Share

Chapter 7

Author: nesitara
last update Last Updated: 2025-11-12 13:00:50

Ballroom Hotel Imperial Batavia malam itu berkilau seperti panggung raksasa. Lampu gantung kristal menjuntai dari langit-langit tinggi, memantulkan cahaya ke dinding marmer berwarna gading. Deretan meja bundar ditata rapi, dengan pelayan bersetelan hitam berlalu-lalang membawa gelas sampanye dan hidangan kecil yang tampak terlalu artistik untuk dimakan. Musik orkestra lembut mengisi ruang, cukup tenang untuk para tamu tetap bisa berbicara tapi cukup hidup untuk menutupi kebosanan.

Di tengah keramaian itu, Karina Yudistira berdiri di sisi ruangan, mengenakan gaun satin berwarna champagne yang dipilihkan ibunya. Gadis muda itu terlalu elegan, terlalu dewasa untuk seseorang yang sebenarnya terpaksa ada di sana.

Ia menegakkan tubuh, berusaha tidak menguap, sementara ayahnya, Kamil Yudistira, tengah tenggelam dalam percakapan serius dengan dua pria berjas gelap. Pikirannya melayang pada tempat lain, di kafe atau bar tempat seharusnya ia menghabiskan waktu bersenang-senang daripada menghadiri acara membosankan orang-orang tua yang berlagak ramah ini.

“Gusti Bratasena! Saya kira Anda tidak akan datang!” seru Kamil saat bertemu dengan rekan bisnisnya.

“Mana mungkin saya melewatkan bertemu dengan rekan-rekan bisnis saya. Nanti saya kelewatan berita penting!” sahut Gusti diiringi tawa.

Kamil dan Gusti saling merangkul sambil terkekeh. Kamil lalu berkata pada rekanan bisnisnya yang lain. “Sebaiknya kalian mempercayakan keamanan perusahaan kalian pada Jagajaya. Mereka yang terbaik di negeri ini.”

Gusti berdeham. “Sebentar lagi di Asia Tenggara,” ujarnya bangga. “Kami sedang rencanakan merger dengan perusahaan keamanan di Singapura. Kalau berjalan lancar, distribusi perusahaan kami akan masuk ke pasar Asia Tenggara,” ujar Gusti, suaranya penuh kepercayaan diri, nada khas pebisnis mapan yang terbiasa menguasai ruangan.

Pria di sebelahnya mengangguk antusias. “Luar biasa, Pak Gusti!”

“Tidak lebih hebat dari Pak Kamil tentu saja. Anda ini punya segalanya. Bisnis berjalan lancar, keluarga harmonis, dan anak gadis yang cantik seperti ini,” ucap Gusti pada Kamil.

Karina memaksakan senyum. Bukan karena bangga, lebih karena terpaksa. Ia sudah mendengar percakapan seperti itu seumur hidupnya. Tentang bisnis, saham, ekspansi. Tentang uang, reputasi, koneksi. Sialnya di antara semua itu, dirinya selalu dijadikan properti pamer, seorang putri pengusaha muda yang tidak hanya cantik, namun juga siap meneruskan usaha keluarga.

Kamil menepuk bahu anaknya sekilas, memberi isyarat agar Karina menunduk hormat. “Ini Karina, anak saya. Sebentar lagi selesai kuliahnya. Saya ingin dia mulai belajar menghadiri acara seperti ini, jadi nanti bisa meneruskan apa yang saya bangun.”

Karina tersenyum hambar. “Senang bertemu dengan Anda, Pak.”

Senyumnya mati seketika setelah ayahnya menoleh dan berbisik pelan, tapi cukup tajam untuk menusuk, “Berhenti bersikap seperti kamu tidak mau di sini, Karina.”

Karina menarik napas panjang dan mendesis sambil berbisik. “Aku memang tidak mau berada di sini. Tapi aku sudah di sini, kan? Apa lagi yang Papi mau?”

“Itu saja belum cukup,” jawab Kamil cepat, masih tersenyum ke arah tamu-tamunya. “Kamu harus bergabung dan mengobrol. Jangan hanya berdiri seperti patung. Itu memalukan.”

Karina menatap wajah ayahnya, lalu memalingkan pandang. “Aku tidak tertarik berakting jadi orang yang Papi mau.” Nada suaranya terlalu keras. Cukup keras untuk membuat dua rekan bisnis ayahnya melirik, pura-pura tersenyum tapi jelas menangkap ketegangan.

Kamil menurunkan suaranya tapi nadanya tajam. “Jaga sikapmu.”

