Rania adalah orang pertama yang membuka matanya pagi itu. Awalnya ia masih tidak ingat apa pun sampai ia menatap langit-langit kamar yang bukan kamarnya.
Sontak ia bangkit duduk. Jantungnya memacu kencang saat menyadari tubuhnya polos, apalagi saat ia menoleh dan mendapati bos suaminya itu masih terlelap di sampingnya sambil bertelanjang dada.
"Ya Tuhan! Ya Tuhan, semoga ini hanya mimpi. Mengapa Elvan begitu tega?" Air matanya menetes cepat, mengaburkan pandangannya.
Dengan panik, Rania turun dari ranjang. Tubuhnya pegal, terutama di bagian pahanya, mengingatkan pada kegilaan semalam yang membuatnya merinding. Dengan tangan gemetar, ia meraih gaun yang tergeletak di kursi, memakainya secepat mungkin, lalu melangkah pergi sebelum pria itu bangun.
Sepanjang perjalanan pulang, air mata Rania tidak pernah berhenti mengalir. Hingga akhirnya ia tiba di rumah dan ia tidak bisa menahan dirinya lagi melihat Elvan di sana.
"Tega kau, Elvan! Kau tega menjualku pada bosmu, hah? Kau bilang aku hanya harus menjadi LC!" Rania mendorong dada Elvan begitu keras sampai Elvan tidak terima.
"Memangnya kenapa? Kau keberatan berkorban demi keluarga kita? Asal kau tahu kalau bosku memberiku banyak sekali uang hanya untuk menidurimu satu malam! Kalau memang ada yang bisa kau lakukan untuk membantu keluarga ini, mengapa kau harus keberatan, hah?"
"Tapi tidak begini caranya! Kau anggap aku wanita apa?"
"Halah! Apa bedanya dengan ditiduri olehku, hah? Lagipula hanya satu kali, jangan berlebihan, Rania!"
Rania menangis makin keras. "Bisa-bisanya kau menganggap semua begitu sepele!" teriak Rania lagi.
Tiba-tiba suara seorang wanita terdengar mendorong pintu rumah yang tidak tertutup rapat itu. Dita, ibu Elvan yang baru berkunjung pun masuk dengan wajah bengisnya.
"Apa-apaan ini? Mengapa begitu ribut? Mengapa kau harus marah-marah pada suamimu?"
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Rania."Ibu ...."
"Jangan kurang ajar pada suamimu, Rania! Kau berteriak dan membentaknya seolah suamimu tidak punya harga diri! Istri macam apa kau ini?"
"Ibu tidak tahu apa yang dia lakukan. Dia ...."
"Apa pun kesalahan suamimu harus kau terima! Dia juga manusia kan? Apa suami tidak boleh berbuat salah? Dasar istri durhaka! Sudah mandul, kau juga melawan suamimu terus!"
"Aku tidak ...."
"Dan baju apa yang kau pakai itu? Ini gaun? Gaun macam apa? Kau seperti wanita penghibur saja! Apa yang kau lakukan dengan gaun itu, hah?" Dita menatap Rania dengan tatapan jijik.
Namun, Elvan langsung menenangkan ibunya itu.
"Ibu, sudah! Rania memang suka begitu, biarkan saja! Sekarang lebih baik kau masuk ke kamar, Rania! Sana masuk!" bentak Elvan.
"Elvan ...."
"Sudah, masuk! Jangan sampai aku menamparmu juga!" Elvan mengangkat tangannya sampai Rania bergidik.
Ia tidak punya pilihan lain dan akhirnya mengurung diri di kamarnya. Rania terus memeluk lututnya sambil tidak berhenti menangis, memikirkan dirinya yang sudah ternoda.
Apa Elvan sudah bosan padanya sampai tega melakukan ini? Rania ingat bagaimana Elvan selalu membandingkannya dengan istri lain.
"Istri yang lain selalu berdandan cantik, bekerja kantoran, atau menjadi sales. Setiap kali lewat, bajunya seksi dan baunya wangi. Mereka juga semuanya menghasilkan uang! Tidak sepertimu yang setiap hari lusuh dan bau dapur, sama sekali tidak becus melakukan apa pun!"
Rania menangis sampai wajahnya terasa tebal dan sembab. Ia tidak keluar kamar lagi, tapi ia lega saat tahu Elvan dan Dita sudah pergi dari sana.
Rania terus menenangkan napasnya dari semua hal yang membelenggu hatinya, dijadikan LC, dijual, dan ditampar. Ia berharap ia bisa segera baik-baik saja. Namun, nasib buruk tampaknya masih betah bermain-main dengannya saat tidak lama kemudian, Rendy, adiknya di kampung meneleponnya.
Rania memang punya satu adik laki-laki yang duduk di kelas 3 SMA dan ibu yang sudah tua serta sakit-sakitan di kampung.
Sebisa mungkin, Rania selalu mengirimkan uang pada keluarganya, walaupun akhir-akhir ini ia tidak pernah lagi melakukannya karena tidak ada uang tersisa.
