"Ma, bisa gak kalau bahas pernikahannya nanti aja. Sekarang Ara gak ada," kata Rafi buru-buru, nada suaranya terdengar gelisah.
"Ara gak ada, tapi kamu ada. Kamu itu laki-laki!" sahut Hera tajam, kedua matanya menyorot penuh kewibawaan seorang ibu. "Nanti, Rafi akan bahas dulu sama Ara!" jawab Rafi, kali ini lebih pelan, seolah mencoba menahan emosi. Hera menghela napas panjang, lalu menatap putranya lekat-lekat. Tatapan itu menusuk, seakan menembus lapisan hati Rafi. "Rafi, sampai kamu sakiti Ara. Sama saja kamu menyakiti Mama." "Iya Ma," Rafi menunduk sedikit, tapi suaranya mantap. "Rafi janji, gak akan sakitin Ara. Rafi cinta sama Ara." Ana hanya bisa menunduk, kedua tangannya meremas ujung roknya di bawah meja. Senyum pahit tersungging di bibirnya, kata-kata Rafi tadi menusuk hatinya dalam-dalam. Bagaimana bisa ia duduk di sini, mendengarkan Rafi berjanji cinta pada Ara, sementara hatinya sendiri tengah ia serahkan pada pria itu? Rafi melirik ke arah Ana. Wajah gadis itu tampak sedih, membuatnya bingung. Tanpa pikir panjang, tangannya meraih tangan Anna di bawah meja, menggenggamnya erat. Sentuhan itu membuat Anna menahan napas, jantungnya berdegup kencang, tapi wajahnya tetap ia tundukkan agar tidak terlihat. "Mama pulang sendiri aja ya, Rafi masih banyak kerjaan!" ujar Rafi mendadak, bangkit dari kursinya. Tanpa menunggu jawaban, ia menatap Anna dan memberi isyarat halus untuk ikut bersamanya. ‘’Loh, Rafi! Kamu tega tinggalin mama disini sendiri ?’’ ‘’Nanti, Rafi suruh Papa jemput Mama !’’ kata Rafi singkat, ‘’Ayo, Anna !’’ Ana menurut, menunduk sopan pada Hera sebelum berjalan pelan mengikuti Rafi. Hera terdiam di kursinya, matanya masih menatap punggung anaknya yang semakin menjauh. Hatinya terasa berat, perasaan tak enak menguasai dirinya. "Kenapa sikapmu kaya gini sih, Nak?" gumamnya lirih, penuh kekecewaan yang tak bisa ia pahami. ** "Ana," suara Rafi terdengar pelan, nyaris seperti bisikan ketika mobil melaju pelan di jalan sore itu. "I—iya, Kak," jawab Anna gugup, kedua tangannya meremas ujung rok yang ada di pangkuannya. "Kamu gapapa kan?" tanya Rafi lagi, melirik sekilas ke arah gadis di sampingnya. Ana tersenyum tipis lalu menggeleng, mencoba menutupi kegugupan yang ada. "Aku kenapa?" tanyanya balik, meski jelas ia tahu arah pembicaraan ini. Rafi menarik napas dalam, matanya menatap lurus ke jalan. "Pernikahanku dengan Ara memang tidak bisa dihindari." Ana menoleh, menatap Rafi dengan sorot sendu. "Kakak sangat mencintai Kak Ara?" tanyanya lirih, seakan pertanyaan itu keluar dari lubuk hatinya yang terdalam. Rafi mendadak menghentikan mobilnya di tepi jalan. Hening sejenak menyelimuti kabin, hanya suara mesin yang masih berdengung. Ia menoleh, menatap Anna lekat-lekat. "Dulu iya." Ana terdiam. Kata-kata itu seperti pisau yang menggores hatinya. "Dulu?" ulangnya, suaranya bergetar. Rafi menghela napas berat, kepalanya ia sandarkan ke kursi. Tatapannya kosong menatap langit-langit mobil. "Ana, sebenarnya aku bingung! Aku dilema." Ana mengerutkan dahi, mencoba memahami. "Dilema bagaimana?" tanyanya pelan, meski hatinya berdebar tak karuan. Rafi menoleh kembali, kali ini tatapannya tajam, seolah ingin menembus pertahanan Ana. "Bagaimana perasaanmu ke aku?" "A—aku?" Anna pura-pura terkejut, matanya melebar, meski sebenarnya pertanyaan itu sudah ia nantikan sejak lama. "Iya," Rafi mencondongkan tubuh sedikit. "Kamu