Papa Barra sedang memainkan bagian sensitif tubuhnya sendiri sambil video call mesum dengan seseorang.
Gila! Dalam satu hari ini Rinoa benar-benar melihat sendiri bagaimana kelakuan gila mertuanya. Apa karena sudah tidak punya istri jadi seperti ini?
Apa jangan-jangan yang diajak video call itu adalah perempuan yang berhalangan hadir tadi siang?
Mendengar suara genit dan penuh gairah perempuan muda yang diajak video call itu saja sudah membuath Rinoa kegelian sendiri.
Anehnya, Rinoa malah tetap terdiam di tempat. Melihat aksi laki-laki paruh baya itu yang sibuk sendiri dengan bagian sensitif di tubuhnya. Antara penasaran, tapi geli sendiri. Gara-gara menonton, tanpa sadar tubuh Rinoa pun ikut bereaksi. Ada sesuatu yang membuatnya bergejolak, dan ingin ikut disentuh.
"Oh, Rinoa?!" Barra tiba-tiba saja menyadari kalau ada yang mengintip dari luar pintu kamarnya. Dengan cepat Barra menyudahi panggilan video mesum itu, lalu memakai celananya dengan asal-asalan.
Rinoa ikut kaget karena ketahuan. Ia pun refleks kabur dari tempatnya berdiri tadi.
Barra rupanya mengejar Rinoa di belakang. Seperti tidak mau membuat Rinoa salah paham tentang kejadian yang tadi.
"Rinoa, tunggu!" Barra langsung menghentikan langkah kaki Rinoa sebelum perempuan itu berhasil masuk ke kamarnya sendiri. "Kamu lihat yang tadi?"
Rinoa terdiam, tidak berani menjawab. Namun wajahnya terlihat ketakutan.
Barra pun langsung menepuk pundak Rinoa dengan pelan, mencoba menenangkan menantunya. "Yang tadi kamu lihat itu, sebenarnya―"
"Aku nggak lihat apa-apa, Pa!" dusta Rinoa.
"Kamu jelas lihat, Noa! Kalau memang kamu nggak lihat, buat apa kamu langsung kabur dan lari?"
"Ang-anggap aja kalau aku memang nggak pernah lihat!"
"Papa cuma nggak mau kamu salah paham dan ngira Papa memang suka jajan sembarangan begitu. Yang tadi itu ... baru pertama kali Papa lakuin, selain dengan mamanya Enzo." Terlihat Barra sedikit malu, kepalanya pun menunduk.
Rinoa paham, mungkin ditinggal istri untuk selama-lamanya pasti terasa berat. Apalagi laki-laki biarpun sudah tua katanya masih tetap perlu pelampiasan biologis.
"Cewek yang tadi itu, yang harusnya jadi tamu Papa, kan?" tanya Rinoa akhirnya karena penasaran.
"Ummm ... iya!" Barra mengangguk pelan. "Maaf kalau bikin kamu nggak nyaman, tapi kalau bisa jangan ceritakan hal begini ke Enzo."
"Kenapa?"
"Di mata Enzo, Papa ini nggak ada kurangnya, Noa! Kejadian ini cuma kamu yang tahu."
Rinoa paham, ternyata Barra tidak mau kekurangannya diketahui oleh anak tiri kesayangannya. Mata Rinoa pun secara tidak sengaja memperhatikan celana yang dipakai mertuanya secara asal-asalan tadi. Ada sesuatu yang tersembunyi di dalam sana yang tadi dilihat langsung oleh Rinoa saat Barra sibuk video call mesum.
Entah mengapa bayangan bentuk dan ukurannya masih terus membayangi kepala Rinoa. Ini jelas salah, salah karena masih membayangkannya. Apalagi kalau mau merasakannya juga.
Oh, tidak, tidak, tidak ... Rinoa harus menahan diri biarpun tahu kalau pesona mertuanya ini sangat memikat.
"Papa berani bayar pakai apa untuk hadiah tutup mulutku?" tantang Rinoa tiba-tiba.
