LOGINBaru dua hari bekerja di lantai eksekutif Aude’C Group dan aku sudah mulai sadar satu hal, reputasi Arkana Rivard sebagai bos yang tidak manusiawi ternyata masih terlalu baik untuk menggambarkan kenyataannya, dia tuh titisan setan.
Pukul delapan lewat sepuluh menit. Aku berdiri di depan meja, menata ulang jadwal meeting pagi ini. Baru menyentuh komputer, suara datar itu sudah terdengar dari balik pintu kaca ruang CEO.
“Narine. Masuk.”
Nada perintah. Bukan panggilan. Bukan permintaan. Aku tarik napas tipis, mengetuk sekali, lalu masuk. Dia bahkan tidak menoleh. Tubuhnya tegap membelakangiku, berdiri di depan jendela besar yang memamerkan gedung-gedung SCBD.
Perintah berikutnya keluar tanpa emosi, “Kenapa laporan marketing belum di meja saya?”
Aku menahan diri untuk tidak mengerutkan dahi. “Itu masih dikoreksi tim finance, Pak. Baru akan—”
“Saya tidak tanya alasan. Saya tanya kenapa belum di meja saya.” Ia berbalik perlahan, tangan terlipat di dada. Mata tajamnya menatapku. Entah kenapa, pria itu selalu terlihat seperti sedang menilai kelemahan orang setiap lima detik.
Ah. Tipe begini. Orang yang menganggap waktu dua menit lebih penting daripada hidup orang lain.
Aku tetap tenang. “Saya follow up ulang bagian finance dan akan kirim sebelum jam sembilan.”
“Pastikan. Saya tidak suka menunggu.” Ia duduk tanpa mempersilakan aku duduk. Tepat ketika aku hendak keluar, suaranya terdengar lagi. “Dan lain kali kalau saya bertanya, jawabannya cukup solusi. Bukan cerita.”
Dalam hati, aku mendecak. 'nyinyinyi, cikip silisi bikin ciriti'. Baiklah, si paling perfeksionis.
“Baik, Pak.”
Aku keluar. Menghela napas. Baru lima menit, intensitas tekanannya sudah seperti rapat final audit tahunan. Karyawan lain mungkin butuh tiga bulan untuk mulai benci ke bosnya. Aku butuh satu hari.
Di meja, email sudah menumpuk, panggilan telepon masuk satu per satu. Bagus. Rutinitas menyelamatkanku dari keinginan spontan untuk melempar stapler ke pintu ruangan CEO.
Pukul delapan lewat tiga puluh. Aku masih berhadapan dengan spreadsheet penuh angka ketika seseorang tiba-tiba menghambur mendekat dengan panik.
“Narine! Kamu udah dapet kabar belum?” Karina, sekretaris divisi HR, mencondongkan tubuh di atas meja kerjaku. “Katanya kamu diomelin bikin Pak Arkana karena dia harus nunggu laporan tadi pagi?”
Oh, jadi gosip di lantai eksekutif secepat ini ya?
“Hmm,” jawabku datar. “Aku lagi follow up.”
Karina menatapku iba. Sok iba, sebenarnya. “Hati-hati ya. Bos kita itu enggak suka orang telat. Satu kesalahan kecil aja dia bisa—”
“—pecat aku? udah tahu.” Aku menyelesaikan kalimatnya. “Makasih peringatannya.”
Dia tersenyum kecil, lalu memiringkan kepala, penuh rasa ingin tahu. “By the way, kamu masuk sini lewat siapa sih? Direkom siapa? Biasanya sekretaris CEO itu pilihan personal.”
Aku meliriknya sekilas. “Masuk lewat proses rekrutmen.”
“Yakin?” ia menahan tawa. “Karena banyak yang bilang kamu punya backing.”
"Baking soda kali ah" jawabku pelan.
Dan di situ aku mulai mengerti. Ini bukan percakapan biasa. Ini investigasi halus. Gosip di kantor ini tidak menunggu fakta. Mereka menciptakan gosip lalu percaya itu benar.
“Kalau aku punya backing,” kataku pelan sambil tetap mengetik, “aku enggak akan ditanya dua kali soal laporan yang belum turun.”
Karina terdiam sepersekian detik sebelum tertawa hambar. “Hehe. Ya juga sih. Ya udah, kerja lagi deh. Semangat!”
