LOGINRuang rapat fakultas mulai lengang. Kursi-kursi beroda yang tadinya penuh kini bergeser satu per satu, meninggalkan meja panjang dari kayu yang masih dipenuhi sisa kertas, map, dan gelas kopi setengah habis. Aroma pendingin ruangan bercampur dengan bau tinta dan kertas, bau khas birokrasi kampus yang selalu membuat Garda ingin cepat-cepat keluar.
Ia duduk di ujung meja, menutup laptopnya pelan. Rapat bulanan program studi sudah berakhir, dan seperti biasa, isinya lebih banyak keluhan administratif ketimbang ide akademis yang berarti. Garda menyandarkan punggung ke kursi, memijat pelipis. Matanya terasa berat.
Baru saja ia akan berdiri ketika ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan singkat masuk dari nomor privat, namun Garda tahu pasti siapa pengirimnya.
Datang ke acara Batavia Hills besok malam.
Jam 8 malam, jangan terlambat.Tidak ada salam, tidak ada konteks. Hanya perintah. Seperti biasa.
Garda menatap layar itu lama, ekspresinya datar tapi matanya penuh perhitungan. Ia mengetikkan sesuatu, lalu menghapusnya sebelum sempat dikirim. Jarinya berhenti di atas layar, seolah menimbang namun memilih untuk tidak membalas. Kemudian ponsel itu ia balikkan, menelungkup di atas meja.
Ia menarik napas pelan, mencoba kembali fokus. Jadwalnya besok sudah penuh namun mau tidak mau ia tetap harus datang ke acara itu.
“Garda, kamu nggak ikut ngopi di bawah?” suara pria dari sisi kanan memecah lamunannya.
Ia menoleh sekilas. Itu Indra, dosen paling cerewet di prodi, dengan dasi yang selalu miring dan suara yang terlalu keras untuk ruangan tertutup. Di sebelahnya duduk Vivian, dosen psikologi sosial yang senang menggoda siapa pun yang dianggap menarik perhatian.
“Enggak, saya masih harus menyusun rencana evaluasi kelas,” jawab Garda singkat.
“Ah, masih siang. Santai dulu lah,” Indra menepuk bahunya. “Tadi juga rapatnya basi banget. Ngomong-ngomong, kamu sudah dengar gosip baru itu, kan?”
Garda tidak merespons, tapi Indra tidak butuh jawaban untuk terus bicara.
“Katanya si dosen baru di fakultas sebelah itu… hmm…” Indra menurunkan suaranya sedikit, “…ketahuan jalan bareng dosen senior di luar kota. Foto mereka tersebar di grup WA dosen.”
“Serius?” suara Vivian meninggi, matanya berbinar menunjukkan ketertarikan. “Terus gimana? Kampus kan punya aturan ketat soal hubungan personal di lingkungan kerja?”
“Makanya itu,” jawab Indra dengan nada setengah tertawa. “Sekarang lagi diselidiki. Kalau terbukti, bisa dipecat dua-duanya.”
“Padahal cuma sesama dosen, ya?” Vivian memiringkan kepala, suara lembutnya terdengar agak manja. “Apalagi kalau sampai sama mahasiswa… bisa tamat.”
Garda masih diam, tapi telinganya menangkap setiap kata. Kampus memang terkenal dengan kebijakan etikanya yang ekstrem, tidak boleh ada relasi romantis antar staf atau antara staf dan mahasiswa. Bagi universitas bergengsi seperti ini, reputasi adalah segalanya. Sanksinya pun tidak main-main, pencabutan izin mengajar, skorsing, hingga pemberhentian permanen.
“Kalau Pak Garda setuju nggak dengan aturan itu?” Vivian menatapnya dengan ekspresi yang setengah main-main, setengah ingin tahu. “Maksudku, kita semua orang dewasa. Masa perasaan juga harus diatur institusi?”
Tatapan wanita itu tajam, senyumnya tipis, tipe menggoda yang dibungkus diskusi intelektual. Tapi Garda hanya mengangkat alis sedikit.
