LOGINEnzo sepertinya ingin membalas ucapan Rinoa yang barusan, tapi laki-laki itu hanya menatap tajam kepadanya. Lalu kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Mending aku istirahat aja! Aku nggak mau habisin banyak energi untuk berdebat sama kamu," ucap Enzo akhirnya. Laki-laki itu pun berjalan duluan menuju ke kamarnya, meninggalkan Rinoa sendirian. Rinoa memperhatikan pergerakan suaminya yang menjauh, sambil mendengkus dengan kesal. "Pasti nggak bisa jawab lagi, makanya milih pergi," gerutu Rinoa. Rasanya Rinoa malas mau menyusul Enzo ke kamar, biar saja dia tidur duluan. Mungkin minum teh hangat bisa membuat Rinoa sedikit tenang dan tidak kesal lagi. Rinoa pun akhirnya memutuskan untuk pergi ke dapur, membuat teh untuk dirinya sendiri. "Kenapa belum tidur?" Suara Barra tiba-tiba saja muncul di dapur. Seketika Rinoa kaget, bahkan hampir menumpahkan teh hangat yang baru jadi. "Papa?" "Kamu bikin apa malam-malam begini?" tanya Barra sambil berjalan mendekat ke Rinoa. "Ummm ... i-ini, aku nggak bisa tidur jadi aku bikin teh hangat. Apa Papa juga mau? Biar aku bikinin," tawar Rinoa. "Boleh." Rinoa pun segera membuatkan satu teh hangat lagi untuk mertuanya. Sementara Barra masih setia menunggu di dekatnya. "Papa sendiri kenapa nggak tidur?" tanya Rinoa kemudian. "Tadi Papa masih mengecek beberapa laporan, maunya begitu selesai langsung tidur. Tapi ... Papa dengar suara Enzo datang, jadi maunya sih Papa ngobrol sebentar sama dia." Mendengar itu Rinoa sedikit panik. Kalau mertuanya belum tidur, apalagi tahu saat Enzo pulang, artinya apakah tadi mertuanya ini mendengar pertengkaran mereka? "Tapi sepertinya Enzo capek dan sudah masuk ke kamar, mungkin biar besok pagi aja Papa ngobrol sama dia," lanjut Barra. "Oh, i-iya ... sepertinya memang Enzo lagi capek, Pa," jawab Rinoa sebisanya. Dia pun menyerahkan teh hangat buatannya untuk mertuanya. Barra meraih cangkir teh tersebut, yang tanpa sengaja jadi ikut menyentuh tangan Rinoa. Jujur saja, Rinoa merasa nyaman saat kulitnya bersentuhan dengan mertuanya. Ini benar-benar aneh. Rinoa pun buru-buru sadar dan menjauhkan tangannya dari Barra. Kemudian meminum teh miliknya untuk menghilangkan rasa canggung. "Jadi memang setiap hari Enzo pulang malam?" Barra mengintrogasi. Rinoa mengangguk. Tidak mau berbohong, memang nyatanya begitu. Tapi jadi makin curiga kalau pertengkaran mereka barusan memang didengar mertuanya. "Apa kamu sempat telpon ke kantornya?" tanya Barra lagi. "Pernah, tapi belakangan ini Enzo nggak suka kalau aku telpon ke kantor, apalagi cuma buat mastiin kondisi dia. Jadi, aku nahan diri buat nggak telpon ke kantor lagi, dan cuma bisa nungguin dia pulang," jelas Rinoa apa adanya. Entah mengapa Rinoa sulit berbohong di depan Barra. Barra geleng-geleng kepala, tak percaya. "Padahal nggak ada salahnya kalau kamu hubungin kantor. Kamu kan istri Enzo." "Aku juga berpikir begitu, tapi ... sepertinya Enzo nggak suka kalau aku seperti itu!" "Dan kamu tahan?" "Tahan apanya, Pa?" Rinoa bingung. "Tahan kalau suami kamu nggak ngabarin keberadaannya." Barra menghela napasnya. "Dulu waktu Papa merintis perusahaan ini, sesibuk apa pun Papa pasti tetap mengabarkan ke mamanya Enzo. Bahkan kadang mamanya