“Rose, Papa…” Arthur menghentikan ucapannya tapi tatapannya hanya tertuju pada Rose.
Rose menunggu apa yang ingin di sampaikan oleh Arthur. Suasana mendadak hening, Arthur kembali diam begitu juga dengan Rose.
Rose dan Arthur duduk berhadapan, piring mereka sudah kosong. Aroma masakan yang masih samar menguar di udara bercampur dengan keheningan yang membalut mereka berdua.
“Kamu, baik-baik saja kan,Rose? Maksudku setelah malam itu?” Akhirnya kata itu yang keluar dari mulut Arthur memecah keheningan diantara mereka.
Rose tersenyum tipis. Dalam benaknya ia ingin menjawab dengan lantang bahwa ia tidak baik-baik saja. Sangat tidak baik-baik saja. Tapi bukan kalimat itu yang ia ucapkan. “Aku baik-baik saja, Papa.”
Arthur menatap mata Rose. Arthur ingin melihat kejujuran dari ucapan Rose. Dari mata Rose, Arthur yakin saat ini Rose tidak baik-baik saja.
Selanjutnya, obrolan mereka berlanjut seadanya. Arthur dan Rose membahas tentang makanan dan hal-hal ringan yang biasanya tidak mereka anggap penting. Tapi masih terlihat jelas kecanggungan antara mereka berdua.
Arthur menarik napas dalam-dalam. Entah kenapa dia merasakan sangat gugup sekali. Bahkan tidak segugup saat ingin bertemu investor atau kliennya. Malam ini, Arthur harus bisa menyampaikan permintaan maaf pada Rose. Dirinya sudah tidak kuat harus menghindari Rose lebih lama lagi.
“Rose..” suara berat Arthur terdengar di telinga Rose. “Aku ingin....”
“Tuan Arthur...” suara Bi Arum memotong ucapan Arthur.
Rose langsung menoleh ke arah pintu ruang makan, sementara Arthur memutar kepalanya dengan ekspresi sedikit kesal.
Bi Arum berdiri di pintu masuk ruang makan dengan ekspresi sungkannya. “Maaf mengganggu, ada telepon dari Mas Ken untuk Tuan Arthur,” ucap Bi Arum sambil memberikan handphone Arthur yang masih berbunyi.
Arthur menahan diri agar tidak telihat kesal. Apa yang sudah ingin ia ucapkan, buyar begitu saja. “Terima kasih Bi Arum,” ucap Arthur sambil menerima handphonenya dari Bi Arum.
Bi Arum langsung meninggalkan ruang makan.
“Aku menerima telepon dari Ken dulu ya, Rose. Terima kasih untuk makan malam hari ini.” Arthur langsung berdiri dan meninggalkan ruang makan sehingga Rose sendirian di sana.
Rose menatap punggung Arthur yang menjauh tanpa melanjutkan ucapannya tadi. Rose menggenggam sendok sangat erat sampai tangannya bergetar. Apa susahnya langsung bicara? Pikirnya yang sangat kesal dengan Arthur.
Rose kesal karena langsung di tinggal begitu saja.
Rose menghela napas panjang. Lalu ia menumpuk piring kotor dengan kasar. Entah kenapa tiba-tiba rasa marah itu menyeruak. Rose marah pada Arthur dan juga pada dirinya sendiri, marah karena dia juga tidak bisa mengucapkan kata maaf.
Bi Arum kembali masuk ke ruang makan. “Non, biar Bi Arum saja yang membereskannya. Nona Rose istirahat saja.”
“Baik. Terima kasih ya Bi,” ucap Rose dan setelah itu langsung kembali ke kamarnya. Ia merebahkan di ranjang dan memandang langit-langit kamar dengan mata berkaca-kaca. “Kalau mau bilang sesuatu kenapa harus di tahan sih” gumamnya.
Sementara itu, Arthur duduk di ruang kerja menatap handphone di tangannya. Arthur dan Ken belum selesai berbicara melalui telepon tapi pikirannya hanya tentang Rose.
Ketika telepon berakhir, Arthur bersandar di kursi. Ada rasa kesal yang dia rasakan. Mengapa untuk mengucapkan kata maaf saja begitu sulit, selalu saja ada halangannya.
Akhirnya Arthur kembali ke kamarnya. Sebelum masuk ke kamarnya, Arthur menghampiri kamar Rose yang memang dekat dengan kamarnya. Arthur berdiri di depan kamar Rose. Cukup lama dia berdiri di sana, sampai akhirnya dia kembali ke kamarnya dengan perasaan yang masih kesal.
