Barra pun dengan sigap mengambilkan air untuk Rinoa minum, kasihan tadi tiba-tiba batuk. "Maksudnya, melayani dalam artian siap membantu kalau kamu perlu bantuan Papa, Noa!"
Rinoa manggut-manggut, sok paham dengan penjelasan mertuanya. Padahal pikirannya sudah dibuat melayang-layang karena mendengar tawaran untuk melayani itu. "Ummm ... tapi sebenarnya aku mau protes ke Papa," kata Rinoa kemudian. "Protes? Masalah apa?" "Masalah Enzo yang belakangan ini sibuk dan sering lembur. Memangnya Papa kasih kerjaan apa ke Enzo? Apa nggak bisa kalau dikurangi sedikit sibuknya? Jujur aja, aku merasa kekurangan waktu untuk berduaan dengan Enzo." "Hmmmm ... kalau yang itu, sebenarnya Papa nggak ada menuntut kesempurnaan ke dia. Papa juga nggak menentukan deadline, atau goals yang pasti, semua Papa serahkan ke Enzo. Tapi nanti Papa bisa bicarakan ke dia masalah protes kamu ini, sepertinya Enzo cuma belum terbiasa membagi waktunya. Apalagi kalian ini pengantin baru, bisa dibilang masih peralihan dari yang biasanya apa-apa sendiri tapi sekarang sudah berdua," jelas Barra. Masuk akal bagi Rinoa, memang mungkin Enzo belum terbiasa dengan adanya Rinoa dan status sebagai suami. Ya bisa dimaklumi, tapi kalau terus-terusan sih sepertinya Rinoa tidak akan tahan. "Apa kamu merasa kesepian, Noa?" tanya Barra tiba-tiba dengan tatapan penasaran. "Sedikit!" jawab Rinoa sedikit malu. Barra mengangguk sambil tersenyum. Sejurus kemudian tangannya pun menyentuh tangan Rinoa yang ada di atas meja, mengelusnya dengan perlahan. "It's okay, sekarang sudah ada Papa di sini, kan? Kamu nggak perlu merasa kesepian lagi. Ya setidaknya, Papa juga jadi punya teman ngobrol." Mata Rinoa tertuju pada tangannya yang dielus lembut oleh Barra. Bisa-bisanya Rinoa malah nyaman dibeginikan oleh mertuanya. Huh, rasanya memang seperti disayang oleh ayah sendiri. Jujur saja, dari kecil sampai sebesar ini Rinoa tidak pernah benar-benar merasakan sentuhan kasih sayang dari seorang ayah ke anak. Ayah Rinoa terlalu sibuk dengan perusahaannya dan membesarkan Rinoa lewat kasih sayang berupa harta. Tidak pernah hadir memberikan sentuhan ataupun ngobrol lebih dalam dengan anak-anaknya. Jadi begitu Barra melakukan sentuhan fisik seperti ini kepada Rinoa, rasanya ada sebuah reaksi di tubuh Rinoa yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Rinoa pun bingung sendiri dibuatnya. "Bagaimana cara Papa melampiaskannya?" tanya Rinoa tiba-tiba. Barra mengernyit bingung. "Melampiaskan apa?" "Melampiaskan rasa kesepian. Apa dengan cara video call seperti tadi?" Sebenarnya tidak sopan bertanya begini, tapi Rinoa penasaran. Apalagi selama satu setengah tahun ini Barra tinggal di Jerman sendirian dengan status duda. Apa di sana mertuanya juga segila itu? Biarpun tadi Barra sempat bilang kalau yang tadi itu pertama kali, ah ... mana mungkin Rinoa percaya begitu saja. "Oh, astaga ... kalau yang tadi itu, jujur aja karena Papa iseng. Itu juga karena teman Papa yang menghasut, tetap aja rasanya berbeda." "Berbeda apanya?" Rinoa makin penasaran. "Beda kalau nggak ada perasaan atau nggak ada ketertarikan di awal. Apalagi cewek-cewek muda yang dibayar itu ngelakuinnya cuma seadanya aja, karena diimingi uang banyak. Asal kerjaannya selesai dan dapat uang, ya urusan kelar. Nggak tahu kenapa, Papa nggak begitu tertarik." "Jadi Papa sukanya yang bagaimana?" Barra tersenyum. Tangannya masih terus mengelus tangan Rinoa, malah makin intens. "Papa sukanya yang bikin tertarik di awal dan juga bikin penasaran. Apalagi kalau lawannya juga sama penasarannya ke Papa. Kalau kamu gimana, Rinoa?""A-aku juga juga suka sesuatu yang bikin penasaran," jawab Rinoa dengan jujur.
