Beranda / Romansa / Sentuhan Pria Dewasa / Chapter 2 Titisan Setan

Share

Chapter 2 Titisan Setan

Penulis: Polcaa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-20 13:09:11

Baru dua hari bekerja di lantai eksekutif Aude’C Group dan aku sudah mulai sadar satu hal, reputasi Arkana Rivard sebagai bos yang tidak manusiawi ternyata masih terlalu baik untuk menggambarkan kenyataannya, dia tuh titisan setan.

Pukul delapan lewat sepuluh menit. Aku berdiri di depan meja, menata ulang jadwal meeting pagi ini. Baru menyentuh komputer, suara datar itu sudah terdengar dari balik pintu kaca ruang CEO.

Narine. Masuk.

Nada perintah. Bukan panggilan. Bukan permintaan. Aku tarik napas tipis, mengetuk sekali, lalu masuk. Dia bahkan tidak menoleh. Tubuhnya tegap membelakangiku, berdiri di depan jendela besar yang memamerkan gedung-gedung SCBD.

Perintah berikutnya keluar tanpa emosi, “Kenapa laporan marketing belum di meja saya?

Aku menahan diri untuk tidak mengerutkan dahi. “Itu masih dikoreksi tim finance, Pak. Baru akan—”

Saya tidak tanya alasan. Saya tanya kenapa belum di meja saya.” Ia berbalik perlahan, tangan terlipat di dada. Mata tajamnya menatapku. Entah kenapa, pria itu selalu terlihat seperti sedang menilai kelemahan orang setiap lima detik.

Ah. Tipe begini. Orang yang menganggap waktu dua menit lebih penting daripada hidup orang lain.

Aku tetap tenang. “Saya follow up ulang bagian finance dan akan kirim sebelum jam sembilan.”

“Pastikan. Saya tidak suka menunggu.” Ia duduk tanpa mempersilakan aku duduk. Tepat ketika aku hendak keluar, suaranya terdengar lagi. “Dan lain kali kalau saya bertanya, jawabannya cukup solusi. Bukan cerita.”

Dalam hati, aku mendecak. 'nyinyinyi, cikip silisi bikin ciriti'. Baiklah, si paling perfeksionis.

“Baik, Pak.”

Aku keluar. Menghela napas. Baru lima menit, intensitas tekanannya sudah seperti rapat final audit tahunan. Karyawan lain mungkin butuh tiga bulan untuk mulai benci ke bosnya. Aku butuh satu hari.

Di meja, email sudah menumpuk, panggilan telepon masuk satu per satu. Bagus. Rutinitas menyelamatkanku dari keinginan spontan untuk melempar stapler ke pintu ruangan CEO.


Pukul delapan lewat tiga puluh. Aku masih berhadapan dengan spreadsheet penuh angka ketika seseorang tiba-tiba menghambur mendekat dengan panik.

“Narine! Kamu udah dapet kabar belum?” Karina, sekretaris divisi HR, mencondongkan tubuh di atas meja kerjaku. “Katanya kamu diomelin bikin Pak Arkana karena dia harus nunggu laporan tadi pagi?”

Oh, jadi gosip di lantai eksekutif secepat ini ya?

“Hmm,” jawabku datar. “Aku lagi follow up.”

Karina menatapku iba. Sok iba, sebenarnya. “Hati-hati ya. Bos kita itu enggak suka orang telat. Satu kesalahan kecil aja dia bisa—”

“—pecat aku? udah tahu.” Aku menyelesaikan kalimatnya. “Makasih peringatannya.”

Dia tersenyum kecil, lalu memiringkan kepala, penuh rasa ingin tahu. “By the way, kamu masuk sini lewat siapa sih? Direkom siapa? Biasanya sekretaris CEO itu pilihan personal.”

Aku meliriknya sekilas. “Masuk lewat proses rekrutmen.”

