. Dia menelan air liurnya sendiri mengingat kejadian beberapa saat lalu.
Bukankah itu artinya, Sofia selalu diawasi? Lalu siapa sebenarnya suami tampan misteriusnya ini?
“Ceroboh.”
Baru saja tadi pria itu menolongnya, kini berubah menjadi sosok paling menyebalkan di muka bumi. Sama sekali tidak ada upaya untuk menenangkan Sofia yang masih syok.
“Dari mana … kamu tahu aku ada di sana?” tanya Sofia akhirnya, dia terlalu penasaran. “Tapi … terima kasih,” sambungnya.
“Kamu tidak perlu tahu,” sinis pria itu dengan kedut tipis pada sudut bibirnya.
Sofia meremas ujung bajunya. Dia menahan agar amarahnya tidak meluap. “Aku pikir Marco berhasil membawaku kabur,” katanya.
“Kamu milikku sepenuhnya!” jelas Galtero membuat bulu kuduk Sofia merinding bukan main.
Sofia pun mengalihkan pandangan ke sisi lain. Dia merasa sudah lelah dengan semuanya. Dia ingin istirahat. Namun, seakan baru saja memejamkan mata, mobil ini sudah berhenti.
Sofia melihat rumah besar dengan halaman cukup luas. Yang dipagari dengan sangat tinggi dan jauh dari keramaian. Ya, sesuai dengan kepribadian suaminya, dingin dan angkuh.
Tampaknya Sofia menyadari bahwa pekerjaan Galtero bukanlah staf biasa. Mungkin pria itu menjabat manajer di perusahaan besar kota ini.
“Turun!” titah Galtero yang keluar lebih dulu.
Sofia pun menyusul di belakang. Dia mengamati setiap lekuk indah bangunan yang sudah pasti karya arsitek melegenda, rumah ini juga ada di posisi paling depan.
Ketika masuk ke dalamnya, Sofia lebih tercengang lagi sebab sangat kosong, tidak ada perabotan apa pun. Bahkan sofa usang pun tidak.
Sofia menyangka suaminya menghabiskan uang terlalu banyak untuk membeli rumah sampai lupa mengisi furniture.
Dia menjadi gatal ingin mengisi tempat ini dengan barang-barang. Namun, apa haknya? Pernikahan mereka hanya di atas kertas. Ini juga rumah Glatero sebelum menikah, jadi Sofia akan tahu diri menjaga batasannya.
Yang terpenting tujuan Sofia untuk segera keluar dari rumah keluarganya tercapai dalam waktu dekat. Jika dia menikah dengan Marco, maka itu akan terjadi enam bulan lagi. Bisa-bisa dia terkena mental terlalu lama diperlakukan layaknya sapi perah oleh ibu tiri dan ayahnya yang penjudi itu.
Keluarga Sofia selalu berpikir, bahwa Sofia melakoni banyak pekerjaan dan memiliki banyak uang. Padahal, tabungannya saja tidak sampai dua digit. Hidupnya benar-benar tak ubahnya dijadikan mesin ATM berjalan.
Langkah kaki Sofia terus mengikuti Galtero. Kini mereka masuk ke dalam kamar besar dengan cat putih polos dan ranjang berseprai abu-abu. Lalu terlihat sofa besar di dekat jendela.
“Ini kamarku?” tanya Sofia.
“Kamarku juga,” sahut pria itu dengan cepat.
Sofia melongo. Bagaimana mungkin rumah besar ini hanya memiliki satu kamar? Dia pun hendak protes, tetapi pria itu sudah bersuara lebih dulu.
“Kita sudah menikah,” tegas pria itu dengan mata yang menatap tajam pada Sofia. “Dan ingat tugasmu, melayaniku,” sambungnya, membuat Sofia melebarkan mata dan mendengkus.
Sofia segera membuang pandangan dari suaminya ini. Dia berjalan menjauh, berhenti di depan jendela.
“Kamu tidak bisa memaksaku seenak hati, Tuan. Bagaimanapun aku ini manusia, bukan properti tak berperasaan!” protes Sofia. Tubuhnya menegang. Bukan karena takut, tetapi kebebasannya terenggut sudah. Jantungnya berdegup keras, dia bingung membedakan antara marah, malu, atau ... gugup. Ya, hatinya menjerit pilu.
Baginya pria yang mengaku sebagai suami ini tidak lebih dari sekadar memanfaatkannya. Namun, Sofia tidak mengerti mengapa pria itu menginginkannya teramat sangat?
“Istirahatlah, istriku,” bisik pria itu, lantas meninggalkan Sofia sendirian di kamar.