Dia pergi. Dan baru dua langkah menjauh, aku mendengar bisikannya dengan sekretaris lain, “Tetep aja sih, muka dia kayak orang yang punya koneksi.”
Sudah kuduga. Di kantor, kau hanya butuh dua hal untuk membuat orang lain tidak suka padamu: kemampuan atau rumor. Sayangnya, aku masuk kategori keduanya.
Sembilan lewat dua menit. Aku menaruh berkas laporan marketing di meja Arkana. Ia mengambilnya tanpa melihat ke arahku, lalu berkata:
“Meeting dengan divisi ekspansi dimajukan. Siapkan proyektor dan tim media. Dan panggil mereka dalam sepuluh menit.”
“Baik.” Aku hampir keluar ketika suara itu menahan langkahku lagi.
“Dan, Narine.” Ia menutup berkas tanpa membacanya. “Kalau kamu mau bertahan di sini lebih dari dua minggu, turunkan nada bicaramu.”
Aku berhenti. Menoleh. “Maaf?”
“Gaya bicaramu pagi ini.” Ia menyandarkan tubuh ke kursi. “Aku bertanya, kamu menjelaskan. Aku memberi perintah, kamu tambah narasinya. Kamu menjawab masalah dengan kalimat defensif. Itu tanda orang yang tidak siap bekerja cepat.”
Wow. Terapi psikologis gratis rupanya. “Saya paham, Pak.”
Mata itu menatapku lama. “Belum. Tapi kamu akan paham.”
Terserah. Aku keluar sebelum sarkasme di otakku mengambil alih mulutku.
Ruang rapat 28A ruang khusus rapat eksekutif. Hanya orang dengan ID akses tertentu yang bisa masuk. Ruangan itu dipenuhi belasan direktur dan kepala divisi. Semua rapi. Semua formal. Semua kaku. Sampai bos besar masuk dan ruangan sontak jadi ruang sidang militer.
Arkana masuk tanpa banyak suara, satu tangan membawa berkas, satunya memegang tablet. Tatapannya dingin, tegas, menghitung semua orang yang hadir seolah menentukan siapa yang paling lemah hari ini.
“Apa kita mulai?” katanya.
Tidak ada yang menjawab. Karena jawabannya bukan ditunggu. Ia langsung duduk di kursi paling ujung.
Presentasi dimulai. Kepala Divisi Ekspansi memaparkan rencana proyek baru di Surabaya. Aku berdiri di dekat layar, memastikan semua berjalan lancar. Slide berganti. Strategi pasar. Target. Timeline. Perkiraan revenue.
Sepuluh menit berjalan baik. Sampai tiba di bagian analisis risiko.
“Wait.” Suara Arkana menghentikan presentasi. “Data ini.”
Ia menunjuk layar. “Kenapa angka ini tidak sinkron dengan laporan Q2?”
Kepala Divisi Ekspansi gelagapan. “Itu—itu masih proyeksi awal, Pak.”
“Jawabannya salah.” Nada Arkana datar. “Jawaban yang benar adalah karena analisnya tidak membaca ulang sebelum presentasi.”
Suhu ruangan turun secara emosional. Seorang direktur lain menunduk. Yang lain pura-pura menulis. Tidak ada yang berani bicara.
Aku memperhatikan Arkana dari samping. Pria itu sama sekali tidak tersenyum, tidak meninggikan suara, tapi entah bagaimana ia berhasil membuat satu ruangan terasa dicekik.
“Perbaiki dalam dua puluh empat jam, atau proyek ini kita pending sebulan.” Ia bersandar ke kursi. “Kita tidak jalan pakai data setengah matang.”
Presentasi dilanjutkan dengan rasa takut. Sampai akhirnya… sebuah masalah teknis terjadi. Laptop macet. File presentasi error. Semua orang bingung. Semua panik. Semua saling menatap.
Arkana menatapku sebentar. Hanya satu detik. Tapi aku tahu itu artinya: urus sekarang.
Aku maju, mengambil alih laptop. Aku tidak tanya siapa salah. Tidak tanya kenapa bisa. Aku langsung cari file backup, jalankan file cadangan di cloud, sinkronkan ulang tampilan.
