Masuk“Siska?!”
Andini panik mendengar nama sahabatnya itu disebut. Dia sedikit menurunkan tubuhnya ke bawah agar tidak terlihat. ‘Mati aku! Semoga aja Siska nggak tau kalau aku cuma pura-pura keseleo!’ Sementara itu Satria tersenyum senang. “Tumben banget anak Ayah mau ke kantor?” Dia membuka lebar kedua tangannya, menanti pelukan dari sang putri. Siska terkekeh. Kemudian matanya menangkap benda yang dipegang sang ayah. “Ngapain bawa-bawa es, Yah?” ‘Sial! Mati aku! Mati aku!’ Andini merutuk dalam hati. Kini ia tidak tahu wajah seperti apa yang harus ia tunjukkan di depan Siska. “Andini mendapatkan kecelakaan kecil. Ayah mau kompres kakinya.” Karena namanya sudah disebut, Andini mau tak mau muncul dari balik sofa. Wajahnya meringis. Tidak tersenyum, tidak juga kesakitan. Dia mengangkat tangan seolah melambaikannya ke arah Siska. “Hai, Sis!” “Astaga!” pekik Siska sambil berjalan cepat mendekati Andini. “Makanya pesan gue nggak ada yang dibalas. Ternyata lu sakit, An?! Andini masih meringis. Pura-pura menahan sakit sambil memegangi kakinya. Wajah Siska terlihat khawatir. Ia pun menuduh satria, “Ayah! Ini pasti gara-gara Ayah kasih kerjaan berat ke Andini!” “Nggak, Sis! Nggak gitu!” Andini membela Satria. “Gue cuma nggak biasa pakai heels ini. Jadi keseleo. Untung ada Ayah lu yang nolongin.” Andini menunjuk sepatu heels yang dijadikan kambing hitam olehnya. “Ugh! Belain Ayah terus, lu mah!” keluh Siska, membuat jantung Andini hampir copot. Andini sudah panik, takut kalau-kalau Siska menyadari perasaan Andini pada Ayahnya itu. Ia baru akan menjelaskan, tetapi Siska sudah melanjutkan ucapannya. “Mentang-mentang Ayah bos lu, ya? Jadi dibelain terus!” keluh Siska lagi. “Nggak usah takut sama Ayah! Kalau Ayah bikin susah, bilang aja ke gue!” Satria tergelak mendengarnya. “Sudah, sudah! Ini, kamu tolong bantuin kompres kaki Andini, ya sayang!” “Oke, Yah!” Siska segera mengambil es batu dari tangan ayahnya dan berjalan menuju sisi sofa di mana kaki Andini terbujur. Sementara itu, Andini diam-diam menghela napas lega. Ia tidak menyangka, bisa lepas dari keadaan pelik barusan. ‘Aku mesti hati-hati lagi. Kaget juga anak ini malah ke kantor.’ batin Andini. “Kaki yang mana, An?” tanya Siska bersiap menempelkan benda dingin itu. “Kanan, Sis,” jawab Andini. “Maaf ya, gue jadi ngerepotin.” “Hush! Apaan deh!” Siska merengut, tidak menerima permintaan maaf Andini. “Sahabat tuh ya emang begini, kan! Lagian, lu juga kan sering banget jagain gue kalo pingsan.” Andini terkekeh. Ia baru saja membahas itu dengan Satria tadi. “Iya, iya. Thanks, Sis!” “Nah, gitu dong!” Siska tersenyum lebar. “Ngomong-ngomong, kok lo bisa keseleo sih? Kebanyakan mikir cowok ganteng lo ya!” Mendengar percakapan mereka, Satria hanya bisa menggelengkan kepala. ‘Dasar anak-anak muda sekarang. Obrolannya pasti cowok ganteng ala k-pop.’ “Nggak! Tadi tuh gue salah langkah kayaknya.” Andini mencoba menjelaskan. “Yang bener?” Siska meledek. “Jangan-jangan lu udah ketemu Dion! Terus kesengsem sama dia!” “Dion?” Dahi Andini berkerut. “Siapa?” “Ah!” Satria angkat bicara. “Dion sedang dinas luar 3 bulan ini. Makanya Andini pasti belum ketemu dia. Dia CEO di sini, An. Kamu harus ingat-ingat.” “Oh! Astaga! Pak Dion!” Andini mulai ingat. “Iya saya sempat dengar Mbak Dila sebut namanya. Cuma nggak tahu kalau Siska juga kenal.” Siska mengangkat kedua bahunya. “Nggak kenal yang gimana sih, cuma pernah ketemu beberapa kali waktu ada acara. Dia kan anak temennya Ayah.” Andini mengangguk paham. Kemudian Siska menambahkan, “Berarti beneran nih! Habis ini mesti cari sepatu! Biar nggak keseleo lagi!” “Astaga! Nggak usah, Sis!” tolak Andini. Andini jadi semakin merasa bersalah karena dia hanya pura-pura. Namun, penolakannya tidak diterima. “Wajib!” tukas Siska sambil bersedekap. “Jangan sampai kaki