Rose dan Arthur sedang duduk berhadapan di ruang makan. Setelah Rose sedikit tenang tadi, Rose dan Arthur pergi ke ruang makan karena sudah waktunya sarapan.
Roti panggang mereka masih utuh, belum tersentuh sama sekali. Mata Rose masih sembab karena menangis. Akhir-akhir ini Rose lebih sering menangis.
“Aku telah jahat sama Papa karena...” ucapan Rose terpotong saat Arthur memegang tangan Rose di atas meja.
“Rose, Aku justru yang sangat bersalah sama kamu. Keadaan yang membuat kita melakukan hal itu.” Tangan Arthur masih memegang tangan Rose.
“Papa, bagaimana jika kita lupakan malam itu?” usul Rose. Matanya menoleh ke arah tangannya yang di genggam oleh Arthur sehingga membuat Arthur langsung melepaskan tangan Rose.
“Baik, kita lupakan malam itu,” ucap Arthur sambil menganggukkan kepala. Rose dan Arthur sepakat ingin melupakan malam panas mereka, tapi entah kenapa hati mereka menginginkan hal lain.
Sejak malam itu, Rose sudah berusaha keras untuk menatap Arthur hanya sebagai ayah mertuanya. Tapi setiap kali tatapan mereka bertemu, jantungnya berdetak tidak karuan.
Tidak hanya Rose saja, Arthur juga begitu. Apalagi, Arthur selalu teringat bagaimana panas dan seksinya Rose saat malam itu. Tubuh indah Rose selalu terngiang di benak Arthur yang bisa membuat Arthur menggila. Kenangan malam itu berhasil membangunkan hasrat liar yang telah Arthur pendam bertahun-tahun.
Arthur tahu itu salah, Rose adalah istri dari putranya walaupun antara dia dan Zumi tidak ada ikatan darah. Tidak seharusnya dia membiarkan rasa cinta itu tumbuh di hatinya. Arthur sangat dilema antara dia memperjuangkan cintanya dan mendapatkan Rose atau dia harus menyimpan rasa cinta itu sendirian.
Arthur dan Rose menghabiskan sarapan mereka sambil mengobrol ringan, rasa cangung di antara mereka mulai menghilang. Hubungan mereka kembali menghangat seperti sebelum malam panas itu.
Siang harinya dengan ditemani oleh Ken, Arthur bertemu dengan Jessica. Arthur ingin segera menyelesaikan masalah dengan Jessica.
Arthur dan Ken bertemu Jessica di kafe tidak jauh dari kantor Arthur.
Jessica datang dengan senyum manisnya. “Hai Arthur.” Jessica langsung duduk di depan Arthur. “Akhirnya kamu mau juga menemuiku.”
Arthur hanya menatap Jessica dengan tatapan datar. “Aku disini hanya ingin memberi peringatan untuk terakhir kalinya, Jess. Cukup, jangan ganggu hidupku lagi atau orang-orang di sekitarku” ucap Arthur dengan tegas.
Jessica hanya tersenyum tipis menanggapi peringatan Arthur. “Aku akan berhenti sampai aku berhasil memiliki kamu, Arthur.”
“Jangan gila, Jess! Sejak dulu aku tidak pernah menanggapi perasaan kamu," sahut Arthur dengan tegas.
“Apa karena gadis yang kamu bawa malam itu?” tanya Jessica dengan tenang walaupun hatinya sakit karena mendapatkan penolakan dari Arthur untuk kesekian kalinya.
“Rose tidak ada kaitannya dengan kita. Jika kamu tetap nekat, kamu akan menyesal Jess. Aku bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa kamu bayangkan, Jess.” Tanpa menunggu ucapan dari Jessica, Arthur dan Ken langsung pergi meninggalkan Jessica.
Jessica menatap kepergian Arthur dan Ken dengan perasaan marah. “Aku pasti bisa mendapatkan kamu, Arthur. Sampai kapan pun, kamu hanya milikku. Rose, gadis muda itu akan aku singkirkan,” gumamnya.
“Aku bisa membantu rencanamu, Jess.” ucap seorang pria yang tiba-tiba duduk di depan Jessica.
Jessica langsung tersenyum licik sambil menoleh laki-laki itu.
Arthur dan Ken sudah tiba di kantor dan langsung berjalan menuju ruangan Arthur.
“Tuan baik-baik saja?” tanya Ken karena melihat ekspresi gelisah Arthur. Ken merasa aneh dengan tuannya. Arthur pria yang selalu tenang, sudah beberapa hari ini terlihat gelisah.
“Aku baik-baik saja, Ken. Kamu siapkan satu pengawal bayangan untuk Rose. Aku yakin Jessica tidak akan berhenti walaupun aku sudah memberikan peringatan. Aku sangat tahu dia seperti apa. Dia wanita yang nekat.”