Keesokan paginya, aroma kopi dan roti panggang memenuhi dapur. Rose sedang menyiapkan sarapan sedangkan Bi Arum sedang menyelesaikan mencuci baju.
Arthur masuk ke dapur untuk mengambil air putih di kulkas. Diam-diam Bi Arum memperhatikan interaksi antara Arthur dan Rose yang masih terlihat canggung.
“Pagi..” Arthur menyapa Rose. Begitu juga dengan Rose yang menyapa Arthur. Setelah itu mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing.
Bi Arum pun pamit untuk menjemur pakaian yang sudah selesai di cuci karena ingin memberikan waktu untuk Arthur dan Rose.
Kini hanya ada Rose dan Arthur yang berada di dapur. Mendadak suasana dapur menjadi sunyi. Hanya terdengar suara roti yang sedang di panggang.
Rose menghela napas panjang, hatinya terasa gelisah. Rose dan Arthur sama-sama saling menoleh dan bersamaan mereka berkata. “Rose...”, “Papa...”
Rose dan Arthur saling tertegun, Rose memandang Arthur dengan pandangan berkaca-kaca. “Papa, aku minta maaf. Aku salah. Aku salah... hiksss” suara Rose terdengar bergetar. Air matanya sudah mengalir di pipinya. Rose tidak bisa lagi menahan rasa yang begitu menyesakkan.
Arthur tertegun. Hatinya seperti diremas ketika melihat Rose menangis di depannya. Arthur mendekat, tangannya mengusap air mata di pipi Rose.
Tangis Rose langsung pecah saat Arthur memeluknya.
“Rose, aku juga minta maaf,” bisik Arthur di telinga Rose dan sambil menenangkan Rose yang masih menangis dalam pelukannya.
“Papa…” Rose langsung memeluk Arthur. Tangisnya semakin pecah saat dipelukan Papa mertuanya.Rose sangat bingung saat ini. Dia tidak tahu alasan Zumi ingin menceraikannya. Rose sangat merindukan Zumi, ia begitu senang saat melihat notifikasi pesan dari sang suami.Bagai di sambar petir, Rose sangat terkejut membaca pesan dari Zumi yang ingin menceraikannya.Arthur mengusap punggung Rose untuk menenangkan Rose. Bucket bunga mawar yang ia bawa tadi sudah tergeletak di lantai. Hatinya bagai di remas saat melihat menangis dipelukannya.“Papa, aku harus bagaimana? Hiksss… Zumi ingin menceraikanku.”“Apa yang ada di pikiran Zumi,” ucap Arthur dingin. Rasa marah pada Zumi langsung menyeruak. Dia tidak tega melihat Rose hancur seperti ini.“Aku gak tahu alasannya Zumi ingin menceraikan aku, Pa. Aku harus bagaimana?” tanya Rose sambil melepaskan pelukannya dengan Arthur.Wajah Rose memerah karena menangis sejak tadi. Matanya sembab.Arthur mengusap air mata di pipi Rose. “Aku akan membantu kam
Rose dan Arthur sedang duduk berhadapan di ruang makan. Setelah Rose sedikit tenang tadi, Rose dan Arthur pergi ke ruang makan karena sudah waktunya sarapan.Roti panggang mereka masih utuh, belum tersentuh sama sekali. Mata Rose masih sembab karena menangis. Akhir-akhir ini Rose lebih sering menangis.“Aku telah jahat sama Papa karena...” ucapan Rose terpotong saat Arthur memegang tangan Rose di atas meja.“Rose, Aku justru yang sangat bersalah sama kamu. Keadaan yang membuat kita melakukan hal itu.” Tangan Arthur masih memegang tangan Rose.“Papa, bagaimana jika kita lupakan malam itu?” usul Rose. Matanya menoleh ke arah tangannya yang di genggam oleh Arthur sehingga membuat Arthur langsung melepaskan tangan Rose.“Baik, kita lupakan malam itu,” ucap Arthur sambil menganggukkan kepala. Rose dan Arthur sepakat ingin melupakan malam panas mereka, tapi entah kenapa hati mereka menginginkan hal lain.Sejak malam itu, Rose sudah berusaha keras untuk menatap Arthur hanya sebagai ayah mert