"Hadiah tutup mulut? Ah, kalau masalah itu, apa aja yang Rinoa minta bisa Papa kasih. Kamu tinggal sebut mau apa, nanti pasti Papa berikan untuk kamu, Noa!" Barra mencoba memastikan kalau dirinya bisa menyanggupi apa pun kemauan menantunya. Memang apa saja bisa diberikan asal ada uang, kan?
Rinoa malah terdiam, tampak sedang berpikir. Mau minta apa lagi dari mertuanya ini? Harta? Rinoa terlahir dari keluarga yang mampu, bahkan ayah Rinoa salah satu klien terpentingnya Enzo. Semua barang-barang mewah sudah Rinoa miliki dari kecil, rasanya tidak ada keinginan lagi untuk menambah koleksi barang branded. "Jadi, sekarang Rinoa mau minta apa dari Papa?" tanya Barra kemudian. Mata Rinoa lagi-lagi memperhatikan bagian tubuh Barra yang saat ini sudah tentu tertutup, biarpun agak asal-asalan itu. Pikirannya masih saja membayangkan kejadian tadi. Rasanya untuk saat ini sangat sulit melupakannya. "Aku mau Papa," celetuk Rinoa. "Hah?" Barra mencoba memastikan yang barusan dia dengar. "Mau Papa?" Rinoa mengangguk, tapi begitu sadar dia pun dengan cepat menggelengkan kepala. "Eng-enggak, ma-maksudnya ... aku mau Papa temenin makan malam," koreksinya. "Oh, cuma makan malam?" "Iya!" Rinoa mengangguk lagi dengan sangat yakin. "Bi-biasanya belakangan ini aku makan malam sendiri, Enzo pulang tengah malam waktu aku sudah tidur." "Papa ngerti, Enzo memang sedang mengurus proyek penting. Jadi gara-gara Enzo sibuk, kamu pasti sering makan sendirian, ya? Oke, malam ini kamu nggak makan malam sendiri. Udah ada Papa di sini, dan nanti Papa bakalan temenin kamu makan malam. Tapi sesuai janji, kalau bisa kamu merahasiakan yang barusan itu ke Enzo." "Iya, aku janji," jawab Rinoa dengan pelan. "Kalau begitu, aku tunggu di ruang makan. Mungkin Papa bisa mandi dulu atau siap-siap." Barra sadar, pasti Rinoa agak jijik melihat kegiatannya yang tadi. Makanya diminta untuk mandi dulu, baru menyusul ke ruang makan untuk makan malam bersama. Tentu saja Barra menuruti perkataan menantunya, lalu kembali ke kamarnya untuk mandi dan bersiap-siap. Lama rasanya Rinoa menunggu di ruang makan, bahkan hampir saja Rinoa mengantuk. Akhirnya Barra pun datang, sudah tentu dalam kondisi yang sudah bersih dan rapi. Rinoa membatu begitu melihat bagaimana tampilan mertuanya yang sangat mempesona dan ... menggairahkan. Apa yang salah dengan Rinoa? Sejak kapan dirinya malah menyukai laki-laki yang berusia terlewat matang ini? Ditambah lagi ini adalah mertuanya. Pasti ini cuma fantasi iseng yang sekedar lewat, dan seharusnya Rinoa bisa segera sadar kalau ini salah. "Maaf nunggu lama, Noa! Kamu pasti udah kelaperan, ya? Kenapa nggak duluan makan aja?" tanya Barra sambil duduk berhadapan dengan Rinoa. "Aku ... aku mau makan Papa! Oh, ma-maksudnya aku mau makan bareng-bareng sama Papa," jawab Rinoa sambil matanya terus memperhatikan mertuanya, tanpa berkedip. Barra menyeringai. Laki-laki itu juga ikut membalas tatapan Rinoa. Terlihat kalau mertuanya juga mempunyai ketertarikan kepadanya. Mungkin karena hari ini juga hari di mana pertemuan pertama mereka dan dilalui cukup berat. Maksudnya, berat menahan godaan. Memang sedikit terlihat canggung, Rinoa pun akhirnya makan duluan untuk menutupi kecanggungannya. Lagian ngapain juga pakai acara terpesona melihat mertuanya itu? Tidak seharusnya papa Barra