Eliza menguap lebar, rasa kantuk sudah mendominasi pikirannya setelah seharian melayani pelanggan yang membludak. Hari Minggu memang selalu menjadi hari yang sibuk, dan malam ini dia berencana untuk menginap di apartemen Dina, sepupunya.
Sebelum meninggalkan butik, Eliza menelpon Mamanya untuk meminta izin, "Mam, malam ini Eli mau nginap di tempat Dina, boleh ya? Tadi Dina minta bawakan beberapa pakaian ke apartemennya.”
"Baik, nak. Hati-hati di jalan, ya," balas Mama lembut.
Eliza memastikan butiknya sudah rapi, lalu mengambil beberapa pakaian pesanan Dina dan persediaan untuk dirinya sendiri. Selesai itu, ia mampir ke toko roti favorit untuk membeli cemilan untuk mereka berdua. Dalam perjalanan menuju basement, tak sengaja Eliza melihat Kevin juga tengah masuk ke mobilnya.
---
Setiba di basement apartemen, Eliza bertemu lagi dengan Kevin, kali ini di depan lift. Kevin baru saja akan naik ke apartemennya, sementara Eliza hendak menuju unit Dina dan Reno, sepupunya.
"Ehh, Om Kevin!" sapa Eliza ceria saat melihat sosok pria itu di depannya.
Kevin tersenyum, "Hai, tinggal di sini juga?"
"Nggak, Om. Aku cuma mau ketemu kakak," jawab Eliza, mencoba menjawab ringan.
“Hm, kakak… atau ‘kakak’?” pikir Kevin, mencoba menebak-nebak siapa sosok yang hendak ditemui Eliza. Namun, ia hanya menanggapinya dengan anggukan kecil.
Sesaat kemudian, pintu lift berbunyi, keduanya keluar bersamaan menuju lorong yang sama.
"Mau ke unit mana?" tanya Kevin penasaran ketika mereka tiba di lantai yang sama, yang hanya terdiri dari tiga unit, satu miliknya, dan dua lainnya yang berhadapan langsung.
Eliza menunjuk ke salah satu unit di seberang. "Yang di sana, Om."
“Oh, begitu…” jawab Kevin sambil mengangguk. “Oh iya, jangan panggil Om, dong. Berasa tua banget!” protes Kevin, sedikit jengah.
"Hehe, lalu mau dipanggil apa?" goda Eliza sambil meletakkan jarinya di dagu dengan gaya berpikir, lalu berkata iseng, “Uncle Kevin?”
Kevin tertawa kecil dan tanpa berpikir panjang, mencubit pipi Eliza dengan gemas. "Gimana kalau Kak Kevin aja, sama kayak Angel?" balasnya, akhirnya melepaskan cubitan di pipi Eliza.
“Baiklah, Kak Kevin,” Eliza tersenyum kecil, merasa canggung, namun tak menyangka ketika tiba-tiba Kevin mendekat dan mendaratkan kecupan ringan di pipinya.
“K-Kak…?” suara Eliza tercekat, wajahnya merah karena kaget. Ia pun buru-buru melangkah mundur, sementara detak jantungnya terasa kacau balau.
Dalam keadaan syok, Eliza memencet bel apartemen Dina dan Reno. Saat pintu terbuka, Reno, suami Dina, menyambutnya dengan hangat, memberikan cium pipi kanan dan kiri, lalu merangkul bahunya mengajaknya masuk. Melihat pemandangan itu, Kevin merasa cemburu tanpa alasan yang jelas.
"Shit! Kenapa aku berharap lebih?” Kevin berujar pada dirinya sendiri, menarik napas panjang dan melangkah masuk ke apartemennya sendiri, mencoba menekan perasaan aneh yang mengganggu pikirannya.
---
“Kak Reno, Dina!” Eliza menyapa hangat keduanya, langsung mencium pipi Dina, sepupunya.
