เข้าสู่ระบบ‘Ugh! Tapi kayaknya nggak bakal kurestuin ah! Dia kayaknya playboy!’ Siska melanjutkan pemikirannya.
Setelah beberapa saat mendengarkan obrolan kedua pemegang jabatan tinggi itu, Siska mulai bosan dan jengah. “Yah, udah kelar belum?” tanya Siska sedikit merengek. “Takut Andini nungguin.” Dan lagi, ia semakin malas mendengar Dion bicara. Satria pun menurut kali ini. Ia juga sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama putrinya. "Saya rasa pembahasan kita sudah cukup sampai di sini, Dion. Mengenai target bulan ini dan selanjutnya, saya harap kita bisa mencapainya." "Iya Pak. Kalau begitu, saya izin undur diri." Satria mengangguk sementara Dion membereskan beberapa dokumen yang dia bawa, kemudian pergi dari ruangan itu. Siska berjalan menghampiri Satria dan menaruh lengan di pundak Ayahnya. "Ayo, Ayah …," rengek Siska lagi. Satria mengerutkan kening. "Sayang,lain kali, kamu tidak boleh seperti itu! Ayah kan sedang kerja! Dan kamu tau, Ayah selalu tau waktu! Ayah tidak mau bawahan Ayah nanti membicarakan dan beranggapan tidak baik tentang kamu, Sis!" "Iya, maaf Ayah!” bujuk Siska sambil menggenggam tangan Satria dan mengayunnya seperti anak kecil. Lagi, Siska menambahkan keluhannya. “Habis aku kesal sama Dion! Aku kira dia cool tapi ternyata kulkas!" "Hush! Nggak boleh gitu!” tegur Satria. “Bagaimanapun sikap Dion di luar, dia adalah CEO terbaik yang kita miliki." Siska mengerucutkan mulutnya. "Iya ... iya ...." "Ya udah, kamu tunggu sebentar! Ayah mau rapihkan dokumen dan matikan laptop dulu." "Baik Ayah." Siska kembali duduk di sofa, sedangkan Satria mulai bersiap. "Ayo sayang!" "Ayok!" 'Akhirnya setelah sekian lama, aku bisa pulang bareng Ayah.' batin Siska. Putri semata wayang Satria itu tersenyum melihat wajah Ayahnya yang selalu menjadi panutan. Keluar dari ruangan, Siska langsung menghampiri meja Andini. "An, udah selesai belom?" "Udah nih!” Andini mencangklong tasnya, kemudian pamit, "Mba Dila, aku duluan ya!" "Iya, hati-hati ya An!" Dila melambaikan tangan singkat. "Saya juga pulang dulu ya, Dil,” tambah Satria. “Kalau ada sesuatu yang mendesak, kamu bisa segera menghubungi saya seperti biasa." "Baik Pak." “Lho, Om—eh, Pak Satria sudah mau pulang juga?" tanya Andini, ragu. Satria mengangguk sambil menjawab singkat, "Iya!" Mereka pun berjalan beriringan menuju tempat parkir. "Sis, nanti gue bareng mobil lo aja ya!" bisik Andini. "Tumben, biasanya lo lebih seneng naik mobil Ayah!" ledek Siska. Andini nyengir. Biasanya, Andini memang lebih memilih naik mobil Satria daripada Siska. Dengan alasan mobil Satria lebih keren dan dingin. Padahal, tujuan Andini adalah untuk bisa lebih dekat dengan Satria dan mendapatkan kesempatan yang selama ini dia inginkan. Tapi kali ini berbeda, Andini sudah capek berpura-pura. Satria sangat peka, sedangkan Siska tidak. "Lagian, gue nggak bawa mobil An! Tadi ke sini naik taksi online." ucap Siska menjelaskan. Mulut Andini membentuk huruf O. "Nggak apa-apa kan kita naik mobil Ayah?" lanjut Siska lagi. "Ya mau gimana lagi." jawab Andini lemas. "An, lo mau duduk di depan bareng Ayah atau di belakang?" tanya Siska saat mereka sudah sampai di samping mobil Satria. Belum sempat Andini menjawab, Satria sudah mewakili. "Andini di bangku belakang aja, sayang. Kan kakinya sedang sakit. Betul kan, An?" Mau tidak mau, Andini mengangguk. Padahal, dia ingin sekali duduk di samping Satria. Sambil sesekali mengambil kesempatan menyentuh punggung tangannya saat dia sedang mengganti gigi setir mobil, pura-pura mengambil permen atau bahkan tissu. "Nggak apa-apa An?" "Iya, nggak apa-apa." Mereka masuk ke dalam mobil dan Satria mulai mengendarai mobilnya. "An, lo pulang ke rumah gue dulu aja ya! Kaki lo kan lagi sakit." "Nggak usah Sis, gue pulang aja. Kasihan Tante nggak ada yang bantuin untuk jualan besok." Siska