LOGIN“Lo di mana?” Nala bertanya lewat telepon.
“Di perpus beresin tugas Pak Garda,” jawab Karina malas.
“Nggak akan ikut kita ngafe?”
Dengan berat hati Karina menggeleng. “Nggak bisa. Pak Garda ngasih deadline jam delapan malam ini.”
“Ya udah, kita cabut ya,” ujar Nala tidak memperpanjang lagi obrolan.
Saat telepon diputus, Karina menghela napas berat. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik sore itu hampir kosong. Ia duduk di salah satu sudut sambil menatap layar laptop di depannya, halaman kosong dengan judul “Behavioral Analysis: Human Response and Control.”
Ironi.
Tugas itu Karina lewatkan karena terlalu sibuk menghindari orang yang memberi tugasnya. Karina memang bukan mahasiswa teladan. Ia sudah sering kena tegur banyak dosen karena telat mengumpulkan tugas atau tidak melaksanakan kewajiban hadir di kelas. Tapi baru kali ini ia sampai ditegur berkali-kali seperti yang Garda lakukan. Biasanya dosen lain hanya menegurnya di kelas atau saat berpapasan.
Serahkan tugasmu paling lambat pukul delapan malam. Tidak ada lagi keringanan jika masih terlambat.
– G.B.Perutnya terasa diremas hanya dengan dua inisial itu. Inisial sama seperti yang terukir di jam tangan mewah yang kini masih tersimpan di laci kamarnya.
Karina mendesah, mengusap wajah. “Kenapa sih itu dosen ribet banget…” omelnya.
Jarum jam menunjukkan pukul lima lewat sedikit ketika ia menutup laptop sejenak, bangkit untuk mengambil buku referensi. Rak bagian belakang perpustakaan, tempat buku-buku psikologi disusun berderet rapi, tampak sepi. Hanya ada satu orang di sana, seorang pria dengan kemeja putih dan jas abu-abu tergantung di kursi di sampingnya.
Garda.
Pria itu duduk dengan posisi santai tapi tegak, mata fokus pada buku tebal di tangannya. Cahaya dari jendela besar di belakangnya membuat siluet wajahnya terlihat semakin tajam.
Karina hampir berbalik, tapi langkahnya malah terus maju tanpa ia sadari. Ia merasa kali ini ia tidak ingin terus bersembunyi. Ia harus minta maaf, mengakhiri semua kecanggungan ini. Setidaknya agar setiap kali mendengar suara pria itu, ia tak perlu lagi merasakan dadanya seperti dipukul batu besar.
Karina menelan ludah, mendekat perlahan. “Pak Garda…” suaranya pelan hampir berbisik.
Pria itu menutup buku tanpa suara, lalu menoleh. Tatapannya netral, namun Karina tahu ada hal tersirat di baliknya. Tidak ada amarah dalam raut wajah pria itu, namun jelas tidak ada keramahan. Ketenangan di antara mereka membuat Karina justru makin gugup.
“Oh. Karina.” Nada itu terlalu datar untuk sekadar sapaan. “Saya harap kamu di sini sedang mencari referensi untuk menyelesaikan tugasmu yang terlewatkan itu?”
Karina langsung menunduk. “Iya, Pak. Saya… saya benar-benar minta maaf soal tugas yang—”
“Tidak perlu.” Satu kata itu langsung memotong kalimat Karina. “Saya butuh tugasmu ada di meja saya, bukan permintaan maafmu.” Garda menutup buku, berdiri perlahan. Gerakannya tenang, tapi setiap langkahnya seolah sudah dipikirkan mantap hingga membuat Karina terhentak pelan.
Pria itu berjalan melewati Karina, tapi berhenti tepat di sisinya. “Kamu tahu apa yang menarik?” katanya lirih, seolah berbicara pada diri sendiri. “Manusia sering kali ingin memperbaiki sesuatu dengan kata-kata, padahal tindakannya mencerminkan hal sebaliknya.”
Kalimat itu menusuk. Karina tahu maksudnya. Dan ia benci karena ia mengerti. Sepertinya obrolan yang tertunda di ruangan pria itu harus dibicarakan sekarang.
