LOGIN"Rinoa?" Barra terlihat kaget saat mendapati menantunya sedang berada di dalam kamarnya.
Sementara Rinoa masih dalam posisi sedikit berjongkok, karena tadi kakinya tersandung meja dan harus menutup mulut untuk menahan rasa sakit.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Barra sambil mendekat ke Rinoa.
Rinoa was-was, dia pun jadi mundur memberi jarak. "A-aku tadi, aku tadi cuma mau balikin HP Papa," jawabnya sebisanya.
"HP?" Barra mengernyit.
Rinoa mengangguk, lalu menyerahkan ponsel milik Barra yang masih dipegang olehnya dan belum sempat diletakkan di meja gara-gara penasaran tadi. "Tadi ketinggalan di meja makan, Pa!"
"Oh, ya ampun! Papa belakangan ini memang mulai pikun." Barra meraih ponsel tersebut. Lalu pandangannya tertuju ke Rinoa. "Ummm ... apa barusan kamu lihat?"
Rinoa mengangguk, tapi kemudian dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Enggak, aku nggak lihat apa-apa!" bohongnya.
Barra terkekeh sambil menatap curiga. "Apa iya?"
"Be-beneran, aku nggak lihat apa-apa, Pa!" Rinoa menunduk, tak berani menatap mertuanya. Masalahnya kalau menunduk begini, matanya jadi ingin curi-curi pandang melihat handuk yang membalut bagian bawah tubuh papa Barra.
"Tapi kenapa kamu seperti takut begitu? Kamu nggak perlu bohong, yang kemarin waktu Papa video call juga kamu sudah lihat, kan? Ummm ... kalau memang yang barusan kamu lihat, Papa minta maaf, Rinoa!" Barra makin mendekat ke Rinoa, lalu menyentuh lengan menantunya dengan lembut.
Seketika Rinoa bergidik geli. Namun dia tidak menolak sentuhan tangan mertuanya yang masih sedikit basah itu pada lengannya.
"Ke-kenapa?" tanya Rinoa tiba-tiba.
"Kenapa apanya, Noa?"
"Kenapa tadi Papa sebut namaku?" Rinoa memang masih belum percaya dengan apa yang dia dengar tadi.
"Oh, itu ... Papa juga nggak ngerti. Yang ada di pikiran Papa dari pertemuan kita kemarin itu cuma kamu, Noa! Semoga kamu nggak salah paham." Barra pun mengamit dagu Rinoa dengan jarinya, mengarahkan agar Rinoa mau memandangnya dan berhenti menunduk. "Apa kamu merasa nggak nyaman dengan keberadaan Papa di sini?"
Rinoa bergeming, tatapannya tertuju pada kedua mata mertuanya.
Bukan tidak nyaman, Rinoa hanya sedikit kaget dengan sikap spesial Barra kepadanya. Apalagi terlihat jelas kalau Barra ini tipe ayah yang sangat mengayomi, dan Rinoa suka itu. Hal-hal yang mungkin tidak pernah Rinoa dapatkan dari kecil oleh sosok ayahnya, begitu juga karena punya suami yang mulai cuek dan sibuk sendiri dengan pekerjaan.
Jelas saja Rinoa jadi terenyuh kalau ada sosok laki-laki dewasa yang bisa memperlakukannya dengan baik dan lembut. Bahkan mertuanya ini selalu memastikan apakah Rinoa nyaman atau tidak, juga tidak ragu untuk minta maaf dan memberi pujian pada Rinoa.
"Kalau kamu nggak nyaman, mungkin nanti Papa bisa tinggal di rumah Papa yang lain," lanjut Barra.
Rinoa dengan cepat menggelengkan kepalanya. Tangannya pun langsung menahan tangan Barra. "Jangan!"
"Jangan?"
"Iya, Papa jangan pindah ke mana-mana. Aku nggak keberatan kalau Papa di sini, apalagi ini kan memang rumah Papa. Ya biarpun Papa masih punya rumah yang lain juga."
Barra tersenyum semringah. Bibirnya pun lantas mendekat ke telinga Rinoa, kemudian berbisik, "Oke, Papa nggak akan ke mana-mana. Papa bakalan di sini, jagain kamu!"