Enzo sering mampir ke kantor, Enzo kecil juga ikut. Jadi Papa benar-benar terbuka terhadap apa pun ke mamanya Enzo." "Ummm ... apa menurut Papa kalau Enzo ini nggak cukup terbuka sama aku?" Rinoa penasaran. Masalahnya memang ini lah yang belakangan ini Rinoa rasakan. Barra mengusap-usap punggung Rinoa, mencoba menenangkan. "Papa nggak bilang begitu, Rinoa. Tapi mungkin cara komunikasinya aja yang lebih diperbaiki." Rinoa terdiam, kemudian sedikit menunduk. Sadar kalau cara komunikasi mereka berdua memang kadang tidak searah. Enzo yang lelah sepulang dari kantor juga jadi lebih sering bernada tinggi kalau bicara dengan Rinoa. Padahal Rinoa sudah merasa kalau dirinya bertanya baik-baik ke Enzo. "Gimana caranya supaya bisa komunikasi yang baik, Pa? Aku sudah mencoba sebisaku, tapi memang ini bermula dari sibuknya Enzo belakangan ini." "Mungkin kita bisa sama-sama cari solusinya nanti, yang penting Enzo nggak pernah kasarin kamu, kan?" Rinoa menggelengkan kepalanya. "Enggak, Enzo nggak pernah kasar. Tapi ...." "Apa?" "Kata-katanya kadang bikin sakit hati," ucap Rinoa dengan jujur. Entah mengapa mendengar itu malah Barra yang jadi merasa sangat bersalah. Merasa sudah salah mendidik Enzo, dan tentunya Barra pun jadi tidak enak kalau sampai orang tua Rinoa tahu bagaimana Enzo memperlakukan Rinoa. Barra lantas meraih kedua tangan Rinoa, menepuk-nepuk punggung tangannya. "Nanti Papa bakalan ngobrol sama Enzo. Kamu jangan khawatir, nanti Papa pastikan kalau Enzo tidak begitu lagi ke kamu." Dengan cepat Rinoa menggelengkan kepalanya. "Jangan! Aku rasa nggak perlu, Pa!" "Kenapa?" Barra mengernyit. "Aku nggak mau Enzo tersinggung lagi. Nanti dia mikir kalau aku tukang ngadu ke Papa." Barra menghela napas dengan berat. "Jadi apa yang bisa Papa perbuat untuk kamu, Rinoa?" Pertanyaan dari papa Barra ini membuat Rinoa tertegun. Haruskah Rinoa jujur kalau dirinya cuma perlu ditemani, perlu teman untuk mengobrol dan bertukar pikiran? "Papa yang minta maaf kalau seandainya Enzo ada berbuat yang tidak baik ke kamu," lanjut Barra. "Ke-kenapa Papa yang minta maaf? Kenapa bukan Enzo?" Rinoa menunduk. Rasanya aneh, yang bersalah siapa, tapi kenapa malah papa Barra yang minta maaf? Barra tiba-tiba saja mengelus pipi Rinoa. Seketika membuat Rinoa tidak menunduk lagi. Ada desiran hangat yang Rinoa rasakan saat kulit Barra menyentuh kulitnya. Entah mengapa, Rinoa suka sentuhan ini. "Karena Papa yang besarin Enzo dari kecil, biarpun Papa bukan Papa kandungnya. Tapi Papa yang bertanggung jawab, dan Papa bakalan terus minta maaf ke kamu kalau memang Enzo berbuat salah ke kamu. Kamu nggak pantas dibentak-bentak, Papa nggak pernah mengajarkan Enzo seperti itu apalagi ke perempuan." "Ja-jadi, apa Papa tadi dengar waktu kita sedikit berdebat?" Rinoa penasaran. Pasti gara-gara mendengar itu makanya papa Barra mau memastikan kondisi Rinoa. Barra mengangguk. "Papa juga dengar pertengkaran kalian tadi pagi sewaktu di kamar." Rinoa baru ingat kalau tadi pagi mereka sedikit berdebat setelah selesai bercinta yang berdurasi singkat, padat, jelas itu. Huh, padahal bukan maksud Rinoa untuk mengadu macam-macam, tapi memang mertuanya sendiri yang dengar, kan? "Tapi, itu cuma pertengkaran biasa, Pa!" Rinoa