“Pak.” Karina mati-matian membuka suara. “Kalau Bapak masih marah soal malam itu, saya—”
“Kamu yakin akan membahas itu di sini?” Nada suara Garda tetap tenang, tapi matanya sedikit menyipit. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya, tapi Karina tahu itu bukan sebuah senyuman. “Kamu sadar apa yang sedang kamu bicarakan, Saudari Karina?”
Karina menahan napas. “Saya hanya ingin menjelaskan. Waktu itu saya—”
“Ah,” Garda memotong lagi, kali ini lebih lembut tapi entah kenapa terasa jauh lebih kejam. “Mari kita dengar pembelaan kamu.”
“Pembelaan?” Karina gelagapan. “Saya tidak punya pembelaan, Pak. Kalau Bapak tidak keberatan, saya ingin melupakan malam itu. Jadi saya harap—”
Sang pria menatap lurus ke arah Karina, pandangannya penuh analisis. “Biasanya seseorang yang ingin melupakan sesuatu tidak akan membawa topiknya sendiri ke meja pembicaraan.”
Pipi Karina memanas. “Saya tidak bermaksud begitu, Pak. Saya cuma ingin menyelesaikan masalah ini supaya—”
“Supaya kamu merasa lebih ringan? Supaya kamu tidak lagi dihantui rasa bersalah?” Garda mendekat sedikit. Tidak cukup untuk dianggap melanggar batas, tapi cukup untuk membuat Karina terperangkap dalam jarak yang terlalu dekat. “Manusia selalu ingin melepaskan diri dari keadaan yang mereka sebabkan, tapi jarang berani menanggung konsekuensi dari pilihannya.”
Setelah bicara begitu, Garda melangkah pelan ke arah rak di belakang Karina, mengambil satu buku lalu menatap punggung gadis itu. “Kalau saya boleh menebak,” lanjutnya tenang, “Kamu bukan menyesal karena apa yang terjadi, tapi karena siapa yang terlibat.”
Karina menoleh cepat, matanya membulat. “Bapak keterlaluan!”
“Kamu menuduh saya keterlaluan?” Garda menyahut dengan nada yang tetap tenang. Suara itu tetap stabil. “Atau saya hanya mengatakan hal yang tidak ingin kamu dengar karena saya benar?”
Garda menyimpan buku itu kembali ke rak lalu berbalik hendak pergi. Tapi sebelum sempat melangkah jauh, suara Karina menahannya.
“Saya mungkin salah, Pak, tapi bukan berarti Bapak berhak memperlakukan saya seperti ini.” Kata-katanya terdengar bergetar, tapi untuk pertama kalinya ada keberanian di sana. “Di sini, saya adalah mahasiswa Bapak, dan Bapak harus bertindak adil pada semua mahasiswa. Saya merasa hanya karena kesalahan malam itu, Bapak sengaja menyudutkan saya.”
Langkah Garda berhenti. Ia berdiam beberapa detik, lalu menoleh separuh. Tatapan itu kembali netral, tapi dari siratnya, ia merasa seolah untuk pertama kali, ia sedikit tertarik dengan keberanian Karina.
“Begitu,” gumam Garda dengan nada datar yang malah membuat udara semakin berat. “Kalau begitu, saya tunggu hasil tugasmu. Buktikan pada saya kalau apa yang saya lakukan ini salah. Jangan sampai tugasmu nanti justru membenarkan kesan pertama saya padamu.”
Kalimat itu membuat Karina tercekat. Garda lalu berjalan keluar dari ruangan, langkahnya tenang dan penuh percaya diri. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Karina yang masih berdiri kaku di tempat, mendengar gema langkah pria itu menjauh, meninggalkan ruang sunyi yang kini terasa terlalu besar untuknya sendirian di sana.
Untuk beberapa saat, ia tidak bisa berpikir. Kata-kata Garda berputar di kepalanya seperti gema: “Bukan menyesal karena apa yang terjadi, tapi karena siapa yang terlibat.”
Karina menggigit bibir. Amarah pelan-pelan menggantikan rasa takut. Selama ini belum pernah ada yang merendahkannya seperti tadi. Semua orang selalu menghormati dan segan padanya, sekonyol dan sekanak-kanakan apa pun tingkahnya. Sepertinya sudah cukup ia bersikap sopan pada Garda hanya karena pria itu dosennya.
