Share

Bab 8

Author: Mommy_Ar
last update Last Updated: 2025-08-18 16:40:08

"Ma, bisa gak kalau bahas pernikahannya nanti aja. Sekarang Ara gak ada," kata Rafi buru-buru, nada suaranya terdengar gelisah.

"Ara gak ada, tapi kamu ada. Kamu itu laki-laki!" sahut Hera tajam, kedua matanya menyorot penuh kewibawaan seorang ibu.

"Nanti, Rafi akan bahas dulu sama Ara!" jawab Rafi, kali ini lebih pelan, seolah mencoba menahan emosi.

Hera menghela napas panjang, lalu menatap putranya lekat-lekat. Tatapan itu menusuk, seakan menembus lapisan hati Rafi.

"Rafi, sampai kamu sakiti Ara. Sama saja kamu menyakiti Mama."

"Iya Ma," Rafi menunduk sedikit, tapi suaranya mantap. "Rafi janji, gak akan sakitin Ara. Rafi cinta sama Ara."

Ana hanya bisa menunduk, kedua tangannya meremas ujung roknya di bawah meja. Senyum pahit tersungging di bibirnya, kata-kata Rafi tadi menusuk hatinya dalam-dalam.

Bagaimana bisa ia duduk di sini, mendengarkan Rafi berjanji cinta pada Ara, sementara hatinya sendiri tengah ia serahkan pada pria itu?

Rafi melirik ke arah Ana. Wajah gadis itu tampak sedih, membuatnya bingung. Tanpa pikir panjang, tangannya meraih tangan Anna di bawah meja, menggenggamnya erat.

Sentuhan itu membuat Anna menahan napas, jantungnya berdegup kencang, tapi wajahnya tetap ia tundukkan agar tidak terlihat.

"Mama pulang sendiri aja ya, Rafi masih banyak kerjaan!" ujar Rafi mendadak, bangkit dari kursinya.

Tanpa menunggu jawaban, ia menatap Anna dan memberi isyarat halus untuk ikut bersamanya.

‘’Loh, Rafi! Kamu tega tinggalin mama disini sendiri ?’’

‘’Nanti, Rafi suruh Papa jemput Mama !’’ kata Rafi singkat, ‘’Ayo, Anna !’’

Ana menurut, menunduk sopan pada Hera sebelum berjalan pelan mengikuti Rafi.

Hera terdiam di kursinya, matanya masih menatap punggung anaknya yang semakin menjauh. Hatinya terasa berat, perasaan tak enak menguasai dirinya.

"Kenapa sikapmu kaya gini sih, Nak?" gumamnya lirih, penuh kekecewaan yang tak bisa ia pahami.

**

"Ana," suara Rafi terdengar pelan, nyaris seperti bisikan ketika mobil melaju pelan di jalan sore itu.

"I—iya, Kak," jawab Anna gugup, kedua tangannya meremas ujung rok yang ada di pangkuannya.

"Kamu gapapa kan?" tanya Rafi lagi, melirik sekilas ke arah gadis di sampingnya.

Ana tersenyum tipis lalu menggeleng, mencoba menutupi kegugupan yang ada. "Aku kenapa?" tanyanya balik, meski jelas ia tahu arah pembicaraan ini.

Rafi menarik napas dalam, matanya menatap lurus ke jalan. "Pernikahanku dengan Ara memang tidak bisa dihindari."

Ana menoleh, menatap Rafi dengan sorot sendu. "Kakak sangat mencintai Kak Ara?" tanyanya lirih, seakan pertanyaan itu keluar dari lubuk hatinya yang terdalam.

Rafi mendadak menghentikan mobilnya di tepi jalan. Hening sejenak menyelimuti kabin, hanya suara mesin yang masih berdengung. Ia menoleh, menatap Anna lekat-lekat.

"Dulu iya."

Ana terdiam. Kata-kata itu seperti pisau yang menggores hatinya. "Dulu?" ulangnya, suaranya bergetar.

Rafi menghela napas berat, kepalanya ia sandarkan ke kursi. Tatapannya kosong menatap langit-langit mobil. "Ana, sebenarnya aku bingung! Aku dilema."

Ana mengerutkan dahi, mencoba memahami. "Dilema bagaimana?" tanyanya pelan, meski hatinya berdebar tak karuan.

Rafi menoleh kembali, kali ini tatapannya tajam, seolah ingin menembus pertahanan Ana. "Bagaimana perasaanmu ke aku?"