cinta sama aku kan?" suaranya terdengar mantap, tapi matanya penuh keraguan. "Kak Rafi..." Anna menunduk, memainkan jemari tangannya sendiri dengan pura-pura sedih. "Aku... aku gak pantas." Suaranya dibuat lirih, seolah enggan mengaku tapi sekaligus ingin didengar. Rafi menatapnya lama, hatinya seperti teriris melihat wajah Anna yang penuh kepura-puraan luka. Tak tega lagi menahan jarak, ia meraih bahu Anna dan menariknya ke dalam pelukan. Pelukan itu erat, hangat, tapi juga sarat dengan rasa bersalah. Jantung Anna berdegup kencang, matanya memejam, bibirnya tersungging tipis tanpa terlihat oleh Rafi, senyum kemenangan kecil yang penuh rahasia. Sementara itu, di dalam hati Rafi sendiri, dilema semakin kuat, di satu sisi ada janji dan cinta masa lalunya bersama Ara, di sisi lain ada godaan lembut yang kini ia rangkul erat di dalam mobilnya."Ma, bisa gak kalau bahas pernikahannya nanti aja. Sekarang Ara gak ada," kata Rafi buru-buru, nada suaranya terdengar gelisah."Ara gak ada, tapi kamu ada. Kamu itu laki-laki!" sahut Hera tajam, kedua matanya menyorot penuh kewibawaan seorang ibu."Nanti, Rafi akan bahas dulu sama Ara!" jawab Rafi, kali ini lebih pelan, seolah mencoba menahan emosi.Hera menghela napas panjang, lalu menatap putranya lekat-lekat. Tatapan itu menusuk, seakan menembus lapisan hati Rafi."Rafi, sampai kamu sakiti Ara. Sama saja kamu menyakiti Mama.""Iya Ma," Rafi menunduk sedikit, tapi suaranya mantap. "Rafi janji, gak akan sakitin Ara. Rafi cinta sama Ara."Ana hanya bisa menunduk, kedua tangannya meremas ujung roknya di bawah meja. Senyum pahit tersungging di bibirnya, kata-kata Rafi tadi menusuk hatinya dalam-dalam. Bagaimana bisa ia duduk di sini, mendengarkan Rafi berjanji cinta pada Ara, sementara hatinya sendiri tengah ia serahkan pada pria itu?Rafi melirik ke
"Ara, Anna ini adik kamu," ucap Rafi pelan, nada suaranya terdengar seperti sedang berusaha mendamaikan keadaan."Dan Aga juga sahabat kamu," balas Ara santai, seolah tak terpengaruh oleh ketegangan yang mulai terasa di meja makan itu."Ara!" tegur Rafi, matanya menatap tajam pada Ara."Sudah! Kenapa malah kalian berantem," lerai tante Hera. Wanita itu menghela napas, kedua matanya memandang penuh iba pada Ara."Maaf Tante," ucap Ara, menundukkan kepalanya."Gapapa sayang," tante Hera menggenggam tangan Ara dengan hangat, berusaha menenangkan suasana. "Aga kan juga sudah tante anggap anak Tante sendiri.""Terimakasih Tante," ucap Aga tulus, sedikit tersenyum sambil melirik Ara yang masih menunduk.Rafi mendengus kasar, jelas sekali rasa kesalnya tidak bisa ia sembunyikan. Makan siang itu pun berlangsung hening. Suara sendok beradu dengan piring terdengar sayup-sayup, hanya sesekali Tante Hera dan Ara yang berusaha membuka percakapan. Suasana meja terasa kaku dan penuh tekanan.Hingga
“Lebih baik, kamu istirahat aja di sini!” kata Aga sambil menatap Ara yang masih duduk di ujung sofa. “Enggak ah,’’ Ara menggeleng cepat. ‘’kalau aku di sini lama-lama, nanti jadi gosip.” Ara menegakkan punggung, seolah ingin menunjukkan bahwa ia baik-baik saja, meski matanya masih berat dan tubuhnya jelas limbung. “Gosip selingkuh juga?” Aga mengangkat alis, mencoba membaca maksudnya. “Bukan!’’ Ara menjawab cepat, matanya melebar sebentar. “Lalu?” tanya Aga, kini dengan nada yang sedikit penasaran, sedikit curiga. “Gosip aku dapat nilai bagus gara-gara deketin CEO. Nanti ada yang lapor ke kampusku,” ujarnya sambil terkekeh. Aga hanya menggeleng, lalu menghela napas berat. Ia memandang Ara lama, cukup kagum dengan ketegaran gadis itu. Andai saja, Raffi bukan sahabatnya, mungkin sudah sejak lama Aga akan mendekati Ara. ‘’Astaga!’’ Aga segera menyadarkan dirinya saat pikiran buruk itu kembali menyerang pikiran nya. Aga kembali duduk di kursi kerjanya, menatap layar laptop yang