"Hai, sayang!" sambut Dina sambil memeluk Eliza. “Itu ada roti abon favorit Kak Reno dan kamu. Oh, dan ini pakaian pesanan kamu, beb,” ujar Eliza, menaruh paper bag di meja.
“Ya ampun, kamu tahu aja kesukaan Kakak, ya! Thank you, Eli sayang!” Dina meraih Eliza dengan pelukan lagi.
“Welcome, beb! Aku ke kamar dulu, ya, mau bersih-bersih dulu,” ujar Eliza dengan ekspresi sedikit canggung, masih teringat kejadian di lift tadi.
Sesampainya di kamar tamu, Eliza melemparkan dirinya ke kasur, memegangi pipinya yang sempat dikecup Kevin. “Astaga, apa-apaan tadi? Ngapain coba Kak Kevin pake nyium-nyium segala?!” gerutunya, merasa campur aduk. Setelah beberapa saat menggerutu, akhirnya Eliza berusaha menenangkan diri dan masuk ke kamar mandi, berendam di air hangat untuk menghilangkan rasa penat dan rileks dari kejadian yang mengejutkan.
“Sudah, Eliza…anggap aja cuma kebetulan,” batinnya, berusaha menenangkan diri, meskipun perasaan canggung dan jantungnya yang berdebar belum sepenuhnya hilang.
---
Sementara itu, Kevin tengah bersiap-siap di apartemennya. Setelah seharian mengelilingi mal untuk mengamati kondisi bisnis yang akan ia pimpin, ia memutuskan untuk bertemu dengan sahabat-sahabatnya di klub milik Aldi.
Ponselnya bergetar, menandakan panggilan masuk.
"Bro, aku udah otw ke klub Aldi. Lo jadi ikut, kan?” suara Rikki, salah satu sahabatnya, terdengar di seberang.
"Tentu, Bro. Gue juga baru mau jalan,” balas Kevin, tersenyum kecil sambil memandangi pakaian yang ia kenakan.
Kevin menutup panggilan, mengenakan jaketnya, lalu melangkah keluar dengan perasaan bergejolak. Di satu sisi, ia terganggu oleh pertemuannya dengan Eliza yang entah kenapa meninggalkan kesan mendalam, sementara di sisi lain, ia berusaha menutup perasaan itu dan menganggapnya tak lebih dari sebuah ketertarikan sesaat.
---
Di tengah hiruk-pikuk salah satu klub malam eksklusif di Jakarta, suasana terasa ramai dan penuh gairah. Lampu warna-warni berkedip-kedip diiringi dentuman musik dari DJ, menciptakan suasana semarak. Di berbagai sudut, terlihat pasangan muda saling mendekat, ada yang berdansa dengan menggoda, sementara yang lain bahkan tak segan berbagi ciuman panas di tempat umum. Asap rokok mengepul memenuhi ruangan, berpadu dengan aroma parfum mahal.
Di tengah suasana meriah itu, Kevin melangkah menuju ruangan VVIP. Di sana, sahabat-sahabatnya—Rikki, Leon, dan Aldi—sudah menunggunya. Begitu Kevin masuk, ketiganya menyambut hangat dengan jabat tangan yang erat dan sentuhan bahu, khas pertemuan mereka yang maskulin.
"What's up, bro!" Aldi menyapa dengan semangat. "Akhirnya formasi F4 lengkap lagi! Haha!" kenangnya pada masa-masa SMA mereka.
Dulu, mereka berempat dijuluki "F4," sama seperti kelompok populer dari serial drama. Selain wajah yang rupawan, kulit bersih, dan tubuh atletis, mereka juga berasal dari keluarga terpandang di dunia bisnis Indonesia. Di sekolah, popularitas mereka tak tertandingi.
"Semua baik, Bro!" balas Kevin sambil tersenyum, merasa nyaman bertemu sahabat-sahabatnya setelah sekian lama. Kejadian-kejadian yang mengganggu pikirannya tadi sore perlahan-lahan memudar.