setampan itu di usia lanjut, kan? "Jadi, bagaimana rasanya menjadi istri Enzo? Apa Enzo memperlakukan kamu dengan baik?" Barra iseng mengintrogasi, tatapannya masih intens menuju ke Rinoa. Bahkan Barra tidak tertarik dengan banyaknya jenis hidangan makan malam yang disiapkan, saat ini Barra merasakan lapar yang lain. "Baik, Enzo baik dan sayang sama aku, Pa!" jawab Rinoa sedikit berbohong. "Bagus kalau begitu. Kamu bisa laporan ke Papa kalau seandainya nanti Enzo berbuat yang tidak-tidak atau nyakitin kamu. Papa siap melayani kamu!" Rinoa jadi terbatuk-batuk mendengar kalimat terakhir dari mertuanya. "Me-melayani?""Rinoa?" Barra terlihat kaget saat mendapati menantunya sedang berada di dalam kamarnya. Sementara Rinoa masih dalam posisi sedikit berjongkok, karena tadi kakinya tersandung meja dan harus menutup mulut untuk menahan rasa sakit. "Kamu ngapain di sini?" tanya Barra sambil mendekat ke Rinoa.Rinoa was-was, dia pun jadi mundur memberi jarak. "A-aku tadi, aku tadi cuma mau balikin HP Papa," jawabnya sebisanya."HP?" Barra mengernyit.Rinoa mengangguk, lalu menyerahkan ponsel milik Barra yang masih dipegang olehnya dan belum sempat diletakkan di meja gara-gara penasaran tadi. "Tadi ketinggalan di meja makan, Pa!""Oh, ya ampun! Papa belakangan ini memang mulai pikun." Barra meraih ponsel tersebut. Lalu pandangannya tertuju ke Rinoa. "Ummm ... apa barusan kamu lihat?"Rinoa mengangguk, tapi kemudian dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Enggak, aku nggak lihat apa-apa!" bohongnya.Barra terkekeh sambil menatap curiga. "Apa iya?""Be-beneran, aku nggak lihat apa-apa, Pa!" Rinoa menunduk,
"Oh, selamat pagi, Enzo!" Barra sebisa mungkin menyembunyikan rasa paniknya dengan menyapa Enzo, bahkan terpaksa melebarkan senyumnya. "Ini tadi Rinoa bilang kalau dia yang siapin semua sarapan pagi, jadi Papa diminta untuk cobain masakannya." Enzo melirik sekilas ke atas meja makan, lalu beralih ke Rinoa. Tiba-tiba saja Enzo mengembangkan senyum di wajahnya, kemudian menghampiri istrinya."Wah, kamu rajin banget, Sayang! Makasih udah siapin sarapan untukku dan Papa, ya!" Enzo langsung memeluk tubuh Rinoa dari samping lalu memberi kecupan mesra pada pipi Rinoa. Sudah pasti Rinoa jadi mengerutkan keningnya, sikap Enzo kenapa jadi manis begini? Padahal tadi sempat berdebat dan sangat menyebalkan sewaktu di kamar.Barra tersenyum tipis saat melihat kemesraan Enzo dan Rinoa di depan matanya. Entah mengapa, tidak begitu nyaman melihat kemesraan itu. Dada Barra seperti ada yang membakar dan terasa panas."Gimana masakan Rinoa, pasti enak kan, Pa? Dia mulai pintar masak setelah nikah." Enz
Pagi ini Rinoa kembali menyiapkan sarapan untuk Enzo. Mau dimakan atau tidak, paling tidak Rinoa sudah melakukan kewajibannya. Masalahnya, Enzo masih tertidur lelap padahal sudah dibangunkan beberapa kali oleh Rinoa. Mata Rinoa pun tertuju pada suaminya yang masih tertidur itu. Jujur saja, Rinoa sangat ingin bermesraan dengan Enzo, apalagi melihat tubuh suaminya yang sangat menggairahkan saat tertidur.Dengan berani Rinoa meraba duluan bagian bawah suaminya, mencoba memberi rangsangan."Sayang, bangun! Nanti kamu terlambat ke kantor, aku juga udah siapin sarapan buat kamu," bisik Rinoa di telinga Enzo.Enzo bergelayut di ranjang, matanya pun perlahan terbuka. Tiba-tiba saja Enzo sudah melihat Rinoa yang memposisikan diri di atas tubuhnya."Kamu ngapain?" tanya Enzo."Boleh, kan?" Rinoa meminta izin dengan gaya centil."Tapi aku capek, Noa!" "Biar aku aja yang bergerak, Sayang!" Rinoa terlanjur bergairah. Tidak peduli kalau Enzo mengatakan dirinya capek. Kalau tidak dipaksa begini mu