"A—aku?" Anna pura-pura terkejut, matanya melebar, meski sebenarnya pertanyaan itu sudah ia nantikan sejak lama.

"Iya," Rafi mencondongkan tubuh sedikit. "Kamu cinta sama aku kan?" suaranya terdengar mantap, tapi matanya penuh keraguan.

"Kak Rafi..." Anna menunduk, memainkan jemari tangannya sendiri dengan pura-pura sedih.

"Aku... aku gak pantas." Suaranya dibuat lirih, seolah enggan mengaku tapi sekaligus ingin didengar.

Rafi menatapnya lama, hatinya seperti teriris melihat wajah Anna yang penuh kepura-puraan luka. Tak tega lagi menahan jarak, ia meraih bahu Anna dan menariknya ke dalam pelukan.

Pelukan itu erat, hangat, tapi juga sarat dengan rasa bersalah. Jantung Anna berdegup kencang, matanya memejam, bibirnya tersungging tipis tanpa terlihat oleh Rafi, senyum kemenangan kecil yang penuh rahasia.

Sementara itu, di dalam hati Rafi sendiri, dilema semakin kuat, di satu sisi ada janji dan cinta masa lalunya bersama Ara, di sisi lain ada godaan lembut yang kini ia rangkul erat di dalam mobilnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
puspa Andriati
Ya sudahlah raffi kamu memang cocok sama pecundang model si ana, jadi lepaskan saja ara untk aga
goodnovel comment avatar
Henny Aruan
si ana rubah betina
goodnovel comment avatar
enur .
y udah meningan sama Anna aj ,, toh Anna udah jadi bekas kamu kan Raf
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 108

    “Denger ya, aku ikut ke sini cuma buat ngawasin kamu, biar kamu nggak bikin onar. Jangan mikir aku dukung ide gila kamu!”Marsha terkekeh sinis, tapi suaranya tetap ditekan. “Yaelah, bilang aja Raf, kamu tuh sebenernya juga masih ada rasa sama Ara kan? Kalau nggak, buat apa repot-repot jagain aku?”Tatapan Rafi semakin dingin, tapi ia memilih melangkah lagi, pura-pura tak peduli. Di dalam dadanya, hatinya memang bergejolak antara marah, muak, dan, iya, ada rasa yang tak bisa ia ingkari setiap kali melihat senyum Ara.Mereka berempat akhirnya masuk ke dalam pesawat. Pramugari menyambut dengan senyum ramah. Ara dan Aga duduk di kursi bagian depan, posisi yang lebih lega. Ara tampak menata tas kecilnya di pangkuan, lalu menyender di bahu Aga, benar-benar seperti pasangan bahagia yang hendak memulai babak baru kehidupan.Sementara itu, Rafi dan Marsha duduk beberapa baris di belakang. Marsha langsung menyikut lengan Rafi pelan. “Liat tuh! Geli banget nggak

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 107

    Keramaian bandara pagi itu membuat suasana semakin panas. Suara langkah orang, roda koper yang beradu dengan lantai, dan pengumuman keberangkatan bersahut-sahutan. Namun semua itu seakan meredup ketika keempat orang itu kini berdiri saling berhadapan. Aga melipat tangan di depan dada, tatapannya tajam menelisik. Ara di sampingnya menatap Marsha dengan penuh curiga, bibirnya sedikit manyun karena tak suka melihat mantan suaminya berdiri terlalu dekat dengan perempuan yang pernah jadi saingannya.Marsha, seperti biasa, dengan wajah penuh percaya diri padahal hatinya gugup langsung bersuara nyaring. “Agaaaa!” pekiknya, matanya berbinar seolah menemukan emas di tengah keramaian. Sementara itu, Rafi justru gugup. “Ara,” gumamnya lirih, matanya seolah menolak kenyataan kalau ia harus berhadapan dengan perempuan yang pernah dia sakiti.“Kalian berdua ngapain?” ulang Aga, nadanya dingin namun penuh wibawa. Rafi buru-buru mencari alasan. “Oh itu, aku mau ada kerjaan ke Paris,” bohongnya s

