Jantung Sofia berdetak makin kencang, napasnya memburu, pelipisnya mulai basah oleh keringat dingin, dan punggungnya menegang.
Dia menelan air liur yang terasa pekat ketika di depannya terlihat pantulan bayangan seseorang bertubuh tinggi.
Itu pasti Galtero, dan untuk saat ini dia enggan menoleh. Entah mengapa, wanita itu merasakan bulu kuduknya berdiri dan yakin bahwa pria yang baru saja dinikahinya ini sedang marah.
Hening tercipta cukup lama di antara mereka. Baik Sofia maupun bayangan itu tidak ada yang bersuara. Hanya terdengar embusan napas dari keduanya. Hingga Sofia merasa perlu sekadar klarifikasi. Dia enggan dituduh ikut campur urusan pria itu.
Sofia berbalik dan melihat Galtero sedang berdiri dengan angkuh. Pria itu menyandarkan punggung pada kusen hitam pekat yang senada dengan kemeja dan celana panjangnya. Tangan kekarnya terlipat di atas perut liatnya, dengan sorot mata tajam tertuju pada Sofia.
Ah, sial! Dia justru teringat pada tubuh kekar Galtero.
"A-aku kebetulan lewat," akunya. Sofia membalas tatapan Galtero dengan berusaha tenang. Lalu, dia mengatupkan giginya sangat rapat, berharap dapat meredam dentuman dalam dada.
Pria itu sama sekali tidak menjawab, hanya satu alisnya terangkat seakan menimbang ucapan Sofia.
"Aku haus," sambung Sofia tak gentar.
Masih tidak ada tanggapan apa pun. Ketika Sofia memutar tubuhnya dan bersiap melangkah menuju dapur, pergelangan tangannya dicekal dan ditarik kuat oleh Galtero.
Dia menumpukan kakinya dengan lekat pada lantai supaya tidak jatuh ke pelukan pria licik di depannya. Namun, tenaga Galtero jauh lebih kuat, tubuh Sofia pun menempel.
Bahkan kini, pria itu melingkari punggung Sofia dengan tangan kokohnya.
"Jaga telingamu, Nona Morales,” sindir Galtero, membuat Sofia tertohok. Seakan-akan dia memang gemar menguping pembicaraan orang lain.
Dalam posisi tak berjarak ini, Sofia mendongak dan menatap lekat pada manik biru terang Galtero yang nampak indah, tetapi juga beracun karena tak pernah memandang ramah. Dia melepas tangan pria itu dari punggungnya dalam sekali tepis.
“Kalau tak mau didengar, jagalah rahasiamu lebih baik," balasnya.
Sofia melangkah mantap menuju dapur. Dia ingin makan untuk meredam kekesalannya. Dia membuat menu sederhana hanya untuk dirinya sendiri, baguette panggang dengan tomat masak di atasnya.
Sementara Galtero kembali masuk ke dalam ruang kerja, kali ini pintunya ditutup rapat. Sofia juga memilih tidak peduli suaminya itu menyusulnya makan atau tidak. Namun, rasa penasaran masih melambung tinggi pada apa yang didengarnya barusan.
Perlukah dia mencari tahu apa yang disembunyikan pria itu? Apakah ini ada hubungan dengannya?
Jika benar Galtero mengidap disfungsi ereksi, lalu mengapa pria itu bisa menidurinya?
Makin dipikir, kepala Sofia bertambah pusing hingga memijat pelipisnya dengan pelan.
Selesai makan, Sofia kembali ke kamar. Dia bergegas mandi, suasana rumah ini sangat panas hingga badannya berkeringat. Padahal bangunan ini memiliki ventilasi sangat baik, tetapi berhadapan dengan Galtero membuatnya kesal bukan main.
Sofia berdecak karena sesungguhnya dia belum memiliki pakaian ganti. Ini semua karena Marco yang muncul di rumah keluarganya.
"Bagaimana ini?" gumamnya, "aku tidak mungkin keluar dengan handuk basah begini." Dia memandangi pantulan dirinya di depan cermin besar.
Ketegangan Sofia makin bertambah ketika handle pintu bergerak. Seseorang mencoba masuk, dan itu pasti ….