“Kalau Papi ingin boneka, cari saja di toko mainan. Aku ini manusia.”

Beberapa kepala mulai menoleh. Musik orkestra yang lembut justru membuat percakapan mereka terdengar semakin kontras. Kamil menggenggam lengan Karina sedikit terlalu erat, senyumnya dipaksakan agar tetap terlihat sopan di mata publik.

“Karina,” desisnya, “Kamu membuatku terlihat bodoh di depan semua orang.”

“Kalau Papi ingin dihormati, jangan paksa aku jadi alat politik perusahaan,” balas Karina, lirih tapi penuh tekanan.

Ia menepis tangan ayahnya dan melangkah menjauh, meninggalkan ruangan. Gaunnya melambai menyapu tanah, sepatu haknya beradu dengan lantai marmer, menciptakan suara tajam yang memecah harmoni pesta.

Beberapa orang berbisik di belakangnya. Sebagian tersenyum geli. Sebagian pura-pura tidak peduli. Namun satu pasang mata memperhatikan gerak Karina lebih lama dari yang lain.

***

Di sisi lain ballroom, Garda Bratasena berdiri di dekat meja prasmanan, berbicara dengan beberapa pria berjas hitam. Matanya melihat salah satu kerumunan di mana di dalamnya ada ayahnya, Gusti Bratasena dan Karina beserta ayahnya, Kamil.

Sosok perempuan bergaun warna sampanye, berdiri kaku di sisi ruangan dengan ekspresi jenuh. Ia mengenali sosok itu bahkan sebelum otaknya sempat memastikan. Dan sejak tatapannya tertuju pada perempuan itu, matanya tidak kunjung melepaskan diri dari sana. Setiap gerak-geriknya selalu berada dalam pengawasan Garda.

Sorot mata, garis bahu, cara menegakkan dagu yang penuh perlawanan. Karina sangat memperlihatkan bahwa ia tidak ingin berada di tempat ini.

Batin Garda terkekeh. Dasar anak manja. Paling tidak gadis itu seharusnya bisa menunjukkan sopan santun daripada terang-terangan membangkang.

Detik berikutnya, adegan kecil yang terjadi di tengah ballroom menarik perhatian semua orang. Karina dan ayahnya tampak berdebat pelan namun intens. Lalu gadis itu pergi dengan langkah cepat, meninggalkan keheningan canggung di sekitar mereka.

Kaki Garda otomatis melangkah mengikuti sang gadis. Namun saat melewati ayahnya, ia dihadang untuk berhenti.

“Ini anak saya, Garda,” ujar Gusti pada rekan-rekannya.

“Tampan dan gagah!” puji salah seorang wanita yang Garda duga adalah istri dari salah seorang petinggi lainnya.

Garda tersenyum tipis. Ia sudah hafal nada itu, pujian yang diselipkan dengan harapan koneksi dan bantuan di lain waktu.

“Enak sekali Pak Gusti ini. Anak-anaknya sudah siap melanjutkan bisnis besar, Anda tinggal menikmati hasilnya saja,” ucap seorang pria lainnya sambil berkelakar.

“Tapi Garda lebih tertarik dengan urusannya sendiri daripada berbisnis,” kata Gusti sambil menepuk-nepuk bahu anaknya, setengah mengejek. “Untuk saat ini saya biarkan saja dia menjalankan pilihannya. Tapi saya yakin suatu saat dia bisa melanjutkan bisnis saya. Kata orang darah bisnis itu menurun, bukan?”

Garda hanya membalas dengan anggukan kecil. Ia tidak menyangkal, tapi juga tidak membenarkan. Ia sudah tidak lagi mempermasalahkan apa pun yang ayahnya katakan di luaran sana. Toh pada akhirnya Garda sendiri yang memutuskan jalan hidupnya.

Meski raganya terlibat dengan percakapan formalitas ini, matanya selalu awas menangkap sesuatu di seberang ruangan.

Garda memutar pandang ke ayahnya. “Saya permisi, Yah. Saya perlu keluar sebentar.”

“Ke mana?” tanya Gusti tanpa benar-benar peduli.

“Ada yang perlu saya temui.”

Garda kemudian berbalik, berjalan menjauh dari kelompok itu. Langkahnya cepat dan mantap, tapi matanya mengikuti arah kepergian Karina.

Ada sesuatu yang berdenyut di dalam dadanya. Bukan, bukan rindu atau bukan amarah, tapi semacam kewaspadaan yang keluar secara naluriah.

Ia tidak tahu kenapa, tapi melihat Karina di ruangan itu, di antara dunia penuh topeng dan kepalsuan, membuat pikirannya terasa… tidak tenang. Ke mana gadis itu pergi?

