Home / Romansa / Sentuhan Panas Editorku / Mantan yang obsesif

Share

Mantan yang obsesif

Author: Risya Petrova
last update Last Updated: 2025-12-12 12:21:47

“Kamu jangan cemas,” ucap Wildan dengan suara pelan dan juga berat, khas suaranya.

Meysa memejamkan matanya. Berpikir Wildan hendak mencium bibirnya.

Tapi ternyata yang ia rasakan adalah sentuhan jari Wildan ke arah bawah matanya. “Ada bulu mata yang jatuh,” ucapnya sembari menunjukkan satu helai bulu mata Meysa yang rontok karena gesekan tangan, saat Meysa mulai menangis tadi.

Meysa semakin terdiam. Sentuhan Wildan yang lembut itu, perhatian yang tulus di matanya, dan alasan Wildan yang mengedepankan keamanan kariernya. Memprioritaskan dirinya, benar-benar menyentuh.

Semua itu membuat hatinya mulai terasa hangat. Dinding-dinding pembatas tak kasat mata yang ia bangun selama ini, perlahan mulai runtuh. Wildan yang dingin, arogan, dan tukang kritik itu ternyata memiliki lapisan perhatian yang sangat manis.

Setelah tanpa sadar mereka saling menatap lekat. Wildan menyadari apa yang ia lakukan. Ia menarik tangannya cepat-cepat, kembali ke mode editor.

“Sudah. Sekarang kita harus kembali
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Risya Petrova
lewat jendela kak, tapi nanti di bab nextnya pas petugas keamanan memeriksa lagi. Dan kalau diceritain kapan masuknya, kelamaan kak. gak jadi kejutan pas Wildan ngintip ...
goodnovel comment avatar
Eti Rachmawati
lawann!!! yg aku heran ko dia bisa masuk? kapan masuknya ya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Sentuhan Panas Editorku   Monas Wildan yang mengeras

    Pukul dua belas tepat, Bi Aam menyelesaikan pekerjaannya. Ia sudah menyiapkan makanan untuk makan siang dan menu makan malam di dalam wadah yang tinggal dihangatkan.“Saya pamit dulu ya, Neng, Aa. Makanan di meja jangan lupa dimakan. Nanti kalau ada apa-apa, Pak Somad dan Pak Asep, juga beberapa temannya yang lain ada di pos depan,” pamit Bi Aam sebelum menghilang di balik pintu.Kini, kesunyian kembali menyelimuti villa. Meysa dan Wildan makan siang dalam diam. Setelah itu, mereka kembali ke rutinitas, bekerja. Meysa melanjutkan Bab 10 yang sempat tertunda, sementara Wildan sibuk mengedit bagian-bagian awal yang dikirim Meysa.Waktu berlalu cepat. Sore berganti malam. Kabut di luar villa mulai menebal, menelan pemandangan pepohonan pinus dan menyisakan kegelapan yang pekat. Suara angin yang bersiul melewati celah-celah lubang angin villa terdengar lebih nyaring malam ini.Meysa duduk di ruang tengah dengan laptop di pangkuannya. Namun, ia tidak bisa fokus. Cerita Bi Aam tadi siang t

  • Sentuhan Panas Editorku   Horor legenda

    Wildan berdiri tegak, tangannya yang tidak terluka mengepal kuat di samping tubuh. Ia memposisikan dirinya tepat di depan pintu, siap menghadapi kemungkinan terburuk jika itu adalah Dimas yang kembali untuk membalas dendam. Meysa mencengkeram ujung kaus Wildan dari belakang, napasnya tertahan.Begitu pintu ditarik terbuka, bukan wajah beringas Dimas yang muncul, melainkan seorang wanita paruh baya berusia sekitar empat puluh lima tahunan. Wanita itu memakai kerudung instan dan membawa tas belanjaan kain yang tampak berat.Wildan mengernyit, otot-otot di wajahnya yang kaku tidak langsung mengendur. Ia tidak mengenali wanita ini.“Ibu siapa ya?” tanya Meysa, yang dengan cepat mengintip dari balik punggung lebar Wildan.Wanita itu tersenyum ramah, matanya yang ramah menyipit membentuk garis-garis halus. “Eh, punten. Nama saya Amiyati, tapi panggil saja Bi Aam. Saya istrinya Pak Somad, petugas keamanan di depan.”Wildan menurunkan tangannya, sedikit rileks namun tetap waspada. “Ada perlu