"Yang menguji adrenalin juga?" tebak Barra. "Ummm ... mungkin!" Barra terkekeh. "Kalau begitu, kita hampir mirip. Apa Enzo juga bikin kamu penasaran dan suka menguji adrenalin? Ah, maaf kalau Papa malah tanya yang begini ke kamu. Kamu nggak perlu jawab kalau kamu nggak mau." Kali ini malah giliran Rinoa yang terbahak. "Memangnya apa yang bisa aku jelasin, Pa? Aku dan Enzo baru tiga bulan menikah. Sepertinya masih belum ke tahap yang bikin penasaran dan menguji adrenalin, kan aku sudah bilang kalau Enzo sibuk. Dia lebih doyan kerja daripada quality time sama aku." "Nggak mungkin!" Barra geleng-geleng kepala. "Apanya yang gak mungkin, Pa?" "Papa cuma sedikit nggak percaya. Usia muda seperti kalian sih harusnya sedang semangat-semangatnya." Barra menatap curiga. "Apa iya, Enzo benar-benar jarang nyentuh kamu? Karena alasan sibuk di kantor?" Rinoa mengangguk, mengakui dengan jujur. "Bisa dihitung pakai jari, Pa!" *** "Jam segini baru pulang?" Rinoa memastikan kembali penglihatannya kalau ini sudah pukul satu dini hari. Padahal dirinya tadi sudah sempat ketiduran, tapi jadi terbangun karena mendengar suara mobil Enzo yang baru datang.Rinoa yang ketiduran di sofa itu pun segera bangkit, lalu membuka pintu untuk menyambut suaminya yang baru pulang.
Terlihat wajah kusut Enzo yang menyapa Rinoa. Bahkan laki-laki itu hanya melirik sekilas ke arah istrinya dan langsung berjalan cuek menuju ke kamar.
"Apa kerjaannya benar-benar banyak?" tanya Rinoa dengan pelan sambil mengekor di belakang Enzo.
"Aku udah bilang kalau aku bakalan pulang malam, kan? Jadi jelas kalau kerjaanku banyak! Lagian kamu ngapain nggak tidur aja?"
"Ummm ... aku khawatir karena HP kamu masih belum aktif. Aku mau telpon ke kantor, tapi takut kalau kamu marah lagi."
Enzo membuka pakaiannya, terlihat kalau dirinya sangat kelelahan. "Aku mau mandi sebentar, baru tidur!"
Rinoa membiarkan Enzo untuk mandi, dia pun meraih pakaian yang dipakai Enzo tadi. Tidak sengaja Rinoa mencium aroma pakaian tersebut, wangi parfumnya berbeda dengan parfum yang biasa Enzo pakai. Rinoa mencoba mengingat-ngingat, apakah benar ini pakaian yang dipakai Enzo tadi pagi sebelum ke kantor?
Ah, sepertinya bukan. Mungkin Enzo tadi sempat mengganti pakaian di kantor? Tapi pakai parfum siapa?
Rinoa pun menunggu Enzo selesai mandi, maunya bertanya tentang pakaian ini.
Begitu Enzo selesai mandi, dengan cepat Rinoa mendekat dan hendak bertanya karena sangat penasaran.
"Sayang, kemeja yang ini sepertinya beda dengan kemeja yang tadi pagi kamu pakai, kan?" tanya Rinoa.
Enzo tertegun sejenak, matanya pun memperhatikan kemeja yang dipegang oleh Rinoa. "Oh, yang itu, tadi aku ganti di kantor."
"Jadi ini kemeja baru?"
"Iya, kemeja baru! Aku minta sekretarisku untuk beli yang baru, tadi nggak sengaja kemejaku kena tumpahan kopi. Karena mau meeting lagi, jadi aku ganti pakai yang baru biar terlihat rapi dan bersih. Kenapa? Ada masalah?"
