"Ara, Anna ini adik kamu," ucap Rafi pelan, nada suaranya terdengar seperti sedang berusaha mendamaikan keadaan.
"Dan Aga juga sahabat kamu," balas Ara santai, seolah tak terpengaruh oleh ketegangan yang mulai terasa di meja makan itu. "Ara!" tegur Rafi, matanya menatap tajam pada Ara. "Sudah! Kenapa malah kalian berantem," lerai tante Hera. Wanita itu menghela napas, kedua matanya memandang penuh iba pada Ara. "Maaf Tante," ucap Ara, menundukkan kepalanya. "Gapapa sayang," tante Hera menggenggam tangan Ara dengan hangat, berusaha menenangkan suasana. "Aga kan juga sudah tante anggap anak Tante sendiri." "Terimakasih Tante," ucap Aga tulus, sedikit tersenyum sambil melirik Ara yang masih menunduk. Rafi mendengus kasar, jelas sekali rasa kesalnya tidak bisa ia sembunyikan. Makan siang itu pun berlangsung hening. Suara sendok beradu dengan piring terdengar sayup-sayup, hanya sesekali Tante Hera dan Ara yang berusaha membuka percakapan. Suasana meja terasa kaku dan penuh tekanan. Hingga tak lama, seorang pelayan datang membawa sup panas di atas nampan perak. Wajahnya gugup, mungkin karena merasakan hawa dingin dari meja keluarga itu. Namun tiba-tiba, langkahnya goyah. Anna yang duduk di sampingnya dengan sengaja mencolek dan mencekal kaki pelayan itu. Tubuh pelayan kehilangan keseimbangan dan bruk! ia terjatuh. Sup panas yang dibawanya tumpah seketika, mengenai tubuh Ara. "Aarrrrkkhhh!" jerit Ara melengking, tubuhnya tersentak karena panas yang membakar kulitnya. "Kamu bisa kerja gak sih hah!" bentak Rafi keras pada pelayan itu, matanya penuh amarah. "Maaf Pak, maaf. Saya—" pelayan itu gemetar, matanya sekilas menatap ke arah Anna seolah ingin berkata sesuatu, tapi Anna sudah menatapnya tajam, memberi peringatan diam-diam. "Kak Rafi, mungkin dia gak sengaja. Namanya manusia tempatnya salah," ujar Anna tiba-tiba dengan suara lembut, wajahnya tampak penuh kepura-puraan. "Kak Ara juga gapapa kan?" tanyanya manis, pura-pura khawatir. Ara menahan amarahnya, jemarinya mengepal kuat di pangkuan. Ia tahu betul siapa dalang sebenarnya, tapi memilih diam agar tidak mempermalukan diri sendiri. Namun Aga yang sejak tadi duduk di sampingnya segera bangkit. Dengan sigap, ia melepas jasnya dan menyampirkan ke tubuh Ara, menutupi bagian baju Ara yang basah oleh sup panas. "Kamu gapapa?" tanya Aga pelan, suaranya penuh cemas saat melihat wajah Ara yang memerah karena panas. "Gapapa, cuma panas banget," gumam Ara lirih. Meski bibirnya berusaha tersenyum, rasa perih di kulitnya jelas tidak bisa disembunyikan. "Kita pulang?" Aga menunduk, menatap mata Ara dengan lembut. Ara hanya mengangguk singkat. Hatinya sudah jenuh berada di ruangan itu. "Tante, maaf, Ara pamit dulu ya," ucapnya sopan sambil menoleh pada Hera. "Sayang, kamu yakin gapapa?" tanya Hera khawatir, matanya berkaca-kaca melihat Ara menahan sakit. "Gapapa kok Tante. Ana benar, manusia emang tempatnya salah." Suara Ara terdengar tenang, meski dalam hatinya mendidih. Ia sengaja menelan luka demi menjaga perasaan Tante Hera. "Ya sudah, Tante anter ya?" tawar Hera, berdiri hendak ikut. "Gak usah Tante," Ara tersenyum tipis, "Ara masih ada kerjaan di kantor. Jadi ini mau langsung ke kantor aja." "Tapi—" Hera mencoba menahan. "Hanya sebentar Tante. Nanti, saya langsung anter Ara pulang," sahut Aga cepat, berusaha meyakinkan. "Ya sudah kalau begitu, kalian hati-hati ya," ujar Hera akhirnya, meski wajahnya masih menyimpan cemas. "Iya Tante," jawab mereka berdua hampir bersamaan. Namun, saat Ara hendak melangkah pergi, sebuah genggaman keras menghentikan langkahnya. Tangan Rafi mencengkeram