MasukSudah satu bulan aku bekerja di Aude’C Group, dan satu hal yang mulai kupahami dari perusahaan ini adalah kompetisi tidak selalu datang dalam bentuk pekerjaan. Kadang ia datang dalam bentuk senyuman manis yang palsu, jabat tangan yang menusuk, dan bisikan yang menyebar lebih cepat daripada email internal.
Aku kira aku mulai beradaptasi. Aku sudah terbiasa dengan ritme kerja Arkana Rivard yang tidak manusiawi. Terbiasa dengan jadwal yang berubah tiap lima menit, rapat beruntun, revisi mendadak, deadline yang menginjak leher. Dan ternyata semua itu masih lebih mudah daripada menghadapi satu hal ini:
Gosip murahan.
Hari itu berjalan normal sampai pukul 10 pagi. Aku baru saja kembali dari ruang rapat lantai 57 setelah mengirim dokumen revisi akuisisi yang diminta Arkana. Sambil duduk di meja, aku membuka laptop, memeriksa email, menjawab tiga permintaan jadwal yang bentrok, lalu menyiapkan agenda rapat pukul sebelas.
Biasa.
Hingga suara notifikasi W******p kantor berbunyi lagi dan lagi cepat, beruntun.
Aku mengangkat kepala. Semua orang tiba-tiba terlihat sibuk tapi dengan wajah yang bukan sibuk kerja. Mereka melihat ponsel masing-masing sambil menutup-nutupi layar. Ada yang berbisik. Ada yang saling pandang, kemudian tertawa kecil.
Lalu aku mendengar namaku.
“Serius itu Narine?”
“Gila, berani banget sih.”
“Pantesan baru sebulan kerja udah diangkat jadi sekretaris eksekutif.”
“Dipake om-om dulu kali baru naik.”
“Ih dasar murahan.”
Aku berhenti mengetik.
Satu pesan baru masuk ke ponselku dari Maya tim Business Support yang kadang baik, kadang cerewetnya minta ampun.
Maya
Nar lo buka grup WAG kantor.Detak jantungku naik.
Perlahan, aku membuka W******p.
Aude’C Group Staff – Corporate Floor
Pesan teratas adalah foto-foto.
Tanganku menegang.
Foto aku bersama Thor.
Di depan restoran. Di dalam mobil. Duduk berdua di lounge hotel.
Lalu ada kalimat yang dikirim seseorang entah siapa:
“Kok sekretaris baru udah jalan sama om-om? Ngeri. Udah tau kan tuh orang beristri.”
Chat berikutnya lebih kejam
“Ya beginilah dunia korporat. Mau naik, ya buka daleman.”
Darahku mendidih. Thor adalah sepupuku. Tapi tidak ada yang tahu itu. Identitasku sebagai keluarga Aldira adalah misi yang harus dirahasiakan demi masuknya aku ke Aude’C.
Masih ada lagi:
“Ini fotonya banyak, bre. Udah sebulan ternyata selingkuh jalan terus. Kelas!”
Ada 10 foto. SEPULUH FOTO. Semua diambil dari sudut berbeda. Seseorang sengaja menguntit kami. Ini bukan gosip alami. Ini serangan yang direncanakan.
'Aishh siapa si yang foto-foto sembarangan'
Lalu yang paling menyakitkan bukan fotonya.
Tapi komentar orang-orang kantor.
“Udah cantik, otaknya dipake dong.”
“Pelakor early career.”
“Kayak gini kok bisa masuk Aude’C? HR ngantuk ya?”
“Kayaknya disponsori.”
“Fix, perempuan simpanan."
"Jangan-jangan udah dipake lagi sama si bos"
Aku menutup ponsel.
Menarik napas.
Tidak. Aku tidak boleh terpancing. Tidak di ruang kantor. Tidak di tengah orang-orang yang sedang menunggu reaksiku seperti serigala yang mencium darah.
Tapi belum sempat aku berdiri, Maya tiba-tiba datang mendekat.