Tubuh Rinoa berdesir hangat begitu mendengar suara bisikan dari Barra. Sungguh rasanya jauh berbeda dengan bisikan mengancam dari Enzo tadi sebelum berangkat ke kantor.
Rinoa pun merasakan gesekan lembut dari kumis tipis Barra di telinganya, makin membuat Rinoa jadi bergidik geli.
"Ummm ... Pa, se-sepertinya a-aku ada keperluan yang harus aku selesaikan dulu." Rinoa pun berusaha menghindar, tidak berani berlama-lama berada di sana. Takut dihasut setan.
Dengan cepat Rinoa menjauh dari mertuanya, lalu segera kabur dari kamar tersebut.
***
"Kenapa belum tidur?" Enzo yang baru pulang pukul sebelas malam itu mendapati istrinya duduk termenung di sofa ruang tengah rumahnya. Siaran TV tetap menyala, tapi pandangan Rinoa sepertinya tidak fokus ke layar TV tersebut.
Rinoa pun baru sadar kalau suaminya sudah pulang, bahkan dirinya tidak mendengar suara mobil suaminya datang. Mungkin karena pikiran Rinoa yang sedang tidak nyaman malam ini, membuat dirinya tidak fokus.
"Aku tunggu kamu pulang, Sayang!" jawab Rinoa kepada Enzo.
Enzo lantas ikut duduk di sofa bersama Rinoa. "Harusnya kamu nggak perlu tiap malam nungguin aku pulang. Kalau kamu udah ngantuk, tinggal tidur aja, Noa!"
"Iya, tapi aku cuma khawatir sama kamu. Beberapa hari ini tiap malam HP kamu selalu nggak aktif, jadi aku cuma mau mastiin kalau kamu pulang ke rumah dengan selamat."
"Tuh, mulai deh! Nggak usah berlebihan gitu." Enzo terlihat cuek.
"Berlebihan? HP nggak aktif, dan aku cuma mau mastiin kamu pulang dengan selamat, itu kamu anggap berlebihan?" Mata Rinoa seketika membulat, tak percaya dengan kata-kata Enzo yang belakangan ini hobi mengatakan Rinoa berlebihan.
"Noa, aku capek! Tolong jangan ngajakin aku ribut cuma karena masalah kecil."
Rinoa mendengkus kesal. "Kenapa sih, kamu nggak pernah mau ngertiin aku? Kenapa cuma aku yang diminta ngertiin sibuk dan capeknya kamu? Lagian aku itu khawatir sama suami sendiri, tapi kamu malah bilang berlebihan."
"Oke, oke ...." Enzo meraih tangan Rinoa, lalu menepuk-nepuknya. "Aku minta maaf, Noa! Maaf kalau aku kurang ngertiin kamu."
Memang mulut Enzo mengucapkan kata maaf, tapi ekspresi dan sikapnya kenapa tidak menunjukkan rasa penyesalan? Seolah-olah kata maaf itu cuma sebagai kalimat supaya Rinoa tidak melanjutkan protesnya ke Enzo.
Sungguh beda sekali dengan cara minta maafnya papa Barra. Cara papa Barra meminta maaf terasa tulus dan penuh penyesalan. Ah, memang dua orang ini sangat berbeda. Lagian mereka kan bukan sedarah, jadi wajar kalau berbeda.
Rinoa pun cuma bisa menghela napas dengan panjang, bibirnya sedikit manyun.
"Papa udah tidur, kan?" tanya Enzo kemudian.
"Mungkin!" jawab Rinoa singkat.
"Kamu masih ingat pesanku yang tadi pagi? Jangan ngomong aneh-aneh lagi ke papa. Aku yakin pasti kamu sempat cerita ke papa kalau aku sibuk dan jarang punya waktu sama kamu, kan?"
"Memang kenapa kalau aku sempat cerita begitu ke papa? Lagian yang bikin kamu sibuk itu karena mengurus perusahaan papa, kan? Jadi wajar kalau aku ngeluh langsung ke pemilik perusahaan supaya jangan kasih kerjaan yang banyak ke kamu. Memangnya itu salah?
Enzo mulai geram. Dia pun menggebrak meja yang ada di dekatnya, seketika membuat Rinoa jadi kaget dan sedikit takut.