“Yakin?” ia menahan tawa. “Karena banyak yang bilang kamu punya backing.”

"Baking soda kali ah" jawabku pelan.

Dan di situ aku mulai mengerti. Ini bukan percakapan biasa. Ini investigasi halus. Gosip di kantor ini tidak menunggu fakta. Mereka menciptakan gosip lalu percaya itu benar.

“Kalau aku punya backing,” kataku pelan sambil tetap mengetik, “aku enggak akan ditanya dua kali soal laporan yang belum turun.”

Karina terdiam sepersekian detik sebelum tertawa hambar. “Hehe. Ya juga sih. Ya udah, kerja lagi deh. Semangat!”

Dia pergi. Dan baru dua langkah menjauh, aku mendengar bisikannya dengan sekretaris lain, “Tetep aja sih, muka dia kayak orang yang punya koneksi.”

Sudah kuduga. Di kantor, kau hanya butuh dua hal untuk membuat orang lain tidak suka padamu: kemampuan atau rumor. Sayangnya, aku masuk kategori keduanya.


Sembilan lewat dua menit. Aku menaruh berkas laporan marketing di meja Arkana. Ia mengambilnya tanpa melihat ke arahku, lalu berkata:

“Meeting dengan divisi ekspansi dimajukan. Siapkan proyektor dan tim media. Dan panggil mereka dalam sepuluh menit.”

“Baik.” Aku hampir keluar ketika suara itu menahan langkahku lagi.

“Dan, Narine.” Ia menutup berkas tanpa membacanya. “Kalau kamu mau bertahan di sini lebih dari dua minggu, turunkan nada bicaramu.”

Aku berhenti. Menoleh. “Maaf?”

“Gaya bicaramu pagi ini.” Ia menyandarkan tubuh ke kursi. “Aku bertanya, kamu menjelaskan. Aku memberi perintah, kamu tambah narasinya. Kamu menjawab masalah dengan kalimat defensif. Itu tanda orang yang tidak siap bekerja cepat.”

Wow. Terapi psikologis gratis rupanya. “Saya paham, Pak.”

Mata itu menatapku lama. “Belum. Tapi kamu akan paham.”

Terserah. Aku keluar sebelum sarkasme di otakku mengambil alih mulutku.


Ruang rapat 28A ruang khusus rapat eksekutif. Hanya orang dengan ID akses tertentu yang bisa masuk. Ruangan itu dipenuhi belasan direktur dan kepala divisi. Semua rapi. Semua formal. Semua kaku. Sampai bos besar masuk dan ruangan sontak jadi ruang sidang militer.

Arkana masuk tanpa banyak suara, satu tangan membawa berkas, satunya memegang tablet. Tatapannya dingin, tegas, menghitung semua orang yang hadir seolah menentukan siapa yang paling lemah hari ini.

“Apa kita mulai?” katanya.

Tidak ada yang menjawab. Karena jawabannya bukan ditunggu. Ia langsung duduk di kursi paling ujung.

Presentasi dimulai. Kepala Divisi Ekspansi memaparkan rencana proyek baru di Surabaya. Aku berdiri di dekat layar, memastikan semua berjalan lancar. Slide berganti. Strategi pasar. Target. Timeline. Perkiraan revenue.

Sepuluh menit berjalan baik. Sampai tiba di bagian analisis risiko.

“Wait.” Suara Arkana menghentikan presentasi. “Data ini.”

Ia menunjuk layar. “Kenapa angka ini tidak sinkron dengan laporan Q2?”

Kepala Divisi Ekspansi gelagapan. “Itu—itu masih proyeksi awal, Pak.”

“Jawabannya salah.” Nada Arkana datar. “Jawaban yang benar adalah karena analisnya tidak membaca ulang sebelum presentasi.”

Suhu ruangan turun secara emosional. Seorang direktur lain menunduk. Yang lain pura-pura menulis. Tidak ada yang berani bicara.