“Mereka jahat banget Nar,” katanya pelan seolah simpati, "Lo gak mungkin kan kayak gitu, mesti klarifikasi si. Soalnya grup udah panas banget. Udah pada mulai bilang lo simpanan.”
Aku menatapnya datar. “Kalau gue jelasin ke orang yang udah percaya sama gosip, mereka gak akan denger.”
Maya kaget. “Lo gak mau bersihin nama lo, mau lo biarin gitu?”
“Gak perlu. Orang cerdas bisa bedain fakta sama fitnah.”
Dia tersenyum kecil. “Good luck deh, awas lu nanti nyesel berujung nangis sampe meler sama gue"
Sepuluh menit kemudian, aku dipanggil oleh HR.
Bagus. Bahkan lebih cepat dari dugaanku.
Ruang HR penuh dengan formalitas dingin. Dua orang duduk di depanku Mirna Head of HR Business Class, dan Nadya HR specialist relasi internal. Senyuman mereka profesional. Matanya tidak.
“Terima kasih sudah datang, Narine. Kami hanya ingin membicarakan sesuatu yang sensitif,” kata Mirna.
“Silakan,” jawabku tenang.
“Kami menerima laporan terkait kedekatan personal Anda dengan seorang pria beristri.” Mirna menatap kertas print-out foto yang sudah mereka siapkan di meja. “Ini menyebar di lingkungan kantor. Kami ingin memastikan apakah hubungan ini melanggar kode etik perusahaan.”
Aku menatap mereka lurus. “Kalau saya bilang ini fitnah?”
Nadya ikut bicara. “Ada cukup banyak foto yang menunjukkan hubungan yang tidak profesional.”
“Kedekatan saya dengan siapa pun di luar jam kerja bukan urusan perusahaan selama tidak melibatkan konflik kepentingan,” jawabku.
Mirna menggeser salah satu foto. “Pria ini siapa?”
Aku diam. Karena kalau aku jawab sepupu, rahasiaku selesai. Karena itu berarti mendekat ke satu kebenaran yang paling tidak boleh keluar: Aku adalah adik Rajan Aldira.
Mirna menatapku teliti. “Kalau bukan hubungan terlarang, kenapa kamu diam?”
“Karena saya tidak berkewajiban menjelaskan kehidupan pribadi saya,” jawabku.
Nadya menyilangkan tangan. “Gini aja Narine, kalau kamu jujur, masalah ini bisa cepat selesai. Tapi kalau kamu menutup-nutupi kami harus menganggap ini benar.”
Aku menahan tawa kecil.
Ancaman halus.
Klasik.
“Bu,” kataku pelan, “kalau perusahaan ini mengambil keputusan berdasarkan gosip, saya heran Aude’C bisa sebesar ini.”
Udara menegang.
Mirna memerhatikanku lama. “Baik. Kami tidak akan ambil keputusan sekarang. Tapi kami akan melaporkan ini ke atasan langsung Anda.”
Deg.
Atasan langsungku?
Arkana Rivard.
CEO. Penguasa dingin Aude’C Group. Pria yang alergi skandal kantor. Pria yang membenci drama. Pria yang menilai semua orang berdasarkan integritas tidak peduli siapa pun.
Kalau dia tahu? kacau dong
'Thor sialan udah gue bilang kemarin jangan jemput gue'
Aku kembali ke meja. Semua orang berpura-pura kerja. Tapi mereka sengaja lebih keras berbisik, memastikan aku mendengar mereka.
“Fix dia takut klarifikasi karena beneran pelakor.”
“Tapi gue gak nyangka sih, mukanya polos gitu.” “Pantesan sering lembur bareng Pak Arkana juga, ya.” “Jangan-jangan dua-duanya?” “HAHAHAHA!”Aku menegakkan punggung. Menatap layar. Bekerja.
Kalau aku jatuh hari ini mereka menang.
Tapi tepat ketika aku sedang mencoba menata napas, notifikasi masuk di ponselku.
