LOGINPagi ini Rinoa kembali menyiapkan sarapan untuk Enzo. Mau dimakan atau tidak, paling tidak Rinoa sudah melakukan kewajibannya. Masalahnya, Enzo masih tertidur lelap padahal sudah dibangunkan beberapa kali oleh Rinoa.
Mata Rinoa pun tertuju pada suaminya yang masih tertidur itu. Jujur saja, Rinoa sangat ingin bermesraan dengan Enzo, apalagi melihat tubuh suaminya yang sangat menggairahkan saat tertidur. Dengan berani Rinoa meraba duluan bagian bawah suaminya, mencoba memberi rangsangan. "Sayang, bangun! Nanti kamu terlambat ke kantor, aku juga udah siapin sarapan buat kamu," bisik Rinoa di telinga Enzo. Enzo bergelayut di ranjang, matanya pun perlahan terbuka. Tiba-tiba saja Enzo sudah melihat Rinoa yang memposisikan diri di atas tubuhnya. "Kamu ngapain?" tanya Enzo. "Boleh, kan?" Rinoa meminta izin dengan gaya centil. "Tapi aku capek, Noa!" "Biar aku aja yang bergerak, Sayang!" Rinoa terlanjur bergairah. Tidak peduli kalau Enzo mengatakan dirinya capek. Kalau tidak dipaksa begini mungkin Rinoa akan lama kekeringan. Enzo pun tidak bisa menolak lagi setelah Rinoa bergerak cepat melucuti pakaiannya. Perempuan itu memulai pemanasannya dengan memainkan titik sensitif Enzo. Kemudian tanpa basa basi langsung melaksanakan tugas mulia suami istri itu, dengan posisi Rinoa yang mendominasi. "Uuuuhh ... Noa, uuuuhhh ... a-aku mau keluar!" "Belum, Sayang! Ini kan belum apa-apa." Rinoa makin mempercepat gerakan pinggulnya. "Nooaaahhh, aku keluar! Ahhhhh ...." Tubuh Enzo yang berada di bawah tubuh Rinoa itu terlihat mengejang sesaat. Tak lama setelahnya Enzo pun jadi lemas di tempat. Terlihat ekspresi kecewa di wajah Rinoa. Belum sampai lima menit permainan panas ini tapi sudah selesai? Secepat itu? Disentuh jarang, sekalinya juga pakai pemaksaan dan malah selesainya cepat. "Sekali lagi, boleh?" tawar Rinoa lagi dengan memohon. "Rinoa, nanti aku terlambat ke kantor." Enzo langsung memindahkan posisi Rinoa supaya segera turun dari atas tubuhnya. "Masih ada lain waktu, kan?" "Lain waktu?" Rinoa mengernyit. "Lain waktu yang mana? Bukannya kamu selalu sibuk di kantor? Apa aku harus samperin kamu ke kantor supaya kamu punya lebih banyak waktu sama aku?" keluhnya. "Ck ... jangan berlebihan, deh!" Rinoa cemberut. Padahal dirinya hanya menyampaikan keluhannya, tapi ternyata dianggap berlebihan oleh Enzo. Rinoa pun jadi kesal, lalu merapikan dirinya dan hendak menjauh dari suaminya. "Eh, mau ke mana kamu?" tanya Enzo saat Rinoa hendak keluar dari kamar tidur mereka. "Bukan urusan kamu!" jawab Rinoa dengan kesal. Enzo terlihat tidak terima. Dia pun langsung menahan Rinoa dan tidak mengizinkannya untuk pergi. "Bukan urusanku? Kenapa? Kamu marah karena yang tadi?" Rinoa mengalihkan pandangannya, tidak berani menatap ke Enzo. Malas juga berdebat, yang tadi terasa tanggung untuk Rinoa. "Kamu harusnya paham kalau pagi-pagi begini waktuku terbatas, aku harus siap-siap ke kantor sebelum kena macet!" jelas Enzo. "Karena aku paham, makanya aku nggak protes lagi. Aku juga mau keluar dan nggak ganggu waktu kamu untuk siap-siap. Tapi kenapa kamu malah nahan aku di sini?" "Aku nggak mau papa lihat muka cemberut kamu itu, Noa! Ingat ya, di rumah ini sekarang bukan cuma kita berdua, tapi udah ada papa juga!" Rinoa mendengkus kesal. "Terus