Tangan Sofia yang gemetaran menepis tangan pria itu dari dagunya. Tatapannya berubah tajam pada sepasang iris biru terang. Bibir merah agak penuh wanita itu terkunci rapat. Ini merupakan pilihan sulit.
Menikahi orang asing atau membiarkan keluarganya, terutama sang ibu menjadi korban? Hidup macam apa seperti itu? Sofia menarik dalam napasnya, lalu meremas kuat telepon genggam seolah meremukkannya. Baik, dia sudah menemukan jawaban untuk pilihan sial ini. “Oke … aku setuju. Tapi kamu harus memberiku uang dan tidak boleh melarang aku berkarier,” tegas Sofia. Dia kira, pria arogan itu akan menentang. Siapa sangka, dia justru mengangguk dengan mudahnya. Kemudian pria itu memberikan paper bag pada Sofia. Gaun putih cantik, bahannya halus dan terlihat mahal. Bahkan lebih elegan dibanding gaun miliknya dengan sang mantan tunangan. Setelah merapikan penampilan, keduanya pergi ke Kantor Catatan Sipil. Pernikahan tak terduga itu resmi terdaftar secara sah. Mereka menandatangani sejumlah berkas, dan kali ini Sofia pertama kali mengetahui nama suaminya. “Fernando Galtero …,” gumamnya belum sempat membaca sampai tuntas, sebab berkasnya sudah diambil petugas. Lalu dia menoleh pada pria yang sedang berjabat tangan dengan Petugas Catatan Sipil. “Tuan Arogan … kita sudah menikah, aku minta uangku!” tegas Sofia dengan suara berat. Bagaimanapun pria itu telah berjanji. Sofia tidak peduli jika suami dadakan ini menilainya sebagai perempuan matrealistis. Dia hanya ingin segera melunasi biaya perawatan untuk ibunya. Galtero tampak sibuk dengan telepon genggamnya, tanpa menghiraukan permintaan Sofia. Pria itu benar-benar membuat Sofia meradang. Namun, tiba-tiba suara notifikasi di ponselnya membuat wanita itu berpaling. Dia terkejut karena Galtero sudah mentransfer uangnya. Tanpa berpikir panjang, Sofia pun segera membayar biaya perawatan ibunya. Alih-alih mengucapkan ‘terima kasih’ justru Sofia berkata lain, “Kita sudah menikah dan aku mendapat bayarannya. Impas.” Sofia hendak beranjak dari sisi Galtero. Namun, dengan cepat pria itu menarik lengannya, lalu memojokkan dan memagarinya pada pilar besar. Galtero menunjukkan sertifikat pernikahan mereka. Di sana terdapat, nama keduanya, tanggal dan status hukum mereka saat ini. “Pergi ke mana?” Suara pria itu terdengar dingin mencekam, tidak layak disebut sebagai suami idaman. Sofia tidak menjawab karena sebenarnya dia juga bingung hendak bernaung di mana. “Mulai hari ini tinggal denganku!” tukas pria itu. Intonasinya bukan membujuk, tetapi memaksa dan penuh perintah. Mungkin … itu bukan pilihan yang buruk. Mengingat selama ini dia tinggal di rumah ayahnya bersama ibu tiri dan adik tiri bagai di neraka. Bukankah lebih baik segera keluar dari rumah itu? “Tapi … aku harus mengemasi barang-barangku dulu.” Sofia pun menengadahkan tangan. “Alamat rumahmu di mana? Aku bisa pergi sendiri ke sana.” Galtero maju selangkah, makin dekat dengan wajah Sofia. Lalu pria itu berbisik, “Monte Sereno Nomor 1.” Pria itu menyerahkan kunci ke tangan Sofia. Tanpa basa-basi, pria itu meraih ponsel Sofia dan mengetik nomornya sendiri, lalu melakukan panggilan ke telepon genggamnya. “Itu nomorku.” Galtero menyerahkan kembali ponsel itu sebelum melenggang pergi, membiarkan Sofia mematung dengan tatapan tajam. Sofia melangkah lesu menuju kediaman keluarganya. Entah apa yang akan dikatakan mereka jika tahu dirinya sudah menikah, tetapi bukan dengan mantan tunangannya. Baru beberapa menit jadi istri orang, kini dia harus menghadapi hantu masa lalu yang ingin menyeretnya kembali ke lubang gelap bernama Marco. Sofia terkejut melihat mantan tunangannya itu duduk santai sambil menyesap teh di teras ditemani ibu tirinya. “Mau apa Marco datang ke sini?” geram Sofia. Melihat kedekatan itu membuat Sofia merasa mual. Dia hendak berbalik, tetapi Marco jauh lebih cepat. Menahan bahu Sofia dengan kasar dan menariknya. “Lepas, Marco! Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa!” sergah Sofia. “Enak saja. Ingat Sofia, ayahmu masih punya utang padaku! Kamu janji akan membayarnya!” bentak pria itu sembari memberi remasan ke bahu Sofia, dan itu sakit. Dulu, sekali Marco marah, tangan besarnya tak ragu mendorong pintu hingga jebol. Kini, tatapan itu muncul lagi ... dan Sofia tahu, bahaya sedang mengintainya. “Sungguh kamu tidak tahu diri. Ayahmu menjanjikanmu untukku, dan kamu malah lari?” bentak pria itu, “Kita harus menikah, Sofia! Kamu milikku!” Kali ini, dia menarik rambut Sofia. Wanita itu pun dengan cepat memutar tubuhnya dan menampar pria itu. Jemarinya gemetar, tetapi sorot matanya tajam. “Sampai kapan pun, aku tidak akan menikah denganmu!” hardiknya dengan napas tersengal. Dia tahu, tamparan itu bisa dibayar mahal ... hanya saja, diam bukanlah pilihan. “Pergilah, urus istrimu yang hamil itu!” usir Sofia lagi. Marco melotot, lantas mencengkeram kasar rahang Sofia. “Marco, aku sudah menikah! Suamiku pasti marah padamu!” teriak Sofia seketika dibungkam oleh tangan kasar pria itu. “Menikah?” Marco tertawa sinis. “Pria gembel mana yang kamu jadikan suami? Ingatlah, Sofia, kamu itu beruntung mendapat pria berpendidikan dan terhormat sepertiku.” Sofia yang ingin meminta tolong pun kesulitan. Bahkan ibu tirinya saja justru menjadi penonton di teras. Bukan menolongnya. Kini, Sofia diseret paksa ke dalam mobil pria itu. Marco bahkan mendorong keras tubuh Sofia ke dalam mobil. Membawa wanita itu pergi. Mobil yang dikemudikan Marco melaju kencang membelah jalanan lengang. Sofia yang memberontak pun tak dihiraukan oleh pria itu. Hingga tiba-tiba saja, kendaraan hitam mengilap berhenti tepat di depan mereka sehingga Marco mengerem mendadak. “Sial! Siapa orang itu?”“Mau ke mana? Kabur lagi?” Suara lantang itu terdengar familiar. Meskipun ditutup matanya, Isela akan tetap mengenalinya.Tatapan Isela penuh luka pada pria yang makin mendekat. Andai saja bisa, ia ingin meluapkan amarahnya. Namun, wanita itu tidak bisa melakukan apa pun, mengingat status mereka yang bagaikan bumi dan langit. Ia menunduk hormat.Mathilda mengeratkan genggaman tangannya. Pengasuh itu mengingat garangnya wajah pria yang tadi ia tabrak.“Tidak apa, Nyonya,” bisik Isela kali ini menenangkan, meskipun hatinya juga gelisah tak karuan.“Sebaiknya kita hubungi Nyonya Sofia atau Tuan Torres,” bisik Mathilda lagi. Kepalanya sudah pening memikirkan apa yang akan dilakukan Nicolas.Isela menggeleng pelan. “Tidak perlu. Ini masalahku. Jangan merepotkan Tuan dan Nyonya Torres.”Nicolas sudah berdiri tegak dengan satu tangan masuk dalam saku. Dagu berjanggutnya terangkat dan mata birunya memindai tubuh sang asisten yang agak berisi pada dada dan bokong.“Kamu tidak pandai sembunyi,”
Sementara itu di ruang rawat, Mathilda tak hentinya mengintip ke luar melalui celah pintu. Napas pengasuh itu berembus kasar dan keringat dingin mengucur, padahal setiap sudut rumah sakit terpasang pendingin.“Nyonya … ada apa? Kenapa wajah Anda pucat?” tegur Isela dari atas ranjang.Kondisi Isela jauh lebih baik setelah dokter memberinya obat. Ia juga dirujuk ke psikiater untuk memperbaiki mentalnya.Mathilda meletakkan jari di depan bibir. Ia mendekati Isela dengan langkah mengendap bagai pencuri, lalu menutup tirai yang mengelilingi ranjang.“Pelankan suaramu, Nona,” bisik Mathilda.Isela mengangguk. Jujur saja, situasi menegang. Wanita itu meraba tengkuknya yang terasa dingin, berbeda dengan pakaian Mathilda yang sudah lembap.“Di luar sana ada Tuan Marquez. Dia pasti mencariku, mau menculikku, karena aku tidak membuka pintu untuk anak buahnya. Astaga, Nona … dia itu penjahat,” adu Mathilda.Mata Isela membola. Jantungnya berdegup sangat cepat, napasnya bahkan tertahan sejenak.“M