Email.
From: Arkana Rivard
Subject: My office. Now.Aku memejamkan mata sesaat.
Selesai sudah.
Badai itu datang juga.
Aku harus menyiapkan diri dan "Gue harus bilang apa nanti badjingaaaaaan, kalau gue jujur abis dong"
Arkana menyetir dengan satu tangan di setir, satu lagi bertumpu santai di konsol tengah. Lampu-lampu jalan Jakarta berpendar di kaca mobil, memantul seperti garis-garis cahaya yang bergerak lambat. Narine duduk di kursi penumpang, tubuhnya sedikit menyandar ke pintu, menatap keluar jendela tanpa benar-benar fokus pada apa pun.Hening terlalu lama tidak seperti biasanya. Di saat-saat seperti ini ocehan dari bebek pribadinya itu sangat Arkana rindukan.“Irene itu…” Arkana akhirnya membuka suara, nadanya datar tapi jelas ada sesuatu yang ditahan. “Dia mantan pacar Rajan, dan orang yang sama yang ngebuat aku sama Rajan salah paham.”Narine menoleh. “Hmmm,” jawabnya pelan. “Dia cantik ya pantes kamu sama kak Rajan sampe musuhan gitu, apalagi kayaknya dia deket banget sama keluarga kamu.”Arkana menghembuskan napas pendek, seolah sudah menduga reaksi itu. “Papa mama sama orang tuanya Irene temenan dari dulu. Partner bisnis, sahabat, papa ku udah temenan dari SMA sama papinya Irene.” Rahangn
Setelah kembali dari kantin menyelesaikan makan siang nya, Narine menarik kursinya dengan keras sehingga suara nya memekakkan telinga. “Kamu tuh bener-bener ya, dikantin tadi banyak yang ngomongin kita.” omelnya sambil menyalakan laptop.Arkana menoleh. “Ya gapapa bek, biar mereka tau gimana ugal-ugalan nya kamu sama aku wkwk”“Mereka gak tau aja gimana rewelnya kamu.”“Eh itu apa?" Narine terdistrak oleh sesuatu yang ada di celana Arkana.Arkana menunduk, melirik dirinya sendiri. “Oh ini, tadi ada hewan terus nempel disini jadi kotor gini.”Arkana tersenyum kecil. “Kamu daritadi ternyata merhatiin nya kearah sini. Mau yaaaa, ngakuu.”Narine langsung menoleh tajam. “Aku nggak merhatiin.”“Oh?” Arkana menyandarkan punggung. “Kalo kamu mau bilang aja si sayang, kayak sama siapa aja.”“Orang gila!”“Gila akan cintamu.”“Sumpah ya, konyol banget kamu tuh belajar dari siapa si.” ujar Narine sambil senyum geli, siapa sangka bosnya yang galak itu kini sering menggombal yang alay pula.“Lihat
Pagi itu Narine datang ke kantor dengan ekspresi yang bahkan kopi pahit di tangannya tidak mampu selamatkan. Rambutnya rapi, outfit-nya on point, tapi auranya seperti orang yang baru saja debat panjang sama semesta dan kalah telak.Ia menaruh tas di meja, menyalakan laptop, lalu mendesah panjang.“Pagi, sayang ku” suara Arkana terdengar dari samping, tenang seperti biasa.Narine tidak langsung menoleh. “Pagi bapak.”Arkana duduk di kursinya, membuka tablet. “Bapak banget nih, masa sama pacar bilang nya bapak.”“Ya emang kamu udah bapak-bapak,” Narine akhirnya menoleh. “Bapak dari anak-anak mu, jiaaakkhh.”Narine mendengus. “Konyol banget.”Arkana tertawa senang seolah baru menemukan akar masalah dunia. “Udah gen-z banget kan bek.”Narine melotot. “Genz matamu”“Salah mulu, males.”Mereka hening beberapa detik, hanya suara keyboard dan AC kantor. Tapi jelas, hening itu bukan damai. Lebih seperti dua orang yang sama-sama tahu mereka lagi adu gengsi, tapi terlalu malas buat ngaku."Kita