"Ada orang!" teriaknya, sambil memegang erat simpul handuk di depan dada.
Seketika kenangan malam panas itu berputar dalam benaknya. Sentuhan Galtero membuatnya merinding ngeri.
Tidak ada sahutan dari luar. Handle pintu pun tidak bergerak lagi, Sofia mengembuskan napas lega. Dia menganggap mungkin saja Galtero menggunakan kamar mandi lain di rumah ini.
Tiba-tiba terdengar derap langkah tegas dari balik pintu. Sofia membekap mulutnya dan berharap dugaannya salah. Suara kunci terbuka. Dengan cepat, pintu kaca bergeser bahkan sebelum Sofia sempat menahannya. Tubuhnya membeku bersamaan dengan Galtero menyelinap masuk.
Sofia langsung berdiri tegak, memasang ekspresi datarnya. Namun, tangannya masih memegang erat kain handuk. Dia sungguh tidak mau disentuh lagi oleh pria itu.
Pandangan tajam Galtero memindai sekujur tubuh Sofia dan berlabuh di atas kedua tangan wanita itu. Sudut bibirnya berkedut samar, seakan mengejek tanpa kata. Mendadak pria itu meraih tangan kanannya dengan paksa, lalu menyematkan cincin yang baru diambil dari saku kemeja.
"Apa ini?" tanya Sofia, melihat gerakan cincin pada jari manisnya.
"Menurutmu?" Galtero masih menggenggam erat jemari Sofia.
Sofia memandang cincin itu. Kilau logamnya menyakitkan. Bukankah ini bukti bahwa hidupnya tak lagi milik sendiri? Sebuah tanda bahwa dirinya telah diklaim oleh seseorang yang tidak dikenalnya.
“Kenapa memberiku cincin?”
“Bajumu di lemari,” kata pria itu, sama sekali tidak menjawab pertanyaan Sofia, lalu melangkah menuju bilik shower.
Sebelum Sofia keluar, Galtero melucuti pakaiannya sendiri dan menjatuhkannya ke lantai. Sofia segera berbalik ketika melihat tubuh polos pria itu dari belakang. Dia buru-buru meninggalkan kamar mandi.
Suaminya ini benar-benar pria berbahaya yang tidak bisa dianggap sepele. Dia pun akan mencari tahu tentang siapa dan bagaimana latar belakang pria itu.
Alam bawah sadar Sofia menuntunnya ke ruang pakaian luas. Dia melihat-lihat isinya yang ternyata berisi pakaian tidur wanita. Semuanya masih baru dan tag-nya terpasang. Namun, tidak satu pun berniat digunakan Sofia. Dia yakin Galtero sengaja memberikannya banyak pakaian tipis untuk memuaskan fantasinya.
Pada akhirnya, setelah mencari dengan seksama, Sofia menyambar satu gaun tidur yang paling tertutup di antara lainnya. Dia bergegas ke atas ranjang dan menatap sejenak pada cincin di jari manisnya. Kemudian menggulung tubuhnya dengan selimut bagai kepompong.
Sofia berpura-pura tidur di malam pertama pernikahan mereka. Pria itu sudah selesai mandi, menghampiri dan berdiri tepat di depannya.
Aroma maskulin menyergap hidung, sangat mengganggu ketenangan hormonnya. Namun, dia bergeming dan mengatur napasnya untuk meyakinkan Galtero bahwa sudah benar-benar nyenyak.
Tidak ada yang dilakukan pria itu selain naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Sofia.
Pagi harinya, Sofia melihat Galtero telah rapi dengan kemeja putih slim fit hingga menampakkan pahatan otot-otot yang keras. Sambil menenteng jas hitam di lengan, pria itu mendekat dan menjepit dagu Sofia, memaksanya mendongak.
“Bersikaplah selayaknya istri, Nona Morales.”
Ibu jari Galtero menyentuh bibir bawah Sofia yang penuh dan merah muda. Pria itu merunduk, mencium bibir wanitanya secara paksa, begitu keras, menuntut, tanpa perasaan.