"Mau minum apa, Vin?" tanya Rikki, mempersilakan Kevin.
“Cola aja, Bro, besok hari pertama di kantor,” jawab Kevin tenang, memilih untuk tidak minum alkohol malam itu.
“Oh, berarti lo yang bakal ngurus Mall XXX sekarang, ya?” tanya Leon, tertarik dengan perkembangan terbaru Kevin.
Kevin mengangguk. “Ya, begitu. Bokap minta aku balik ke Jakarta buat handle perusahaan. Katanya sudah mau pensiun.”
"Wah, berarti sekarang bakal sering ketemu si Aldi, nih!” ledek Leon ke arah Aldi, yang mengelola beberapa butik merek ternama di mal yang sama.
Kevin tertawa kecil mendengar itu. "Hmm… jadi si Aldi langsung kontrol ke butiknya sendiri, ya?" tanyanya bercanda, merasa penasaran.
Leon terkekeh. “Iya, soalnya ada gebetan baru di sana. Biasalah, target lagi, nih si Aldi.”
Kevin terdiam sejenak. Pikirannya langsung teringat Eliza, gadis yang tadi siang dilihatnya bersama Aldi.
“Gebetan yang dimaksud itu… Eliza, kan?” batinnya sambil mengamati ekspresi Aldi.
Rikki tertawa mendengar cerita Leon. "Tumben nih, lama amat ngedeketin satu cewek? Biasanya langsung dapat, ya?" ejeknya.
Aldi hanya menggelengkan kepala, tampak kesal karena tak bisa mengelak. “Nih cewek beda, Bro. Barang branded gak mempan, digombalin juga susah. Biasanya kasih barang mewah langsung bisa dibawa ngamar!”
Rikki menimpali dengan tawa. “Makanya susah, karena lo lagi ngejar yang orisinil!”
"Orisinil?" tanya Kevin penasaran, makin ingin tahu siapa yang mereka bicarakan. Dari nada mereka, ia hampir yakin itu adalah Eliza.
“Yoi, Bro! Katanya nih cewek masih perawan. Makanya susah,” jawab Leon sambil menggeleng, merasa Aldi terlalu terobsesi.
Kevin terdiam, mengingat kejadian sore tadi. “Ah, siapa tahu dia cuma jual mahal,” ucap Kevin, berusaha menyembunyikan ketertarikannya yang mulai muncul sejak bertemu Eliza.
Rikki tiba-tiba mengalihkan topik. "By the way, Bro, lo bagaimana dengan Liliana?”
Kevin langsung terdiam, suasananya berubah canggung. Leon, yang tahu bagaimana kejamnya masa lalu Kevin dengan Liliana, segera menyikut Rikki, memberi isyarat untuk diam.
“Mati gue…” batin Rikki, merasa bersalah karena menyinggung topik sensitif.
"Aku cabut dulu, ya," Kevin mendadak berdiri, tak ingin mengingat masa lalunya yang penuh kekecewaan dengan Liliana. Ia tahu, membahas Liliana hanya akan membuka luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Rikki, Aldi, dan Leon saling berpandangan, merasa bersalah.
"Lo sih, Rik, pake nyebut-nyebut Liliana segala!” omel Leon sambil mengusap rambutnya dengan frustasi. Bagaimanapun, ia paling tahu bagaimana Kevin terluka oleh mantan kekasihnya itu.
Liliana, wanita yang Kevin dulu sayangi sepenuh hati dan hormati, akhirnya menghancurkan kepercayaannya. Kevin yang dulu menjaga hubungannya, memastikan mereka tidak melampaui batas, mendapati Liliana ternyata mengkhianatinya demi pria lain. Hubungan yang semula dihiasi komitmen dan rasa hormat hancur berkeping, meninggalkan rasa sakit yang dalam.
Rikki hanya mengangkat bahu dengan ekspresi polos. “Yah, maaf, Bro! Lupa eike,” ucapnya sekenanya, berusaha mencairkan suasana.
