LOGINKini, Aina telah duduk di tepi ranjang hotel, jari-jarinya gelisah memintal ujung selimut putih. Udara pendingin ruangan terasa terlalu dingin di kulitnya, padahal dari tadi ia bahkan belum menyalakan AC.
Perutnya mulas karena gugup.
Setelah ragu hampir sepuluh menit, Aina akhirnya menekan nama “Amel” di layar ponsel.
“Mel…” suaranya lirih begitu sambungan tersambung. “Gue kayaknya nggak jadi, deh.”
Dari seberang terdengar helaan napas panjang. “Na, jangan mulai lagi.”
“Serius, Mel. Ini gila. Gue duduk aja udah deg-degan, apalagi kalau beneran ketemu orangnya. Gue nggak bisa.” Suara Aina terdengar semakin bergetar.
“Na.” Nada Amel mengeras. “Lo udah di situ, kan?”
“Iya. Tapi gue mau balik aja lah ya.”
“Balik ke mana? Ke rumah yang bahkan udah gak lo anggap rumah?” sergah Amel cepat. “Ke laki-laki yang nyuruh lo sewa gigolo karena dia sendiri gak bisa nyentuh lo?”
Aina menggigit bibirnya. “Jangan ngomong gitu…”
“Terus gue harus ngomong apa, Na?” suara Amel meninggi. “Lo lima tahun nunggu keajaiban dari cowok yang jelas-jelas gak mau nyentuh lo. Gue bilang dari awal, itu bukan normal, Na. Udah pasti dia gay, dan lo cuma jadi kamuflase di depan keluarganya.”
Aina diam. Pandangannya kosong ke arah jendela besar yang memantulkan cahaya sore. Kata “gay” itu seperti menghantam keras di kepalanya.
Amel melanjutkan, kali ini suaranya lebih pelan tapi menekan, “Lo gak kasihan sama diri lo sendiri? Lo terus disalahin karena belum punya anak, tapi gak ada yang tau lo bahkan gak pernah disentuh. Dan sekarang lo punya kesempatan buat keluar dari lingkaran itu. Buat nunjukin lo bukan masalahnya.”
Aina menelan ludah, matanya berkaca. “Tapi Mel… gue takut.”
“Takut apa? Hans sendiri yang nyuruh lo, bahkan bilang kalo lo hamil juga dia bakal ngakuin. Jadi kenapa lo harus ngerasa salah? Dari pada lo terus disiksa perasaan, mending lo lakuin ini buat diri lo sendiri.” Amel terdengar semakin frustrasi.
Hening sejenak. Aina memejamkan mata, napasnya berat.
“Lo gak harus ngelakuin apa-apa kalau gak mau,” tambah Amel lebih lembut. “Tapi seenggaknya ketemu dulu aja. Udah gue bilang, cowoknya sopan, gak bakal maksa. Kalau lo ngerasa gak nyaman, tinggal pergi.”
Aina diam lama, sebelum akhirnya berkata pelan, “Gue cuma ketemu aja, ya.”
“Iya,” sahut Amel cepat. “Cuma ketemu. Siapa tahu kalau udah lihat orangnya nanti lo berubah pikiran.”
Tapi bahkan setelah telepon ditutup, Aina masih duduk di tepi ranjang yang sama, menatap pintu kamar yang tertutup rapat.
Detik demi detik terasa panjang. Sampai akhirnya, suara ketukan pelan terdengar dari luar.
Tok. Tok. Tok.
Dan jantung Aina berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Ia langsung berdiri dan membuka pintu, tak lupa ia memasang senyum samar yang terasa terpaksa.
Namun, begitu pintu terbuka, Aina spontan menegakkan tubuhnya. Tapi senyum di bibirnya langsung memudar.
Pria yang masuk bukan seperti bayangan di kepalanya, bukan lelaki paruh baya berpenampilan matang seperti yang ia kira. Yang berdiri di depan pintu justru seorang pria muda, tinggi, berwajah tenang, dengan senyum tipis yang entah kenapa justru membuat jantung Aina berdetak lebih cepat.
Umurnya… mungkin dua puluh empat atau bahkan dua puluh tiga. Tujuh tahun lebih muda darinya. Masih terlalu muda. Tapi tatapannya tajam dan penuh percaya diri.
Aina terdiam, tangannya refleks meremas sisi gaunnya. “Kamu… yang dari aplikasi itu?” tanyanya, suaranya nyaris berbisik.
Pria itu melangkah masuk perlahan, menutup pintu di belakangnya.
“Kenapa? Gak sesuai ekspektasi?” suaranya rendah, tenang, tapi ada nada menggoda di ujungnya.
Aina menggelengkan kepala pelan, tapi tubuhnya masih terpaku. “Nggak … bukan itu.”
Aina menatap pria itu beberapa detik tanpa suara. Masih sulit membayangkan kalau malam ini dia akan berhubungan dengan pria semuda itu, bukan suaminya, bukan siapa-siapa, hanya orang asing dari aplikasi.