Rinoa dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Eng-enggak! Cuma ... aku baru pertama kali cium parfum yang kamu pakai ini. Apa kamu juga beli parfum baru?"
Enzo menghela napasnya dengan kasar. "Iya, kebetulan aku nggak bawa parfum. Jadi sekalian minta tolong sekretarisku belikan parfum yang baru."
"Ummm ... tapi seingatku―"
"Noa, ini jam satu malam. Aku capek, boleh istirahat, kan? Kita lanjut ngobrolnya besok pagi, oke?" tawar Enzo yang sudah langsung rebahan di atas ranjangnya.
Rinoa cuma bisa mengangguk. Padahal dalam hati masih penasaran, kenapa harus beli parfum baru? Padahal Rinoa sangat ingat kalau Enzo selalu menyimpan parfum di kantornya, tidak mungkin parfumnya sudah habis secepat itu, kan?
"Rinoa?" Barra terlihat kaget saat mendapati menantunya sedang berada di dalam kamarnya. Sementara Rinoa masih dalam posisi sedikit berjongkok, karena tadi kakinya tersandung meja dan harus menutup mulut untuk menahan rasa sakit. "Kamu ngapain di sini?" tanya Barra sambil mendekat ke Rinoa.Rinoa was-was, dia pun jadi mundur memberi jarak. "A-aku tadi, aku tadi cuma mau balikin HP Papa," jawabnya sebisanya."HP?" Barra mengernyit.Rinoa mengangguk, lalu menyerahkan ponsel milik Barra yang masih dipegang olehnya dan belum sempat diletakkan di meja gara-gara penasaran tadi. "Tadi ketinggalan di meja makan, Pa!""Oh, ya ampun! Papa belakangan ini memang mulai pikun." Barra meraih ponsel tersebut. Lalu pandangannya tertuju ke Rinoa. "Ummm ... apa barusan kamu lihat?"Rinoa mengangguk, tapi kemudian dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Enggak, aku nggak lihat apa-apa!" bohongnya.Barra terkekeh sambil menatap curiga. "Apa iya?""Be-beneran, aku nggak lihat apa-apa, Pa!" Rinoa menunduk,
"Oh, selamat pagi, Enzo!" Barra sebisa mungkin menyembunyikan rasa paniknya dengan menyapa Enzo, bahkan terpaksa melebarkan senyumnya. "Ini tadi Rinoa bilang kalau dia yang siapin semua sarapan pagi, jadi Papa diminta untuk cobain masakannya." Enzo melirik sekilas ke atas meja makan, lalu beralih ke Rinoa. Tiba-tiba saja Enzo mengembangkan senyum di wajahnya, kemudian menghampiri istrinya."Wah, kamu rajin banget, Sayang! Makasih udah siapin sarapan untukku dan Papa, ya!" Enzo langsung memeluk tubuh Rinoa dari samping lalu memberi kecupan mesra pada pipi Rinoa. Sudah pasti Rinoa jadi mengerutkan keningnya, sikap Enzo kenapa jadi manis begini? Padahal tadi sempat berdebat dan sangat menyebalkan sewaktu di kamar.Barra tersenyum tipis saat melihat kemesraan Enzo dan Rinoa di depan matanya. Entah mengapa, tidak begitu nyaman melihat kemesraan itu. Dada Barra seperti ada yang membakar dan terasa panas."Gimana masakan Rinoa, pasti enak kan, Pa? Dia mulai pintar masak setelah nikah." Enz
Pagi ini Rinoa kembali menyiapkan sarapan untuk Enzo. Mau dimakan atau tidak, paling tidak Rinoa sudah melakukan kewajibannya. Masalahnya, Enzo masih tertidur lelap padahal sudah dibangunkan beberapa kali oleh Rinoa. Mata Rinoa pun tertuju pada suaminya yang masih tertidur itu. Jujur saja, Rinoa sangat ingin bermesraan dengan Enzo, apalagi melihat tubuh suaminya yang sangat menggairahkan saat tertidur.Dengan berani Rinoa meraba duluan bagian bawah suaminya, mencoba memberi rangsangan."Sayang, bangun! Nanti kamu terlambat ke kantor, aku juga udah siapin sarapan buat kamu," bisik Rinoa di telinga Enzo.Enzo bergelayut di ranjang, matanya pun perlahan terbuka. Tiba-tiba saja Enzo sudah melihat Rinoa yang memposisikan diri di atas tubuhnya."Kamu ngapain?" tanya Enzo."Boleh, kan?" Rinoa meminta izin dengan gaya centil."Tapi aku capek, Noa!" "Biar aku aja yang bergerak, Sayang!" Rinoa terlanjur bergairah. Tidak peduli kalau Enzo mengatakan dirinya capek. Kalau tidak dipaksa begini mu
