Share

Bab 4: Malam Pertama

Author: NACL
last update Huling Na-update: 2025-06-02 16:32:40

Jantung Sofia berdetak makin kencang, napasnya memburu, pelipisnya mulai basah oleh keringat dingin, dan punggungnya menegang.

Dia menelan air liur yang terasa pekat ketika di depannya terlihat pantulan bayangan seseorang bertubuh tinggi.

Itu pasti Galtero, dan untuk saat ini dia enggan menoleh. Entah mengapa, wanita itu merasakan bulu kuduknya berdiri dan yakin bahwa pria yang baru saja dinikahinya ini sedang marah.

Hening tercipta cukup lama di antara mereka. Baik Sofia maupun bayangan itu tidak ada yang bersuara. Hanya terdengar embusan napas dari keduanya. Hingga Sofia merasa perlu sekadar klarifikasi. Dia enggan dituduh ikut campur urusan pria itu.

Sofia berbalik dan melihat Galtero sedang berdiri dengan angkuh. Pria itu menyandarkan punggung pada kusen hitam pekat yang senada dengan kemeja dan celana panjangnya. Tangan kekarnya terlipat di atas perut liatnya, dengan sorot mata tajam tertuju pada Sofia.

Ah, sial! Dia justru teringat pada tubuh kekar Galtero.

"A-aku kebetulan lewat," akunya. Sofia membalas tatapan Galtero dengan berusaha tenang. Lalu, dia mengatupkan giginya sangat rapat, berharap dapat meredam dentuman dalam dada.

Pria itu sama sekali tidak menjawab, hanya satu alisnya terangkat seakan menimbang ucapan Sofia.

"Aku haus," sambung Sofia tak gentar.

Masih tidak ada tanggapan apa pun. Ketika Sofia memutar tubuhnya dan bersiap melangkah menuju dapur, pergelangan tangannya dicekal dan ditarik kuat oleh Galtero.

Dia menumpukan kakinya dengan lekat pada lantai supaya tidak jatuh ke pelukan pria licik di depannya. Namun, tenaga Galtero jauh lebih kuat, tubuh Sofia pun menempel.

Bahkan kini, pria itu melingkari punggung Sofia dengan tangan kokohnya.

"Jaga telingamu, Nona Morales,” sindir Galtero, membuat Sofia tertohok. Seakan-akan dia memang gemar menguping pembicaraan orang lain.

Dalam posisi tak berjarak ini, Sofia mendongak dan menatap lekat pada manik biru terang Galtero yang nampak indah, tetapi juga beracun karena tak pernah memandang ramah. Dia melepas tangan pria itu dari punggungnya dalam sekali tepis.

“Kalau tak mau didengar, jagalah rahasiamu lebih baik," balasnya.

Sofia melangkah mantap menuju dapur. Dia ingin makan untuk meredam kekesalannya. Dia membuat menu sederhana hanya untuk dirinya sendiri, baguette panggang dengan tomat masak di atasnya.

Sementara Galtero kembali masuk ke dalam ruang kerja, kali ini pintunya ditutup rapat. Sofia juga memilih tidak peduli suaminya itu menyusulnya makan atau tidak. Namun, rasa penasaran masih melambung tinggi pada apa yang didengarnya barusan.

Perlukah dia mencari tahu apa yang disembunyikan pria itu? Apakah ini ada hubungan dengannya?

Jika benar Galtero mengidap disfungsi ereksi, lalu mengapa pria itu bisa menidurinya?

Makin dipikir, kepala Sofia bertambah pusing hingga memijat pelipisnya dengan pelan.

Selesai makan, Sofia kembali ke kamar. Dia bergegas mandi, suasana rumah ini sangat panas hingga badannya berkeringat. Padahal bangunan ini memiliki ventilasi sangat baik, tetapi berhadapan dengan Galtero membuatnya kesal bukan main.

Sofia berdecak karena sesungguhnya dia belum memiliki pakaian ganti. Ini semua karena Marco yang muncul di rumah keluarganya.

"Bagaimana ini?" gumamnya, "aku tidak mungkin keluar dengan handuk basah begini." Dia memandangi pantulan dirinya di depan cermin besar.

Ketegangan Sofia makin bertambah ketika handle pintu bergerak. Seseorang mencoba masuk, dan itu pasti ….