Barra pun dengan sigap mengambilkan air untuk Rinoa minum, kasihan tadi tiba-tiba batuk. "Maksudnya, melayani dalam artian siap membantu kalau kamu perlu bantuan Papa, Noa!"Rinoa manggut-manggut, sok paham dengan penjelasan mertuanya. Padahal pikirannya sudah dibuat melayang-layang karena mendengar tawaran untuk melayani itu. "Ummm ... tapi sebenarnya aku mau protes ke Papa," kata Rinoa kemudian."Protes? Masalah apa?""Masalah Enzo yang belakangan ini sibuk dan sering lembur. Memangnya Papa kasih kerjaan apa ke Enzo? Apa nggak bisa kalau dikurangi sedikit sibuknya? Jujur aja, aku merasa kekurangan waktu untuk berduaan dengan Enzo." "Hmmmm ... kalau yang itu, sebenarnya Papa nggak ada menuntut kesempurnaan ke dia. Papa juga nggak menentukan deadline, atau goals yang pasti, semua Papa serahkan ke Enzo. Tapi nanti Papa bisa bicarakan ke dia masalah protes kamu ini, sepertinya Enzo cuma belum terbiasa membagi waktunya. Apalagi kalian ini pengantin baru, bisa dibilang masih peralihan d
Papa Barra sedang memainkan bagian sensitif tubuhnya sendiri sambil video call mesum dengan seseorang. Gila! Dalam satu hari ini Rinoa benar-benar melihat sendiri bagaimana kelakuan gila mertuanya. Apa karena sudah tidak punya istri jadi seperti ini?Apa jangan-jangan yang diajak video call itu adalah perempuan yang berhalangan hadir tadi siang? Mendengar suara genit dan penuh gairah perempuan muda yang diajak video call itu saja sudah membuath Rinoa kegelian sendiri. Anehnya, Rinoa malah tetap terdiam di tempat. Melihat aksi laki-laki paruh baya itu yang sibuk sendiri dengan bagian sensitif di tubuhnya. Antara penasaran, tapi geli sendiri. Gara-gara menonton, tanpa sadar tubuh Rinoa pun ikut bereaksi. Ada sesuatu yang membuatnya bergejolak, dan ingin ikut disentuh."Oh, Rinoa?!" Barra tiba-tiba saja menyadari kalau ada yang mengintip dari luar pintu kamarnya. Dengan cepat Barra menyudahi panggilan video mesum itu, lalu memakai celananya dengan asal-asalan.Rinoa ikut kaget karena
Barra tidak salah dengar, yang ada di hadapannya ini adalah menantunya. Namun dia pun berusaha untuk tenang, lalu mengatur napas sejenak. "Ummm ... saya ... ma-maksudnya, Papa minta maaf atas kejadian yang tadi. Ma-maaf kalau Papa nggak mengenali kamu, Noa!" Barra benar-benar merasa bersalah. Dia pun memberanikan diri untuk mendekat ke Rinoa, lalu mengarahkan menantunya itu untuk duduk di sofa yang ada di kamar tersebut. "Duduk di sini sebentar, mungkin kamu perlu minum air supaya sedikit tenang."Rinoa sebenarnya masih ragu dan takut, tapi kalau memang papa mertuanya ini sudah sadar mungkin akan aman dan baik-baik saja. Pada akhirnya Rinoa pun menurut dan mau duduk di sofa, biarpun kakinya masih gemetaran tak karuan akibat kejadian tadi. Tatapan Rinoa pun mengawasi pergerakan dari Barra, berjaga-jaga."Sekali lagi Papa minta maaf. Bukan maksud Papa memperlakukan kamu seperti tadi. Papa harap kamu nggak salah sangka ya, Noa!" Rinoa hanya mengangguk pelan. Matanya jadi fokus menatap