Masuk"Astaga!"
Dia terkejut dengan apa yang sudah dipegang dan diremasnya tadi. Ternyata tangannya mendarat mulus di dada Andini. Spontan Satria menarik tangannya lagi. "Maaf, An! Saya benar-benar tidak sengaja!" "Nggak apa-apa Pak!" ucap Andini tersipu malu. Wajahnya memerah. Ada desiran aneh yang menjalar dari tubuh Andini. Remasan lembut tangan Satria masih terasa di dadanya. Andini pun bergegas menaruh gelas air hangat itu di meja, di samping Satria. "Terima kasih An." ucap Satria sambil meraih ke arah yang benar. Sementara Andini kembali ke pantri untuk mengelap air yang ia tumpahkan tadi. Satria kembali mengamati tangan yang tadi menyentuh dada Andini. Pikirannya berkelana. 'Pertumbuhan anak jaman sekarang, pesat sekali rupanya.' Tanpa sadar Satria terkekeh singkat. Walau pelan, Andini menangkap suara itu. Ia menoleh dan bertanya dengan dahi mengernyit, "Kenapa Pak?" "Nggak apa-apa, An." Netra Andini tak lepas mengamati Satria. 'Andai dia benar-benar bisa menjadi suamiku seperti bayanganku tadi, aku pasti akan sangat bahagia!' batin Andini penuh harap. Detik berikutnya, Andini menggelengkan kepalanya cepat. 'Tapi sepertinya itu nggak mungkin terjadi.' Andini seolah dibawa kembali ke kenyataan. 'Sejak dulu, Om Satria selalu menganggapku anak kecil. Dia nggak akan pernah tertarik padaku.' Lagi-lagi Andini menggelengkan kepala, menampar diri sendiri dalam pikirannya. 'Sadarlah Andini! Satria hanya tidak sengaja meremas ... dada!' Melihat Andini masih di ruangannya, Satria bingung. 'Apa harus kuberitahu kalau tugasnya sudah selesai?' Dengan pikiran itu, Satria pun berkata, "Kamu sudah bisa kembali ke mejamu, An! Terima kasih, untuk pijatannya." Karena canggung tetapi belum ingin pergi dari ruangan, Andini berjalan menghampiri Satria. Ia mencari alasan untuk berada di sana sedikit lebih lama lagi. Jadi, ia bermaksud membersihkan sampah plastik bekas obat yang masih berserakan di atas meja. Ia juga mengambil gelas bekas air hangat tadi dan mengembalikannya ke meja pantri. "Erm... sa-saya beresin ini dulu, Pak!" Andini beralasan. Dahi Satria berkerut heran, tapi ia tidak menolak gestur baik dari Andini. "Boleh. Terima kasih!" Padahal Satria sendiri juga bisa melakukannya. Atau ada office boy yang nanti membereskan ruangannya. Diam-diam Andini mengepalkan tangan sambil berteriak dalam hati, 'Yes!' Mulailah Andini merapikan meja Satria. Sepelan mungkin. Ia masih ingin menatap wajah pria yang semakin tua semakin membuat hatinya bergelora. Karena sibuk mencuri pandang ke arah Satria, Andini tidak lihat ada tempat sampah di depannya. Maksud hati ingin berjalan di samping Satria duduk dan mengambil gelas yang ada di sana, kaki Andini malah terserimpet tempat sampah itu. "Oh! Astaga!" Pekikan Andini membuat Satria memutar kursinya dan malah menjadi tempat mendarat yang empuk bagi sang sekretaris magang. Andini kini hampir berpelukan dengan Satria. "Astaga, An! Kamu nggak apa-apa?" tanya Satria. Tangan Satria reflek menahan pinggul Andini, agar gadis itu tidak sampai bersentuhan dengannya. Karena terjadi begitu tiba-tiba, Satria jadi tidak tahu harus melakukan apa. Ia takut kalau dilepas, Andini akan jatuh. "An, kamu bisa pegangan meja, nggak?" Andini menatap meja di depannya dan bermaksud menuruti ucapan Satria. Namun, pikirannya menimbang ulang. 