“Aturan dibuat untuk suatu alasan, Bu Vivian,” katanya tenang, nada suaranya dalam tapi datar. “Kalau seseorang kehilangan objektivitas karena perasaan, semua keputusan akademis bisa bias. Kampus harus menjaga batas itu.”
Vivian tersenyum kecil. “Tapi bukankah manusia memang makhluk yang bias?”
“Itu sebabnya ada etika profesional.” Jawaban Garda datang cepat, hampir seperti refleks. “Kalau tidak mampu menahan diri, jangan bekerja di lingkungan akademis.”
Hening sejenak.
Indra terkekeh pelan. “Kamu ini terlalu kaku, Garda.”
“Itu lebih baik daripada mempertaruhkan integritas,” jawab Garda, dingin tapi tanpa nada emosional. Ia menutup mapnya, lalu berdiri. “Permisi, saya ada janji.”
Vivian menatapnya sampai ia berjalan keluar ruangan. Ada sesuatu di ekspresi wanita itu, antara penasaran dan tertantang. Tapi Garda tidak peduli. Ia tidak pernah peduli.
Bagi orang lain, ia mungkin tampak terlalu kaku, terlalu disiplin, bahkan tak punya sisi personal. Tapi Garda tahu, menjaga jarak adalah satu-satunya cara bertahan di dunia yang selalu ingin tahu terlalu banyak.
Lorong fakultas terasa sunyi sore itu. Cahaya matahari menembus jendela panjang, memantulkan warna oranye lembut di lantai marmer. Garda berjalan tanpa tergesa, tangan kirinya memegang map, tangan kanan menelusuri ponsel di saku. Ia belum membalas pesan tadi.
Ia tahu tak bisa mengabaikan pesan itu, apalagi perintahnya, meskipun Garda sebenarnya ingin menolak. Namun janji adalah janji. Dan Garda bukan orang yang ingkar janji.
Garda berhenti di depan papan pengumuman. Pandangannya kosong, tapi pikirannya sibuk menghitung langkah-langkah berikutnya, bagaimana menyesuaikan jadwalnya, dan bagaimana memastikan tidak ada yang memperhatikan gerak-geriknya.
“Itu Pak Garda. Ternyata beneran ganteng!”
“Dia mengampu kelas apa? Gue mau ikut kelasnya semester depan!”
Ia baru menyadari sudah berdiri terlalu lama ketika beberapa mahasiswa lewat sambil melirik, berbisik-bisik kecil. Ia melangkah pergi, menuruni tangga menuju lobi fakultas saat sebuah wajah melintas dalam pikirannya.
Rambut hitam panjang berantakan di bantal putih. Tatapan mata setengah sadar di bawah cahaya hotel. Aroma parfum samar yang anehnya masih bisa ia ingat, bercampur dengan rasa pahit di tepi lidahnya.
Karina.
Nama itu seperti muncul dari bawah permukaan pikirannya, tanpa diundang. Garda berhenti melangkah. Sekilas, matanya memantul di kaca besar di depan lobi. Untuk sepersekian detik, ia hampir bisa bersumpah melihat siluet perempuan itu berjalan di belakangnya. Tapi tentu, itu hanya refleksi seseorang yang kebetulan mirip.
Ia menegakkan tubuh, menghembuskan napas pelan.
Tidak. Ia bukan pria yang terbiasa kehilangan kendali atas pikirannya sendiri.
Tapi pikiran manusia bukan mesin. Kadang, sesuatu yang seharusnya dilupakan malah terus menuntut ruang. Anehnya, justru karena larangan itu—karena seharusnya kenangan itu tidak pernah muncul lagi—semuanya terasa semakin jelas. Bayangan malam itu, suara samar dari perempuan itu, bahkan caranya menatap seolah mendamba sesuatu yang lebih dalam.
Fokus. Garda menegur dirinya dalam hati. Hanya gangguan sesaat.
Ponsel Garda berdering, mengenyahkan pikirannya tentang sang gadis.