Nicolas menatap tajam ke depan. Ia bersandar pada dinding koridor yang dilalui banyak orang. Area ini jalan utama memasuki rumah sakit dari lobi. Pria itu yakin, jika adiknya dirawat inap, pasti Galtero ada di sini.“Sialan!” umpatnya, nada suaranya tinggi. Beberapa orang yang melintas menoleh padanya. Namun, Nicolas tak acuh, menganggap mereka tidak ada. “Dia benar-benar melarangku bertemu Sofia.”Dada Nicolas turun naik dengan cepat. Kalau ia membuat ulah, pasti pamannya akan datang ke Barcelona dan menjemputnya. Sekarang ia hanya diam saja?Ia menghampiri petugas keamanan. “Aku mau lihat CCTV,” ucapnya angkuh.“Maaf, Tuan. Rekaman tidak bisa kami berikan secara asal. Jika berkenan, apakah keluarga Anda dirawat di sini?”Nicolas menggeleng.Petugas masih bersuara ramah. “Tidak bisa, Tuan.”Nicolas naik pitam, tangannya mengepal kuat. Matanya menyala penuh bara.“Kami tidak bisa menyalahi aturan, Tuan. Membiarkan orang asing melihat rekaman rumah sakit tanpa kepentingan. Anda tidak a
Pemberitahuan itu masuk melalui email. Sepasang mata biru menatap layar ponsel dengan tajam. Ia sampai mengabaikan para tamu yang ada di sekitarnya.“Pembayaran Torres Memorial Hospital?” gumam Nicolas. Ia menarik napas, pikirannya jelas tertuju pada Sofia. “Apa dia sakit?” katanya lagi.Meskipun tubuhnya terlihat hadir di mansion Manassero, tetap saja pikirannya terbelah antara Sofia dan asisten cantiknya yang sampai sekarang tak juga ia temui.Ia mengedik pada anak buahnya yang berdiri dekat dinding, mengawasi acara sakral dua keluarga besar berpengaruh agar terlaksana dengan lancar.Lelaki berpakaian formal dengan alat komunikasi lengkap itu mendekat, setengah membungkuk di samping Nicolas.“Siapkan izin terbang ke Barcelona malam ini.” Dada Nicolas membusung, napasnya sempat tertahan.“Baik, Tuan.” Pengawalnya beranjak sambil menghubungi seseorang.Jemari Nicolas mengetuk-ngetuk lengan kursi. Ia menatap setiap anggota keluarganya yang begitu gembira dengan pertunangan ini. Ia muak
“A–apa … ponselku? U–untuk apa?” Bagaimanapun ia menutupi, ternyata akan ketahuan juga. Keringat mengalir deras di sepanjang tulang punggungnya. Rongga dadanya seolah menyempit. Bagaimana ini? batinnya gelisah.Telepon genggamnya terus berdering mendesak untuk diterima. Sedangkan tangan Galtero makin terulur, mendekati saku gaun Sofia.“Mana?” Suara Galtero dingin dan mengintimidasi.Sofia menelan ludah. “Biasanya kamu tidak begini, kenapa sekarang—”“Berikan padaku sebelum aku katakan kesalahanmu.” Ucapan pria itu membuat napas Sofia terputus. Jangan-jangan suaminya ini tahu apa yang ia lakukan?Dengan bibir gemetaran, Sofia berusaha menjelaskan. “Umm … Gal … sebenarnya itu … aku hanya—”Dalam sekejap Galtero merebut benda pipih dari saku gaun. Sofia memelotot, jantungnya seakan merosot ke lambung. Gerakan suaminya sangat cepat, sampai ia tak sempat menangkisnya.Sofia memeluk perutnya erat-erat, berusaha menenangkan detak jantungnya yang kacau. Tatapan Galtero menusuk, seolah hendak
Dada Sofia kembang kempis dengan cepat. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat. Tubuhnya berjengit tatkala pintu kamar ditutup kencang oleh pria itu. Ia memejamkan mata beberapa saat mencoba berpikir jernih. Hanya Nicolas yang terlintas dalam benaknya, tetapi pria itu jauh tidak mungkin juga bisa membantunya dalam waktu cepat. Tangannya menggulir layar ponsel hingga suara Carlitos yang merdu mengalihkan pikirannya. “Aku main sendirian saja. Aku sudah besar.” Anak itu bicara pada Mathilda yang terkekeh pelan. “Baiklah. Tuan Muda bisa panggil aku kalau butuh sesuatu.” “Namaku Carlitos. Jangan panggil Tuan Muda.” Bibir kecilnya bergerak maju. Seketika ide brilian terlintas di benak ibu hamil itu. Ia mendekati mereka. Lalu mengusap pucuk kepala Carlitos dengan lembut. “Wah, kamu sudah besar, ya? Umm … boleh Bibi bicara berdua dengan Mathilda?” Suara Sofia mengalun halus, meskipun dadanya berdentam tak karuan dan telapak tangannya berkeringat. “Tentu, boleh. Aku main dulu, ya.” Carlitos ge