Tapi baru beberapa meter ia berjalan keluar dari ballroom, seseorang berdiri menghalangi jalannya.

“Garda, terima kasih sudah menyetujui keinginanku untuk datang,” ujar suara lembut tapi tegas itu.

Renata Yudistira. Gaun biru safirnya berkilau di bawah cahaya lampu kristal, senyumnya anggun. Wajahnya mungkin sedikit pucat, tapi matanya menyimpan sesuatu yang lebih tajam dari yang terlihat.

“Nyonya Renata,” sapa Garda pelan, menurunkan nada suaranya. “Saya sebenarnya datang bersama ayah saya.”

Garda bisa saja menolak keinginan sang ayah untuk datang, namun ia harus datang karena permintaan Renata yang tidak bisa ia tolak.

“Kamu mau ke mana?”

Garda menunjuk lorong tempat Karina tadi berjalan lalu menghilang. “Anakmu baru saja pergi keluar.”

Renata tersenyum kecil. “Biarkan saja, dia mungkin butuh pengalihan dari situasi di sini.”

Alis Garda naik. Ia kemudian terkekeh, suaranya rendah namun tetap menunjukkan ketegasan. “Saya tidak mengerti. Anda meminta saya mengawasi anakmu, tapi kini malah meminta saya membiarkannya.”

Renata melangkah mendekat, cukup dekat hingga aroma parfumnya yang lembut tercium samar. “Aku tidak ingin dia menyadari kesepakatan kita dan menyadari kehadiranmu terlalu sering. Sudah kubilang dengan jelas bukan? Awasi dia dari jauh, jangan sampai dia curiga selagi kamu mengumpulkan bukti.”

Ia melanjutkan lagi. “Aku tahu suamiku bukan hanya ambisius, tapi juga berbahaya. Ada indikasi ia memanipulasi dana perusahaan dan menekan beberapa pihak untuk proyek-proyek fiktif. Aku juga yakin dia berurusan dengan para pebisnis gelap. Kamu tahu sendiri setelah melihat beberapa dokumennya bukan?” Ia berhenti, menatap ke arah pintu tempat Karina menghilang beberapa menit lalu, “Tapi yang tidak bisa aku biarkan adalah bagaimana dia memanfaatkan anaknya sendiri untuk keuntungan.”

Tatapan Garda mengeras. Ia sudah tahu semua itu. Hal itu juga yang menjadi alasan Garda terlibat dengan Renata dan Karina sampai ia harus mengajar di tempat gadis itu berkuliah demi mengawasi dan menyelidiki sesuatu tentang keluarganya.

Garda terpaksa menuruti keinginan Renata untuk menjaga Karina meski itu di luar profesionalnya sebagai pimpinan eksekutif Jagajaya Security, perusahaan keamanan terbesar dalam negeri. Namun Garda tahu ia punya hutang budi pada Renata.

Dulu sekali saat ibunya baru saja meninggal, ayahnya, Gusti Bratasena sempat hilang arah dan tenggelam dalam kesedihan. Garda yang saat itu masih kecil sering terlantar. Untung saja Renata yang kenal dengan mendiang ibu Garda, memperhatikan dan mengurusnya diam-diam. Untuk itu Garda merasa ia harus membantu Renata demi melunasi hutang budinya di masa lalu.

“Anda tahu kalau sedang bermain-main dengan api, ‘kan, Nyonya Renata?”

“Aku tidak peduli jika harus terbakar sekalipun. Kamu harus tetap cari tahu apa yang sebenarnya suamiku lakukan. Lindungi Karina dari apa pun yang bisa menyeretnya ke dalam api.” Renata menatap Garda lurus, ekspresinya dingin tapi suaranya bergetar samar. “Dia tidak tahu apa pun. Tapi dia mudah jadi korban, apalagi dengan posisi Kamil sekarang.”

Garda menatapnya lama. Tidak ada yang dikatakan, tapi ketegangan di antara mereka berbicara sendiri. Renata tahu Garda tidak bisa menolak karena adanya masa lalu yang menautkan mereka.

Renata akhirnya tersenyum tipis. “Hubungi aku jika kamu menemukan sesuatu.” Ia berbalik, melangkah kembali ke dalam ballroom dengan elegan.

Garda menatap punggungnya beberapa saat sebelum akhirnya berbalik arah menuju salah satu balkon yang terbuka. Di luar, udara malam lebih dingin, lebih nyata. Langkahnya melambat, pikirannya masih di antara dua nama, Renata dan Karina, dan apa yang membuat Garda berada di posisinya sekarang.