Demi Tuhan ia adalah anak tunggal dari keluarga Yudistira, salah satu konglomerat di negara ini. Bahkan di kampus saja, keluarga Karina merupakan salah satu donatur utama. Ia tidak terima harga dirinya diinjak-injak oleh siapapun, termasuk dosennya sendiri.
Dengan langkah lebar, Karina duduk kembali di kursinya, membuka laptop, dan menatap halaman kosong itu lagi. Tangannya bergetar bukan karena gugup, namun ia karena ia ingin membuktikan sesuatu.
Sambil tangannya sibuk mengetik, bibirnya juga ikut bergumam pelan namun penuh emosi tertahan. “Perilaku paling sulit dikendalikan adalah keinginan untuk mempertahankan kendali setelah harga diri terinjak.”
Ia mengetik terus, cepat, tajam, seolah menulis dengan sisa harga diri yang ditantang barusan. Dari kaca besar di sisi ruangan, bayangan dirinya terlihat samar, seorang mahasiswi dengan wajah tegang, mata merah, dan perasaan yang berkecamuk menuntut pembuktian.
Garda tidak langsung menyilakan Nala duduk. Ia berdiri di dekat jendela ruang dosennya, satu tangan di saku celana, mata mengarah ke luar seolah sedang memperhatikan halaman fakultas, padahal pikirannya sudah bersiap menimbang setiap kata yang akan keluar dari mulut mahasiswi di depannya.Jika Nala sengaja menemuinya, pasti ada kaitannya dengan Karina. “Ada apa?” kata Garda singkat.“Ini tentang Karina,” jawab Nala tegang.Dugaan Garda benar. “Ceritakan,” ujar Garda tipisNala menarik napas. Ia tahu betul bagaimana berbicara dengan pria di depannya. Terlalu berputar-putar hanya akan membuat Garda memotong.“Karina sedang jadi bahan pembicaraan di kampus,” ujar Nala akhirnya. “Bukan cuma gosip biasa. Ini sudah menjalar ke kelas dan angkatan lain. Ada yang bilang dia menyalahgunakan koneksi pribadi dan memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi, ada yang bilang dia dapat perlakuan khusus dari dosen. Ada juga yang membahas tentang pria yang terlihat bersama dia di Puncak kemarin.”Garda
Lobi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mahardika tidak pernah benar-benar sunyi, apalagi di waktu pergantian kelas seperti sekarang. Para mahasiswa bercengkrama di lorong, duduk-duduk di lobi sambil mengerjakan tugas yang sudah mepet deadline, dan sisanya berjalan terburu-buru mengejar kelas selanjutnya. Karina yang baru keluar dari kelas Garda, melangkahkan kakinya dengan malas ke arah pintu keluar gedung. Namun belum setengah perjalanan, Bu Vivian yang baru keluar dari ruangan, menghadangnya. “Karina,” ujar wanita itu. “Tunggu, ada yang mau saya bicarakan.” “Ada apa, Bu?” Karina gugup. Jika ada dosen yang ingin bicara dengannya, biasanya hal itu menyangkut masalah akademik atau apa pun hal yang buruk. Rahang Karina hampir jatuh saat Vivian mengatakan sesuatu yang sama sekali di luar dugaannya. “Saya sudah selesai baca laporan penelitian kelompokmu, cukup bagus. Kalian submit penelitian itu ke simposium nasional ya? Kalau nanti lolos seleksi dan terbit, biar biaya
Karina menyadari ada yang salah bahkan sebelum kelas benar-benar dimulai. Bukan karena materi. Bukan karena suasana kelas. Melainkan karena cara Garda berdiri di depan kelas hari itu. Tidak, pria itu tidak berbeda. Ia tetap tegak seperti biasa. Nada suaranya sama—tenang, jelas, terukur. Slide presentasi berjalan rapi, setiap poin dijelaskan tanpa cela. Namun Karina merasa ada sesuatu yang hilang. Karina duduk di barisan tengah, iPad di depannya menyala, ia memutar-mutar pensil otomatisnya tanpa sadar. Matanya fokus menatap layar, kemudian ke arah papan tulis, lalu tanpa sadar, menatap Garda. Jauh dalam dirinya, Karina mendesah kecewa. Setiap kelas, tatapan mereka biasanya selalu bertemu meski itu hanya sepersekian detik. Hal itu seakan menjadi rahasia kecil di antara mereka. Di antara banyaknya manusia, mereka seolah berkomunikasi lewat kerlingan mata yang hanya sekelebat. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya sejak ia bisa mengingat, tatapan itu tidak pernah dibalas. Biasanya, me