menarik nafas dan membuangnya kasar. "Bisa nggak sih lo pikirin diri lo dulu! Lagian kan udah lama banget lo nggak nginep!" bujuk Siska. Dia menatap sambil cemberut ke arah Andini. Andini terkekeh melihat wajah anehnya itu. Ia pun menyerah. "Iya deh, iya!" Sesampainya di rumah Siska. "An, lo mau mandi duluan apa gimana?" "Lo duluan deh Sis. Gue mau nelpon Tante dulu. Mau info kalau gue nginep di sini," jawab Andini tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. "Oke deh." Sudah lama Andini tidak menginap di sini. Tepatnya sejak Satria pergi ke luar negeri. Andini harus fokus membantu Tantenya berjualan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kuliahnya. Karena penghasilan Omnya yang hanya buruh biasa tidak bisa mencukupi kebutuhan mereka. Sejak kepergian orang tuanya yang mendadak, dan usaha mendiang Ayahnya diambil alih Om dari Ayahnya, Andini menggantungkan hidup kepada mereka berdua. Untunglah rumah peninggalan orang tuanya tidak diambil, sehingga mereka masih bisa tinggal di sana. "Gih An, gue udah kelar nih! Gue bantuin Ayah di ruang makan ya," ujar Siska setelah selesai dari kamar mandi. "Oke, oke." Andini menaruh ponselnya di atas nakas, mengambil pakaian yang sudah disiapkan Siska dan bergegas masuk ke kamar mandi. Letak kamar mandi itu ada di dalam kamar Siska. Baru saja Andini membuka baju, tiba-tiba ada sesuatu yang terbang melewatinya. Spontan Andini berteriak sambil keluar dari kamar mandi. “Ah!” “Andini kenapa?!” Tidak disangkanya, yang pertama datang dengan raut panik adalah Satria. Di saat ia tidak mengenakan sehelai bajupun. Spontan Satria menutupi matanya rapat dengan telapak tangan. “Astaga!”"Siska?" gumam Andini. Andini melihat ke arah pintu dan kembali menatap Satria. "Dia pasti nyari Om untuk ngajak sarapan." gumamnya lagi. Andini segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah meja rias untuk merapikan pakaian dan wajahnya.'Aku harus tenang. Siska nggak boleh tau apa yang udah aku dan Satria lakukan tadi.' batin Andini. "Ayah... " panggil Siska lagi dengan nada manja seperti biasanya. Namun, kali ini bukan hanya panggilan, ia juga mengetuk dan menekan kenop pintu kamar Satria untuk membukanya.Andini yang sadar akan hal tersebut berjalan cepat menuju pintu untuk membukanya lebih dulu. Setelah pintu terbuka, Siska yang melihat Andini ada di kamar Ayahnya terdiam. Dia bingung kenapa ada Andini di dalam kamar Ayahnya."Kok lo ada di kamar Ayah?" tanya Siska dengan kening berkerut. "Ta—tadi Om ke dapur, Sis. Dia mabuk! Jadi, gue bantu Om masuk ke dalam kamar." Andini menjelaskan. Andini yang sedari tadi memutar otak untuk mencari alasan akhirnya bicara. Di
"Om?!"Seketika Andini berbalik. Terkejut melihat Satria lah yang memeluknya. "Om mabuk?!" tanya Andini lagi sambil memegangi Satria yang sedikit limbung. Namun Satria tidak menjawabnya. Dia malah memandangi wajah Andini. "Kamu tumbuh jadi cantik, Andini!" ucap Satria. Pria mabuk itu tersenyum sambil menyentuh pipi Andini dengan lembut. Wajah Andini memerah. Tidak disangka, akhirnya dia mendapat pujian dari Satria. Walau dalam kondisi setengah sadar. Entah apa dia akan ingat atau tidak ketika sadar nanti.Sepertinya lelaki paruh baya itu tidak pulang semalaman dan sekarang datang dalam kondisi mabuk. "Kayaknya Om butuh istirahat deh! Aku bantu ke kamar ya?"Satria mengangguk. Ia merangkul bahu Andini, sementara melangkah menuju ke kamar Satria.Sama seperti semalam, aroma maskulin kembali masuk ke dalam indra penciumannya. Dia membantu membukakan sepatu yang Satria gunakan dan menaruhnya di pinggir tempat tidur. "Om kenapa sih?” tanya Andini, berharap Satria menjawab. “Kok mab