“Untuk seseorang yang berperangai membenciku, kamu terlalu sering berada di dekatku. Bukankah orang yang membenci seseorang biasanya mati-matian menghindari mereka?” suara Karina di belakang Garda membuat pria itu nyaris terkejut. Nada bicara gadis itu tidak menentu.

Garda menoleh ke belakang, mendapati Karina berdiri dengan satu tangan memegang gelas sampanye dan satu tangannya terlipat di depan dada. Wajahnya terlihat memerah, entah karena udara dingin atau karena gadis itu mabuk, namun ekspresinya jelas menunjukkan permusuhan.

“Kenapa kamu selalu ada di setiap tempat aku melihat?” tanya Karina lagi masih dengan nada yang sama.

Gadis itu menghapus jarak di antara mereka hingga bisa tercium aroma sampanye dari mulutnya. Garda mencoba mundur satu langkah, memberi ruang kosong yang Karina coba hilangkan. Jika gadis itu benar mabuk, maka Garda tidak boleh gegabah.

Garda mendengus, berusaha mengambil kendali. “Bukankah ada etika yang harus diterapkan antara kita, Saudari Karina?”

“Ini bukan kampus. Di sini, kamu bukan dosenku,” ucap Karina mencibir. Gadis itu terus maju ke arah Garda hingga punggung sang pemuda menabrak dinding dingin. Ia lalu menunjuk dada Garda dengan tangannya yang bebas sambil berkata lagi, “Jadi katakan, apa kamu mengikutiku sampai ke sini?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Terlarang Dosen Killer   Chapter 36

    Garda tidak langsung menyilakan Nala duduk. Ia berdiri di dekat jendela ruang dosennya, satu tangan di saku celana, mata mengarah ke luar seolah sedang memperhatikan halaman fakultas, padahal pikirannya sudah bersiap menimbang setiap kata yang akan keluar dari mulut mahasiswi di depannya.Jika Nala sengaja menemuinya, pasti ada kaitannya dengan Karina. “Ada apa?” kata Garda singkat.“Ini tentang Karina,” jawab Nala tegang.Dugaan Garda benar. “Ceritakan,” ujar Garda tipisNala menarik napas. Ia tahu betul bagaimana berbicara dengan pria di depannya. Terlalu berputar-putar hanya akan membuat Garda memotong.“Karina sedang jadi bahan pembicaraan di kampus,” ujar Nala akhirnya. “Bukan cuma gosip biasa. Ini sudah menjalar ke kelas dan angkatan lain. Ada yang bilang dia menyalahgunakan koneksi pribadi dan memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi, ada yang bilang dia dapat perlakuan khusus dari dosen. Ada juga yang membahas tentang pria yang terlihat bersama dia di Puncak kemarin.”Garda

  • Sentuhan Terlarang Dosen Killer   Chapter 35

    Lobi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mahardika tidak pernah benar-benar sunyi, apalagi di waktu pergantian kelas seperti sekarang. Para mahasiswa bercengkrama di lorong, duduk-duduk di lobi sambil mengerjakan tugas yang sudah mepet deadline, dan sisanya berjalan terburu-buru mengejar kelas selanjutnya. Karina yang baru keluar dari kelas Garda, melangkahkan kakinya dengan malas ke arah pintu keluar gedung. Namun belum setengah perjalanan, Bu Vivian yang baru keluar dari ruangan, menghadangnya. “Karina,” ujar wanita itu. “Tunggu, ada yang mau saya bicarakan.” “Ada apa, Bu?” Karina gugup. Jika ada dosen yang ingin bicara dengannya, biasanya hal itu menyangkut masalah akademik atau apa pun hal yang buruk. Rahang Karina hampir jatuh saat Vivian mengatakan sesuatu yang sama sekali di luar dugaannya. “Saya sudah selesai baca laporan penelitian kelompokmu, cukup bagus. Kalian submit penelitian itu ke simposium nasional ya? Kalau nanti lolos seleksi dan terbit, biar biaya