Keesokan paginya, matahari muncul malu-malu dari balik kabut pegunungan. Udara masih segar, rumput basah oleh embun. Di lapang, berkumpul beberapa warga dan mahasiswa. Warga mengajak rombongan kampus untuk bermain permainan tradisional yang membutuhkan kerja sama dan menimbulkan banyak tawa.Karina sudah ikut lebih dulu, duduk bersama beberapa warga dan mahasiswa, ikut bermain bakiak panjang.“Ayo, ayo! Satu-dua-tiga! Langkahnya harus kompak!” seru warga yang memimpin permainan.Karina tertawa pelan, kakinya bergetar karena kesulitan mengikuti ritme. Tapi ia mencoba.Sampai akhirnya sebuah suara terdengar dari belakang.“Pak Garda! Ikut sini! Kekurangan satu orang!”Karina menegang seketika. Ia tahu suara itu. Ia tahu nama itu.Saat menoleh… Garda sudah berjalan mendekat.“Maaf, saya cuma lewat—”“Tapi Pak, satu orang lagi biar genap! Ayo, sekalian menghangatkan badan,” mahasiswa yang lain bersikeras saling bersahutan.Mahasiswa lain bersorak. Garda tidak bisa menolak. Dan tiba-tiba i
Malam turun dengan perlahan, seperti kabut tipis yang menyelimuti desa kecil di Puncak Bogor. Lampu-lampu kuning digantung di sepanjang lapangan, bergetar pelan diterpa angin gunung yang sejuk. Warga sudah berkumpul, beberapa anak kecil berlari-larian sambil memegang jagung bakar dan balon. Musik tradisional dari speaker tua mengalun rendah, menciptakan suasana hangat.Namun di tengah kehangatan itu, ruang ketegangan masih menggelayuti, sejak tadi tidak mau pergi dari dada Karina maupun Garda.Karina berdiri di antara mahasiswa lain, mengenakan sweater rajut tipis yang menghadangnya dari dingin udara pegunungan. Pipinya memerah bukan karena dingin, tapi karena ia terus memikirkan pria yang berdiri beberapa meter darinya.Garda.Pria itu sedang duduk bersama para dosen lain. Wajahnya tampak sangat… tenang. Terlalu tenang. Berbahaya-tenang. Seolah ia datang ke acara penutupan hanya sebagai pengamat, padahal tatapannya sesekali melesat ke arah Karina seperti refleks yang tidak bisa ia ke
Angin sore di desa itu dinginnya bukan main, sebagaimana dinginnya sesuatu yang belum selesai antara dua orang yang pura-pura baik-baik saja. Langit baru saja kehilangan cahaya terakhirnya, menyisakan warna tembaga di balik gunung yang jauh. Selepas kegiatan pengabdian hari itu, semua mahasiswa sibuk merapikan alat dan materi. Beberapa masih berdiskusi di depan aula, tertawa kecil meski wajah mereka terlihat lelah.Sementara itu, Karina melangkah keluar dari aula dengan kedua tangan penuh. Tripod, box alat tulis, map data, dan kotak peraga materi kesehatan mental, semuanya ia bawa kembali ke posko. Pundaknya nyeri, dan kakinya pegal di sana-sini karena seharian ini sering berjalan dan bolak-balik posko–aula desa untuk menyiapkan kegiatan.Ia hanya ingin ke posko, membersihkan diri dan beristirahat. Ketika ia melewati jalan kecil berkerikil menuju posko yang berupa rumah panggung sederhana yang disiapkan untuk tim tiga hari ini, siluet seseorang muncul dari tikungan.Seseorang dengan b