“Ayo, Ra,” Rafi meraih tangan Ara, mencoba menariknya menjauh. “Nggak mau! Lepas! Rafi, lepasin aku!” Ara memberontak dengan keras, lalu menatap Aga memohon. “Aga, tolong!” Aga menatap Ara sebentar. Ia sebenarnya tak ingin ikut campur urusan pribadi, tapi rasa kasihan pada Ara membuatnya sulit berpaling. “Raf, nanti sore aja ke sini lagi. Jangan jadi bahan tontonan karyawanku. Ini masih pagi,” ucap Aga dengan nada tajam. “Tapi Ga, ini—” Rafi mencoba membela diri. “Ini kantorku. Jangan buat rusuh,” potong Aga cepat, matanya menyipit. “Tapi dia calon istriku, Ga!” Rafi bersikeras, genggamannya pada tangan Ara semakin erat. Aga menoleh pada Ara. “Kalau gitu, kamu tanya Ara. Dia mau bicara sama kamu, atau kerja?” “Aku mau kerja!” jawab Ara cepat, tanpa keraguan, matanya tak beranjak dari wajah Aga. ‘’Ra, kita harus bicara!’’ Rafi menatap Ara dengan penuh permohonan. Tapi Ara memilih membuang muka dan menatap lain arah. Aga lalu menatap Rafi lekat-lekat. Tatapan itu cukup untuk m
Rafi menelan ludah, wajahnya memucat. “Ra, aku—” “Thanks, Raf,” Ara menyeringai pahit. “Kamu justru semakin meyakinkan untuk aku buat berhenti dari perjodohan ini.” Dengan sentakan tajam, Ara menepis tangan Rafi. Ia segera menaiki tangga, meninggalkan Rafi berdiri di anak tangga dengan tatapan kosong, seolah dunia di sekitarnya runtuh. Langkah kaki Ara terhenti di ambang pintu kamarnya. Ia membuka pintu dengan kasar dan masuk tanpa menyalakan lampu. Dengan gemetar, ia menyandarkan diri di balik pintu, membiarkan punggungnya bersandar di kayu dingin yang seolah menjadi satu-satunya benda yang bisa menopangnya saat ini. Tangannya menyentuh pipinya yang masih perih bekas tamparan ayahnya. Dan hatinya, entah bagaimana lebih sakit dari fisiknya. Namun sebelum ia sempat menghela napas panjang, terdengar ketukan pelan di pintu. Tok. Tok. "Sayang, kamu nggak apa-apa kan?" Suara Mama. Ara menghela napas keras. Tidak. Dia tidak baik-baik saja. Tapi rasanya tidak ada orang yang sungg
Aga mengerutkan dahinya, lalu menghela napas berat, “Kamu lihat baju kamu dan bajuku!”Ara menunduk dan ternyata semua pakaiannya masih utuh. Begitupun dengan pakaian Aga yang juga masih lengkap, walau hanya celana pendek dan kaos saja. Tapi setidaknya masih lengkap.Lalu, ingatan Ara kembali pada semalam. Di mana dia yang menyerang Aga, bukan sebaliknya. Seketika itu Ara ingin merutuki dirinya sendiri.“Udah ingat?” sindir Aga, kemudian bangkit dari tempat tidur dan mengambil air minum.“Ma-maaf,” Ara mengekor di belakang Aga.“Lain kali nggak usah ke klub kalau nggak kuat minum,” kata Aga dengan nada tajam.“Gara-gara sahabat kamu!” ujar Ara berusaha membela diri, tapi kali ini Aga tidak menanggapi.Tak ingin berlama-lama di sana, Ara pun memilih untuk pamit dan pulang. Aga sudah menawarkan agar Ara mandi dan bersiap dari apartemen itu saja, tapi Ara menolak. Ia ingin pulang karena ponselnya sudah memiliki begitu banyak spam dari keluarganya yang mencarinya sejak semalam.Menempuh