LOGINSetelah beberapa jam perjalanan, pesawat mereka akhirnya mendarat di Bandara Juanda, Surabaya. Langit sore tampak mendung, menyisakan rona keabu-abuan yang seolah menandai kelelahan mereka setelah penerbangan panjang. Marsha berjalan lebih dulu, menyeret koper mungilnya dengan wajah sumringah meski di balik senyum itu, jelas ada rasa cemas yang belum juga reda.Sementara Rafi mengikuti di belakang, langkahnya lebih santai, sesekali mengecek ponsel yang belum juga memberi kabar apa pun dari Edwin. Setelah keluar dari bandara, mereka langsung menuju hotel bintang lima di tengah kota. Mobil yang mereka sewa berhenti di depan lobby yang megah dengan lampu kristal berkilauan di atas langit-langit.Setibanya di kamar, Rafi langsung melempar tubuhnya ke sofa empuk di dekat jendela besar yang menghadap kota. Napasnya berat, bahunya terasa tegang. Marsha berdiri di depan cermin, membuka masker dari wajahnya lalu menatap Rafi lewat pantulan kaca.“Gimana,
Setibanya di Bandara, suasana begitu ramai. Suara pengumuman keberangkatan bercampur dengan langkah kaki para penumpang yang bergegas. Rafi bahkan belum sempat memarkir mobilnya dengan benar. Ia langsung turun, berlari menembus kerumunan orang, matanya liar mencari satu sosok yang sangat ia kenal.“Marsha! Tunggu dulu! Tunggu!” teriaknya keras. Nafasnya terengah, kemejanya sudah sedikit kusut, rambutnya acak-acakan tertiup angin dari arah terminal keberangkatan.Marsha menoleh cepat, wajahnya dingin. Ia mengenakan kacamata hitam dan tas kecil di pundak. Namun sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, Rafi berhasil meraih tangannya dan menahannya kuat.“Apa?” tanyanya ketus tanpa menatap.Rafi menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. “Maaf, aku salah. Maafin aku, Sya,” katanya lembut, suaranya bergetar penuh penyesalan.Marsha berusaha menepis genggaman itu, tapi Rafi menahan semakin erat. “Lepasin!” bentaknya, menatap tajam deng
Suara bentakan Rafi menggema keras, memotong kata-kata Marsha yang baru saja meluncur.Seketika itu Marsha terdiam, tubuhnya membeku di tempat. Matanya membulat kaget, seolah tak percaya bahwa suaminya yang selama ini selalu lembut dan sabar, akhirnya membentaknya di depan orang lain.Hening.Hanya suara dedaunan yang berdesir pelan di halaman, menemani keheningan tegang yang menggantung di antara mereka bertiga.Wajah Marsha memucat. Tatapan matanya yang tadinya garang, kini berubah sendu dan terluka.Sementara Anna menunduk pura-pura terkejut, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat puas karena berhasil membuat pertengkaran itu pecah.Rafi menatap Marsha dengan napas tersengal, menyesal karena harus berteriak, tapi juga bingung harus mulai dari mana untuk menjelaskan segalanya.Di hati Marsha, satu hal yang pasti rasa sakitnya lebih parah daripada bentakan itu sendiri.“Kamu… urus selingkuhan kamu itu!” bentaknya tajam, penuh emosi yang ditahan semala
Setelah drama dan tangisan semalam yang melelahkan, suasana rumah pagi itu terasa berbeda. Rafi duduk di tepi ranjang dengan wajah letih, sementara Marsha sudah berdandan rapi memakai blouse putih longgar, celana jeans biru muda, dan kacamata hitam yang menutupi separuh wajahnya.Meski rautnya masih terlihat kesal, tapi di balik itu ada sedikit kegirangan karena keinginannya akhirnya dituruti.Ya, Rafi akhirnya mengalah. Ia membatalkan semua agenda rapat dan pekerjaan yang menumpuk, menonaktifkan ponsel kantornya, lalu bersiap menemaninya ke Surabaya hanya demi menenangkan hati istrinya yang semalam hampir meledak karena DJ Panda.Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Koper mereka sudah tersusun di dekat pintu, dan udara luar terasa cerah ketika mereka melangkah keluar. Burung-burung masih bercicit di taman depan rumah.Marsha membawa tas kecil sambil memeriksa ponselnya.“Udah ya, ayo buruan. Aku gak mau ketinggalan pesawat,” ujarnya cepat sambil membuka pintu mo
"kenapa?"“Aku mikirin—” katanya, namun tiba-tiba terhenti.Rafi menunggu dengan sabar. Ia menatap wajah Marsha dari samping, mencoba membaca pikiran perempuan itu lewat ekspresi matanya yang mulai ragu. Detik demi detik berlalu, hanya terdengar suara kipas angin yang berputar lembut di langit-langit kamar.“Aku mikirin…” Marsha menarik napas panjang, kemudian menunduk. “Ternyata nanti malem DJ Panda perform-nya di Surabaya. Aku bingung mau kesana, tapi jauh, kamu masih kerja. Tapi aku pengen nonton malem ini… tapi gimana…” ia berhenti sejenak, suaranya mulai melemah. “Jadinya aku pusing!”‘’Hah!’’ Kata-kata itu seperti petir di pagi buta. Seketika Rafi menjauhkan wajahnya dari bahu Marsha. Pandangannya langsung kosong dan datar.Dia menatap perempuan yang ia kira sedang memikirkan sesuatu yang berat entah masalah pribadi, perasaan, atau kehidupan mereka berdua. Tapi ternyata… Marsha memikirkan jadwal perform seorang DJ.Dalam dada Rafi, campur
“Hehehe…” Marsha menyengir nakal, matanya berkilat usil sambil melirik ke arah Rafi yang wajahnya langsung berubah datar begitu mendengar dia memuji Dj Panda.Sudut bibir Rafi menegang, rahangnya sedikit mengeras jelas-jelas mencoba menahan reaksi.Di dalam mobil yang melaju tenang, suasana seketika berubah. Lagu dari radio masih berputar, tapi hawa di antara mereka terasa seperti medan perang kecil yang dipenuhi tensi aneh antara rasa kesal, gengsi, dan godaan.“Mau makan apa?” tanya Rafi datar sambil tetap fokus ke jalan. Tangannya menggenggam setir erat, matanya lurus ke depan, berusaha terlihat tenang padahal dalam hati sedang mendidih.Marsha menatapnya, masih dengan senyum jahil di bibirnya. “Kamu marah?” tanyanya lembut.“Gak!” sahut Rafi cepat tanpa menoleh sedikit pun.Marsha menaikkan alisnya, menahan tawa. “Dih… muka kamu jelek banget!”“Biarin!” potong Rafi, suaranya agak ketus tapi masih terdengar menggemaskan.Marsha langs