Leon dan Aldi saling menatap, lalu memukul bahu Rikki sambil tertawa kecil. Mereka memang kocak, tapi persahabatan ini selalu bisa melengkapi satu sama lain.
Rikki, si cuek dan humoris.
Leon, bijak dan berempati.
Aldi, sang playboy yang penuh pesona.
Kevin, sosok dingin dan pendiam, tapi setia pada sahabat-sahabatnya.
Part 186Edward menurunkan ponselnya, matanya melotot tajam menatap Tian. Rasa takut yang nyata kini menggantikan kesombongannya. Suaranya terdengar berat, penuh kepanikan yang tertahan."Apa yang kau lakukan pada Ayahku?!" teriak Edward, tubuhnya maju satu langkah, tapi nyalinya langsung menciut saat melihat tatapan membunuh dari mata Tian.Tian tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya memiringkan kepala, menyeringai angkuh. "Bukankah kau tadi bilang aku tidak punya hak untuk ikut campur, Edward?" Tian melangkah perlahan, mendekat ke Edward. "Sekarang, kurasa aku sudah memiliki semua hak itu. Ayahmu... ada di tangan orang-orangku."Nita memegang lengan Tian, terkejut dengan pengakuan itu. Tian memang CEO, tapi ia tidak menyangka Tian memiliki jaringan sejauh ini."Kau... kau tidak mungkin!" Edward menggeleng tak percaya, napasnya tersengal-sengal. Ia baru sadar, pria yang ia anggap remeh ini jauh lebih berbahaya dari semua musuh ayahnya."Aku bisa melakukan apa saja, Edward," bisik Ti
Part 185Sontak semua yang ada di ruangan terpusat pada Tian. Wajah Winston tampak tegang, sementara Edward membeku di tempatnya.Nita pun tidak paham apa maksud dari pembicaraan sang kekasih. Ia melihat ponsel Tian, merasa ada yang aneh. "Tian?" gumamnya, penuh tanya.Edward yang tadinya memasang wajah arogan, sempat tersentak dan membeku beberapa detik, hingga kembali ke kesadarannya. Ia menatap Tian dengan mata penuh kebencian dan kebingungan.Tian tersenyum lembut pada Nita, ia mengusap punggung Nita. "Kamu tidak perlu khawatir. Mulai sekarang biar aku yang bereskan cecunguk ini!" katanya, suaranya meyakinkan.Kemudian, Tian melihat ke arah Winston, berjalan mendekat sambil membawa serta Nita yang mengikutinya dari belakang."Ayah," panggil Tian dengan nada hormat. "Kamu tidak perlu khawatir. Sesuai janjiku, biar aku yang mengurusnya." Tian berhenti tepat di depan Winston, menatap ayah kekasihnya itu dengan mata penuh keyakinanWinston tersenyum hangat, sepertinya ia tidak salah m
Akhirnya mereka tiba di depan sebuah gedung yang terbilang mewah, perusahaan milik Winston—ayah Nita. Dari luar saja, ketegangan sudah terasa. Dan benar saja, begitu mereka berada di lobi perusahaan, suasananya terasa begitu mencekam. Para staf hanya bisa berdiri di sudut-sudut ruangan, ketakutan, melihat beberapa petugas dari kantor pajak dan entah dari mana lagi berlalu-lalang, menggeledah setiap meja dan lemari arsip.Nita mengepalkan tangannya. "Sialan Edward!" umpatnya dalam hati."Sebaiknya kita langsung ke ruangan Ayah," usul Tian, matanya mengawasi keadaan sekitar dengan tenang. Ia tidak ingin Nita panik.Nita mengangguk, hatinya terasa sesak. Ia merasakan hawa dingin yang menusuk."Tunjukkan ruangannya, sayang," sambung Tian, tangannya semakin erat menggenggam tangan Nita.Nita membalas genggaman Tian, seolah mencari kekuatan. Mereka berjalan cepat, melewati para staf yang menatap mereka dengan tatapan iba. Nita tahu, ayahnya sedang mengalami kesulitan, dan ini semua karena u