lengan Ara. "Kita belum bicara, Ra!" Rafi menatap tunangannya tajam, suaranya penuh desakan. Ara berhenti, menoleh dengan tatapan yang jauh lebih menusuk. Bibirnya mendekat ke telinga Rafi, lalu berbisik tajam penuh amarah, "Yang harusnya kamu lakukan itu, TERIMAKASIH ke aku." Wajah Rafi seketika menegang, urat di pelipisnya tampak menonjol. "Aku masih baik hati, gak bongkar kelakuan bejat kamu di depan ibu kamu," lanjut Ara dengan suara nyaris tak terdengar orang lain, tapi cukup untuk membuat darah Rafi mendidih. Tanpa ragu, Ara menepis kasar tangan Rafi hingga pria itu terhuyung sedikit. Tatapannya penuh penghinaan sebelum akhirnya ia melangkah pergi bersama Aga, meninggalkan Rafi yang terdiam, wajahnya memerah antara marah dan malu. Tante Hera yang melihat dari jauh hanya bisa kebingungan, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik sikap dingin Ara terhadap Rafi. Sementara Anna, tersenyum tipis penuh kepuasan, seolah menikmati retaknya hubungan mereka. Seperginya Ara dan Aga. Kini Rafi dan Ana kembali duduk di kursi nya. Tapi tatapan mata Hera sejak tadi tak lepas dari anak nya. ‘’Rafi …” ‘’Iya Ma?’’ jawab Rafi. ‘’Jadi, kapan pernikahan kamu sama Ara akan di laksanakan ?’’ Seketika itu, Ana langsung tersedak mendengar pertanyaan dari tante Hera. Rafi dengan cepat mengambil air minum dan ia berikan pada Ana. Membuat mata Hera semakin sipit menajam ke arah putra nya.“Denger ya, aku ikut ke sini cuma buat ngawasin kamu, biar kamu nggak bikin onar. Jangan mikir aku dukung ide gila kamu!”Marsha terkekeh sinis, tapi suaranya tetap ditekan. “Yaelah, bilang aja Raf, kamu tuh sebenernya juga masih ada rasa sama Ara kan? Kalau nggak, buat apa repot-repot jagain aku?”Tatapan Rafi semakin dingin, tapi ia memilih melangkah lagi, pura-pura tak peduli. Di dalam dadanya, hatinya memang bergejolak antara marah, muak, dan, iya, ada rasa yang tak bisa ia ingkari setiap kali melihat senyum Ara.Mereka berempat akhirnya masuk ke dalam pesawat. Pramugari menyambut dengan senyum ramah. Ara dan Aga duduk di kursi bagian depan, posisi yang lebih lega. Ara tampak menata tas kecilnya di pangkuan, lalu menyender di bahu Aga, benar-benar seperti pasangan bahagia yang hendak memulai babak baru kehidupan.Sementara itu, Rafi dan Marsha duduk beberapa baris di belakang. Marsha langsung menyikut lengan Rafi pelan. “Liat tuh! Geli banget nggak
Keramaian bandara pagi itu membuat suasana semakin panas. Suara langkah orang, roda koper yang beradu dengan lantai, dan pengumuman keberangkatan bersahut-sahutan. Namun semua itu seakan meredup ketika keempat orang itu kini berdiri saling berhadapan. Aga melipat tangan di depan dada, tatapannya tajam menelisik. Ara di sampingnya menatap Marsha dengan penuh curiga, bibirnya sedikit manyun karena tak suka melihat mantan suaminya berdiri terlalu dekat dengan perempuan yang pernah jadi saingannya.Marsha, seperti biasa, dengan wajah penuh percaya diri padahal hatinya gugup langsung bersuara nyaring. “Agaaaa!” pekiknya, matanya berbinar seolah menemukan emas di tengah keramaian. Sementara itu, Rafi justru gugup. “Ara,” gumamnya lirih, matanya seolah menolak kenyataan kalau ia harus berhadapan dengan perempuan yang pernah dia sakiti.“Kalian berdua ngapain?” ulang Aga, nadanya dingin namun penuh wibawa. Rafi buru-buru mencari alasan. “Oh itu, aku mau ada kerjaan ke Paris,” bohongnya s