Ia menelan ludah, lalu memalingkan pandangan sebentar, mencoba menenangkan diri.
Apa aku benar-benar akan melakukan ini? Dengan pria yang bahkan bisa kupanggil adik?
Tapi bayangan wajah Hans yang dingin dan kata-katanya semalam kembali terngiang. Rasa marah dan kecewa itu menekan rasa ragu yang tersisa.
Aina menghela napas, lalu menatap Rey lagi.
“Masuk aja. Duduk dulu,” katanya datar tapi tegas.
“Kamu Amel ya?” tanya pria itu sambil berjalan masuk di belakang Aina. “Aku Rey.”
Aina menoleh sekilas. Yang memesan memang Amel, jadi wajar saja nama Amel yang disebut. Ia kembali menggelengkan kepalanya.
“Aku Aina, Amel itu temanku yang memesankan lewat aplikasi itu,” jelas Aina singkat.
Aina berusaha terdengar tenang, meski jantungnya berdebar tak beraturan. Ia duduk di tepi ranjang, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Napasnya terasa berat, udara di kamar hotel itu seolah menipis.
Perlahan, Aina mengeratkan genggamannya pada jaket yang ia pakai untuk menutupi gaun tipis yang ia pakai. Ia menarik ujung jaketnya rapat-rapat di dada, berusaha menutupi kegugupannya.
Rey berdiri beberapa langkah di depannya, tubuhnya tinggi, tegap, dengan sorot mata yang tajam tapi tak mengintimidasi.
Gerakannya tenang, nyaris terlalu percaya diri. Ia tidak banyak bicara, hanya memandangi Aina sesaat sebelum menurunkan pandangannya sebentar.
Rey mengangguk pelan. “Oke.”
Suasana hening beberapa detik.
Lalu, tanpa banyak basa-basi, ia melepaskan jaket hitam yang dikenakannya dan meletakkannya di kursi dekat meja rias. Setelah itu, jemarinya dengan tenang mulai membuka kancing kemejanya satu per satu.
Aina sontak menegakkan tubuhnya, matanya membulat. “Eh—tunggu, kamu ngapain?”
Rey berhenti sejenak, menatapnya lurus. “Kita bisa mulai langsung, kan?”
“Tapi Hans—”“Udahlah Aina, aku ini suami kamu. Jadi kamu harus nurut apa kata aku.” Ucap Hans dengan cepat memotong ucapan Aina yang belum selesai dan setelah mengatakannya, ia dengan segera mulai berlalu pergi untuk ketiga kalinya meninggalkan Aina sendirian.Melihat suaminya lagi-lagi akan berlalu pergi, Aina dengan cepat berteriak. “Hans… Hans!” namun, kali ini. Seberapa keras pun usahanya dalam berteriak. Tampak suaminya, Hans. Tetap fokus pada jalannya dan tak lagi menggubris teriakan dirinya.Dengan menghela napasnya. Aina yang melihat tubuh Hans semakin menjauh. Mulai mengusap wajahnya dengan kasar. “Apa yang harus aku lakukan, agar Hans menarik lagi keputusannya itu?” lirihnya sambil menggigit bibir bawahnya dengan kasar.***Esoknya, Aina yang lagi-lagi bangun telat seperti kemarin. Hanya bisa menghela napasnya dengan kasar. Lalu setelahnya, ia yang tiba-tiba merasa pusing, mulai memijit keningnya dengan pelan.Namun, di saat ia memijit keningnya dengan pelan. Terdengar suar
Aina tentu terkejut dengan pertanyaan Hans barusan. Namun, dibanding memperdulikan. rasa terkejutnya, ia lebih memilih mengalihkan tatapan matanya dan berkata. “Tentu aja engga.”“Yakin?” tanya Hans dengan raut wajahnya yang serius.Entah kenapa Aina sekarang malah merasakan dadanya berdetak dengan cepat. Tubuhnya sedikit gemetar. Namun, ia tetap memilih berkata. “Tentu aja!” ucapnya dengan tetap tak melihat wajah sang suami.Hans kembali tersenyum sinis. “Kalo kamu emang yakin, kenapa ga tatap aku saat ngejawabnya? Kenapa kamu malah terus mengalihkan tatapan seperti orang yang gugup dan menyembunyikan suatu kebenaran?”Aina merasa semakin gugup mendengar ucapan Hans barusan. Karena rasa gugupnya itu, kedua tangannya tampak mulai mengeluarkan keringat dingin dan lidahnya terasa kelu untuk membalas ucapan Hans.Melihat sang istri hanya terdiam. Hans hanya bisa semakin memperlebar senyum sinisnya. Lalu setelahnya, ia berkata. “Udahlah, aku besok harus kerja. Jadi aku mau ke atas sekara