Presentasi hidup lagi dalam kurang dari dua menit.
Arkana menatapku sebentar. Hanya sebentar. Tapi aku bisa membaca sesuatu di sana—pengakuan diam-diam bahwa aku berguna. Itu cukup.
Meeting berjalan satu jam lagi. Setelah selesai, semua buru-buru pergi seperti tahanan yang baru dapat remisi.
Arkana tetap di kursinya. “Narine. Tinggal.”
Tentu.
Aku mendekat.
Ia melempar berkas kecil ke meja. “Ini jadwal saya untuk seminggu ke depan.”
Aku membuka. Tidak hanya jadwal. Ada juga daftar permintaan khusus, target rapat, hingga catatan prioritas. Detil, presisi, sistematis. Tipe otak predator korporat.
Lalu ia berkata, “Saya tidak suka mengulang instruksi.”
“Baik pak.”
“Dan saya tidak suka orang yang kerja setengah-setengah.”
“Baik.”
“Dan—”
Aku menatapnya. “Pak, kalau semua yang Bapak sampaikan isinya daftar hal yang Bapak tidak suka, mungkin lebih cepat kalau saya punya daftar hal yang Bapak suka saja.”
Sunyi. Satu detik. Dua detik. Tiga detik.
Astaga. Kenapa tadi otakku kalah cepat dari mulutku?
Arkana meletakkan tangannya di dagu. Ekspresinya sulit ditebak. Kemudian untuk pertama kalinya sudut bibir kirinya sedikit terangkat.
Setengah senyum. Tapi bukan senyum ramah. Lebih mirip ekspresi seseorang yang baru menemukan permainan baru.
“Baik,” katanya pelan. “Saya suka orang yang efisien. Aku suka orang yang tidak cari alasan. Dan saya suka orang yang saya suka perempuan yang tidak cerewet-kalau kamu mau tahu.”
'Idih cakep lu begitu' Lain dimulut lain dihati itulah aku, aku tertawa mendengar jawaban pak Arkana barusan "ha-ha-ha"
“Mulai sekarang kau akan ikut semua meeting saya. Semua. Kau akan filter semua komunikasi yang masuk, dan tidak ada satu pun berkas yang keluar tanpa pengecekanmu.”
Aku mengangkat alis. “Semua?”
“Semua.”
Oke. Jadi ini bukan pekerjaan sekretaris biasa. Ini asisten personal CEO. Posisi strategis. Posisi yang berbahaya jadi pusat gosip.
Lalu ia menambahkan tanpa melihatku, “Dan satu lagi.”
Aku menunggu.
“Jangan berani terlambat walau satu menit. Di posisimu, satu menit bisa berarti hilangnya kesetiaan orang.”
Aku tidak mengerti kalimat itu. Tapi satu hal jelas: Arkana Rivard baru saja mempromosikanku. Dan entah ini pencapaian atau jebakan.
Saat aku kembali ke meja, Karina menatapku dengan ekspresi shock bercampur iri. “Kamu-kamu barusan lama banget di ruang rapat. Ngapain aja?”
“Kerja.”
“Terus ini ” Dia menunjuk ID card di bajuku yang baru saja berubah warna. Level akses naik dari Executive Assistant menjadi Personal Executive Officer. Bukan naik jabatan biasa. Ini fast track.
“Kamu deket sama Pak Arkana ya?”
Ah. Ya. Aku tahu ini akan terjadi. Orang tidak peduli kau kerja keras. Mereka selalu lebih percaya teori konspirasi.
“Aku dekat sama pekerjaanku,” jawabku datar. “Sudah. Aku harus kerja lagi.”
Dan untuk pertama kalinya sejak mulai kerja di sini, Karina tidak punya balasan.
Malam hari. Aku pulang ke apartemen kecilku di Sudirman. Melepas blazer, menyalakan lampu, menjatuhkan tubuh di sofa.
Hari kedua. Kepala masih utuh. Mental masih stabil. Hanya sedikit terbakar tapi belum gosong. Aku masih bisa bertahan.
Ponselku bergetar.
