Seisi ballroom sontak terkejut. Beberapa tamu menahan napas, ada yang langsung menutup mulut dengan tangan karena kaget, sementara sebagian lain berteriak riang.
“Wooooo!!!”“Cieee pengantin baru!”“Romantis banget!!!”Sorak sorai bercampur tawa memenuhi ruangan. Fotografer yang awalnya serius langsung sibuk mencari angle terbaik, kilatan lampu kamera semakin ramai, mengabadikan momen tak terduga itu.Mama Indri memegang dadanya dengan wajah kaget bercampur bahagia. “Ya Allah, dasar anak muda!’’ gumamnya haru, meski wajahnya bersemu merah karena malu.Nisa yang berdiri di antara tamu terdepan menjerit kecil sambil tertawa keras,“Astaga pak Aga gak sabaran banget sih!!” Komentarnya membuat beberapa tamu lain tertawa terbahak.Ara sendiri sempat terkejut. Jantungnya berdegup begitu kencang, tubuhnya kaku sejenak, lalu perlahan ia memejamkan mata, menyerahkan diri pada momen yang tak terhindarkan.Wajahnya memanas, pipinya merona, sementara hTing, tong,Suara bel rumah berbunyi keras, mengiris ketenangan siang itu. Di depan pintu, Marsha berdiri dengan napas ngos-ngosan, rambut acak, mata sembab wajahnya memerah tidak hanya karena tangisan, tapi juga karena kemarahan yang mendidih. Tangannya tak henti menekan bel seperti orang yang nyaris putus asa.Di dalam, suara shower baru saja berhenti. Rafi baru selesai mandi. rambutnya masih basah. Ia hendak melangkah ke dapur, mencari makanan karena dia lapar belum makan sejak kemarin. Tapi tiba tiba bunyi bel itu memecah keheningan.Cklek!Rafi membuka pintu rumahnya, Sontak ia tertegun melihat sosok Marsha berdiri di ambang, mata penuh amarah. Punggung Rafi menegang instingnya memberi tahu ini bukan sekadar tamu biasa.“Ngapain kamu kesini?” suaranya keluar sinis, setengah celingak-celinguk karena keadaan mendadak.Marsha menatap Rafi, suaranya menusuk, “Aku mau bunuh kamu!”Kata-kata itu meledak di ruang tamu seperti petir. Rafi mengejapkan mata, satu langkah mundur. Wajahn
Restoran yang tadinya riuh karena tangisan Marsha mulai mereda, walau beberapa tamu masih melirik dengan rasa penasaran. Ara berdiri dari kursinya dengan wajah jengah, lalu menggandeng tangan Aga erat.Marsha, yang masih duduk di kursi dengan wajah belepotan air mata dan riasan yang luntur, langsung menoleh cepat. Matanya melebar penuh tanda tanya.“Kalian berdua mau kemana?” tanyanya dengan suara tercekat, nadanya penuh heran sekaligus ketakutan ditinggalkan.Ara menoleh sebentar, wajahnya datar, dingin tanpa sedikitpun rasa iba.“Ke kamar!” jawabnya singkat, tanpa basa-basi.Marsha memekik lirih. Tangannya menghantam meja, membuat sendok dan gelas bergetar.“Kok ke kamar sih! Terus aku gimana?” serunya, seperti anak kecil yang merengek tidak mau ditinggal.Ara mendengus. Bahunya terangkat cuek.“Terserah kamu mau gimana!” katanya ketus.Ekspresi Marsha langsung berubah murka. Air matanya yang tadi terus jatuh kini bercampur dengan wajah kesalnya
Setibanya di restauran, Ara dan Aga memilih meja dekat jendela, menikmati suasana hangat sambil bergenggaman tangan. Senyum Ara merekah, ia merasa tenang bersama Aga.Tapi, baru saja sendok Ara menyentuh bibirnya, suara melengking terdengar dari arah pintu restoran."Agaaaa!" panggil seorang gadis dengan nada manja, cukup keras hingga beberapa tamu menoleh.Ara langsung mendesah panjang, memutar bola matanya dengan ekspresi malas."Astaga, biang kerok datang juga," gumamnya ketus, jelas sekali ia tidak suka dengan kedatangan orang itu.Aga menghela napas. Senyum romantis yang tadi menghiasi wajahnya hilang seketika, berganti raut datar. Dia meremas lembut tangan Ara, mencoba menenangkan istrinya."Ngapain kamu di sini?" tanyanya dingin, tanpa basa-basi.Marsha mendengus, matanya berair. Tanpa meminta izin, ia langsung menarik kursi dan duduk di sebelah Aga, membuat beberapa tamu lain berbisik-bisik heran."Huaaa Aga, aku habis diperkosa!" teriaknya sa