“Hans jawab?” ucap Aina lagi dengan suara yang lebih keras, di saat Hans malah terdiam dan tak menjawab pertanyaannya.Dengan menghela napas, Hans tak segera menjawab pertanyaan Aina. Tampak pria itu sekarang malah terlebih dahulu mengalihkan tatapannya pada Mbok Sum yang ternyata masih ada di sekitar mereka. “Mbok bisa pergi ke belakang sekarang!” Mbok Sum yang sebenarnya merasa penasaran dengan kebenaran ucapan sang Nyonya rumah tentang Rey yang dipecat. Namun tak bisa membantah perintah sang Tuan rumah, akhirnya hanya bisa menurut saja. “Ah… baik Tuan.” Ucapnya dan dengan segera sekaligus sedikit terpaksa, wanita paruh baya itu mulai berjalan pergi meninggalkan Hans dan Aina.Lalu saat Mbok Sum sudah berlalu pergi dan tak lagi tampak di pandangan mereka. Tampak Hans dengan menghela napas, kembali mengalihkan tatapannya pada sang istri yang berada di sampingnya.Aina yang lagi-lagi melihat suaminya hanya terdiam sambil menatapnya. Akhirnya hanya bisa kembali memanggil namanya. “Han
“Ga bisa gitu dong Pak!” ucap Rey dengan bola mata yang masih membulat sempurna.Dengan memperlihatkan lagi senyum sinis di wajahnya. Hans menjawab. “Kenapa ga bisa?”“Karena saya di sini dipekerjakan oleh Bu Aina. Jadi Bapak ga bi—”“Kamu lupa, saya di sini Tuan rumahnya. Jadi terserah saya, mau saya menghentikan para pekerja ataupun tidak.” Ucap Hans dengan cepat memotong ucapan Rey yang belum selesai.Rey yang merasa semakin marah, tapi tak bisa membantah fakta yang dilontarkan Hans. Tentu saja sekarang membuat dirinya, hanya bisa terdiam dan mengepalkan kedua tangannya dengan erat.Hans yang melihat Rey terdiam, akhirnya mengangkat jari telunjuknya pada pintu keluar rumah. “Jadi sekarang, saya persilahkan kamu untuk keluar!” ucapnya yang berusaha mengusir Rey dengan halus.Dengan semakin mempererat kepalan tangannya, Rey juga mulai menatap tajam wajah Hans. “Saya ga bakal keluar, kecuali Bu Aina selaku majikan saya yang memintanya.”Mendengar penuturan Rey yang masih keras kepala
Rey tentu saja merasa kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan Hans padanya barusan. “Kenapa Pak Hans bertanya seperti itu?” Dengan semakin mempertajam tatapannya, Hans menjawab. “Saya kan udah bilang, saya cuma ingin memastikan! Jadi bisa kan, kamu jawab sekarang?” Mendengar itu, Rey yang entah kenapa merasa gugup, hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam. Melihat pria yang berdiri di depannya itu hanya terdiam. Apalagi ditambah sekarang malah menundukkan kepalanya. Hans dengan mempertahankan tatapan tajamnya, mulai menghela napas. “Sepertinya karena hal itu memang benar. Tentu membuat kamu sulit untuk menjawab.” Ucapnya dengan suara yang sangat sinis. Merasa terkejut, Rey kembali mengangkat kepalanya untuk lagi-lagi memandang Hans yang ada di depannya. “Bukan seperti itu Pak!” sanggahnya dengan cepat dan dengan raut wajahnya yang panik. Dengan memperlihatkan senyum sinisnya, Hans menjawab. “Sudahlah tidak perlu menyangkalnya. Karena sekarang saya sudah bisa menebak, bahwa k
Terlihat Hans, Aina dan Rey sedang duduk di sofa ruang tamu, hanya terdiam dengan suasana mencekam mengelilingi sekeliling mereka. Hans yang merasa sudah muak dengan keterdiaman mereka selepas lima menit kedua orang yang duduk di depannya turun. Akhirnya mulai berdehem untuk memecahkan keheningan. “Hemm.”Mendengar deheman suaminya, Aina yang memang dari tadi hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam, mulai mendongak seketika.Sedangkan Rey yang memang dari tadi sudah memandang Hans, sekarang hanya bisa menatapnya dengan mengernyitkan dahinya.Mendapati Kedua orang itu sedang melihatnya. Hans dengan raut wajahnya yang datar, kembali berkata. “Kamu ga mau ngejelasin apa-apa Aina?”Mendapati pertanyaan Hans, Aina yang tadi merasa sedikit malu, karena kepergok basah. Sekarang mulai memperlihatkan raut wajah herannya. “Jelasin? Maksud kamu, aku harus jelasin apa?”Hans menghela napas, lalu menatap Aina dengan tatapan yang lebih dalam. “Kejadian tadi di atas!”Tanpa diduga, Aina yang baru k





![Penyesalan Tuan CEO [Mantan Kekasihku]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)

