Share

Chapter 3: Menyelamatkan Diri

Suara pelatuk ditekan terdengar begitu keras hingga menyebabkan ibu dari bayi tersebut meninggal karena tembakan di kepalanya. Sang buah hati seketika menangis sebab ikatan batin cukup kuat dan juga rasa terkejutnya. 

Tangisannya pun terdengar di telinga orang-orang yang menyerang wanita itu mengakibatkan mereka menyadari jika sang bayi masih berada di sekitar sini. 

"Cepat cari bocah itu sampai dapat!" 

Gracia tak kalah terkejutnya dengan situasi yang terjadi sekarang, benar kata ibu bayi ini nyawa mereka dalam bahaya jika tidak segera pergi. 

Wanita tersebut melepaskan jaket di tubuhnya dengan cepat dan digunakan untuk membalut tubuh sang bayi. "Sstt, tenanglah, Sayang! Jangan menangis! Kita harus segera pergi dari sini." 

Mereka harus segera melarikan diri, tetapi tak mungkin berlari dengan membiarkan bayi ini kedinginan tanpa pakaian. Itulah sebabnya Gracia menggunakan jaketnya sebagai alternatif. 

Setelah siap mereka pun segera berlari, menjauh dari kegelapan menyusuri gang-gang kecil, Gracia berlari sambil mendekap erat bayi itu dalam pelukannya.  Dia terus melangkah mencoba mencari tempat yang ramai untuk menyamarkan keberadaannya. 

Sayangnya, suara tembakan melesat tepat di dinding sampingnya membuat Gracia mengumpat kesal. "Sial!" 

Mereka berhasil menyusul di belakangnya dengan menodongkan senjata api yang terus mengarah kepadanya. "Hei berhenti!" 

Segerombolan orang itu terus mengejar langkah Gracia, hingga membuat wanita tersebut selalu berbelok di gang lain demi menghindari tembakan yang bertubi-tubi melesat ke arahnya. 

Wanita tersebut terus berlari dengan napas yang terengah-engah. Beruntungnya sang bayi seperti mengetahui jika nyawa mereka sedang dalam bahaya sehingga dia terdiam dan tidak menangis lagi. 

"Hei berhenti!" Suara teriakan dan juga tembakan mereka dari belakang tak membuat Gracia menghentikan langkahnya. 

Baginya melarikan diri dari kejaran orang-orang seperti itu sangatlah mudah. Beruntung selama ini Gracia selalu kabur dari kawalan anak buah ayahnya sehingga kemampuan tersebut bisa digunakan di saat genting seperti sekarang.

"Tenang, Sayang. Kita tidak akan mati saat ini." Gracia terus berlari sambil menendang tong sampah untuk menghalangi langkah mereka dan menggunakan barang apapun demi menghalau musuh di belakang. 

Hingga tak lama kemudian gadis itu berbelok ke kanan dan melihat sebuah mobil terparkir dengan pengemudi yang sedang keluar menuju minimarket 24 jam di depannya.

Secepat kilat Gracia memasuki mobil tersebut melalui bagasi belakang tanpa memerhatikan apakah ada orang di dalamnya atau tidak. Dia hanya berharap sang bayi tak mengeluarkan suara yang bisa mengundang perhatian. 

Gracia meringkuk di dalam bagasi sambil memeluk bayinya dan menutup mulut dengan tangan. Terdengar langkah kaki beberapa orang berlari di sekitar mobil tersebut. 

"Sial ke mana wanita itu pergi!" Salah seorang pria yang mengejarnya mengumpat kesal di kala tidak menemukan target mereka. 

Sementara itu, sang pengemudi mobil yang selesai membeli beberapa keperluan lantas mulai memasuki kendaraannya. 

"Ini, Bos." Seorang pria memberikan sebotol mineral kepada sang tuan di kursi belakang. 

Hal tersebut membuat Gracia membelalakkan mata dan berharap agar mereka tidak menyadari kehadirannya. Wanita tersebut merasakan seperti sedang spot jantung kali ini akibat detaknya yang begitu cepat tak terkendali. 

Dia berharap agar Dewi Fortuna mau membantu mereka melarikan diri dari kejaran orang-orang itu sekarang. 

"Jalan!" Suara bariton seorang pria di kursi belakang membuat Gracia bernapas lega, akhirnya mobil bergerak dan dia bisa melarikan diri dengan mudah. 

Beberapa saat kemudian, mobil itu pun berhenti lagi. "Kau sudah aman. Keluarlah!" ujar Jayden santai dengan posisi masih seperti semula.