“Rose, Papa…” Arthur menghentikan ucapannya tapi tatapannya hanya tertuju pada Rose.Rose menunggu apa yang ingin di sampaikan oleh Arthur. Suasana mendadak hening, Arthur kembali diam begitu juga dengan Rose.Rose dan Arthur duduk berhadapan, piring mereka sudah kosong. Aroma masakan yang masih samar menguar di udara bercampur dengan keheningan yang membalut mereka berdua.“Kamu, baik-baik saja kan,Rose? Maksudku setelah malam itu?” Akhirnya kata itu yang keluar dari mulut Arthur memecah keheningan diantara mereka.Rose tersenyum tipis. Dalam benaknya ia ingin menjawab dengan lantang bahwa ia tidak baik-baik saja. Sangat tidak baik-baik saja. Tapi bukan kalimat itu yang ia ucapkan. “Aku baik-baik saja, Papa.”Arthur menatap mata Rose. Arthur ingin melihat kejujuran dari ucapan Rose. Dari mata Rose, Arthur yakin saat ini Rose tidak baik-baik saja.Selanjutnya, obrolan mereka berlanjut seadanya. Arthur dan Rose membahas tentang makanan dan hal-hal ringan yang biasanya tidak mereka angg
Arthur bangkit dan menatap Rose dengan rasa bersalahnya “Aku sudah berusaha menahan diri, Rose. Tapi kamu.... Kamu sendiri yang memaksaku. Aku laki-laki normal, Rose. Pertahananku runtuh. Tapi percayalah, aku tidak pernah berniat menyakitimu, Rose.”Rose terdiam, napasnya terengah-engah. Rose tahu Arthur tidak mungkin berbohong tapi rasa amarah Rose terlalu besar sehingga dia tidak bisa berpikir jernih.“Apa Papa pikir aku bisa terima alasan itu?” bentak Rose dengan suara bergetar. Air matanya mengalir di pipinya. “Kalau Papa benar-benar laki-laki terhormat, Papa seharusnya bisa menahan diri! Aku ini menantu Papa!”“Rose!” Suara Arthur meninggi. Dia tidak terima jika hanya dia yang disalahkan. “Jangan bicara seakan-akan aku satu-satunya yang salah. Kamu juga…. kamu juga yang membuat pertahananku runtuh!”Wajah Rose memerah karena marah sekaligus malu. “Jadi sekarang salahku? Papa tega menyalahkan aku setelah semua yang terjadi semalam? Papa pikir aku sengaja menyerahkan diriku?!”Ar
Rose merasa tubuhnya terbakar. Napasnya mulai tercekat, dadanya naik turun tak karuan. Rasa panas yang tidak hanya menyiksa Rose tapi juga memunculkan rasa gairah di tubuh Rose.“Rose” suara Arthur terdengar di telinga Rose.Lengan kokohnya mengendong Rose dan membawa ke kamar mandi. Rose merintih dipelukan Arthur. Rose berusaha untuk tetap sadar. Wangi tubuh Arthur menyusup ke hidung Rose yang bisa membuat Rose semakin menggila.Pintu kamar mandi terbuka keras. Arthur menurunkan Rose ke dalam bathub lalu memutar keran. Air dingin memercik deras dan membanjiri tubuh Rose.“Aaaaahhhh...” Rose berdesah. Tubuhnya semakin bergetar hebat.Air sedingin es itu yang menguyur tubuh Rose tidak menghilangkan rasa panas, tapi justru membuat rasa panas itu semakin liar.Arthur menekuk lututnya, kedua tangannya menahan bahu Rose agar tetap dibawah guyuran air.“Bertahanlah, Rose. Kamu harus bisa melawan rasa itu. Air dingin ini akan membantu kamu,” ucap Arthur."Masih panas, Papa. Aaaaahhh. Aku gak
Bisik-bisik dan lirikan penuh rasa ingin tahu bertebaran di dalam ballroom yang dipenuhi Cahaya lampu kristal. Setiap langkah Arthur dan Rose terasa menjadi pusat perhatian. Rose menundukkan pandangannya, jemarinya meremas gaun halus yang ia kenakan. Jantungnya berdebar terlalu cepat, seolah ikut bersaing dengan denting gelas para tamu.“Jangan menunduk, Rose,” bisik Arthur, suaranya berat dan penuh wibawa tepat di telinga Rose. Hangat napasnya menyentuh kulit tipis dilehernya. “Percayalah pada dirimu sendiri. Kamu cantik, lebih dari cukup untuk berdiri di sisiku.”Rose menelan ludah. Tatapan mata Arthur yang singkat saja membuat dadanya sesak. Ia mengangkat wajahnya, mencoba menegakkan diri.Arthur lalu memeluk sahabatnya, Dave, sambil menyodorkan paper bag berisi hadiah. “Selamat ulang tahun, bro.”Dave tertawa lalu menepuk bahu Arthur. “Hadiah lagi? Arthur, kamu ini terlalu repot. Kehadiranmu saja sudah lebih dari cukup.”Di sisi Dave, Julia memandangi Rose dengan tatapan penasaran