"Cukup, Sis!" tegas Satria masih dengan suara berbisik. Namun, Siska tidak mau kalah. “Aku butuh sosok Ibu. Yang seperti Andini, Yah." Siska sedikit menurunkan volume suara. Tidak mau Andini mendengarnya. Satria menghela napas. "Kamu tau kan pekerjaan Ayah sangat padat! Ayah nggak ada waktu berurusan sama perempuan. Apalagi cari Ibu untuk kamu, Siska." bisik Satria, nyaris tak terdengar. Andini yang sedari tadi mendengar percakapan mereka tersenyum tipis. 'Lagi-lagi percakapan itu! Bosen banget gue dengernya!' Andini berdecak pelan. 'Lagian Siska ada aja sih! Nyuruh Om Satria nyari yang kayak gue! Padahal, gue juga mau kok jadi Ibunya!' Namun, harapan Andini langsung pudar mengingat sikap Satria padanya. ‘Lihat gue telanjang tadi aja, Om Satria nggak gugup. Dia pasti mikir gue masih bocil!’ Andini menghembuskan napas panjang dan lama. ‘Mana mau Om Satria sama gue!' Tanpa sadar, raut wajah Andini berubah muram."Lo kenapa An?"Andini tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, gue cuma ng
"Uwah! Om jangan lihat!" Andini berteriak berjongkok, seraya menutupi tubuh dengan kedua tangannya. Ia terlalu jauh dengan kamar mandi dan juga kasur, untuk menggapai sesuatu demi menutupi tubuhnya. "Ng—nggak! Om nggak lihat!“ Berjalan menyamping, Satria mengambil selimut dan melemparkannya kepada Andini. “Pakai ini, An!" Andini pun segera bergerak mengambil selimut itu dan berlari menuju belakang punggung Satria seperti anak kecil. Barulah Satria bisa bertanya, "Ada apa, An? Kenapa kamu teriak panik begitu?" "I—itu ... Om." Sambil bersembunyi di balik tubuh Satria, Andini menunjuk ke pojok kamar mandi. Di sana ada hewan yang sangat menjijikkan bagi Andini. Kecoa! 'Ih! Aku paling takut kalau dia udah terbang!' batin Andini. Satria pun melihat serangga yang memang paling dibenci Andini. Sejak kecil, ia juga yang akan langsung mengambil sapu lidi untuk mengusir kecoa. Tak disadari, Satria terkekeh mengingat masa kecil Andini. Andini baru saja akan bertanya kenapa Sa
‘Ugh! Tapi kayaknya nggak bakal kurestuin ah! Dia kayaknya playboy!’ Siska melanjutkan pemikirannya. Setelah beberapa saat mendengarkan obrolan kedua pemegang jabatan tinggi itu, Siska mulai bosan dan jengah. “Yah, udah kelar belum?” tanya Siska sedikit merengek. “Takut Andini nungguin.” Dan lagi, ia semakin malas mendengar Dion bicara. Satria pun menurut kali ini. Ia juga sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama putrinya. "Saya rasa pembahasan kita sudah cukup sampai di sini, Dion. Mengenai target bulan ini dan selanjutnya, saya harap kita bisa mencapainya." "Iya Pak. Kalau begitu, saya izin undur diri." Satria mengangguk sementara Dion membereskan beberapa dokumen yang dia bawa, kemudian pergi dari ruangan itu. Siska berjalan menghampiri Satria dan menaruh lengan di pundak Ayahnya. "Ayo, Ayah …," rengek Siska lagi. Satria mengerutkan kening. "Sayang,lain kali, kamu tidak boleh seperti itu! Ayah kan sedang kerja! Dan kamu tau, Ayah selalu tau waktu! Ayah tidak mau ba
"Aduh!" Andini meringis dan memegang keningnya yang memerah. "Maaf! Saya nggak sengaja. Kamu nggak apa-apa?!"Dion berjalan mendekat dan mencoba menyentuh keningnya. Namun dengan cepat Andini menepisnya. 'Nggak apa-apa, apanya?!’ batin Andini sambil menatap galak ke arah Dion. ‘Bener-bener ya ini orang! Nggak bisa ketuk pintu dulu apa sebelum masuk? Bikin gue malu aja di depan Satria!' Siska mempercepat langkahnya, menghampiri Andini. Karena sudah ditolong putrinya, Satria memutuskan untuk memperhatikan dari balik meja. "Lo nggak apa-apa An?" ucap Siska khawatir. "Bisa-bisanya sih lo kecelakaan sampai dua kali dalam satu hari." Siska memegang kening Andini dengan tangan kanannya. Andini yang tadi ingin marah, mengurungkan niatnya. Dia sadar kalau Satria sedang memperhatikan dari jauh. "Nggak apa-apa Sis! Tenang! Cuma sedikit perih aja kok!" Andini nyengir. "Udahlah, mending kita pulang aja yuk! Daripada lo kenapa-kenapa lagi! Udah sore juga kan!"Andini melihat jam di perge