Rajan
De, gimana nyaman gak kerjanya?
awas aja lu malah kepincut atasan lu
Gue yakin bos lu aki aki
Lu kenapa gak pernah cerita si kerjanya dimana, kan curiga
Lu tuh aki aki
Bos gue cakep, tapi kelakuanya kayak setan
Dih gue masih 30 ya lagi kenceng-kencengnya pesona gue
Lah bos gue juga seumuran lo
Udah ah mau mandi dede, bye.
Aku menatap pesan itu lama. Rajan Aldira. CEO Mons Corp. Saudara kandungku. Kakak yang tidak tahu aku bekerja di Aude’C Group perusahaan kompetitor terbesar perusahaannya.
Kalau dia tahu? Aku tamat. Kalau Arkana tahu aku adik Rajan musuh bisnisnya? Aku lebih tamat.
Jadi hanya ada satu pilihan rahasia ini harus terkubur.
Besok hari ketiga. Dan aku sudah bisa merasakan sesuatu Arkana Rivard bukan hanya bos dia adalah badai yang tidak akan berhenti sebelum menghancurkan atau membentuk seseorang.
Pertanyaannya aku akan jadi yang mana?
Arkana menyetir dengan satu tangan di setir, satu lagi bertumpu santai di konsol tengah. Lampu-lampu jalan Jakarta berpendar di kaca mobil, memantul seperti garis-garis cahaya yang bergerak lambat. Narine duduk di kursi penumpang, tubuhnya sedikit menyandar ke pintu, menatap keluar jendela tanpa benar-benar fokus pada apa pun.Hening terlalu lama tidak seperti biasanya. Di saat-saat seperti ini ocehan dari bebek pribadinya itu sangat Arkana rindukan.“Irene itu…” Arkana akhirnya membuka suara, nadanya datar tapi jelas ada sesuatu yang ditahan. “Dia mantan pacar Rajan, dan orang yang sama yang ngebuat aku sama Rajan salah paham.”Narine menoleh. “Hmmm,” jawabnya pelan. “Dia cantik ya pantes kamu sama kak Rajan sampe musuhan gitu, apalagi kayaknya dia deket banget sama keluarga kamu.”Arkana menghembuskan napas pendek, seolah sudah menduga reaksi itu. “Papa mama sama orang tuanya Irene temenan dari dulu. Partner bisnis, sahabat, papa ku udah temenan dari SMA sama papinya Irene.” Rahangn
Setelah kembali dari kantin menyelesaikan makan siang nya, Narine menarik kursinya dengan keras sehingga suara nya memekakkan telinga. “Kamu tuh bener-bener ya, dikantin tadi banyak yang ngomongin kita.” omelnya sambil menyalakan laptop.Arkana menoleh. “Ya gapapa bek, biar mereka tau gimana ugal-ugalan nya kamu sama aku wkwk”“Mereka gak tau aja gimana rewelnya kamu.”“Eh itu apa?" Narine terdistrak oleh sesuatu yang ada di celana Arkana.Arkana menunduk, melirik dirinya sendiri. “Oh ini, tadi ada hewan terus nempel disini jadi kotor gini.”Arkana tersenyum kecil. “Kamu daritadi ternyata merhatiin nya kearah sini. Mau yaaaa, ngakuu.”Narine langsung menoleh tajam. “Aku nggak merhatiin.”“Oh?” Arkana menyandarkan punggung. “Kalo kamu mau bilang aja si sayang, kayak sama siapa aja.”“Orang gila!”“Gila akan cintamu.”“Sumpah ya, konyol banget kamu tuh belajar dari siapa si.” ujar Narine sambil senyum geli, siapa sangka bosnya yang galak itu kini sering menggombal yang alay pula.“Lihat
Pagi itu Narine datang ke kantor dengan ekspresi yang bahkan kopi pahit di tangannya tidak mampu selamatkan. Rambutnya rapi, outfit-nya on point, tapi auranya seperti orang yang baru saja debat panjang sama semesta dan kalah telak.Ia menaruh tas di meja, menyalakan laptop, lalu mendesah panjang.“Pagi, sayang ku” suara Arkana terdengar dari samping, tenang seperti biasa.Narine tidak langsung menoleh. “Pagi bapak.”Arkana duduk di kursinya, membuka tablet. “Bapak banget nih, masa sama pacar bilang nya bapak.”“Ya emang kamu udah bapak-bapak,” Narine akhirnya menoleh. “Bapak dari anak-anak mu, jiaaakkhh.”Narine mendengus. “Konyol banget.”Arkana tertawa senang seolah baru menemukan akar masalah dunia. “Udah gen-z banget kan bek.”Narine melotot. “Genz matamu”“Salah mulu, males.”Mereka hening beberapa detik, hanya suara keyboard dan AC kantor. Tapi jelas, hening itu bukan damai. Lebih seperti dua orang yang sama-sama tahu mereka lagi adu gengsi, tapi terlalu malas buat ngaku."Kita