"Halo?" Rania berusaha membuat suaranya terdengar ceria di depan Rendy.
Namun, suara Rendy yang panik membuatnya ikut panik juga.
"Kak, Ibu! Ibu!"
Jantung Rania memacu kencang. "Ada apa dengan Ibu, Rendy? Katakan ada apa? Jangan membuat Kakak panik!"
"Ibu terkena serangan jantung, Kak. Sekarang sedang ditangani, tapi Ibu dirujuk ke rumah sakit di kota karena harus dioperasi segera untuk menyelamatkan nyawanya."
"Apa? S-serangan jantung? Operasi? Mengapa tiba-tiba? Bukankah kemarin dia tidak apa-apa?"
Rendy pun akhirnya bercerita bahwa sakit jantung ibunya memang makin parah akhir-akhir ini, ibunya itu sering sesak napas berat, tapi ibunya meminta Rendy merahasiakan dari Rania karena tidak mau membuat Rania cemas.
Selain itu, Rania juga tidak pernah mengirim uang lagi yang itu berarti Rania juga sedang susah. Ibu Rania tidak mau merepotkan anaknya di kota.
Sungguh, cerita Rendy membuat Rania makin merasa bersalah. Apalagi di saat sedang sakit pun, ibunya masih memikirkannya. Tidak jarang saat ada orang kampung yang pergi ke kota, ibunya akan menitipkan makanan untuk Rania.
"Ibu akan dibawa dengan ambulans, Kak. Tapi biaya operasinya ... apa Kak Elvan bisa membantu, Kak?"
Tatapan Rania kembali goyah memikirkan semuanya. Bagaimana caranya bertanya pada Elvan di saat seperti ini?
"Kak! Kak!" Suara Rendy kembali terdengar.
"Ah, iya, Rendy?"
"Bagaimana? Kami harus segera berangkat ke kota, tidak ada pilihan lain, Kak. Atau aku akan meminjam uang pada kepala kampung saja?"
"Jangan, Rendy! Jangan kepala kampung. Aku ... bawa dulu saja Ibu ke rumah sakit di kota, lakukan apa saja untuk menyelamatkannya."
"Baik, Kak. Aku mengerti, nanti aku akan meneleponmu lagi."
Rania mengangguk dan terus menatap ibunya itu lewat video dan foto yang Rendy kirim.
Rania menggenggam erat ponselnya dengan tubuh yang mendadak gemetar memikirkan semuanya.
"Ya Tuhan, mengapa mendadak masalah datang begitu beruntun seperti ini. Apa yang harus kulakukan? Dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk operasi Ibu?" gumamnya putus asa.
**"Tidak! Jangan sentuh aku, Kak Rio! Aku bukan wanita murahan!" Rania berteriak dalam tidurnya. Ia mimpi buruk, mimpi akan dilecehkan oleh Rio dan mimpi diusir oleh Dita dan Anggun. Semua kejadian itu berlangsung sangat singkat, tapi sangat mengena di hatinya sampai Rania terus menangis dalam tidurnya. Rania sendiri sudah berbaring di ranjang besar di kamar hotel Lucas dengan Lucas yang duduk di sofa sambil melakukan konferensi bisnis dengan rekanan di luar negeri. Di belahan bumi yang lain, saat ini hari sudah pagi. Karena itu, Lucas masih tetap sibuk bekerja sekalipun malam sudah larut. Lucas sendiri tersentak mendengar Rania berteriak dan ia langsung cemas. "Lakukan sesuai yang kita bicarakan! Kita akhiri dulu rapatnya! Aku tutup dulu! Terima kasih!" Lucas segera menutup laptopnya dan duduk di ranjang di samping Rania yang masih sesenggukan. "Rania, kau kenapa? Kau mimpi buruk? Bangunlah, Rania! Itu hanya mimpi!" "Tidak! Aku tidak pernah menggodanya! Dia yang melecehkan ak
Surya menyetir mobilnya untuk Lucas malam itu dan melaju mengikuti ojek yang mengantar Rania pulang. Cukup lama Rania menunggu ojek di depan hotel sampai akhirnya Surya punya waktu mengintainya dan menyusulnya bersama Lucas yang mendadak sangat penasaran. Lucas tahu hubungan seperti ini seharusnya tidak melibatkan rasa apa pun, tapi Rania adalah wanita pertama yang menjadi simpanannya, wanita pertama yang tidur dengannya lebih dari satu kali. Bahkan setelah tidur dengannya beberapa kali, ajaibnya, Lucas masih menginginkannya. Lucas yang tidak tahan pun akhirnya mengikutinya. Namun, alih-alih hanya mengetahui rumahnya, Lucas malah geram melihat bagaimana Rania diusir dari rumahnya sendiri. Rania pun berakhir dengan melangkah sendirian di tengah hujan. Wanita itu basah seperti tikus got dan Lucas tidak bisa tetap diam. "Kau basah, Rania! Masuklah! Pulanglah bersamaku!" seru Lucas yang sudah membuka pintu mobilnya. Rania tersentak melihat Lucas di sana. Tangisannya makin meledak.