Telinga Sofia bisa mendengar bahwa Galtero tidak pergi keluar rumah. Pria itu masuk ke salah satu ruangan lainnya. Terdengar suara pintu yang tertutup dan terbuka lalu tertutup lagi.
Sambil menyentuh perut rata dan memandangi taman dengan hamparan rerumputan hijau, Sofia berkata, “Semoga kamu tidak tumbuh di rahimku.”
Dia pun memutuskan tidur meringkuk di sofa. Ketika sudah puas mengisi energinya kembali, Sofia melihat jam, ini sudah waktunya makan malam.
Dia keluar dari kamar hendak memasak sesuatu untuknya. Namun, sepasang iris karamelnya melihat pintu di seberang dapur terbuka sedikit.
Pasti Galtero ada di sana. Pikirnya.
Sofia menajamkan telinga, ada suara pria asing di dalam. Dia mengintip dan seketika membelalak, saat melihat pria tambun plontos yang waktu itu membawanya.
Sambil gemetaran, Sofia terus mendengar sayup-sayup percakapan dari dalam.
“Anda serius menjadikannya istri?”
“Ya. Karena Sofia, aku tidak harus meminum obat lagi.”
Isi kepala Sofia berputar dan batinnya berujar, ‘Apa Galtero sakit?’
Sofia masih terus menelinga hingga mendapat jawaban pasti.
“Mungkin itu sebuah kebetulan,” ujar pria plontos lagi dari dalam.
“Tidak ada yang kebetulan. Aku merasa menjadi pria seutuhnya lagi.”
Seketika Sofia terbelalak dan bergumam, “Jangan-jangan dia … impoten?”
Dia tersentak, dan suaranya cukup keras hingga terdengar ke dalam. Dia memutuskan untuk kabur, tetapi terdengar suara pintu yang terbuka makin lebar.
Habislah. Dia tertangkap basah.
Suara Nicholas memang pelan, tetapi Sofia mendengarnya lantaran posisi ponsel cukup dekat dengan bibir pria itu. Sofia tersenyum geli membayangkan wajah sang kakak.Panggilan video berakhir karena Nicholas yang iri hati melihat kehidupan adik iparnya tidak berubah drastis.“Kakak ada-ada saja,” gumam Sofia. Ia melirik ke arah suami dan putranya yang makin besar, makin tampan. Bahkan menurut Sofia, Ezio lebih tampan daripada Galtero.“Mi Amor, sudah selesai belum?” Galtero berteriak dari bibir pantai.Sofia tahu jika sudah begini, suaminya itu pasti kelelahan menjaga Ezio yang sangat aktif.“Ya, aku ke sana,” sahut wanita itu sembari berlari kecil mendekati kuda Andalusia putih.“Papa, aku ingin ke kebun anggur lagi. Ayo, Pa! Kenapa harus pulang?” oceh Ezio dengan bibir yang menekuk kecil. Bocah itu bahkan melipat tangan di depan dada, persis seperti apa yang tengah dilakukan Sofia saat ini.“Kenapa lagi?
Sudah enam tahun berlalu. Setiap hari yang dilewati oleh Isela begitu ringan seolah tanpa beban. Meskipun sejak usia Alba memasuki tiga tahun, ia mulai disibukkan dengan pekerjaan kantor. Nicholas memaksa untuk menjadi asisten pribadi lagi. Namun, tidak sekalipun ibu satu anak itu melewati masa tumbuh kembang Alba.Tak jarang Isela membawa Alba ke kantor jika tidak ada kesibukan. Seperti sekarang ini, Isela bekerja sambil memperhatikan putrinya yang duduk di kursi kerja Nicholas. Bukan hanya duduk biasa, tetapi kedua tangan mungilnya itu memegang sisir dan jepit rambut. Ia begitu luwes menyisi rambut sang ayah. Bahkan Nicholas sampai diperintah untuk duduk di bawah.“Apa sudah selesai salonnya, Putriku?” Nicholas menatap pantulan dirinya di depan cermin. Untung saja hari ini tidak banyak pekerjaan ataupun rapat. Kalau iya, ia bisa terlambat karena harus melepas ikat kecil yang menghiasi rambutnya.Alba menggeleng pelan. “Belum, Papa. Papa harus diam sampai semua selesai,” celoteh