Saat jam makan siang, Narine berada di pantry mengambil air. Dua rekan perempuan dari departemen lain tiba-tiba muncul dan mulai berbicara dengan Arkana yang sedang membuat kopi. Suara mereka terdengar riang, candaan ringan, kemudian salah satu menyentuh lengan Arkana sambil tertawa.Narine refleks memalingkan wajah, tapi dada tiba-tiba terasa aneh seperti ada yang menusuk pelan dari dalam.Perasaan itu membuatnya kaget. Ia tidak pernah peduli sebelumnya siapa yang dekat dengan Arkana. Tapi sekarang rasanya seperti ada jarak tak terlihat yang berubah menjadi sesuatu yang menyakitkan.Ia buru-buru mengambil air dan pergi tanpa menoleh.Namun ia bisa merasakan tatapan Arkana mengikuti gerakannya.'Duh ini gue ko jadi kayak maling ya, biasa aja deh toh cuman mimpi'****Sore menjelang jam pulang, Narine sengaja membereskan barang-barangnya lebih pelan, berharap Arkana sudah pulang duluan. Tapi ketika ia berjalan keluar, Arkana berdiri dekat lift, seolah menunggu seseorang.“Narine,” pang
Narine hampir mengira sudah berhasil menenangkan diri ketika ia sudah berpakaian rapi, mengambil tas, dan bersiap keluar kamar. Tapi saat ia membuka pintu kamar, Maya sudah berdiri di lorong kecil apartemen dengan rambut acak-acakan, satu tangan memegang laptop, satu tangan lagi sibuk mencari sesuatu di dalam tas kecilnya.“Lo berangkat sekarang kan? Nebeng gue ya,” ucap Maya buru-buru, seolah keputusan itu sudah final dan tidak bisa ditawar lagi.Narine mengerjap pelan. “Hah? masih jaman Nebeng?"“Yaelah jangan pelit-pelit calon adik ipar.” Maya menyelipkan laptop ke tas tote bag-nya. Narine mendengus pelan. “Lo bahkan gak berani natap wajah kak Rajan, so so'an mau jadi ipar gue.”“Makanya gue butuh bantuan lo,” jawab Maya nyaris dramatis, lalu merapikan sedikit rambut bagian depan. “Udah cepet ah, gue takut telat briefing.”Narine menarik napas pelan, sedikit bagian dirinya senang Maya muncul tiba-tiba begini karena setidaknya ia bisa mengalihkan pikirannya dari bayangan Arkana. Ma
POV NARINEAku mengusap dada Arkana. Menyentuh kulitnya yang terasa hangat akibat matahari sore.Pak Arkana menggeram pelan, membuatku sontak tertawa.“Narine....” desisnya.“Yes?” I play innocent.“Stop touching me.”“Why?” Tanyaku.Sekali lagi, Pak Arkana menggeram. “I’m hard.”Sebaris semyum mencuri keluar di wajahku. Aku menunduk untuk bersembunyi dariPak Arkana.“And I’m wet,” balasku, lalu mencium dadanya.Aku bisa merasakan tubuhnya menegang.Pak Arkana meraih daguku lalu menarik wajahku hingga berhadapan dengannya. Tangannyaberada di bagian belakang kepalaku. Dia mendorong kepalaku hingga bibirku mendarat di atasbibirnya. Ciumannya selalu membuatku candu. Aku membuka bibir dan membiarkan lidahnyamenguasaiku. Ciumannya terasa lembut sekaligus menuntut.Pak Arkana mengurai ciuman itu sebelum nafsu menguasai. Matanya berkilat saatmenatapku. Aku bisa merasakan birahi di matanya, karena aku pun merasakan hal yang sama.“Can we go now?” Tanyanya. “I want to see you naked, Narin