lu makin parah!” Andini kehabisan alasan. Ia pun menurut. “Kamu carikan saja di toko online, sayang.” Satria mengusulkan, “Nanti Ayah transfer.” “Jangan, Om—eh Pak! Nanti saya saja yang—” “Andini, rezeki itu nggak boleh ditolak!” Siska nyengir lebar. Kemudian ia berpaling ke arah sang ayah, “Sekalian aku kembaran tas sama Andini ya, Yah!” “Hahaha! Dasar kamu! Pintar banget cari kesempatan!” tegur Satria jenaka. “Ya udah, yang penting harganya masih dalam batas normal. Jangan sampai, Ayah harus jual rumah untuk bayar!” Siska tergelak. “Iya, iya! Siap, Ayahanda!” Sementara Andini belum bisa banyak bergerak, Satria memutuskan untuk memberitahu staf sekretaris di luar. “Dila, Andini keseleo barusan. Kalau ada yang cari dia, suruh ke ruangan ini ya.” “Baik, Pak. Siap!” Mendengar itu, rasa bersalah Andini semakin menumpuk. ‘Aku harus belikan camilan buat Mbak Dila besok! Gara-gara ini, dia pasti sendirian ngerjain kerjaan di luar.’ Beberapa saat kemudian, Andini memutuskan untuk menyudahi rasa sakit yang tidak pernah ada itu. “Kayaknya udah mendingan.” Andini menurunkan kakinya perlahan. “Gue balik kerja dulu, Sis. Nggak enak sama Mbak Dila.” “Serius? Jangan dipaksain, An!” Siska menatap Andini dengan khawatir. “Iya, udah nggak apa-apa.” Andini tersenyum singkat. “Paling nanti di depan gue ganti sendal jepit aja.” Siskapun tak bisa menahan Andini lagi. “Ya udah, deh. Nanti kita pulang bareng ya!” Andini mengangguk. “Oke!” Setelah pamit pada Satria, Andini segera keluar dengan langkah yang pura-pura tertatih. Baru saja ia akan menarik kenop, pintu sudah terbuka dan menghantam keningnya. “Astaga!” “Andini!”"Siska?" gumam Andini. Andini melihat ke arah pintu dan kembali menatap Satria. "Dia pasti nyari Om untuk ngajak sarapan." gumamnya lagi. Andini segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah meja rias untuk merapikan pakaian dan wajahnya.'Aku harus tenang. Siska nggak boleh tau apa yang udah aku dan Satria lakukan tadi.' batin Andini. "Ayah... " panggil Siska lagi dengan nada manja seperti biasanya. Namun, kali ini bukan hanya panggilan, ia juga mengetuk dan menekan kenop pintu kamar Satria untuk membukanya.Andini yang sadar akan hal tersebut berjalan cepat menuju pintu untuk membukanya lebih dulu. Setelah pintu terbuka, Siska yang melihat Andini ada di kamar Ayahnya terdiam. Dia bingung kenapa ada Andini di dalam kamar Ayahnya."Kok lo ada di kamar Ayah?" tanya Siska dengan kening berkerut. "Ta—tadi Om ke dapur, Sis. Dia mabuk! Jadi, gue bantu Om masuk ke dalam kamar." Andini menjelaskan. Andini yang sedari tadi memutar otak untuk mencari alasan akhirnya bicara. Di
"Om?!"Seketika Andini berbalik. Terkejut melihat Satria lah yang memeluknya. "Om mabuk?!" tanya Andini lagi sambil memegangi Satria yang sedikit limbung. Namun Satria tidak menjawabnya. Dia malah memandangi wajah Andini. "Kamu tumbuh jadi cantik, Andini!" ucap Satria. Pria mabuk itu tersenyum sambil menyentuh pipi Andini dengan lembut. Wajah Andini memerah. Tidak disangka, akhirnya dia mendapat pujian dari Satria. Walau dalam kondisi setengah sadar. Entah apa dia akan ingat atau tidak ketika sadar nanti.Sepertinya lelaki paruh baya itu tidak pulang semalaman dan sekarang datang dalam kondisi mabuk. "Kayaknya Om butuh istirahat deh! Aku bantu ke kamar ya?"Satria mengangguk. Ia merangkul bahu Andini, sementara melangkah menuju ke kamar Satria.Sama seperti semalam, aroma maskulin kembali masuk ke dalam indra penciumannya. Dia membantu membukakan sepatu yang Satria gunakan dan menaruhnya di pinggir tempat tidur. "Om kenapa sih?” tanya Andini, berharap Satria menjawab. “Kok mab