'Aku pura-pura jatuh aja ah!' Andini tersenyum licik. Senyumnya benar-benar tak terlihat oleh Satria. Andini mengulurkan tangannya seolah bergerak untuk berpegangan pada meja kerja, kemudian berpura-pura kehilangan keseimbangannya lagi. Rencananya sukses! Kini Andini sudah berada tepat di pangkuan Satria. "Aduduh! Kaki aku kayaknya keseleo!" gumam Andini, pura-pura kesakitan. "Aduh, Om-eh Pak-" "Astaga! Kamu bisa jalan nggak?!" tanya Satria panik. Andini menggeleng, kemudian merengek, "Kayaknya musti dikompres deh Pak...." Satria mengangguk, setuju. "Biar saya papah kamu jalan ke sofa." Agak kesulitan, Satria berpikir sejenak. Bagian mana yang boleh dan tidak boleh ia sentuh. Kedewasaan Andini membuatnya tak bisa lagi sembarang memegang. Melihat Satria yang kebingungan, Andini pun memberi saran. "Om-eh! Pak, saya pegangan di pundak Pak Satria aja." Satria membayangkan ucapan Andini dan mengangguk lagi. "Benar juga. Sebentar saya berdiri." Dengan perlahan Satria mendorong tubuh Andini untuk ikut berdiri. Sementara Andini, mencari celah untuk melingkarkan tangannya di leher Satria. Setidaknya itulah yang dia maksud dengan berpegangan pada pundak Satria. Kali ini Andini benar-benar hampir terjatuh. Ia terlalu fokus mencari celah sampai tak sadar kalau ia harus segera menapak di lantai. Hasilnya, Satria harus menahan tubuh Andini, seperti pasangan yang sedang mengakhiri sebuah gerakan dansa. "Oh my!" Andini tak sengaja bergumam. Ia kembali terpesona dengan kegagahan Satria. Ditambah lagi, menatap wajah Satria dari bawah memiliki pesonanya sendiri. "Saya rasa kamu harus digendong, An." Satria memutuskan. "Saya izin ya." "Ah!" Dengan sekali gerakan, Satria sudah menempatkan Andini di atas lengannya. Segera ia menurunkan Andini di sofa terdekat dan berjalan menuju lemari es pribadinya. Namun, baru saja Satria berniat kembali ke sofa, pintu ruangannya terbuka begitu saja. Seorang gadis muda berparas mirip seperti Satria berseru bahagia. "Aku datang!""Siska?" gumam Andini. Andini melihat ke arah pintu dan kembali menatap Satria. "Dia pasti nyari Om untuk ngajak sarapan." gumamnya lagi. Andini segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah meja rias untuk merapikan pakaian dan wajahnya.'Aku harus tenang. Siska nggak boleh tau apa yang udah aku dan Satria lakukan tadi.' batin Andini. "Ayah... " panggil Siska lagi dengan nada manja seperti biasanya. Namun, kali ini bukan hanya panggilan, ia juga mengetuk dan menekan kenop pintu kamar Satria untuk membukanya.Andini yang sadar akan hal tersebut berjalan cepat menuju pintu untuk membukanya lebih dulu. Setelah pintu terbuka, Siska yang melihat Andini ada di kamar Ayahnya terdiam. Dia bingung kenapa ada Andini di dalam kamar Ayahnya."Kok lo ada di kamar Ayah?" tanya Siska dengan kening berkerut. "Ta—tadi Om ke dapur, Sis. Dia mabuk! Jadi, gue bantu Om masuk ke dalam kamar." Andini menjelaskan. Andini yang sedari tadi memutar otak untuk mencari alasan akhirnya bicara. Di
"Om?!"Seketika Andini berbalik. Terkejut melihat Satria lah yang memeluknya. "Om mabuk?!" tanya Andini lagi sambil memegangi Satria yang sedikit limbung. Namun Satria tidak menjawabnya. Dia malah memandangi wajah Andini. "Kamu tumbuh jadi cantik, Andini!" ucap Satria. Pria mabuk itu tersenyum sambil menyentuh pipi Andini dengan lembut. Wajah Andini memerah. Tidak disangka, akhirnya dia mendapat pujian dari Satria. Walau dalam kondisi setengah sadar. Entah apa dia akan ingat atau tidak ketika sadar nanti.Sepertinya lelaki paruh baya itu tidak pulang semalaman dan sekarang datang dalam kondisi mabuk. "Kayaknya Om butuh istirahat deh! Aku bantu ke kamar ya?"Satria mengangguk. Ia merangkul bahu Andini, sementara melangkah menuju ke kamar Satria.Sama seperti semalam, aroma maskulin kembali masuk ke dalam indra penciumannya. Dia membantu membukakan sepatu yang Satria gunakan dan menaruhnya di pinggir tempat tidur. "Om kenapa sih?” tanya Andini, berharap Satria menjawab. “Kok mab