berusaha mengelak. "Iya, tapi seharusnya Enzo bisa perlakukan kamu dengan baik." Barra lantas mengelus puncak kepala Rinoa. Sungguh rasanya sangat disayang. "Uummmm ... aku jadi nggak khawatir lagi sekarang. Soalnya ada Papa di sini yang bisa nenangin aku," ucap Rinoa. Kata-kata itu keluar secara otomatis dari mulutnya. "Selain nenangin kamu, Papa juga bisa menghibur kamu, Noa," ucap Barra. "Menghibur aku?" Rinoa mengernyit. "Seperti apa?"Barra menaikkan satu sudut bibirnya. "Kamu benar, memang lebih baik dia berlama-lama di sana. Tapi ... semoga aja Enzo nggak lalai dengan tugasnya di kantor."Rinoa mendengkus pelan. "Bukannya Enzo udah terlalu sering kerja lembur di kantor Papa? Sesekali dia bebas tugas sepertinya nggak masalah kan, Pa? Lagian semua bisa dicek lewat online dan Papa sendiri juga bisa mengecek langsung ke kantor."Jujur saja Rinoa sedikit tidak suka kalau Barra mulai membahas urusan pekerjaan. Dia sudah merasakan sendiri kurangnya kasih sayang Enzo ke Rinoa akibat mengurus perusahaan milik Barra, sekarang di saat Enzo tidak ada malah kembali Barra memikirkan bisnisnya.Barra sepertinya pun langsung paham kalau Rinoa kurang menyukai pembahasan ini. Terlihat dari ekspresi Rinoa yang langsung berubah cemberut saat Barra membahas tentang kantornya.Seketika Barra mengelus tangan Rinoa dengan lembut. "Kita makan dulu ya, Noa. Papa minta maaf kalau bahas masalah yang tadi."Rinoa tersenyum tipis. Dia pun men
Barra mengangguk dengan yakin. "Tentu, Noa. Malah Papa khawatirnya dengan kamu." "Denganku?" Rinoa mengernyit. "Iya, kamu yang harus lebih berhati-hati lagi. Seperti yang Papa bilang tadi, adik kamu instingnya kuat. Jangan menunjukkan gerak-gerik yang aneh di depan dia. Bisa kan, Noa?" Barra lantas mengelus lembut puncak kepala Rinoa. Seperti menunjukkan rasa kasih sayang seorang ayah kepada putrinya. "Oke, Pa." Rinoa mengangguk pelan. Barra mengalihkan pandangannya sejenak ke arah luar mobil. "Sepertinya kita harus keluar sekarang. Papa nggak mau orang-orang di rumah ini jadi curiga kalau kita lebih lama lagi diam di dalam mobil." Rinoa setuju dengan saran Barra. Dia dan Barra pun segera keluar dari mobil. Jujur saja, gara-gara telepon dari Reonald tadi rasanya momen nikmat berdua dengan Barra jadi terasa nanggung. Rinoa pun mengakui kalau mertuanya ini sangat lihai menahan diri, padahal tadi bisa saja Rinoa cuek dengan tidak menjawab panggilan telepon dari adiknya. Namun Bar
"A-aku, aku udah pernah lihat," ucap Rinoa dengan sangat pelan. Pandangannya tertuju pada tangannya yang masih diarahkan oleh Barra. Memang benar kalau Rinoa sudah pernah melihatnya sebelumnya, bahkan Rinoa juga masih ingat bagaimana bentuk dan ukurannya saat tak sengaja mengintip mertuanya itu."Oh, benar ... Papa baru ingat kalau kamu sudah pernah melihatnya, Noa. Baru melihat tapi belum berkenalan langsung, kan?" Lagi-lagi Barra memancing keadaan. Rinoa tertarik, dan rasanya memang sulit menolak pancingan dari Barra. "Ber-berkenalan yang seperti apa maksud Papa?" Rinoa pura-pura tidak paham. Pipinya seketika merona merah, jadi membayangkan milik Barra yang pernah dia lihat sebelumnya."Hei, kamu manis sekali kalau malu-malu begini." Tiba-tiba saja Barra mengendurkan ikat pinggang kemudian melepas ritsleting celananya. Benda miliknya dikeluarkan dari tempatnya, hendak mengajak Rinoa untuk berkenalan langsung."Pegang ini, Noa!" perintah Barra. Tangan Rinoa pun dipaksa untuk mengge