  • Sentuhan Terlarang Dosen Killer   Chapter 34

    Karina menyadari ada yang salah bahkan sebelum kelas benar-benar dimulai. Bukan karena materi. Bukan karena suasana kelas. Melainkan karena cara Garda berdiri di depan kelas hari itu. Tidak, pria itu tidak berbeda. Ia tetap tegak seperti biasa. Nada suaranya sama—tenang, jelas, terukur. Slide presentasi berjalan rapi, setiap poin dijelaskan tanpa cela. Namun Karina merasa ada sesuatu yang hilang. Karina duduk di barisan tengah, iPad di depannya menyala, ia memutar-mutar pensil otomatisnya tanpa sadar. Matanya fokus menatap layar, kemudian ke arah papan tulis, lalu tanpa sadar, menatap Garda. Jauh dalam dirinya, Karina mendesah kecewa. Setiap kelas, tatapan mereka biasanya selalu bertemu meski itu hanya sepersekian detik. Hal itu seakan menjadi rahasia kecil di antara mereka. Di antara banyaknya manusia, mereka seolah berkomunikasi lewat kerlingan mata yang hanya sekelebat. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya sejak ia bisa mengingat, tatapan itu tidak pernah dibalas. Biasanya, me

  • Sentuhan Terlarang Dosen Killer   Chapter 33

    Keesokan paginya, matahari muncul malu-malu dari balik kabut pegunungan. Udara masih segar, rumput basah oleh embun. Di lapang, berkumpul beberapa warga dan mahasiswa. Warga mengajak rombongan kampus untuk bermain permainan tradisional yang membutuhkan kerja sama dan menimbulkan banyak tawa.Karina sudah ikut lebih dulu, duduk bersama beberapa warga dan mahasiswa, ikut bermain bakiak panjang.“Ayo, ayo! Satu-dua-tiga! Langkahnya harus kompak!” seru warga yang memimpin permainan.Karina tertawa pelan, kakinya bergetar karena kesulitan mengikuti ritme. Tapi ia mencoba.Sampai akhirnya sebuah suara terdengar dari belakang.“Pak Garda! Ikut sini! Kekurangan satu orang!”Karina menegang seketika. Ia tahu suara itu. Ia tahu nama itu.Saat menoleh… Garda sudah berjalan mendekat.“Maaf, saya cuma lewat—”“Tapi Pak, satu orang lagi biar genap! Ayo, sekalian menghangatkan badan,” mahasiswa yang lain bersikeras saling bersahutan.Mahasiswa lain bersorak. Garda tidak bisa menolak. Dan tiba-tiba i

  • Sentuhan Terlarang Dosen Killer   Chapter 32

    Malam turun dengan perlahan, seperti kabut tipis yang menyelimuti desa kecil di Puncak Bogor. Lampu-lampu kuning digantung di sepanjang lapangan, bergetar pelan diterpa angin gunung yang sejuk. Warga sudah berkumpul, beberapa anak kecil berlari-larian sambil memegang jagung bakar dan balon. Musik tradisional dari speaker tua mengalun rendah, menciptakan suasana hangat.Namun di tengah kehangatan itu, ruang ketegangan masih menggelayuti, sejak tadi tidak mau pergi dari dada Karina maupun Garda.Karina berdiri di antara mahasiswa lain, mengenakan sweater rajut tipis yang menghadangnya dari dingin udara pegunungan. Pipinya memerah bukan karena dingin, tapi karena ia terus memikirkan pria yang berdiri beberapa meter darinya.Garda.Pria itu sedang duduk bersama para dosen lain. Wajahnya tampak sangat… tenang. Terlalu tenang. Berbahaya-tenang. Seolah ia datang ke acara penutupan hanya sebagai pengamat, padahal tatapannya sesekali melesat ke arah Karina seperti refleks yang tidak bisa ia ke

  • Sentuhan Terlarang Dosen Killer   Chapter 31

    Angin sore di desa itu dinginnya bukan main, sebagaimana dinginnya sesuatu yang belum selesai antara dua orang yang pura-pura baik-baik saja. Langit baru saja kehilangan cahaya terakhirnya, menyisakan warna tembaga di balik gunung yang jauh. Selepas kegiatan pengabdian hari itu, semua mahasiswa sibuk merapikan alat dan materi. Beberapa masih berdiskusi di depan aula, tertawa kecil meski wajah mereka terlihat lelah.Sementara itu, Karina melangkah keluar dari aula dengan kedua tangan penuh. Tripod, box alat tulis, map data, dan kotak peraga materi kesehatan mental, semuanya ia bawa kembali ke posko. Pundaknya nyeri, dan kakinya pegal di sana-sini karena seharian ini sering berjalan dan bolak-balik posko–aula desa untuk menyiapkan kegiatan.Ia hanya ingin ke posko, membersihkan diri dan beristirahat. Ketika ia melewati jalan kecil berkerikil menuju posko yang berupa rumah panggung sederhana yang disiapkan untuk tim tiga hari ini, siluet seseorang muncul dari tikungan.Seseorang dengan b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status