kenapa kalau ada papa?" Enzo mau menyahut omongan istrinya, tapi ponselnya tiba-tiba berdering. Ada panggilan telepon masuk. Dia pun akhirnya memutuskan untuk menjawab panggilan telepon tersebut, daripada berdebat dengan istrinya. Sementara Rinoa yang sudah terlanjur kecewa itu langsung memilih untuk keluar dari kamar. Maunya menenangkan diri sejenak supaya tidak kepanasan. "Selamat pagi, Noa!" Suara berat khas papa Barra terdengar menyapa Rinoa saat perempuan itu baru keluar kamarnya. Sudah pasti Rinoa kaget, bahkan ekspresinya berubah panik. Ternyata mertuanya ada di dekat sana, jangan-jangan tadi juga mendengar pertengkaran kecil antara Rinoa dan Enzo. "Papa? Kenapa di sini?" tanya Rinoa penasaran. "Oh, tadi Papa maunya ngajakin kalian sarapan bareng. Tapi kamu sudah muncul duluan sebelum Papa samperin," jelas Barra. "Enzo apa sudah selesai siap-siap?" Rinoa menggelengkan kepalanya. "Belum, Pa! Dia baru mau mandi. Ummm ... biar aku yang temenin Papa sarapan, mungkin nanti biar Enzo nyusul belakangan." Barra setuju. Dia pun menuju ke meja makan bersama Rinoa. Kebetulan Rinoa juga bercerita ke mertuanya kalau dirinya sudah belajar masak, dan sarapan pagi ini disiapkan olehnya sendiri tanpa bantuan si mbak asisten rumah tangga. "Papa pikir kalau ini semua disiapin si Mbak Pur, ternyata kamu sendiri?" Barra terlihat sedikit kaget. "Iya, tapi maaf kalau rasanya belum sempurna ya, Pa! Aku masih coba-coba, karena Enzo juga minta biar aku belajar masak, katanya mama Enzo juga dulu jago masak, kan?" Barra mengangguk. "Iya, mendiang mamanya Enzo memang jago masak! Tapi pastinya dia juga berawal dari coba-coba dulu sebelum jadi jago, kan? Nggak ada salahnya mencoba, Noa!" "Ummm ... apa Papa juga suka coba-coba?" tanya Rinoa penasaran. Barra menyeringai. "Tergantung, kalau menarik tentu harus dicoba, kan? Boleh Papa cobain kamu?" "Hah?" Rinoa kaget dengan kalimat terakhir yang diucapkan Barra kepadanya. Barra terbahak. "Maksudnya Papa mau cobain masakan buatanmu, Noa!" Seketika Rinoa membulatkan bibirnya. "Oh, mau cobain masakan! Tentu, Pa, silahkan dicoba." Barra pun tanpa ragu mencoba masakan buatan Rinoa, terlihat ekspresinya wajahnya yang sangat menikmati. Padahal Rinoa sedikit tidak percaya diri dengan hasil buatannya. "Gimana, Pa?" tanya Rinoa. "Enak, masakan kamu ini enak, Noa! Padahal kamu bilang kalau masih belajar, kan?" "Papa pasti bohong, kan?" Masih Rinoa belum percaya. "Siapa yang bohong? Ini beneran enak. Kamu coba tanya Enzo, pasti dia juga setuju. Mirip dengan buatan mamanya Enzo." Rinoa bahkan tidak tahu bagaimana caranya meminta pendapat Enzo, kalau suaminya itu tidak pernah mencicipi masakannya. "Padahal dipuji, tapi kenapa malah cemberut?" Barra jadi bingung saat melihat ekspresi Rinoa setelah dipuji. "Aku ... aku nggak tahu Enzo suka juga atau nggak, Pa! Dia selalu minta aku untuk belajar masak, tapi masih belum sempat cicipin masakanku. Mungkin menurut dia memang cuma masakan mamanya yang paling enak dan belum ada yang bisa gantikan." "Hei, kenapa jadi pesimis begitu?" Barra mencoba menenangkan menantunya. Dia pun mengelus-elus punggung Rinoa dengan lembut. "Memang masakan mama Enzo itu enak, tapi kamu pun juga pasti bisa bikin yang jauh lebih enak. Ingat ya, tiap tangan itu berbeda. Apalagi Papa