"Stop, Rinoa!" gertak Enzo, mencoba menahan amarahnya.
"Ke-kenapa?" tanya Rinoa yang masih takut-takut.
"Jangan lagi kamu ngeluh yang aneh-aneh ke papa. Aku nggak mau papa berpikir kalau aku cuek sama istriku. Kamu ingat kan pesan papa tadi pagi? Beliau minta cucu untuk nerusin perusahaan dia, Noa! Semua warisan bakalan jatuh ke kita dan anak-anak kita nanti!"
Rinoa menyeringai. "Lantas apa kamu pikir kalau aku ini semacam pabrik yang tugasnya cuma mencetak anak, demi dapatkan semua warisan papa Barra?" sungut Rinoa.
Barra mengangguk dengan yakin. "Tentu, Noa. Malah Papa khawatirnya dengan kamu." "Denganku?" Rinoa mengernyit. "Iya, kamu yang harus lebih berhati-hati lagi. Seperti yang Papa bilang tadi, adik kamu instingnya kuat. Jangan menunjukkan gerak-gerik yang aneh di depan dia. Bisa kan, Noa?" Barra lantas mengelus lembut puncak kepala Rinoa. Seperti menunjukkan rasa kasih sayang seorang ayah kepada putrinya. "Oke, Pa." Rinoa mengangguk pelan. Barra mengalihkan pandangannya sejenak ke arah luar mobil. "Sepertinya kita harus keluar sekarang. Papa nggak mau orang-orang di rumah ini jadi curiga kalau kita lebih lama lagi diam di dalam mobil." Rinoa setuju dengan saran Barra. Dia dan Barra pun segera keluar dari mobil. Jujur saja, gara-gara telepon dari Reonald tadi rasanya momen nikmat berdua dengan Barra jadi terasa nanggung. Rinoa pun mengakui kalau mertuanya ini sangat lihai menahan diri, padahal tadi bisa saja Rinoa cuek dengan tidak menjawab panggilan telepon dari adiknya. Namun Bar
"A-aku, aku udah pernah lihat," ucap Rinoa dengan sangat pelan. Pandangannya tertuju pada tangannya yang masih diarahkan oleh Barra. Memang benar kalau Rinoa sudah pernah melihatnya sebelumnya, bahkan Rinoa juga masih ingat bagaimana bentuk dan ukurannya saat tak sengaja mengintip mertuanya itu."Oh, benar ... Papa baru ingat kalau kamu sudah pernah melihatnya, Noa. Baru melihat tapi belum berkenalan langsung, kan?" Lagi-lagi Barra memancing keadaan. Rinoa tertarik, dan rasanya memang sulit menolak pancingan dari Barra. "Ber-berkenalan yang seperti apa maksud Papa?" Rinoa pura-pura tidak paham. Pipinya seketika merona merah, jadi membayangkan milik Barra yang pernah dia lihat sebelumnya."Hei, kamu manis sekali kalau malu-malu begini." Tiba-tiba saja Barra mengendurkan ikat pinggang kemudian melepas ritsleting celananya. Benda miliknya dikeluarkan dari tempatnya, hendak mengajak Rinoa untuk berkenalan langsung."Pegang ini, Noa!" perintah Barra. Tangan Rinoa pun dipaksa untuk mengge
Tentu saja Rinoa tidak menolaknya, malah ini yang Rinoa suka. Lebih intim dengan papa Barra. Namun mata Rinoa seketika celingukan memperhatikan sekitar. "Apa nanti nggak ada yang curiga karena kita kelamaan di dalam mobil, Pa?" "Setidaknya mereka nggak tahu apa yang kita lakuin di sini, Noa." Barra meraih tangan Rinoa, lalu mencium punggung tangan perempuan itu dengan lembut. Tangan Rinoa lantas diarahkan ke pipi Barra, meraba-raba tangan itu menggunakan pipinya. "Kalau boleh jujur, biarpun kita belum lama kenal tapi Papa sudah sangat sayang ke kamu. Papa tahu ini salah, tapi semakin Papa tahan rasanya semakin buat dada Papa sakit." Rinoa terdiam, menatap bagaimana mempesonanya sosok Barra. Memang aura Barra sangat berbeda dengan Enzo, jauh lebih tenang dan sangat meneduhkan. Rinoa juga paham kalau yang mereka lakukan ini salah, tapi dia tidak bisa menutupi kalau dirinya juga merasa jauh lebih nyaman dengan Barra. "Kalau seandainya aku tinggalin Enzo gimana, Pa?" tanya Rinoa tiba-