"Ada orang!" teriaknya, sambil memegang erat simpul handuk di depan dada.

Seketika kenangan malam panas itu berputar dalam benaknya. Sentuhan Galtero membuatnya merinding ngeri.

Tidak ada sahutan dari luar. Handle pintu pun tidak bergerak lagi, Sofia mengembuskan napas lega. Dia menganggap mungkin saja Galtero menggunakan kamar mandi lain di rumah ini.

Tiba-tiba terdengar derap langkah tegas dari balik pintu. Sofia membekap mulutnya dan berharap dugaannya salah. Suara kunci terbuka. Dengan cepat, pintu kaca bergeser bahkan sebelum Sofia sempat menahannya. Tubuhnya membeku bersamaan dengan Galtero menyelinap masuk.

Sofia langsung berdiri tegak, memasang ekspresi datarnya. Namun, tangannya masih memegang erat kain handuk. Dia sungguh tidak mau disentuh lagi oleh pria itu.

Pandangan tajam Galtero memindai sekujur tubuh Sofia dan berlabuh di atas kedua tangan wanita itu. Sudut bibirnya berkedut samar, seakan mengejek tanpa kata. Mendadak pria itu meraih tangan kanannya dengan paksa, lalu menyematkan cincin yang baru diambil dari saku kemeja.

"Apa ini?" tanya Sofia, melihat gerakan cincin pada jari manisnya.

"Menurutmu?" Galtero masih menggenggam erat jemari Sofia.

Sofia memandang cincin itu. Kilau logamnya menyakitkan. Bukankah ini bukti bahwa hidupnya tak lagi milik sendiri? Sebuah tanda bahwa dirinya telah diklaim oleh seseorang yang tidak dikenalnya.

“Kenapa memberiku cincin?”

“Bajumu di lemari,” kata pria itu, sama sekali tidak menjawab pertanyaan Sofia, lalu melangkah menuju bilik shower.

Sebelum Sofia keluar, Galtero melucuti pakaiannya sendiri dan menjatuhkannya ke lantai. Sofia segera berbalik ketika melihat tubuh polos pria itu dari belakang. Dia buru-buru meninggalkan kamar mandi.

Suaminya ini benar-benar pria berbahaya yang tidak bisa dianggap sepele. Dia pun akan mencari tahu tentang siapa dan bagaimana latar belakang pria itu.

Alam bawah sadar Sofia menuntunnya ke ruang pakaian luas. Dia melihat-lihat isinya yang ternyata berisi pakaian tidur wanita. Semuanya masih baru dan tag-nya terpasang. Namun, tidak satu pun berniat digunakan Sofia. Dia yakin Galtero sengaja memberikannya banyak pakaian tipis untuk memuaskan fantasinya.

Pada akhirnya, setelah mencari dengan seksama, Sofia menyambar satu gaun tidur yang paling tertutup di antara lainnya. Dia bergegas ke atas ranjang dan menatap sejenak pada cincin di jari manisnya. Kemudian menggulung tubuhnya dengan selimut bagai kepompong.

Sofia berpura-pura tidur di malam pertama pernikahan mereka. Pria itu sudah selesai mandi, menghampiri dan berdiri tepat di depannya.

Aroma maskulin menyergap hidung, sangat mengganggu ketenangan hormonnya. Namun, dia bergeming dan mengatur napasnya untuk meyakinkan Galtero bahwa sudah benar-benar nyenyak.

Tidak ada yang dilakukan pria itu selain naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Sofia.

Pagi harinya, Sofia melihat Galtero telah rapi dengan kemeja putih slim fit hingga menampakkan pahatan otot-otot yang keras. Sambil menenteng jas hitam di lengan, pria itu mendekat dan menjepit dagu Sofia, memaksanya mendongak.

“Bersikaplah selayaknya istri, Nona Morales.”

Ibu jari Galtero menyentuh bibir bawah Sofia yang penuh dan merah muda. Pria itu merunduk, mencium bibir wanitanya secara paksa, begitu keras, menuntut, tanpa perasaan.

Sofia sontak menegang. Namun, alih-alih diam, dia menggigit bibir Galtero hingga pria itu tersentak dan mundur dengan geram. Ada sedikit darah tampak di bagian bibir bawah pria itu.