lihat kalau tangan kamu ini sangat mulus dan bersih." "Memang apa hubungannya tangan yang mulus dan bersih, Pa?" Rinoa tak paham. Sementara Barra malah mencuri kesempatan sambil menyentuh dan meraba tangan Rinoa. Memastikan kalau tangan Rinoa memang mulus. Tatapannya terlihat sangat mendambakan sesuatu. Rinoa pun membiarkan saja mertuanya meraba lembut tangannya, malah rasanya makin lama Rinoa jadi terangsang dengan sentuhan itu. "Kalian ngapain?" Suara Enzo tiba-tiba saja muncul. Seketika Barra melepas tangan Rinoa dan menjaga jarak dari menantunya itu.Barra mengangguk dengan yakin. "Tentu, Noa. Malah Papa khawatirnya dengan kamu." "Denganku?" Rinoa mengernyit. "Iya, kamu yang harus lebih berhati-hati lagi. Seperti yang Papa bilang tadi, adik kamu instingnya kuat. Jangan menunjukkan gerak-gerik yang aneh di depan dia. Bisa kan, Noa?" Barra lantas mengelus lembut puncak kepala Rinoa. Seperti menunjukkan rasa kasih sayang seorang ayah kepada putrinya. "Oke, Pa." Rinoa mengangguk pelan. Barra mengalihkan pandangannya sejenak ke arah luar mobil. "Sepertinya kita harus keluar sekarang. Papa nggak mau orang-orang di rumah ini jadi curiga kalau kita lebih lama lagi diam di dalam mobil." Rinoa setuju dengan saran Barra. Dia dan Barra pun segera keluar dari mobil. Jujur saja, gara-gara telepon dari Reonald tadi rasanya momen nikmat berdua dengan Barra jadi terasa nanggung. Rinoa pun mengakui kalau mertuanya ini sangat lihai menahan diri, padahal tadi bisa saja Rinoa cuek dengan tidak menjawab panggilan telepon dari adiknya. Namun Bar
"A-aku, aku udah pernah lihat," ucap Rinoa dengan sangat pelan. Pandangannya tertuju pada tangannya yang masih diarahkan oleh Barra. Memang benar kalau Rinoa sudah pernah melihatnya sebelumnya, bahkan Rinoa juga masih ingat bagaimana bentuk dan ukurannya saat tak sengaja mengintip mertuanya itu."Oh, benar ... Papa baru ingat kalau kamu sudah pernah melihatnya, Noa. Baru melihat tapi belum berkenalan langsung, kan?" Lagi-lagi Barra memancing keadaan. Rinoa tertarik, dan rasanya memang sulit menolak pancingan dari Barra. "Ber-berkenalan yang seperti apa maksud Papa?" Rinoa pura-pura tidak paham. Pipinya seketika merona merah, jadi membayangkan milik Barra yang pernah dia lihat sebelumnya."Hei, kamu manis sekali kalau malu-malu begini." Tiba-tiba saja Barra mengendurkan ikat pinggang kemudian melepas ritsleting celananya. Benda miliknya dikeluarkan dari tempatnya, hendak mengajak Rinoa untuk berkenalan langsung."Pegang ini, Noa!" perintah Barra. Tangan Rinoa pun dipaksa untuk mengge
Tentu saja Rinoa tidak menolaknya, malah ini yang Rinoa suka. Lebih intim dengan papa Barra. Namun mata Rinoa seketika celingukan memperhatikan sekitar. "Apa nanti nggak ada yang curiga karena kita kelamaan di dalam mobil, Pa?" "Setidaknya mereka nggak tahu apa yang kita lakuin di sini, Noa." Barra meraih tangan Rinoa, lalu mencium punggung tangan perempuan itu dengan lembut. Tangan Rinoa lantas diarahkan ke pipi Barra, meraba-raba tangan itu menggunakan pipinya. "Kalau boleh jujur, biarpun kita belum lama kenal tapi Papa sudah sangat sayang ke kamu. Papa tahu ini salah, tapi semakin Papa tahan rasanya semakin buat dada Papa sakit." Rinoa terdiam, menatap bagaimana mempesonanya sosok Barra. Memang aura Barra sangat berbeda dengan Enzo, jauh lebih tenang dan sangat meneduhkan. Rinoa juga paham kalau yang mereka lakukan ini salah, tapi dia tidak bisa menutupi kalau dirinya juga merasa jauh lebih nyaman dengan Barra. "Kalau seandainya aku tinggalin Enzo gimana, Pa?" tanya Rinoa tiba-