  • Sentuhan Panas Editorku   Suka tapi gengsi

    Wildan menarik napas panjang, mencoba menstabilkan wajah "kulkas"-nya sebelum menoleh. “Ya? Aku cuma … mengecek jendela. Takut ada serangga masuk, atau mungkin aja Dimas akan balik lagi masuk lewat jendela,” dustanya dengan suara sedingin mungkin, meski tangannya di balik saku celana mengepal gugup.Meysa masih setengah terlelap, tetapi matanya sudah fokus pada Wildan. Ia melihat perban di lengan Wildan dan teringat kejadian semalam. Teringat bagaimana Wildan melindunginya, dan teringat bagaimana Wildan menyebut nama "Fiona" di sela igauannya.“Wildan, tanganmu masih sakit?” tanya Meysa lirih. Ia tidak bangun dari posisi tidurnya, hanya menatap punggung Wildan yang tegap namun tampak lelah.Wildan menoleh sedikit, hanya separuh wajahnya yang terlihat. “Hanya goresan kecil. Kamu pikir aku selemah itu? Tidur lagi sana. Masih pagi. Jangan mulai rese sepagi ini kalau nggak mau drafmu aku coret semua.”Meskipun kata-katanya pedas, Meysa tidak merasa tersinggung. Ia justru merasakan ada ses

  • Sentuhan Panas Editorku   Perhatian

    Suara kicauan burung di balik rimbunnya pohon pinus dan hawa dingin Puncak yang menusuk tulang perlahan menarik Wildan dari alam bawah sadarnya. Ia mengerjapkan mata, menatap langit-langit kamar yang masih remang. Tubuhnya terasa kaku, terutama lengan kirinya yang berdenyut nyeri setiap kali ia bernapas sedikit lebih dalam. Efek jahitan itu benar-benar mengganggu tidurnya.Wildan melirik jam di atas nakas. Baru pukul lima pagi. Karena semalam ia jatuh pingsan karena kelelahan dan juga karena efek obat pereda nyeri. Ia terbangun jauh lebih awal dari biasanya.Namun, hanya butuh satu detik bagi kesadaran Wildan untuk sepenuhnya pulih. Begitu ia teringat kejadian kemarin sore, teror Dimas, pecahnya kaca jendela, dan Meysa yang pingsan, jantungnya mendadak berdegup kencang. Ada perasaan spontan panik yang menyelinap, menggelayuti hatinya seperti kabut tebal di luar villa.Meysa!Wildan beranjak dari ranjang dengan gerakan sedikit ceroboh, membuat lengan kirinya kembali memprotes dengan r

  • Sentuhan Panas Editorku   Wildan mengigau sebuah nama

    Wildan sudah duduk di ranjangnya dan tepat berada di depan cermin, tangan kanannya memegang ujung bawah kausnya, berusaha mengangkatnya tetapi wajahnya meringis menahan sakit saat perban di lengan kirinya ikut tergeser.“Keluar, Meysa,” perintah Wildan, meski suaranya tidak setajam biasanya.“Nggak usah gengsi! Kamu mau lukanya robek lagi? Nanti Pak Adam marah kalau editornya mati kehabisan darah cuma gara-gara mau ganti baju,” balas Meysa sambil mendekat. "Udah, sini aku yang bantuin. Jangan ngeyel-ngeyel amat kalau jadi orang!"Meysa berdiri di depan Wildan. Jarak mereka sangat dekat, hingga Meysa bisa mencium aroma sisa antiseptik bercampur wangi maskulin yang kuat dari tubuh Wildan. Dengan tangan sedikit gemetar, Meysa memegang ujung kaus hitam Wildan.“Angkat sedikit tangan kananmu,” bisik Meysa.Wildan menurut dalam diam. Matanya menatap ke arah lain, menghindari kontak mata dengan Meysa yang kini sangat serius membantunya. Saat kaus itu terangkat melewati kepala, Meysa harus be

  • Sentuhan Panas Editorku   "Sini aku bantuin buka bajumu!"

    Pak Adam berdiri tegak, merapikan kemejanya yang sedikit kusut. Ia menatap Meysa dengan tatapan yang sulit diartikan, perpaduan antara wibawa seorang pemimpin dan kepercayaan diri yang berbatasan dengan kesombongan.“Aku berpengalaman, Meysa. Jangan lupa aku pimpinan PenaKata sekaligus pemiliknya,” ucap Pak Adam tegas, suaranya berat dan tidak menyisakan ruang untuk debat. “Keputusanku sudah bulat. Kalian tetap di sini sampai draf Season 2 selesai. Masalah keamanan, serahkan padaku. Kalian hanya perlu menulis.”Mendengar nada bicara yang seakan tidak bisa dibantah itu, Meysa hanya bisa terdiam. Ia meremas ujung kausnya, pasrah.***Waktu merambat pelan hingga jarum jam hampir menyentuh angka sembilan malam. Pak Adam dan Fiona bersiap untuk pamit. Sebuah mobil mewah sudah menunggu di depan gerbang dengan mesin yang menderu halus. Sang sopir sudah siap duduk di balik kemudi.Saat Pak Adam sibuk memberikan instruksi terakhir pada kepala keamanan yang kini berjaga lima orang di pos depan,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status