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 106

    “Ogahhh!” jawabnya cepat, seolah ide itu gila.“Rafiii!” Marsha memekik sambil menghentakkan kaki lagi di lantai teras. Suaranya menggema ke arah jalanan depan rumah.“Apa!” Rafi ikut berseru, nadanya meninggi.“Temenin aku ke Paris juga!”“Mau ngapain?” Rafi mencondongkan tubuh, menatapnya curiga.Marsha menyeringai licik, senyum tipis mengembang di bibirnya. “Gagalin honeymoon mereka!” katanya penuh tekad.Rafi terdiam. Angin sore berhembus pelan, menggerakkan dedaunan mangga di halaman rumah. Ia menatap Marsha lama, sulit percaya dengan ambisi gila gadis itu. Dalam hati ia menggerutu, Ya ampun, kalau aku gak ikut, dia bisa makin nekat. Tapi kalau aku ikut… tamat riwayatku.Ia menunduk, mengusap wajahnya kasar, napasnya berat. Sementara Marsha masih berdiri di depannya dengan sorot mata yang tak bisa ditawar. Teras rumah Rafi yang biasanya tenang, kini berubah jadi arena perdebatan yang panas.**Malam itu, Rafi terbaring di atas

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 105

    “Pokoknya awas ya, aku bakal buat perhitungan. Aku bakal laporin kamu ke polisi!” Marsha mengancam dengan nada tinggi, wajahnya memerah. Tubuhnya sedikit maju, jari telunjuknya menuding tajam ke arah wajah Rafi seolah ingin menembus kulitnya.Rafi mendengus, bersandar ke dinding dengan tangan bersedekap santai. “Gak takut!” balasnya singkat penuh menyepelekan. “Udah sono pulang! Jangan kebanyakan drama di rumah orang!”“Aku emang udah mau pulang! Gak sudi lama-lama di sini!” Marsha mengibaskan rambutnya kasar, lalu menginjak lantai keras-keras.“Bagus!” sahut Rafi cepat. “Hus! Hus! Hus!” Ia bahkan menggerakkan tangannya ke depan Marsha seperti mengusir hewan.Seketika darah Marsha mendidih. “Rafiiiiii!!!” bentaknya keras, hampir membuat kaca jendela bergetar.“Apa?” Rafi malah menatap polos, wajahnya dibuat sebersih mungkin.“Kamu pikir aku ayam hah?” Marsha melotot, dagunya terangkat.Rafi tersenyum miring, matanya menyipit nakal. “Bukan ayam… tapi kucing!”Marsha sudah tak bisa me

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 104

    ‘’Enggakkk!!’’ teriak Rafi dan Marsha hampir bersamaan. Suara keduanya menggema di ruang tamu, membuat Hamzah spontan menutup telinga.“Om ini serius?!” Marsha menunjuk Hamzah dengan ekspresi tak percaya. “Saya datang ke sini minta keadilan, bukan dilamar paksa!”“Pa!” Rafi ikut protes, berdiri sambil menunjuk dirinya sendiri. “Mana ada hukuman model gitu! Rafi tuh gak salah! Lagian, kalaupun salah, terus hukumannya nikah? Emang aku maling ayam, terus disuruh kawin sama ayamnya?!”Hamzah langsung melotot, “Jangan kurang ajar, Raf!”Marsha mengangkat tangan, dramatis, “Saya lebih baik dipenjara daripada menikah sama orang gila ini!”“Eh! Kamu pikir aku mau nikah sama kamu hah?!” Rafi membalas, tangannya menunjuk Marsha dari ujung kaki sampai kepala. “Denger ya, aku masih punya harga diri! Aku gak butuh nikah sama perempuan yang—”Bug! Bantal sofa melayang, dilempar Marsha tepat ke wajah Rafi.“Diam kamu!” seru Marsha.Hamzah hampir tersedak napasnya m

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 103

    Rafi menatap bingung botol air mineral 1500 ml yang kini tergenggam erat di tangan Marsha. Kilatan serius di mata gadis itu membuat suasana sesaat seperti adegan film laga murahan. “Kenapa kamu pakai itu?” Rafi menunjuk botol dengan alis terangkat. “Biar gak berdarah!” jawab Marsha polos, ekspresinya penuh keyakinan seolah botol plastik itu adalah senjata pamungkas. Rafi membeku, menatapnya tak percaya. “Apa kamu yakin, air mineral 1500 mili bisa membunuhku?” suaranya datar, tapi wajahnya hampir tidak bisa menahan ekspresi konyol. “Kalau pun gak bisa bunuh,” Marsha mengangkat botol tinggi-tinggi dengan gaya seperti pejuang, “setidaknya bisa bikin kamu sakit!’’ Hamzah yang sedari tadi menonton dari kursi dengan tangan terlipat, berusaha keras menahan tawanya. Bibirnya bergetar, wajahnya menegang, tapi matanya berkaca-kaca. Dalam hati ia berkata, baru kali ini ada orang niat membunuh, tapi senjatanya air mineral k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status