Aku memperhatikan Arkana dari samping. Pria itu sama sekali tidak tersenyum, tidak meninggikan suara, tapi entah bagaimana ia berhasil membuat satu ruangan terasa dicekik.

“Perbaiki dalam dua puluh empat jam, atau proyek ini kita pending sebulan.” Ia bersandar ke kursi. “Kita tidak jalan pakai data setengah matang.”

Presentasi dilanjutkan dengan rasa takut. Sampai akhirnya… sebuah masalah teknis terjadi. Laptop macet. File presentasi error. Semua orang bingung. Semua panik. Semua saling menatap.

Arkana menatapku sebentar. Hanya satu detik. Tapi aku tahu itu artinya: urus sekarang.

Aku maju, mengambil alih laptop. Aku tidak tanya siapa salah. Tidak tanya kenapa bisa. Aku langsung cari file backup, jalankan file cadangan di cloud, sinkronkan ulang tampilan.

Presentasi hidup lagi dalam kurang dari dua menit.

Arkana menatapku sebentar. Hanya sebentar. Tapi aku bisa membaca sesuatu di sana—pengakuan diam-diam bahwa aku berguna. Itu cukup.

Meeting berjalan satu jam lagi. Setelah selesai, semua buru-buru pergi seperti tahanan yang baru dapat remisi.

Arkana tetap di kursinya. “Narine. Tinggal.”

Tentu.

Aku mendekat.

Ia melempar berkas kecil ke meja. “Ini jadwal saya untuk seminggu ke depan.”

Aku membuka. Tidak hanya jadwal. Ada juga daftar permintaan khusus, target rapat, hingga catatan prioritas. Detil, presisi, sistematis. Tipe otak predator korporat.

Lalu ia berkata, “Saya tidak suka mengulang instruksi.”

“Baik pak.”

“Dan saya tidak suka orang yang kerja setengah-setengah.”

“Baik.”

“Dan—”

Aku menatapnya. “Pak, kalau semua yang Bapak sampaikan isinya daftar hal yang Bapak tidak suka, mungkin lebih cepat kalau saya punya daftar hal yang Bapak suka saja.”

Sunyi. Satu detik. Dua detik. Tiga detik.

Astaga. Kenapa tadi otakku kalah cepat dari mulutku?

Arkana meletakkan tangannya di dagu. Ekspresinya sulit ditebak. Kemudian untuk pertama kalinya sudut bibir kirinya sedikit terangkat.

Setengah senyum. Tapi bukan senyum ramah. Lebih mirip ekspresi seseorang yang baru menemukan permainan baru.

“Baik,” katanya pelan. “Saya suka orang yang efisien. Aku suka orang yang tidak cari alasan. Dan saya suka orang yang saya suka perempuan yang tidak cerewet-kalau kamu mau tahu.”

'Idih cakep lu begitu' Lain dimulut lain dihati itulah aku, aku tertawa mendengar jawaban pak Arkana barusan "ha-ha-ha"

“Mulai sekarang kau akan ikut semua meeting saya. Semua. Kau akan filter semua komunikasi yang masuk, dan tidak ada satu pun berkas yang keluar tanpa pengecekanmu.”

Aku mengangkat alis. “Semua?”

“Semua.”

Oke. Jadi ini bukan pekerjaan sekretaris biasa. Ini asisten personal CEO. Posisi strategis. Posisi yang berbahaya jadi pusat gosip.

Lalu ia menambahkan tanpa melihatku, “Dan satu lagi.”

Aku menunggu.

“Jangan berani terlambat walau satu menit. Di posisimu, satu menit bisa berarti hilangnya kesetiaan orang.”

Aku tidak mengerti kalimat itu. Tapi satu hal jelas: Arkana Rivard baru saja mempromosikanku. Dan entah ini pencapaian atau jebakan.