“Ogahhh!” jawabnya cepat, seolah ide itu gila.“Rafiii!” Marsha memekik sambil menghentakkan kaki lagi di lantai teras. Suaranya menggema ke arah jalanan depan rumah.“Apa!” Rafi ikut berseru, nadanya meninggi.“Temenin aku ke Paris juga!”“Mau ngapain?” Rafi mencondongkan tubuh, menatapnya curiga.Marsha menyeringai licik, senyum tipis mengembang di bibirnya. “Gagalin honeymoon mereka!” katanya penuh tekad.Rafi terdiam. Angin sore berhembus pelan, menggerakkan dedaunan mangga di halaman rumah. Ia menatap Marsha lama, sulit percaya dengan ambisi gila gadis itu. Dalam hati ia menggerutu, Ya ampun, kalau aku gak ikut, dia bisa makin nekat. Tapi kalau aku ikut… tamat riwayatku.Ia menunduk, mengusap wajahnya kasar, napasnya berat. Sementara Marsha masih berdiri di depannya dengan sorot mata yang tak bisa ditawar. Teras rumah Rafi yang biasanya tenang, kini berubah jadi arena perdebatan yang panas.**Malam itu, Rafi terbaring di atas
“Pokoknya awas ya, aku bakal buat perhitungan. Aku bakal laporin kamu ke polisi!” Marsha mengancam dengan nada tinggi, wajahnya memerah. Tubuhnya sedikit maju, jari telunjuknya menuding tajam ke arah wajah Rafi seolah ingin menembus kulitnya.Rafi mendengus, bersandar ke dinding dengan tangan bersedekap santai. “Gak takut!” balasnya singkat penuh menyepelekan. “Udah sono pulang! Jangan kebanyakan drama di rumah orang!”“Aku emang udah mau pulang! Gak sudi lama-lama di sini!” Marsha mengibaskan rambutnya kasar, lalu menginjak lantai keras-keras.“Bagus!” sahut Rafi cepat. “Hus! Hus! Hus!” Ia bahkan menggerakkan tangannya ke depan Marsha seperti mengusir hewan.Seketika darah Marsha mendidih. “Rafiiiiii!!!” bentaknya keras, hampir membuat kaca jendela bergetar.“Apa?” Rafi malah menatap polos, wajahnya dibuat sebersih mungkin.“Kamu pikir aku ayam hah?” Marsha melotot, dagunya terangkat.Rafi tersenyum miring, matanya menyipit nakal. “Bukan ayam… tapi kucing!”Marsha sudah tak bisa me
‘’Enggakkk!!’’ teriak Rafi dan Marsha hampir bersamaan. Suara keduanya menggema di ruang tamu, membuat Hamzah spontan menutup telinga.“Om ini serius?!” Marsha menunjuk Hamzah dengan ekspresi tak percaya. “Saya datang ke sini minta keadilan, bukan dilamar paksa!”“Pa!” Rafi ikut protes, berdiri sambil menunjuk dirinya sendiri. “Mana ada hukuman model gitu! Rafi tuh gak salah! Lagian, kalaupun salah, terus hukumannya nikah? Emang aku maling ayam, terus disuruh kawin sama ayamnya?!”Hamzah langsung melotot, “Jangan kurang ajar, Raf!”Marsha mengangkat tangan, dramatis, “Saya lebih baik dipenjara daripada menikah sama orang gila ini!”“Eh! Kamu pikir aku mau nikah sama kamu hah?!” Rafi membalas, tangannya menunjuk Marsha dari ujung kaki sampai kepala. “Denger ya, aku masih punya harga diri! Aku gak butuh nikah sama perempuan yang—”Bug! Bantal sofa melayang, dilempar Marsha tepat ke wajah Rafi.“Diam kamu!” seru Marsha.Hamzah hampir tersedak napasnya m
Rafi menatap bingung botol air mineral 1500 ml yang kini tergenggam erat di tangan Marsha. Kilatan serius di mata gadis itu membuat suasana sesaat seperti adegan film laga murahan. “Kenapa kamu pakai itu?” Rafi menunjuk botol dengan alis terangkat. “Biar gak berdarah!” jawab Marsha polos, ekspresinya penuh keyakinan seolah botol plastik itu adalah senjata pamungkas. Rafi membeku, menatapnya tak percaya. “Apa kamu yakin, air mineral 1500 mili bisa membunuhku?” suaranya datar, tapi wajahnya hampir tidak bisa menahan ekspresi konyol. “Kalau pun gak bisa bunuh,” Marsha mengangkat botol tinggi-tinggi dengan gaya seperti pejuang, “setidaknya bisa bikin kamu sakit!’’ Hamzah yang sedari tadi menonton dari kursi dengan tangan terlipat, berusaha keras menahan tawanya. Bibirnya bergetar, wajahnya menegang, tapi matanya berkaca-kaca. Dalam hati ia berkata, baru kali ini ada orang niat membunuh, tapi senjatanya air mineral k