"Cukup, Sis!" tegas Satria masih dengan suara berbisik. Namun, Siska tidak mau kalah. “Aku butuh sosok Ibu. Yang seperti Andini, Yah." Siska sedikit menurunkan volume suara. Tidak mau Andini mendengarnya. Satria menghela napas. "Kamu tau kan pekerjaan Ayah sangat padat! Ayah nggak ada waktu berurusan sama perempuan. Apalagi cari Ibu untuk kamu, Siska." bisik Satria, nyaris tak terdengar. Andini yang sedari tadi mendengar percakapan mereka tersenyum tipis. 'Lagi-lagi percakapan itu! Bosen banget gue dengernya!' Andini berdecak pelan. 'Lagian Siska ada aja sih! Nyuruh Om Satria nyari yang kayak gue! Padahal, gue juga mau kok jadi Ibunya!' Namun, harapan Andini langsung pudar mengingat sikap Satria padanya. ‘Lihat gue telanjang tadi aja, Om Satria nggak gugup. Dia pasti mikir gue masih bocil!’ Andini menghembuskan napas panjang dan lama. ‘Mana mau Om Satria sama gue!' Tanpa sadar, raut wajah Andini berubah muram."Lo kenapa An?"Andini tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, gue cuma ng
"Uwah! Om jangan lihat!" Andini berteriak berjongkok, seraya menutupi tubuh dengan kedua tangannya. Ia terlalu jauh dengan kamar mandi dan juga kasur, untuk menggapai sesuatu demi menutupi tubuhnya. "Ng—nggak! Om nggak lihat!“ Berjalan menyamping, Satria mengambil selimut dan melemparkannya kepada Andini. “Pakai ini, An!" Andini pun segera bergerak mengambil selimut itu dan berlari menuju belakang punggung Satria seperti anak kecil. Barulah Satria bisa bertanya, "Ada apa, An? Kenapa kamu teriak panik begitu?" "I—itu ... Om." Sambil bersembunyi di balik tubuh Satria, Andini menunjuk ke pojok kamar mandi. Di sana ada hewan yang sangat menjijikkan bagi Andini. Kecoa! 'Ih! Aku paling takut kalau dia udah terbang!' batin Andini. Satria pun melihat serangga yang memang paling dibenci Andini. Sejak kecil, ia juga yang akan langsung mengambil sapu lidi untuk mengusir kecoa. Tak disadari, Satria terkekeh mengingat masa kecil Andini. Andini baru saja akan bertanya kenapa Sa
‘Ugh! Tapi kayaknya nggak bakal kurestuin ah! Dia kayaknya playboy!’ Siska melanjutkan pemikirannya. Setelah beberapa saat mendengarkan obrolan kedua pemegang jabatan tinggi itu, Siska mulai bosan dan jengah. “Yah, udah kelar belum?” tanya Siska sedikit merengek. “Takut Andini nungguin.” Dan lagi, ia semakin malas mendengar Dion bicara. Satria pun menurut kali ini. Ia juga sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama putrinya. "Saya rasa pembahasan kita sudah cukup sampai di sini, Dion. Mengenai target bulan ini dan selanjutnya, saya harap kita bisa mencapainya." "Iya Pak. Kalau begitu, saya izin undur diri." Satria mengangguk sementara Dion membereskan beberapa dokumen yang dia bawa, kemudian pergi dari ruangan itu. Siska berjalan menghampiri Satria dan menaruh lengan di pundak Ayahnya. "Ayo, Ayah …," rengek Siska lagi. Satria mengerutkan kening. "Sayang,lain kali, kamu tidak boleh seperti itu! Ayah kan sedang kerja! Dan kamu tau, Ayah selalu tau waktu! Ayah tidak mau ba
"Aduh!" Andini meringis dan memegang keningnya yang memerah. "Maaf! Saya nggak sengaja. Kamu nggak apa-apa?!"Dion berjalan mendekat dan mencoba menyentuh keningnya. Namun dengan cepat Andini menepisnya. 'Nggak apa-apa, apanya?!’ batin Andini sambil menatap galak ke arah Dion. ‘Bener-bener ya ini orang! Nggak bisa ketuk pintu dulu apa sebelum masuk? Bikin gue malu aja di depan Satria!' Siska mempercepat langkahnya, menghampiri Andini. Karena sudah ditolong putrinya, Satria memutuskan untuk memperhatikan dari balik meja. "Lo nggak apa-apa An?" ucap Siska khawatir. "Bisa-bisanya sih lo kecelakaan sampai dua kali dalam satu hari." Siska memegang kening Andini dengan tangan kanannya. Andini yang tadi ingin marah, mengurungkan niatnya. Dia sadar kalau Satria sedang memperhatikan dari jauh. "Nggak apa-apa Sis! Tenang! Cuma sedikit perih aja kok!" Andini nyengir. "Udahlah, mending kita pulang aja yuk! Daripada lo kenapa-kenapa lagi! Udah sore juga kan!"Andini melihat jam di perge