“Sekali lagi kamu paksa aku, aku bakal pastikan kamu menyesal,” desis Sofia, matanya menyala oleh amarah dan harga diri yang terinjak.

Galtero mengusap bibirnya dengan pelan, ekspresi pria itu sulit ditebak antara murka atau kagum. “Berani sekali, Nona Morales.”

Sofia tidak menjawab. Dia hanya menatap tajam, dengan detak jantung sangat kencang di balik selimut yang masih menggulung tubuhnya.

Galtero mendekat sekali lagi dan berbisik di dekat telinga wanita itu dengan suara dingin, “Kamu akan tahu konsekuensinya kalau mencoba lagi.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sentuhan Berbahaya Tuan Muda   Bab 97 : Sang Pendusta Yang Melindungi

    Mereka memutuskan langsung pulang tanpa membeli crema catalana. Sofia masih menggigil, dan Galtero belum mengenakan apa-apa selain celana panjang. Bentley abu-abu yang dikemudikan Galtero membelah jalanan malam Barcelona. Lampu kota memantul di kaca jendela, menciptakan bayang-bayang kelabu di wajah Sofia yang diam menatap ke luar. Monte Sereno Nomor 1 menyambut mereka dalam kesunyian. Begitu mesin mati, Galtero langsung melepas sabuknya, lalu sabuk Sofia. Dia turun, mengitari mobil, dan membuka pintu untuknya. Sofia baru saja menurunkan satu kaki, masih mengambang di udara, ketika tubuhnya kembali terangkat. “Galtero…,” bisik Sofia pelan. Pria itu tidak menjawab. Hanya membawa Sofia masuk ke dalam dengan langkah panjang. Di dalam kamar, dia tidak menurunkan Sofia ke tempat tidur. Malah berjalan terus ke kamar mandi, menyalakan keran dan menyiapkan air panas. Butir-butir uap segera mengisi ruangan. “Air hangat bisa bantu merilekskan pembuluh darah,” kata pria itu, kini sudah dud

  • Sentuhan Berbahaya Tuan Muda   Bab 96 : Ranjang Tuan Muda

    “Sofia.”Suara yang biasanya tegas itu kini terdengar agak gemetar, dihantam angin laut yang dingin menusuk.Bisik-bisik pengunjung pantai menghantam telinganya.“Kasihan banget … dia lagi hamil, katanya.”“Tapi perempuan cantik. Sayang banget kalau beneran bunuh diri.”“Katanya sih dia depresi .…”Galtero mengepalkan tangan. Tidak mungkin rasanya Sofia bertindak seceroboh itu.Sepatu boot Galtero melangkah mantap menerjang pasir. Mata biru terangnya terkunci pada satu pemandangan, dan tangannya sudah siap membelah kerumunan orang-orang.“Tunggu.” Intonasinya dingin, dominan, dan sedikit gugup.Dia menyingkirkan beberapa orang di depannya tanpa basa-basi. Seketika matanya melebar melihat sosok di atas tandu.“Silakan jalan lagi,” ucapnya pelan. Membiarkan tim SAR menjalankan tugas setelah memastikan wanita pucat itu bukan istrinya.Napas Galtero berembus kasar. Dia menyapu pantai dengan tatapan tegang. Hari sudah berganti gelap. Namun, dia tidak menunggu bantuan. Kakinya terus melangk

  • Sentuhan Berbahaya Tuan Muda   Bab 95 : Wanita Pucat di Pantai

    Sementara Sofia terus berjalan di atas pasir basah, pikirannya berkecamuk dengan berita-berita miring yang menyebar begitu cepat. Di sisi lain, seorang wanita berambut pirang tersenyum puas menatap layar telepon genggam. “Ini belum seberapa, Sofia Morales,” desisnya. Jari Isabel membuka file lain di ponselnya—berkas rahasia yang diambil diam-diam dari sekretaris pribadi CEO Lumière waktu itu. Tatapan Isabel penuh kebencian. Layar ponsel dalam genggamannya menampilkan bukti pembayaran fasilitas panti jompo Renata oleh Torres Lumière. Tanpa ragu, Isabel mengirimkannya ke seorang buzzer bayaran dengan nomor sekali pakai. Setelahnya, dia terbahak pelan. Tawa itu terhenti oleh suara dingin di belakangnya. “Apa yang kamu tertawakan?” Nicolas menyambar, begitu tajam. Pria itu hanya mengenakan handuk, tubuhnya basah bukan oleh air mandi, tetapi karena keringat. Isabel meringis. Dia bisa mencium sisa-sisa tubuh perempuan lain yang baru saja disentuh pria itu. Padahal dia sendiri yang memb