“Baik, Tuan. Secepatnya pengawal bayangan Nona Rose akan saya siapkan,” ucap Ken.
Setelah itu, Ken keluar dari ruang kerja Arthur.
Arthur bersandar di kursinya. Arthur menghela napas panjang. Wajah Rose terlintas di benaknya. “Aku bisa gila jika begini terus,” gumamnya pelan.
“Semoga keputusanku tidak salah” Arthur sudah membuat keputusan, dia akan memperjuangkan cintanya untuk Rose. Arthur tidak bisa jika dia harus menyimpan perasaannya sendiri.
Saat perjalanan pulang, Arthur mampir di toko bunga. Ia ingin membeli satu bucket bunga mawar untuk Rose. Arthur tersenyum saat melihat satu bucket bunga mawar yang ia beli. Arthur sudah membayangkan ekspresi bahagia Rose saat dia memberikan bunga itu.
Sepanjang perjalanan pulang, bibirnya terus tersenyum.
Mobil Arthur memasuki halaman rumahnya. Arthur langsung masuk ke dalam rumah sambil tersenyum.
Namun saat ia masuk ke dalam rumah, Arthur terkejut melihat Rose duduk di ruang tamu dengan wajah pucat dan mata yang sembab. Di tangan Rose ada handphonenya.
“Rose..” panggil Arthur pelan.
Rose langsung menoleh ke arah Arthur, air matanya langsung jatuh. “Papa.. Zumi... dia...”
Arthur mendekat, bunga mawar masih berada di tangannya. “Zumi? Dia kenapa, Rose?”
Air mata Rose semakin mengalir deras. “Zumi, dia ingin menceraikanku.”
Degg..
Arthur terdiam. Bucket bunga mawar di tangannya langsung terjatuh. “Cerai..”
Entah ini kabar gembira atau kabar buruk untuknya, tapi yang jelas hati Arthur sakit melihat Rose menangis untuk sekian kalinya.
“Papa…” Rose langsung memeluk Arthur. Tangisnya semakin pecah saat dipelukan Papa mertuanya.Rose sangat bingung saat ini. Dia tidak tahu alasan Zumi ingin menceraikannya. Rose sangat merindukan Zumi, ia begitu senang saat melihat notifikasi pesan dari sang suami.Bagai di sambar petir, Rose sangat terkejut membaca pesan dari Zumi yang ingin menceraikannya.Arthur mengusap punggung Rose untuk menenangkan Rose. Bucket bunga mawar yang ia bawa tadi sudah tergeletak di lantai. Hatinya bagai di remas saat melihat menangis dipelukannya.“Papa, aku harus bagaimana? Hiksss… Zumi ingin menceraikanku.”“Apa yang ada di pikiran Zumi,” ucap Arthur dingin. Rasa marah pada Zumi langsung menyeruak. Dia tidak tega melihat Rose hancur seperti ini.“Aku gak tahu alasannya Zumi ingin menceraikan aku, Pa. Aku harus bagaimana?” tanya Rose sambil melepaskan pelukannya dengan Arthur.Wajah Rose memerah karena menangis sejak tadi. Matanya sembab.Arthur mengusap air mata di pipi Rose. “Aku akan membantu kam
Rose dan Arthur sedang duduk berhadapan di ruang makan. Setelah Rose sedikit tenang tadi, Rose dan Arthur pergi ke ruang makan karena sudah waktunya sarapan.Roti panggang mereka masih utuh, belum tersentuh sama sekali. Mata Rose masih sembab karena menangis. Akhir-akhir ini Rose lebih sering menangis.“Aku telah jahat sama Papa karena...” ucapan Rose terpotong saat Arthur memegang tangan Rose di atas meja.“Rose, Aku justru yang sangat bersalah sama kamu. Keadaan yang membuat kita melakukan hal itu.” Tangan Arthur masih memegang tangan Rose.“Papa, bagaimana jika kita lupakan malam itu?” usul Rose. Matanya menoleh ke arah tangannya yang di genggam oleh Arthur sehingga membuat Arthur langsung melepaskan tangan Rose.“Baik, kita lupakan malam itu,” ucap Arthur sambil menganggukkan kepala. Rose dan Arthur sepakat ingin melupakan malam panas mereka, tapi entah kenapa hati mereka menginginkan hal lain.Sejak malam itu, Rose sudah berusaha keras untuk menatap Arthur hanya sebagai ayah mert