Sudah tentu Rinoa perlu jeda sesaat sebelum mulai menyetir. Bagian bawahnya yang masih terasa basah itu sedikit membuatnya terganggu. Rinoa pun merapikan dirinya sejenak, lalu menarik napas dalam dan mulai fokus untuk menyetir. Barra masih tersenyum melihat bagaimana kondisi Rinoa yang baru selesai pelepasan tapi dipaksa menyetir itu. Ternyata sekali-kali jahil ke Rinoa menyenangkan juga. "Enzo pamitan ke kamu?" tanya Barra tiba-tiba. Pandangannya masih tertuju pada menantunya yang sedang fokus menatap ke jalan. Rinoa dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Enggak, Pa, aku bahkan nggak tahu kalau dia pergi ke Singapura. Tadi Mbak Pur yang bilang kalau dia pagi-pagi udah berangkat, takut ketinggalan pesawat. Dan setelah dia sampai di Changi Airport, baru deh dia laporan ke aku." Mendengar itu, Barra menghela napasnya dengan berat. "Tadi pagi kebetulan Papa lihat dia sebelum berangkat, dan juga baru bilang ke Papa kalau dia mau ke Singapura. Papa kira dia sudah pamitan duluan
Rinoa bergeming begitu mendengar pertanyaan mertuanya. Apa yang harus Rinoa katakan? Apa mengaku jujur kalau Rinoa memang ingin punya waktu berdua lebih lama dengan Barra? Barra lantas terkekeh sendiri. Apalagi saat melihat Rinoa yang kebingungan untuk merespon pertanyaannya tadi. "Jangan terlalu serius, Noa. Ayo masuk ke dalam mobil. Kamu yang nyetir, kan?" Barra terlihat menunggu Rinoa untuk membuka kunci pintu mobilnya. Ada senyuman jahil yang dilayangkan Barra kepadanya. Rinoa jadi salah tingkah, dia pun buru-buru membuka kunci pintu mobilnya. Sementara Barra segera masuk ke dalam mobil begitu kuncinya sudah terbuka. Rinoa menyusul untuk masuk, dan duduk di belakang kemudi. "Sebenarnya bisa aja Papa yang nyetir, tapi...." Barra melirik ke arah Rinoa yang duduk di sebelahnya. "Tapi apa, Pa?" tanya Rinoa sambil ikut menoleh ke arah Barra. Tangan Barra tiba-tiba saja sudah meraba paha Rinoa, seketika tubuh Rinoa bergidik. "Tapi Papa percaya kalau kamu yang pegang setir
"Aku baru sampai di Changi Airport Singapura, Sayang. Maaf tadi pagi aku nggak bangunin kamu, karena sepertinya kamu capek banget." Enzo langsung menghubungi Rinoa lewat video call, memberi kabar kalau dirinya baru saja sampai di bandara Singapura. Rinoa memutar kedua bola matanya dengan malas. Haruskah dia memaklumi hal-hal seperti ini? Bahkan Enzo perginya ke luar negeri, tanpa pamitan dan tanpa mengabarkan dari kemarin. "Ada urusan apa di sana?" tanya Rinoa dengan singkat dan padat, sudah malas. "Brian baru buka resto makanan Italy di sini. Aku diminta untuk datang ikut peresmiannya," jawab Enzo. "Oh ...." Rinoa hanya manggut-manggut tanpa ekspresi. Seharusnya sih Enzo sadar kalau saat ini Rinoa sedang tidak baik-baik saja. Capek juga kalau harus kesal berlama-lama dengan sikap Enzo, lagian kata Mbak Pur memang Enzo orangnya suka dadakan, kan? Sikap Enzo yang ini baru Rinoa pelajari juga setelah menikah. Memang menikah buru-buru ternyata ada efek sampingnya juga, tidak begitu