Barra pun dengan sigap mengambilkan air untuk Rinoa minum, kasihan tadi tiba-tiba batuk. "Maksudnya, melayani dalam artian siap membantu kalau kamu perlu bantuan Papa, Noa!"Rinoa manggut-manggut, sok paham dengan penjelasan mertuanya. Padahal pikirannya sudah dibuat melayang-layang karena mendengar tawaran untuk melayani itu. "Ummm ... tapi sebenarnya aku mau protes ke Papa," kata Rinoa kemudian."Protes? Masalah apa?""Masalah Enzo yang belakangan ini sibuk dan sering lembur. Memangnya Papa kasih kerjaan apa ke Enzo? Apa nggak bisa kalau dikurangi sedikit sibuknya? Jujur aja, aku merasa kekurangan waktu untuk berduaan dengan Enzo." "Hmmmm ... kalau yang itu, sebenarnya Papa nggak ada menuntut kesempurnaan ke dia. Papa juga nggak menentukan deadline, atau goals yang pasti, semua Papa serahkan ke Enzo. Tapi nanti Papa bisa bicarakan ke dia masalah protes kamu ini, sepertinya Enzo cuma belum terbiasa membagi waktunya. Apalagi kalian ini pengantin baru, bisa dibilang masih peralihan d
Papa Barra sedang memainkan bagian sensitif tubuhnya sendiri sambil video call mesum dengan seseorang. Gila! Dalam satu hari ini Rinoa benar-benar melihat sendiri bagaimana kelakuan gila mertuanya. Apa karena sudah tidak punya istri jadi seperti ini?Apa jangan-jangan yang diajak video call itu adalah perempuan yang berhalangan hadir tadi siang? Mendengar suara genit dan penuh gairah perempuan muda yang diajak video call itu saja sudah membuath Rinoa kegelian sendiri. Anehnya, Rinoa malah tetap terdiam di tempat. Melihat aksi laki-laki paruh baya itu yang sibuk sendiri dengan bagian sensitif di tubuhnya. Antara penasaran, tapi geli sendiri. Gara-gara menonton, tanpa sadar tubuh Rinoa pun ikut bereaksi. Ada sesuatu yang membuatnya bergejolak, dan ingin ikut disentuh."Oh, Rinoa?!" Barra tiba-tiba saja menyadari kalau ada yang mengintip dari luar pintu kamarnya. Dengan cepat Barra menyudahi panggilan video mesum itu, lalu memakai celananya dengan asal-asalan.Rinoa ikut kaget karena
Barra tidak salah dengar, yang ada di hadapannya ini adalah menantunya. Namun dia pun berusaha untuk tenang, lalu mengatur napas sejenak. "Ummm ... saya ... ma-maksudnya, Papa minta maaf atas kejadian yang tadi. Ma-maaf kalau Papa nggak mengenali kamu, Noa!" Barra benar-benar merasa bersalah. Dia pun memberanikan diri untuk mendekat ke Rinoa, lalu mengarahkan menantunya itu untuk duduk di sofa yang ada di kamar tersebut. "Duduk di sini sebentar, mungkin kamu perlu minum air supaya sedikit tenang."Rinoa sebenarnya masih ragu dan takut, tapi kalau memang papa mertuanya ini sudah sadar mungkin akan aman dan baik-baik saja. Pada akhirnya Rinoa pun menurut dan mau duduk di sofa, biarpun kakinya masih gemetaran tak karuan akibat kejadian tadi. Tatapan Rinoa pun mengawasi pergerakan dari Barra, berjaga-jaga."Sekali lagi Papa minta maaf. Bukan maksud Papa memperlakukan kamu seperti tadi. Papa harap kamu nggak salah sangka ya, Noa!" Rinoa hanya mengangguk pelan. Matanya jadi fokus menatap