Sofia sontak menegang. Namun, alih-alih diam, dia menggigit bibir Galtero hingga pria itu tersentak dan mundur dengan geram. Ada sedikit darah tampak di bagian bibir bawah pria itu.
“Sekali lagi kamu paksa aku, aku bakal pastikan kamu menyesal,” desis Sofia, matanya menyala oleh amarah dan harga diri yang terinjak.
Galtero mengusap bibirnya dengan pelan, ekspresi pria itu sulit ditebak antara murka atau kagum. “Berani sekali, Nona Morales.”
Sofia tidak menjawab. Dia hanya menatap tajam, dengan detak jantung sangat kencang di balik selimut yang masih menggulung tubuhnya.
Galtero mendekat sekali lagi dan berbisik di dekat telinga wanita itu dengan suara dingin, “Kamu akan tahu konsekuensinya kalau mencoba lagi.”
Sofia menatap tajam pada tubuh kekar di atasnya. Dia menggeliat mencoba melepaskan diri, tetapi tangannya terkunci di atas kepala. Sungguh dia tidak mau diperlakukan dengan kasar, tidak mau disetubuhi lagi tanpa izin.“Jawab aku, Tuan!” desaknya. Dia mendesis nyeri karena tekanan Galtero makin terasa pada tangannya. “Benar ‘kan dia anakmu?”Bukan menjawab, Galtero justru menatap tajam bibir Sofia dan merunduk seolah hendak mencium wanita itu. Namun, sofia memalingkan wajah hingga pria itu hanya berjarak sesenti dari rahangnya. Sedangkan tubuh mereka sudah sangat rapat.Embusan napas hangat beraroma wine begitu pekat menyapu kulit wajah Sofia. Dia menggigit kuat bibir bawahnya untuk menahan gemetar, karena hawa panas dari tubuh Galtero membuatnya menegang dan ngeri sekaligus.Pria itu berbisik, “Kamu tidak pantas cemburu.”Seketika Sofia terdiam sejenak dan mata almondnya melebar. Terlalu menggelikan dan ambigu mendengar jawaban itu. Dengan gerakan cepat, dia menggerakkan kepalanya hin
Napas Sofia memburu, dadanya turun naik, dan tangannya mengepal kuat di samping tubuh tegapnya. Dia mengayunkan kaki dengan mantap menyebrangi jalan. Tatapan wanita itu terkunci pada satu pria dewasa di dalam kafe. Dia sudah bertekad harus mendapatkan jawabannya langsung dari Galtero.Akan tetapi, makin mendekat, sorot mata Sofia justru bergeser pada anak kecil bermata biru terang. Betapa pun meluap amarahnya pada Galtero, Sofia masih memiliki nurani. Sungguh, tidak sampai hati harus merusak kebahagiaan kecil bocah itu yang sedang mengayunkan kaki sembari memakan churros.Alih-alih menghampiri, Sofia justru berjalan menjauh. Dia menuju halte bus. Anak itu tidak tahu apa-apa. Tidak seharusnya ikut menanggung masalah orang dewasa.“Kamu selamat, Tuan Arogan. Tapi di rumah, aku tidak akan membiarkanmu lolos,” gumamnya.Sofia yang sedang berjejal dengan penumpang lainnya di dalam bus menatap kosong pada jendela kaca. Bayangan Galtero dan anak lelaki tampan itu sangat jelas di depan mata.