Saat jam makan siang, Narine berada di pantry mengambil air. Dua rekan perempuan dari departemen lain tiba-tiba muncul dan mulai berbicara dengan Arkana yang sedang membuat kopi. Suara mereka terdengar riang, candaan ringan, kemudian salah satu menyentuh lengan Arkana sambil tertawa.Narine refleks memalingkan wajah, tapi dada tiba-tiba terasa aneh seperti ada yang menusuk pelan dari dalam.Perasaan itu membuatnya kaget. Ia tidak pernah peduli sebelumnya siapa yang dekat dengan Arkana. Tapi sekarang rasanya seperti ada jarak tak terlihat yang berubah menjadi sesuatu yang menyakitkan.Ia buru-buru mengambil air dan pergi tanpa menoleh.Namun ia bisa merasakan tatapan Arkana mengikuti gerakannya.'Duh ini gue ko jadi kayak maling ya, biasa aja deh toh cuman mimpi'****Sore menjelang jam pulang, Narine sengaja membereskan barang-barangnya lebih pelan, berharap Arkana sudah pulang duluan. Tapi ketika ia berjalan keluar, Arkana berdiri dekat lift, seolah menunggu seseorang.“Narine,” pang
Narine hampir mengira sudah berhasil menenangkan diri ketika ia sudah berpakaian rapi, mengambil tas, dan bersiap keluar kamar. Tapi saat ia membuka pintu kamar, Maya sudah berdiri di lorong kecil apartemen dengan rambut acak-acakan, satu tangan memegang laptop, satu tangan lagi sibuk mencari sesuatu di dalam tas kecilnya.“Lo berangkat sekarang kan? Nebeng gue ya,” ucap Maya buru-buru, seolah keputusan itu sudah final dan tidak bisa ditawar lagi.Narine mengerjap pelan. “Hah? masih jaman Nebeng?"“Yaelah jangan pelit-pelit calon adik ipar.” Maya menyelipkan laptop ke tas tote bag-nya. Narine mendengus pelan. “Lo bahkan gak berani natap wajah kak Rajan, so so'an mau jadi ipar gue.”“Makanya gue butuh bantuan lo,” jawab Maya nyaris dramatis, lalu merapikan sedikit rambut bagian depan. “Udah cepet ah, gue takut telat briefing.”Narine menarik napas pelan, sedikit bagian dirinya senang Maya muncul tiba-tiba begini karena setidaknya ia bisa mengalihkan pikirannya dari bayangan Arkana. Ma
POV NARINEAku mengusap dada Arkana. Menyentuh kulitnya yang terasa hangat akibat matahari sore.Pak Arkana menggeram pelan, membuatku sontak tertawa.“Narine....” desisnya.“Yes?” I play innocent.“Stop touching me.”“Why?” Tanyaku.Sekali lagi, Pak Arkana menggeram. “I’m hard.”Sebaris semyum mencuri keluar di wajahku. Aku menunduk untuk bersembunyi dariPak Arkana.“And I’m wet,” balasku, lalu mencium dadanya.Aku bisa merasakan tubuhnya menegang.Pak Arkana meraih daguku lalu menarik wajahku hingga berhadapan dengannya. Tangannyaberada di bagian belakang kepalaku. Dia mendorong kepalaku hingga bibirku mendarat di atasbibirnya. Ciumannya selalu membuatku candu. Aku membuka bibir dan membiarkan lidahnyamenguasaiku. Ciumannya terasa lembut sekaligus menuntut.Pak Arkana mengurai ciuman itu sebelum nafsu menguasai. Matanya berkilat saatmenatapku. Aku bisa merasakan birahi di matanya, karena aku pun merasakan hal yang sama.“Can we go now?” Tanyanya. “I want to see you naked, Narin