  • Sentuhan Berbahaya Tuan Muda   Bab 94 : Penjilat Kelas Atas

    Sofia baru saja selesai mengganti pakaian. Dia mengenakan mantel rajut merah muda dengan celana jeans dan sepatu boots cokelat Milo. Rambutnya disisir rapi ke tengah, menciptakan belahan simetris yang mempertegas bentuk wajahnya. Helaiannya jatuh lurus menutup sebagian dada, dipoles serum hingga tampak berkilau seperti sutra. Bersama empat model lainnya, dia bergaya di depan kamera, mengikuti arahan fotografer, mengabaikan rasa ngilu di tangannya. Alina–Manajer baru berdiri tak jauh dari mereka. Sofia sempat diam-diam melirik wanita itu yang tampak mengarahkan kamera ponsel kepadanha. Belum sempat curiga lebih dalam, fotografer kembali memintanya berpindah gaya. Sofia tidak tahu bahwa rekaman singkat dan potret dirinya barusan sudah dikirim ke Madrid. Saat Sofia berjuang berdiri di depan kamera, di kota lain, seseorang memandangi wajahnya dengan kecemasan tersembunyi. “Tuan, Nyonya baik-baik saja.” Alonso menunjukkan layar telepon genggamnya pada Galtero yang baru saja menur

  • Sentuhan Berbahaya Tuan Muda   Bab 93 : Disembunyikan Darimu

    “Bibi!” seru Carlitos, matanya membulat dan wajahnya yang semula masam berubah mendung. Refleks anak itu mengulurkan tangan pada Sofia. Sedangkan Sofia yang tadi terkejut karena didorong berhasil menopang bobot tubuhnya dengan kedua telapak di atas karpet. Lengannya terasa nyeri. Bahkan jantungnya masih berdebar karena tidak sanggup kehilangan calon anaknya. Tangan Sofia bergetar. Dia dihantam antara fisik yang sakit, atau hati ditolak mentah-mentah. Sofia yang sedang hamil mudah sekali tersentuh. Sikap keras kepalanya tidak sebanding dengan kerisauan dalam dada. Mata karamelnya mengembun. Dia menatap Carlitos dengan pandangan tidak percaya. Namun, dia tak menolak uluran tangan bocah itu. “Terima kasih,” lirihnya, “tapi kenapa kamu dorong aku?” Carlitos menunduk dan menggeleng pelan. “Aku tidak mau punya adik bayi. Nanti Papa dan Bibi sayang adik, bukan aku.” Sofia tidak lagi menganggap ini sebagai kecemburuan biasa. Carlitos jelas bisa bertindak sejauh ini pasti ada sebabnya.

  • Sentuhan Berbahaya Tuan Muda   Bab 92 : Bahaya Yang Mengingtai

    “Dia … bekerja di Torres Lumière,” jawab Sofia. Dia mulai merasa ada sesuatu yang janggal, sebab tidak biasanya Jose menyinggung tentang sang suami. “Berhati-hatilah, Sofia. Sebaiknya jangan mencari masalah, baik itu pada suamimu … atau Tuan Marquez.” Ucapan Jose membuat Sofia mengerutkan alis dengan dalam. Dia sungguh tidak mengerti. “Tuan Jose … kenapa Anda bersikap seolah-olah mereka itu monster?” Sofia ingin sekali memukul meja, tetapi tangannya hanya mengepal di pangkuan. Rahang wanita itu menegang. Dia tidak terima suaminya dikatakan tidak baik, setelah apa yang terjadi antara dirinya dan Galtero belakangan ini. Jose tercengang sesaat, mendengar bahwa Sofia benar-benar tidak tahu siapa Galtero sebenarnya. Pria itu memejamkan mata, seolah sedang mempertimbangkan ucapan yang hampir keluar dari mulutnya. Dia mengembuskan napas pelan. “Ya, benar, aku berlebihan karena ingin melindungi semua modelku,” tanggap Jose akhirnya. Dia berdiri, lalu mengulurkan tangan mempersilakan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status