Part 183"Maaf, Tian..." Nita merasa bersalah akan pemikirannya yang picik. Ia yang terbiasa menyelesaikan segala urusannya sendiri pun tidak memikirkan perasaan Tian. Ia selalu berpikir, ia bisa mengatasi semuanya sendirian. Tapi, ia lupa, ia punya Tian sekarang.Tian tersenyum tipis, kelembutannya kembali terpancar di wajahnya. "Bukan masalah, sayang. Sekarang, apa pun yang ada di kehidupan kamu, libatkan aku. Jangan pernah merasa sendiri.""Terima kasih," Nita melingkarkan kedua tangannya di pinggang Tian, masuk ke dalam dekapan pria itu. Menyandarkan kepalanya di dada bidang yang menenangkan. Ia bisa mendengar detak jantung Tian, yang terasa begitu damai.Tian bernapas lega, ia mengusap punggung Nita. "Aku akan selalu ada untukmu, Nita. Kita akan lalui ini bersama. Aku janji.""Hmm, aku percaya Tian," bisik Nita, suaranya mantap. Ia benar-benar yakin dengan pria di depannya ini.Tian mengurai pelukannya, menatap wajah Nita lekat. "Jadi, apa yang dilakukan pria berengsek itu?" tany
Part 182Ia memejamkan mata, menikmati sentuhan lembut yang kini bergerak memainkan klitorisnya. "Ahh, sayang!" desahnya, suaranya parau karena gairah.Tubuhnya bereaksi terlalu kuat terhadap setiap sentuhan Ken. Rubi mendesah tak kuasa, "Sayang...""Iya, sayang?" sahut Ken, suaranya serak, sembari menjilati leher halus Rubi. Ia tahu, istrinya sudah berada di ambang batas.Rubi menahan tangan suaminya yang terus saja memainkan inti tubuhnya. "Tahan, sayang," ucap Rubi mendesis, suaranya penuh permohonan. Tiba-tiba tangannya merambat ke area sensitif suaminya, mengelus kejantanan Ken yang sudah menegang."Ugh, sayang!" Ken menggeram, sorot matanya penuh gairah saat jemari dan tangan lembut Rubi perlahan mengurut kejantanannya.Ken memejamkan mata, membiarkan Rubi mengambil kendali. Rubi, dengan senyum menggoda, membenamkan wajahnya. Membuka mulut dan menjulurkan lidahnya. "Uhm...""Dang! Sayang... Argghhh!" Ken menggeliat, ia menggeram menahan napas. Urat-urat di bagian bawahnya terasa
Part 181Di Paris, pasangan pengantin baru yang seharusnya menikmati bulan madu mereka malah sedang asyik menelpon dengan Margareth. Keduanya, yang tanpa henti saling bercumbu tadi, tertawa keras mendengar cerita yang keluar dari ponsel."Seriously, Mam?" tanya Rubi tidak percaya. Ia memeluk erat Ken, suaminya."Ya, sayang. Mami juga terkejut," balas Margareth dari seberang telepon. "Mereka tidak bisa diam, saling ejek seperti dulu, tapi sekarang ada kata 'sayang' dan 'kamu' di tengah-tengahnya.""Jadi, di mana mereka berdua sekarang?" tanya Ken, yang ikut bergabung dalam percakapan itu. Ia duduk di samping Rubi dan memeluk istrinya."Lagi main rumah-rumahan dengan Celina," jawab Margareth, menahan tawa gelinya.Ken dan Rubi saling melempar pandangan tidak paham. "Maksud Mam?" tanya Ken.Margareth menghela napas, "Yah... mereka sedang gladi menjadi seorang Papa dan Mama."Seketika tawa Ken meledak. "Oh, dang! Seorang Tian? Tian?" Ia menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. "Pria sedin