Sementara itu, di kamar yang berbeda, suasana jauh dari tawa bahagia pesta pernikahan.Terdengar suara teriakan begitu melengking memenuhi ruangan hotel yang sunyi."Huaaaaaaaaaa!" teriak seorang gadis, tubuhnya langsung meringkuk dan mengeratkan selimut menutupi dirinya. Matanya membelalak, air mata membanjiri wajahnya.Laki-laki yang tidur di sebelahnya tersentak bangun. Dengan mata masih sayu, ia mengucek wajahnya."Apa sih, berisik banget!" gumamnya setengah kesal, belum sepenuhnya sadar.Namun, seketika jantungnya berdegup keras saat sadar gadis itu—Marsha—menatapnya dengan tatapan penuh benci dan panik."Bangsattt! Apa yang kamu lakuin hah!" teriak Marsha, tubuhnya gemetar hebat.Tangannya menunjuk pria itu sambil bergetar, seolah melihat iblis di depan matanya."Kamu perkosa aku, huaaaaaa!" suaranya pecah, penuh tangis dan kemarahan.Rafi, pria yang dituduh, langsung membuka mata lebar. Seketika kantuknya hilang. Ia menatap Marsha dengan wa
Pagi harinya, sinar matahari sudah menembus tirai kamar yang masih tertutup rapat. Ara menggeliat pelan, tubuhnya terasa pegal dan sedikit sakit. Ada rasa aneh, campuran letih sekaligus bahagia yang menyelimuti dirinya. ‘’Euughhh!’’Saat ia menoleh, ia mendapati Aga masih pulas tidur, dengan tangan kokoh yang melingkari pinggangnya dari belakang. Pelukan itu begitu hangat, seolah menolak untuk dilepaskan.Ara mengambil ponselnya dari meja samping, menyalakan layar, lalu membelalakkan mata. Jam sepuluh!“Aga,” panggil Ara pelan, suaranya masih setengah berbisik.“Hemmm,” sahut Aga malas, justru semakin memberatkan pelukannya seakan enggan dibangunkan.“Aga, bangun. Udah siang!” desak Ara sambil menoleh ke belakang.“Masih gelap, sayang,” jawab Aga setengah sadar.“Jam sepuluh, Ga!”“Masih subuh ini. Kamu lihat, masih gelap,” balasnya asal, matanya bahkan belum terbuka. Ara menghela napas berat, memutar bola matanya. “Gimana gak gelap, ho
Waktu seolah berjalan lebih lambat ketika pintu kamar pengantin itu tertutup rapat. Suasana di luar sudah sepi, hanya ada denting samar-samar alat musik dari ballroom yang masih terdengar jauh. Namun di dalam kamar, keheningan bercampur dengan ketegangan manis menyelimuti Aga dan Ara.Ara berdiri kaku di dekat meja kecil yang penuh kelopak bunga mawar putih. Tangannya menggenggam ujung kebayanya erat-erat, wajahnya menunduk, pipinya memerah menahan rasa gugup. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri, begitu keras hingga seakan seluruh ruangan bisa merasakannya.Aga menatapnya tanpa berkedip. Pandangan matanya teduh, penuh cinta, sekaligus nakal yang membuat Ara semakin salah tingkah. Senyumnya perlahan merekah, dan langkah kakinya tenang mendekat ke arah sang istri.“Aga, jangan lihat aku begitu,” suara Ara bergetar, nyaris berbisik.Aga tersenyum semakin lebar, matanya tak lepas dari wajah Ara. “Kamu cantik, Ra,” ucapnya lirih, seakan ingin menegaskan bahwa kecantikan Ara buka