Saat aku kembali ke meja, Karina menatapku dengan ekspresi shock bercampur iri. “Kamu-kamu barusan lama banget di ruang rapat. Ngapain aja?”

“Kerja.”

“Terus ini ” Dia menunjuk ID card di bajuku yang baru saja berubah warna. Level akses naik dari Executive Assistant menjadi Personal Executive Officer. Bukan naik jabatan biasa. Ini fast track.

“Kamu deket sama Pak Arkana ya?”

Ah. Ya. Aku tahu ini akan terjadi. Orang tidak peduli kau kerja keras. Mereka selalu lebih percaya teori konspirasi.

“Aku dekat sama pekerjaanku,” jawabku datar. “Sudah. Aku harus kerja lagi.”

Dan untuk pertama kalinya sejak mulai kerja di sini, Karina tidak punya balasan.


Malam hari. Aku pulang ke apartemen kecilku di Sudirman. Melepas blazer, menyalakan lampu, menjatuhkan tubuh di sofa.

Hari kedua. Kepala masih utuh. Mental masih stabil. Hanya sedikit terbakar tapi belum gosong. Aku masih bisa bertahan.

Ponselku bergetar.

Rajan

De, gimana nyaman gak kerjanya?

awas aja lu malah kepincut atasan lu

Gue yakin bos lu aki aki

Lu kenapa gak pernah cerita si kerjanya dimana, kan curiga

                                                    Lu tuh aki aki

                                                   Bos gue cakep, tapi kelakuanya kayak setan

Dih gue masih 30 ya lagi kenceng-kencengnya pesona gue

                                                  Lah bos gue juga seumuran lo

                                                  Udah ah mau mandi dede, bye. 

Aku menatap pesan itu lama. Rajan Aldira. CEO Mons Corp. Saudara kandungku. Kakak yang tidak tahu aku bekerja di Aude’C Group perusahaan kompetitor terbesar perusahaannya.

Kalau dia tahu? Aku tamat. Kalau Arkana tahu aku adik Rajan musuh bisnisnya? Aku lebih tamat.

Jadi hanya ada satu pilihan rahasia ini harus terkubur.

Besok hari ketiga. Dan aku sudah bisa merasakan sesuatu  Arkana Rivard bukan hanya bos dia adalah badai yang tidak akan berhenti sebelum menghancurkan atau membentuk seseorang.

Pertanyaannya aku akan jadi yang mana?


Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sentuhan Pria Dewasa   Chapter 4 Kesepakatan

    From: Arkana RivardSubject: My office. Now.Narine menaruh tas di meja, menyalakan laptop, berusaha pura-pura nggak peduli. Tapi jelas semua orang memperhatikan. Seperti menunggu apakah dia akan meledak atau pura-pura bebal. Detik berikutnya, notifikasi chat kantor masuk bertubi-tubi. Dari Maya.Maya: NARINEEEE GILA APAAN TUH DI TIMELINEAAA??Narine: Bentar. Jangan pake capslock, mata gue sakit.Maya: INI GOSIP LO JADI SELINGKUHAN? SIMPENAN OM-OM?!!Narine: Thor bukan om-om. Kurang tua 2 tahun biar jadi om. Dan dia sepupu gue.Maya: YAA GUE TAU, TAPI SATU KANTOR GAADA YG TAU ITU. SEKARANG LINE GROUP HR PANASSS!!!Narine: Santai. Gini doang?Maya: GINI DOANG? GINI DOANG KATA DIAAA! FOTO LO DI MOBIL MALAM-MALAM JUGA KESEBAR!Narine: Mobil itu punya gue.Maya: DI FOTO LO KEPELUK DIAAA!!Narine: Lo bisa matiin dulu gak capslock nya, kita tuh janjian sama kak rajan mau dinner orang ada bini nya juga di dalemMaya: Lah orang gila tuh yang foto sembaranganNarine: Iya kayak eluMaya: OH PLE