Tentu saja Rinoa tidak menolaknya, malah ini yang Rinoa suka. Lebih intim dengan papa Barra. Namun mata Rinoa seketika celingukan memperhatikan sekitar. "Apa nanti nggak ada yang curiga karena kita kelamaan di dalam mobil, Pa?" "Setidaknya mereka nggak tahu apa yang kita lakuin di sini, Noa." Barra meraih tangan Rinoa, lalu mencium punggung tangan perempuan itu dengan lembut. Tangan Rinoa lantas diarahkan ke pipi Barra, meraba-raba tangan itu menggunakan pipinya. "Kalau boleh jujur, biarpun kita belum lama kenal tapi Papa sudah sangat sayang ke kamu. Papa tahu ini salah, tapi semakin Papa tahan rasanya semakin buat dada Papa sakit." Rinoa terdiam, menatap bagaimana mempesonanya sosok Barra. Memang aura Barra sangat berbeda dengan Enzo, jauh lebih tenang dan sangat meneduhkan. Rinoa juga paham kalau yang mereka lakukan ini salah, tapi dia tidak bisa menutupi kalau dirinya juga merasa jauh lebih nyaman dengan Barra. "Kalau seandainya aku tinggalin Enzo gimana, Pa?" tanya Rinoa tiba-
Sudah tentu Rinoa perlu jeda sesaat sebelum mulai menyetir. Bagian bawahnya yang masih terasa basah itu sedikit membuatnya terganggu. Rinoa pun merapikan dirinya sejenak, lalu menarik napas dalam dan mulai fokus untuk menyetir. Barra masih tersenyum melihat bagaimana kondisi Rinoa yang baru selesai pelepasan tapi dipaksa menyetir itu. Ternyata sekali-kali jahil ke Rinoa menyenangkan juga. "Enzo pamitan ke kamu?" tanya Barra tiba-tiba. Pandangannya masih tertuju pada menantunya yang sedang fokus menatap ke jalan. Rinoa dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Enggak, Pa, aku bahkan nggak tahu kalau dia pergi ke Singapura. Tadi Mbak Pur yang bilang kalau dia pagi-pagi udah berangkat, takut ketinggalan pesawat. Dan setelah dia sampai di Changi Airport, baru deh dia laporan ke aku." Mendengar itu, Barra menghela napasnya dengan berat. "Tadi pagi kebetulan Papa lihat dia sebelum berangkat, dan juga baru bilang ke Papa kalau dia mau ke Singapura. Papa kira dia sudah pamitan duluan
Rinoa bergeming begitu mendengar pertanyaan mertuanya. Apa yang harus Rinoa katakan? Apa mengaku jujur kalau Rinoa memang ingin punya waktu berdua lebih lama dengan Barra? Barra lantas terkekeh sendiri. Apalagi saat melihat Rinoa yang kebingungan untuk merespon pertanyaannya tadi. "Jangan terlalu serius, Noa. Ayo masuk ke dalam mobil. Kamu yang nyetir, kan?" Barra terlihat menunggu Rinoa untuk membuka kunci pintu mobilnya. Ada senyuman jahil yang dilayangkan Barra kepadanya. Rinoa jadi salah tingkah, dia pun buru-buru membuka kunci pintu mobilnya. Sementara Barra segera masuk ke dalam mobil begitu kuncinya sudah terbuka. Rinoa menyusul untuk masuk, dan duduk di belakang kemudi. "Sebenarnya bisa aja Papa yang nyetir, tapi...." Barra melirik ke arah Rinoa yang duduk di sebelahnya. "Tapi apa, Pa?" tanya Rinoa sambil ikut menoleh ke arah Barra. Tangan Barra tiba-tiba saja sudah meraba paha Rinoa, seketika tubuh Rinoa bergidik. "Tapi Papa percaya kalau kamu yang pegang setir