Sudah tentu Rinoa perlu jeda sesaat sebelum mulai menyetir. Bagian bawahnya yang masih terasa basah itu sedikit membuatnya terganggu. Rinoa pun merapikan dirinya sejenak, lalu menarik napas dalam dan mulai fokus untuk menyetir. Barra masih tersenyum melihat bagaimana kondisi Rinoa yang baru selesai pelepasan tapi dipaksa menyetir itu. Ternyata sekali-kali jahil ke Rinoa menyenangkan juga. "Enzo pamitan ke kamu?" tanya Barra tiba-tiba. Pandangannya masih tertuju pada menantunya yang sedang fokus menatap ke jalan. Rinoa dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Enggak, Pa, aku bahkan nggak tahu kalau dia pergi ke Singapura. Tadi Mbak Pur yang bilang kalau dia pagi-pagi udah berangkat, takut ketinggalan pesawat. Dan setelah dia sampai di Changi Airport, baru deh dia laporan ke aku." Mendengar itu, Barra menghela napasnya dengan berat. "Tadi pagi kebetulan Papa lihat dia sebelum berangkat, dan juga baru bilang ke Papa kalau dia mau ke Singapura. Papa kira dia sudah pamitan duluan
Rinoa bergeming begitu mendengar pertanyaan mertuanya. Apa yang harus Rinoa katakan? Apa mengaku jujur kalau Rinoa memang ingin punya waktu berdua lebih lama dengan Barra? Barra lantas terkekeh sendiri. Apalagi saat melihat Rinoa yang kebingungan untuk merespon pertanyaannya tadi. "Jangan terlalu serius, Noa. Ayo masuk ke dalam mobil. Kamu yang nyetir, kan?" Barra terlihat menunggu Rinoa untuk membuka kunci pintu mobilnya. Ada senyuman jahil yang dilayangkan Barra kepadanya. Rinoa jadi salah tingkah, dia pun buru-buru membuka kunci pintu mobilnya. Sementara Barra segera masuk ke dalam mobil begitu kuncinya sudah terbuka. Rinoa menyusul untuk masuk, dan duduk di belakang kemudi. "Sebenarnya bisa aja Papa yang nyetir, tapi...." Barra melirik ke arah Rinoa yang duduk di sebelahnya. "Tapi apa, Pa?" tanya Rinoa sambil ikut menoleh ke arah Barra. Tangan Barra tiba-tiba saja sudah meraba paha Rinoa, seketika tubuh Rinoa bergidik. "Tapi Papa percaya kalau kamu yang pegang setir
"Aku baru sampai di Changi Airport Singapura, Sayang. Maaf tadi pagi aku nggak bangunin kamu, karena sepertinya kamu capek banget." Enzo langsung menghubungi Rinoa lewat video call, memberi kabar kalau dirinya baru saja sampai di bandara Singapura. Rinoa memutar kedua bola matanya dengan malas. Haruskah dia memaklumi hal-hal seperti ini? Bahkan Enzo perginya ke luar negeri, tanpa pamitan dan tanpa mengabarkan dari kemarin. "Ada urusan apa di sana?" tanya Rinoa dengan singkat dan padat, sudah malas. "Brian baru buka resto makanan Italy di sini. Aku diminta untuk datang ikut peresmiannya," jawab Enzo. "Oh ...." Rinoa hanya manggut-manggut tanpa ekspresi. Seharusnya sih Enzo sadar kalau saat ini Rinoa sedang tidak baik-baik saja. Capek juga kalau harus kesal berlama-lama dengan sikap Enzo, lagian kata Mbak Pur memang Enzo orangnya suka dadakan, kan? Sikap Enzo yang ini baru Rinoa pelajari juga setelah menikah. Memang menikah buru-buru ternyata ada efek sampingnya juga, tidak begitu