"Apa yang sedang kalian lakukan, hah?"Dita dan Anggun pulang berdua malam itu, sementara Elvan masih melanjutkan acaranya. Mereka pun baru saja masuk ke dalam rumah saat pemandangan yang menyambutnya benar-benar langsung membuat mereka naik darah. "Ya Tuhan, apa ini?" pekik Dita juga. Sontak Rio dan Rania menoleh. Rania pun langsung buru-buru bangkit dari atas Rio. "Ibu? Kak Anggun? Ini tidak seperti yang kau pikirkan, Kak!" seru Rania terbata. "Apanya yang tidak seperti yang aku pikir, hah? Berani sekali kau menggoda suamiku!" Plak!Anggun melangkah cepat dan tanpa basa-basi melayangkan tamparannya.Wajah Rania sampai menoleh saking kerasnya tamparan Anggun. Rania pun memegangi pipinya dan baru saja akan menjelaskan, tapi Rio sudah bangkit dari sofa, menyelanya, sambil berlindung di belakang istrinya. "Benar, Sayang! Rania menggodaku! Dia memang murahan! Dia merayuku dan memintaku membuatnya hamil!" tuduh Rio melindungi dirinya. Dita sampai membelalak mendengarnya. "Dasar me
Rumah Elvan begitu sepi saat Rania pulang malam itu, padahal ia sudah buru-buru pulang sampai tidak sempat ke rumah sakit. Sepertinya semua orang sedang pergi, Rania pun bisa bernapas sedikit lega karena tidak perlu mendengarkan celetukan-celetukan yang menyayat hatinya.Ia pun baru akan membuka pintunya saat tiba-tiba pintu rumah dibuka dari dalam oleh Rio."Akhirnya kau pulang, Rania!""Eh, Kak Rio? Kak Rio ... sendirian?" Rania melongok ke sekeliling rumah yang sepi itu sambil melangkah masuk.Rio pun segera menutup pintunya sambil tersenyum tipis."Seperti yang kau lihat, semua orang sedang pergi.""Apa ... Elvan juga?""Justru dia yang menjadi rajanya malam ini."Rania mengernyit mendengarnya. "Apa maksudnya rajanya?"Rio pun mulai tertawa pelan. "Dia membawa wanita baru untuk dikenalkan pada ibu dan kakaknya, wanita baru yang jauh lebih cantik dan
Jantung Rania masih memacu begitu kencang berada di pelukan Lucas. Pria itu sudah biasa memeluknya bahkan menyentuhnya dengan sangat intim, tapi entah mengapa, rasanya berbeda. Bahkan tanpa ia sadari, Rania membuka bibirnya, mulai mendambakan ciuman pria itu. Namun, tiba-tiba suara Surya terdengar. "Pak Lucas?" Sontak Lucas dan Rania pun menoleh bersamaan. "Para investor menunggu untuk foto bersama." "Ah, baiklah." Lucas pun segera merogoh kantongnya, mengeluarkan kartu kunci kamarnya lalu berbalik ke arah Rania. "Tunggu aku di kamar!" titah Lucas, sebelum pria itu pergi begitu saja. Rania sampai terdiam sejenak sambil menatap kartu kunci kamar Lucas. Jantungnya berdebar lagi karena merasa spesial sampai diberi kunci kamar. Namun, secepat pikiran itu muncul, secepat itu pula pikiran itu pergi. Ia bukan spesial, ia hanya wanita simpanan. Rania tersenyum getir dengan kenyataan itu dan ia pun kembali ke dapur mengambil beberapa dessert yang tersisa untuk dibawa ke kamar Lucas.
Lampu kristal restoran hotel itu bergoyang lembut, memantulkan kilau perak dari gelas-gelas anggur yang tersusun rapi. Aroma daging panggang, saus mentega lemon, dan rempah-rempah Eropa memenuhi udara. Para tamu gala dinner terdiri dari sekitar lima puluh orang investor dan calon mitra bisnis. Mereka duduk anggun di meja-meja bundar berlapis linen putih, berbincang dalam campuran bahasa Inggris dan Indonesia.Lucas berdiri di ujung ruangan dengan jas hitamnya yang begitu gagah melekat di tubuhnya. Ekspresinya tenang dan penuh wibawa, seolah badai yang tadi melanda dapur tidak pernah terjadi."Selamat malam semua! Terima kasih atas kehadirannya dan silakan menikmati hidangan yang kami sajikan!"Makanan utama tersaji sempurna yaitu steak wagyu panggang dengan saus jamur truffle, salmon Norwegia dengan kulit garing, dan risotto saffron yang hangat. Denting alat makan terdengar sopan, diselingi gelak tawa kecil dan percakapan bisnis yang serius.L