“Rose, Papa…” Arthur menghentikan ucapannya tapi tatapannya hanya tertuju pada Rose.Rose menunggu apa yang ingin di sampaikan oleh Arthur. Suasana mendadak hening, Arthur kembali diam begitu juga dengan Rose.Rose dan Arthur duduk berhadapan, piring mereka sudah kosong. Aroma masakan yang masih samar menguar di udara bercampur dengan keheningan yang membalut mereka berdua.“Kamu, baik-baik saja kan,Rose? Maksudku setelah malam itu?” Akhirnya kata itu yang keluar dari mulut Arthur memecah keheningan diantara mereka.Rose tersenyum tipis. Dalam benaknya ia ingin menjawab dengan lantang bahwa ia tidak baik-baik saja. Sangat tidak baik-baik saja. Tapi bukan kalimat itu yang ia ucapkan. “Aku baik-baik saja, Papa.”Arthur menatap mata Rose. Arthur ingin melihat kejujuran dari ucapan Rose. Dari mata Rose, Arthur yakin saat ini Rose tidak baik-baik saja.Selanjutnya, obrolan mereka berlanjut seadanya. Arthur dan Rose membahas tentang makanan dan hal-hal ringan yang biasanya tidak mereka angg
Arthur bangkit dan menatap Rose dengan rasa bersalahnya “Aku sudah berusaha menahan diri, Rose. Tapi kamu.... Kamu sendiri yang memaksaku. Aku laki-laki normal, Rose. Pertahananku runtuh. Tapi percayalah, aku tidak pernah berniat menyakitimu, Rose.”Rose terdiam, napasnya terengah-engah. Rose tahu Arthur tidak mungkin berbohong tapi rasa amarah Rose terlalu besar sehingga dia tidak bisa berpikir jernih.“Apa Papa pikir aku bisa terima alasan itu?” bentak Rose dengan suara bergetar. Air matanya mengalir di pipinya. “Kalau Papa benar-benar laki-laki terhormat, Papa seharusnya bisa menahan diri! Aku ini menantu Papa!”“Rose!” Suara Arthur meninggi. Dia tidak terima jika hanya dia yang disalahkan. “Jangan bicara seakan-akan aku satu-satunya yang salah. Kamu juga…. kamu juga yang membuat pertahananku runtuh!”Wajah Rose memerah karena marah sekaligus malu. “Jadi sekarang salahku? Papa tega menyalahkan aku setelah semua yang terjadi semalam? Papa pikir aku sengaja menyerahkan diriku?!”Ar
Rose merasa tubuhnya terbakar. Napasnya mulai tercekat, dadanya naik turun tak karuan. Rasa panas yang tidak hanya menyiksa Rose tapi juga memunculkan rasa gairah di tubuh Rose.“Rose” suara Arthur terdengar di telinga Rose.Lengan kokohnya mengendong Rose dan membawa ke kamar mandi. Rose merintih dipelukan Arthur. Rose berusaha untuk tetap sadar. Wangi tubuh Arthur menyusup ke hidung Rose yang bisa membuat Rose semakin menggila.Pintu kamar mandi terbuka keras. Arthur menurunkan Rose ke dalam bathub lalu memutar keran. Air dingin memercik deras dan membanjiri tubuh Rose.“Aaaaahhhh...” Rose berdesah. Tubuhnya semakin bergetar hebat.Air sedingin es itu yang menguyur tubuh Rose tidak menghilangkan rasa panas, tapi justru membuat rasa panas itu semakin liar.Arthur menekuk lututnya, kedua tangannya menahan bahu Rose agar tetap dibawah guyuran air.“Bertahanlah, Rose. Kamu harus bisa melawan rasa itu. Air dingin ini akan membantu kamu,” ucap Arthur."Masih panas, Papa. Aaaaahhh. Aku gak
Bisik-bisik dan lirikan penuh rasa ingin tahu bertebaran di dalam ballroom yang dipenuhi Cahaya lampu kristal. Setiap langkah Arthur dan Rose terasa menjadi pusat perhatian. Rose menundukkan pandangannya, jemarinya meremas gaun halus yang ia kenakan. Jantungnya berdebar terlalu cepat, seolah ikut bersaing dengan denting gelas para tamu.“Jangan menunduk, Rose,” bisik Arthur, suaranya berat dan penuh wibawa tepat di telinga Rose. Hangat napasnya menyentuh kulit tipis dilehernya. “Percayalah pada dirimu sendiri. Kamu cantik, lebih dari cukup untuk berdiri di sisiku.”Rose menelan ludah. Tatapan mata Arthur yang singkat saja membuat dadanya sesak. Ia mengangkat wajahnya, mencoba menegakkan diri.Arthur lalu memeluk sahabatnya, Dave, sambil menyodorkan paper bag berisi hadiah. “Selamat ulang tahun, bro.”Dave tertawa lalu menepuk bahu Arthur. “Hadiah lagi? Arthur, kamu ini terlalu repot. Kehadiranmu saja sudah lebih dari cukup.”Di sisi Dave, Julia memandangi Rose dengan tatapan penasaran