Abel berbaring miring sambil memegangi dadanya yang terasa sesak. Malam makin pekat dan sunyi, suhu dingin seakan menyayat kulitnya yang tipis. Cairan bening dan asin mengalir dari ekor matanya.“Mama, Papa, kalian di mana?” gumamnya pelan. Sudah hampir satu bulan ini Abel tidak dijenguk oleh kedua orang tuanya. Wanita itu hanya bisa bersuara pada diri sendiri tanpa bisa beraksi apa pun.“Aku merindukan kalian. Tolong ke sini, Pa, Ma.” Abel memejamkan mata, tubuhnya bergetar pelan di bawah selimut.Ia yang terbiasa bergaul dengan teman-temannya untuk belanja, duduk di kafe, dan jalan-jalan ke luar negeri, merasa menyesal karena tak pernah memiliki waktu untuk kedua orang tuanya.Saking sibuknya Abel, ia memercayakan jodohnya pada orang tua. Berpikir bahwa Nicholas pasti bersedia menerimanya, tanpa perlu ia berusaha meluluhkan hati kepala keluarga Marquez itu.Sekarang rasa percaya dirinya luntur tak bersisa. Ia yakin tuan muda dari keluarga mana pun tidak akan ada yang mau mener
Isela hanya memerlukan waktu satu hari untuk observasi di rumah sakit. Setelahnya pun ia kembali pulang ke Mansion Marquez bersama putri kecilnya yang sehat.Sepanjang perjalanan, Isela tersenyum lebar dan manis. Matanya menatap ke samping, ke arah di mana Nicholas duduk sambil memandangi putri kecil yang ada di tengah-tengah mereka.“Aku tidak menyangka memiliki anak secantik ini.” Nicholas terpesona memandangi putrinya. Bahkan itu menjadi kegiatan baru yang menyenangkan. Tentu saja euforia menjadi ayah sangat berbeda. Ia merasa hidupnya lebih berwarna dan ada sesuatu yang dinantikan.“Kapan dia bangun? Kenapa dia tidur terus? Seingatku selama hamil kamu tidak mengonsumsi obat tidur.” Nicholas mengetuk-ngetuk dagunya. Ia merasa heran karena sejak bayi itu dilahirkan, ia lebih sering tidur dibanding berinteraksi dengan orang tuanya. Padahal Nicholas berharap bisa mengobrol dan membuat bayinya tertawa, ya, seperti gambar keluarga bahagia yang dilihatnya di majalah.Isela melirik m
Nicholas makin meringis kesakitan, tetapi saat Galtero hendak mendorong kursi rodanya untuk menjauh dari ruang bersalin, pria itu menolak dengan mengibaskan tangan. “Kamu sakit. Untuk apa diam di ruang bersalin? Ini tidak cocok untukmu. Sebaiknya periksa saja kesehatanmu. Sebagai ipar yang baik, aku akan mengantar,” ucap Galtero, nada suaranya datar. “Diamlah. Kamu tidak tahu apa-apa. Rasa sakitku berbeda … sebelum ke Madrid dokter sudah memeriksaku,” papar Nicholas dengan suara yang tersendat-sendat. “Aku ingin tetap bersama Isela!” pintanya. Dari balik tirai, terdengar suara Isela yang merintih, “Nico … tidak apa-apa kamu periksa saja. Ada Sofia di sini, jangan khawatir.” Ibu hamil itu berjuang menahan rasa sakit sekaligus berbesar hati jika Nicholas harus menangani penyakitnya. Isela berharap itu bukanlah sakit yang serius. Sungguh, ia tidak bisa hidup tanpa suaminya tercinta. “Tidak! Tidak! Bukan begitu, Sayang. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap menemanimu di sini. Men
Raungan sirine ambulans yang tiba-tiba membuat suasana damai di rumah merajut itu porak-poranda. Sofia bergerak cepat, wajahnya sepucat kain putih. Ia menopang Isela yang kini sudah berdiri, keringat membasahi pelipisnya.“Aku sudah telepon ambulans dan Nicholas,” ucap Sofia, suaranya sedikit bergetar. “Jangan khawatir, kita akan segera sampai rumah sakit. Ini pasti kontraksi!”“Tidak, Sofia, tunggu,” cegah Isela lembut, meski ia harus bersandar pada kusen pintu. “Jangan terlalu panik. Ini tidak mungkin melahirkan. Aku memang sakit perut, tapi rasanya tidak sakit sekali seperti yang diceritakan di buku-buku. Ini hanya sakit biasa.”Sofia menggeleng keras. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. “Sakit biasa tidak membuatmu menahan napas seperti itu, Kakak Ipar! Dokter yang akan memutuskan. Kita harus pergi sekarang!”Sofia menuntun Isela menuju pintu depan, sementara di luar, suara ambulans semakin memekakkan telinga. Isela hanya bisa pasrah, membiarkan kepanikan adikny