‘Kamu akan tahu konsekuensinya kalau mencoba lagi.’Ucapan Galtero terus terngiang di kepala Sofia. Bahkan saat pagi ini mereka sudah berpisah untuk urusan pekerjaan masing-masing, kata-kata itu masih melekat bagai bayangan gelap yang tidak bisa diusir.Sofia melamun di dapur Torres Lumière, tempatnya bekerja. Hingga sentakan panas dari cipratan saus mendidih di tangannya membuat wanita itu terbangun dari lamunan.Dia buru-buru menyiram luka di bawah air mengalir. Tatapannya pun jatuh pada cincin bermata biru yang melingkar di jari manisnya.Sofia mendesah lirih. Bisa-bisanya pria itu mengancamnya tadi. Dia bergumam lirih, “Memangnya apa yang akan dia lakukan kalau aku benar-benar mencoba melawannya lagi?”Saat itulah ponsel di sakunya berdenting. Sofia refleks mengambilnya. Ada sebuah pesan masuk dari pengurus panti jompo tempat ibunya dirawat. Mata almondnya melebar dan mulutnya terbuka saat melihat foto yang dikirimkan.“Ini pasti ulahnya ...,” bisik Sofia. Tangannya menggenggam po
Jantung Sofia berdetak makin kencang, napasnya memburu, pelipisnya mulai basah oleh keringat dingin, dan punggungnya menegang.Dia menelan air liur yang terasa pekat ketika di depannya terlihat pantulan bayangan seseorang bertubuh tinggi.Itu pasti Galtero, dan untuk saat ini dia enggan menoleh. Entah mengapa, wanita itu merasakan bulu kuduknya berdiri dan yakin bahwa pria yang baru saja dinikahinya ini sedang marah.Hening tercipta cukup lama di antara mereka. Baik Sofia maupun bayangan itu tidak ada yang bersuara. Hanya terdengar embusan napas dari keduanya. Hingga Sofia merasa perlu sekadar klarifikasi. Dia enggan dituduh ikut campur urusan pria itu.Sofia berbalik dan melihat Galtero sedang berdiri dengan angkuh. Pria itu menyandarkan punggung pada kusen hitam pekat yang senada dengan kemeja dan celana panjangnya. Tangan kekarnya terlipat di atas perut liatnya, dengan sorot mata tajam tertuju pada Sofia.Ah, sial! Dia justru teringat pada tubuh kekar Galtero."A-aku kebetulan lewa
Seorang pria bermantel hitam pekat bertubuh tinggi dengan sepatu boots senada keluar dari mobil.Pintu di samping Marco tiba-tiba terbuka. Di bawah cahaya terang matahari yang menyilaukan mata, pria tinggi itu menarik tubuh Marco hingga terpental keluar. Setelahnya, dengan gerakan cepat, dia mengeluarkan Sofia bahkan menggendong wanita itu tanpa permisi.Sofia yang sedang ketakutan tadi, kini merasa ada sesuatu berbeda dalam dirinya.Perasaan aman dan … tentu dia mengenali aroma parfum maskulin ini ….“Tuan Arogan?” Dia mendongak menatap wajah tampan pria itu yang tidak kelihatan jelas.Pria itu tetap berjalan tanpa menjawab pertanyaannya.Sofia dibawa ke dalam mobil hitam mengilap itu, yang kini melaju dengan kecepatan sedang menuju perumahan Monte Sereno.Selama perjalanan, Sofia tidak henti menatap suami dadakannya itu. Dia menelan air liurnya sendiri mengingat kejadian beberapa saat lalu.Bukankah itu artinya, Sofia selalu diawasi? Lalu siapa sebenarnya suami tampan misteriusnya i
Tangan Sofia yang gemetaran menepis tangan pria itu dari dagunya. Tatapannya berubah tajam pada sepasang iris biru terang. Bibir merah agak penuh wanita itu terkunci rapat. Ini merupakan pilihan sulit. Menikahi orang asing atau membiarkan keluarganya, terutama sang ibu menjadi korban? Hidup macam apa seperti itu? Sofia menarik dalam napasnya, lalu meremas kuat telepon genggam seolah meremukkannya. Baik, dia sudah menemukan jawaban untuk pilihan sial ini. “Oke … aku setuju. Tapi kamu harus memberiku uang dan tidak boleh melarang aku berkarier,” tegas Sofia. Dia kira, pria arogan itu akan menentang. Siapa sangka, dia justru mengangguk dengan mudahnya. Kemudian pria itu memberikan paper bag pada Sofia. Gaun putih cantik, bahannya halus dan terlihat mahal. Bahkan lebih elegan dibanding gaun miliknya dengan sang mantan tunangan. Setelah merapikan penampilan, keduanya pergi ke Kantor Catatan Sipil. Pernikahan tak terduga itu resmi terdaftar secara sah. Mereka menandatangani sejumlah