  • Sentuhan Pria Dewasa   Chapter 3 Skandal

    Sudah satu bulan aku bekerja di Aude’C Group, dan satu hal yang mulai kupahami dari perusahaan ini adalah kompetisi tidak selalu datang dalam bentuk pekerjaan. Kadang ia datang dalam bentuk senyuman manis yang palsu, jabat tangan yang menusuk, dan bisikan yang menyebar lebih cepat daripada email internal.Aku kira aku mulai beradaptasi. Aku sudah terbiasa dengan ritme kerja Arkana Rivard yang tidak manusiawi. Terbiasa dengan jadwal yang berubah tiap lima menit, rapat beruntun, revisi mendadak, deadline yang menginjak leher. Dan ternyata semua itu masih lebih mudah daripada menghadapi satu hal ini:Gosip murahan.Hari itu berjalan normal sampai pukul 10 pagi. Aku baru saja kembali dari ruang rapat lantai 57 setelah mengirim dokumen revisi akuisisi yang diminta Arkana. Sambil duduk di meja, aku membuka laptop, memeriksa email, menjawab tiga permintaan jadwal yang bentrok, lalu menyiapkan agenda rapat pukul sebelas.Biasa.Hingga suara notifikasi WhatsApp kantor berbunyi lagi dan lagi ce

  • Sentuhan Pria Dewasa   Chapter 2 Titisan Setan

    Baru dua hari bekerja di lantai eksekutif Aude’C Group dan aku sudah mulai sadar satu hal, reputasi Arkana Rivard sebagai bos yang tidak manusiawi ternyata masih terlalu baik untuk menggambarkan kenyataannya, dia tuh titisan setan.Pukul delapan lewat sepuluh menit. Aku berdiri di depan meja, menata ulang jadwal meeting pagi ini. Baru menyentuh komputer, suara datar itu sudah terdengar dari balik pintu kaca ruang CEO.“Narine. Masuk.”Nada perintah. Bukan panggilan. Bukan permintaan. Aku tarik napas tipis, mengetuk sekali, lalu masuk. Dia bahkan tidak menoleh. Tubuhnya tegap membelakangiku, berdiri di depan jendela besar yang memamerkan gedung-gedung SCBD.Perintah berikutnya keluar tanpa emosi, “Kenapa laporan marketing belum di meja saya?”Aku menahan diri untuk tidak mengerutkan dahi. “Itu masih dikoreksi tim finance, Pak. Baru akan—”“Saya tidak tanya alasan. Saya tanya kenapa belum di meja saya.” Ia berbalik perlahan, tangan terlipat di dada. Mata tajamnya menatapku. Entah kenapa

  • Sentuhan Pria Dewasa   Chapter 1 Aude'c Group

    Happy reading dan jangan lupa kritik juga saran nya yaTidak ada yang pernah benar-benar siap menghadapi hari pertama kerja apalagi kalau pekerjaan itu menempatkanmu tepat di samping pria yang reputasinya lebih tajam dari pisau bedah: Arkana Rivard.Gedung Aude’C Group menjulang tinggi di kawasan bisnis Sudirman. Dinding kacanya memantulkan langit Jakarta yang muram pagi ini. Orang-orang bersetelan formal bergerak cepat keluar-masuk lobi, seolah tidak ada ruang untuk kesalahan atau keterlambatan.Dan di sanalah Narine Aldira berdiri, menggenggam map biru tua berisi dokumen onboarding dan kontrak kerjanya pekerjaan baru yang ia dapat hanya tiga hari setelah keluar dari perusahaan lamanya karena fitnah yang menjatuhkan namanya dalam semalam.Brakk"De cepetan dong katanya mau mandiri masa jam 7 belum siap-siap juga, kan ini hari pertama lo kerja" Pagi ku disambut dengan omelan 'Rajan' ya dia kakak ku satu satunya.Dengan berjalan didepan ku dia masih te

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status