"Cukup, Sis!" tegas Satria masih dengan suara berbisik. Namun, Siska tidak mau kalah. “Aku butuh sosok Ibu. Yang seperti Andini, Yah." Siska sedikit menurunkan volume suara. Tidak mau Andini mendengarnya. Satria menghela napas. "Kamu tau kan pekerjaan Ayah sangat padat! Ayah nggak ada waktu berurusan sama perempuan. Apalagi cari Ibu untuk kamu, Siska." bisik Satria, nyaris tak terdengar. Andini yang sedari tadi mendengar percakapan mereka tersenyum tipis. 'Lagi-lagi percakapan itu! Bosen banget gue dengernya!' Andini berdecak pelan. 'Lagian Siska ada aja sih! Nyuruh Om Satria nyari yang kayak gue! Padahal, gue juga mau kok jadi Ibunya!' Namun, harapan Andini langsung pudar mengingat sikap Satria padanya. ‘Lihat gue telanjang tadi aja, Om Satria nggak gugup. Dia pasti mikir gue masih bocil!’ Andini menghembuskan napas panjang dan lama. ‘Mana mau Om Satria sama gue!' Tanpa sadar, raut wajah Andini berubah muram."Lo kenapa An?"Andini tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, gue cuma ng
"Uwah! Om jangan lihat!" Andini berteriak berjongkok, seraya menutupi tubuh dengan kedua tangannya. Ia terlalu jauh dengan kamar mandi dan juga kasur, untuk menggapai sesuatu demi menutupi tubuhnya. "Ng—nggak! Om nggak lihat!“ Berjalan menyamping, Satria mengambil selimut dan melemparkannya kepada Andini. “Pakai ini, An!" Andini pun segera bergerak mengambil selimut itu dan berlari menuju belakang punggung Satria seperti anak kecil. Barulah Satria bisa bertanya, "Ada apa, An? Kenapa kamu teriak panik begitu?" "I—itu ... Om." Sambil bersembunyi di balik tubuh Satria, Andini menunjuk ke pojok kamar mandi. Di sana ada hewan yang sangat menjijikkan bagi Andini. Kecoa! 'Ih! Aku paling takut kalau dia udah terbang!' batin Andini. Satria pun melihat serangga yang memang paling dibenci Andini. Sejak kecil, ia juga yang akan langsung mengambil sapu lidi untuk mengusir kecoa. Tak disadari, Satria terkekeh mengingat masa kecil Andini. Andini baru saja akan bertanya kenapa Sa
‘Ugh! Tapi kayaknya nggak bakal kurestuin ah! Dia kayaknya playboy!’ Siska melanjutkan pemikirannya. Setelah beberapa saat mendengarkan obrolan kedua pemegang jabatan tinggi itu, Siska mulai bosan dan jengah. “Yah, udah kelar belum?” tanya Siska sedikit merengek. “Takut Andini nungguin.” Dan lagi, ia semakin malas mendengar Dion bicara. Satria pun menurut kali ini. Ia juga sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama putrinya. "Saya rasa pembahasan kita sudah cukup sampai di sini, Dion. Mengenai target bulan ini dan selanjutnya, saya harap kita bisa mencapainya." "Iya Pak. Kalau begitu, saya izin undur diri." Satria mengangguk sementara Dion membereskan beberapa dokumen yang dia bawa, kemudian pergi dari ruangan itu. Siska berjalan menghampiri Satria dan menaruh lengan di pundak Ayahnya. "Ayo, Ayah …," rengek Siska lagi. Satria mengerutkan kening. "Sayang,lain kali, kamu tidak boleh seperti itu! Ayah kan sedang kerja! Dan kamu tau, Ayah selalu tau waktu! Ayah tidak mau ba
"Aduh!" Andini meringis dan memegang keningnya yang memerah. "Maaf! Saya nggak sengaja. Kamu nggak apa-apa?!"Dion berjalan mendekat dan mencoba menyentuh keningnya. Namun dengan cepat Andini menepisnya. 'Nggak apa-apa, apanya?!’ batin Andini sambil menatap galak ke arah Dion. ‘Bener-bener ya ini orang! Nggak bisa ketuk pintu dulu apa sebelum masuk? Bikin gue malu aja di depan Satria!' Siska mempercepat langkahnya, menghampiri Andini. Karena sudah ditolong putrinya, Satria memutuskan untuk memperhatikan dari balik meja. "Lo nggak apa-apa An?" ucap Siska khawatir. "Bisa-bisanya sih lo kecelakaan sampai dua kali dalam satu hari." Siska memegang kening Andini dengan tangan kanannya. Andini yang tadi ingin marah, mengurungkan niatnya. Dia sadar kalau Satria sedang memperhatikan dari jauh. "Nggak apa-apa Sis! Tenang! Cuma sedikit perih aja kok!" Andini nyengir. "Udahlah, mending kita pulang aja yuk! Daripada lo kenapa-kenapa lagi! Udah sore juga kan!"Andini melihat jam di perge