Apa dia menyadari kehadiranku? pikir Gracia. 

Akan tetapi bukan itu yang terpenting saat ini. "Terima kasih." Gracia langsung keluar dari tempat persembunyiannya dan kembali menelusuri jalanan untuk mencari penginapan. 

Sementara itu, di dalam mobil Steven membelalakkan mata melihat ada penumpang tak terduga di kendaraan tuannya. 

"Bos, itu tadi."

"Biarkan saja, dia hanya perlu tumpangan sebentar. Ayo jalan! Nenek bisa mengoceh jika kita terlambat datang ke acara ulang tahunnya." 

"Baik, Bos." 

Pria tersebut adalah Jayden Bannerick, putra pertama dari kembar tiga keluarga Bannerick. Salah satu keluarga konglomerat di negara ini dengan aset yang cukup melimpah. Ayahnya Nicholas Bannerick adalah pewaris tunggal Bannerick Group dan ibunya Jesslyn Light juga merupakan orang yang berpengaruh di dunia mafia dan memiliki sejumlah bisnis bernilai fantastis tak kalah dari keluarga sang ayah. Jadi, semua kekayaan itu tentu saja menurun kepada anak-anaknya menjadikan mereka crazy rich sejak masih dalam kandungan.

Jayden merupakan seorang pria dengan sejuta pesona yang membuat wanita akan bertekuk lutut di hadapannya. Akan tetapi, tidak ada satu pun perempuan berhasil menarik perhatiannya apalagi menggapainya. 

Bukan karena seleranya yang tinggi, tidak juga disebabkan trauma patah hati, tetapi dia lebih menyadari kondisinya sendiri. Bagi Jayden bukan hal sulit untuk memiliki istri dengan kekayaan seperti ini. Namun, masalah kejantanan adalah hal berbeda. Dia tidak ingin orang lain tahu kekurangannya, bahkan saat ini hanya dokter spesialis dan juga asistennya Steven yang mengetahui hal itu. 

Di usianya yang menginjak 27 tahun, Jayden bahkan tak pernah sekalipun berpacaran. Ibu dan Ayahnya tak pernah menuntut Jayden untuk urusan kekasih ataupun istri, tetapi malah sang nenek yang terus mengoceh mengkhawatirkannya. Baginya hal terpenting saat ini adalah menyembuhkan lemah syahwatnya terlebih dahulu, baru setelah itu mencari istri.

Beberapa saat kemudian, mobil mulai terparkir di kediaman sang nenek. Jayden turun dengan membawa sebuah paper bag berisikan hadiah untuk neneknya itu. 

"Aku datang," ucapnya seraya melangkah ke dalam kediaman sederhana, tetapi asri tersebut. 

Terlihat seluruh keluarga besar sudah berkumpul di sana termasuk kedua adiknya Jonathan, serta Jessica dan suaminya. 

"Yak bocah tengik! Kenapa kau selalu terlambat datang di acara ulang tahunku? Apa kau mau membuatku mati karena terlalu lama menunggumu?" Nenek Laura langsung menyambutnya dengan wajah tua, tetapi masih memiliki stamina lebih jika digunakan oleh berceloteh ria kepada cucu-cucunya, membuat suasana selalu ceria. 

"Maaf, Nek. Aku harus menemui meninjau proyek dulu tadi!" ucapnya seraya memeluk tubuh sang nenek, lalu memerlihatkan paper bag di tangannya. "Lihat apa yang kau bawa!" 

"Cih, untuk wanita tua sepertiku hadiah seperti itu tak lagi menarik. Mana kekasihmu?" Wanita tua itu memukul dada bidang cucunya dengan cukup keras. 

"Apa salah dan dosaku ini, Tuhan? Kenapa tidak memiliki cucu yang membuatku pusing dengan kelakuan mereka?" Wanita itu lantas melangkah menuju meja makan karena semua orang sudah berada di sana sambil terus menggerutu. "Seandainya saja ada wanita yang datang kemari dengan membawa bocah lucu untuk meminta pertanggungjawaban kalian. Hah, baru membayangkannya saja sudah membuat hatiku bahagia. Sialnya aku, memiliki cucu yang baik seperti kalian." 

"Nenek sepertinya aku gay."

Pengakuan Jonathan berhasil membuat semua orang melongo menatapnya. Nenek Laura bahkan menjatuhkan sendok yang baru saja dia pegang, sedangkan Jayden langsung tersedak air minumnya. Apa dia dan sang adik sungguh pria penyuka sesama jenis?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status