“Sudah terima pesanku?” Suara di ujung sambungan terdengar berat. Nomornya memang tidak dikenali, tapi Garda tahu siapa yang menghubunginya.
“Ya, saya sudah menerimanya.”
“Pastikan tidak ada yang tahu rencana kita.”
“Saya akan pastikan semuanya terlihat normal.”
“Terima kasih. Aku benar-benar mengandalkanmu dalam hal ini.”
“Serahkan saja semuanya pada saya,” ucap Garda sebelum menutup sambungan.
Tapi bahkan setelah keluar dari gedung, melintasi halaman kampus, dan menyalakan mobilnya, pikiran itu tak benar-benar hilang.
Ia menatap pantulan wajahnya sendiri di kaca spion, mendapati wajahnya sendiri. Rahang tegas, mata tajam, ekspresi netral yang nyaris tak berubah. Namun di balik tatapan itu, ada sesuatu yang terus berdenyut dan bertanya-tanya.
Dari semua wanita, kenapa Karina? Kenapa semesta menginginkannya untuk terus berurusan dengan gadis itu?
Entah sampai kapan Garda bisa bertahan menjalankan hari-hari yang memaksanya bagai menjalani dua kehidupan. Tapi Garda tidak bisa mundur sekarang, tidak setelah ia mulai tahu dengan apa dirinya terlibat.
Garda tidak langsung menyilakan Nala duduk. Ia berdiri di dekat jendela ruang dosennya, satu tangan di saku celana, mata mengarah ke luar seolah sedang memperhatikan halaman fakultas, padahal pikirannya sudah bersiap menimbang setiap kata yang akan keluar dari mulut mahasiswi di depannya.Jika Nala sengaja menemuinya, pasti ada kaitannya dengan Karina. “Ada apa?” kata Garda singkat.“Ini tentang Karina,” jawab Nala tegang.Dugaan Garda benar. “Ceritakan,” ujar Garda tipisNala menarik napas. Ia tahu betul bagaimana berbicara dengan pria di depannya. Terlalu berputar-putar hanya akan membuat Garda memotong.“Karina sedang jadi bahan pembicaraan di kampus,” ujar Nala akhirnya. “Bukan cuma gosip biasa. Ini sudah menjalar ke kelas dan angkatan lain. Ada yang bilang dia menyalahgunakan koneksi pribadi dan memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi, ada yang bilang dia dapat perlakuan khusus dari dosen. Ada juga yang membahas tentang pria yang terlihat bersama dia di Puncak kemarin.”Garda
Lobi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mahardika tidak pernah benar-benar sunyi, apalagi di waktu pergantian kelas seperti sekarang. Para mahasiswa bercengkrama di lorong, duduk-duduk di lobi sambil mengerjakan tugas yang sudah mepet deadline, dan sisanya berjalan terburu-buru mengejar kelas selanjutnya. Karina yang baru keluar dari kelas Garda, melangkahkan kakinya dengan malas ke arah pintu keluar gedung. Namun belum setengah perjalanan, Bu Vivian yang baru keluar dari ruangan, menghadangnya. “Karina,” ujar wanita itu. “Tunggu, ada yang mau saya bicarakan.” “Ada apa, Bu?” Karina gugup. Jika ada dosen yang ingin bicara dengannya, biasanya hal itu menyangkut masalah akademik atau apa pun hal yang buruk. Rahang Karina hampir jatuh saat Vivian mengatakan sesuatu yang sama sekali di luar dugaannya. “Saya sudah selesai baca laporan penelitian kelompokmu, cukup bagus. Kalian submit penelitian itu ke simposium nasional ya? Kalau nanti lolos seleksi dan terbit, biar biaya
Karina menyadari ada yang salah bahkan sebelum kelas benar-benar dimulai. Bukan karena materi. Bukan karena suasana kelas. Melainkan karena cara Garda berdiri di depan kelas hari itu. Tidak, pria itu tidak berbeda. Ia tetap tegak seperti biasa. Nada suaranya sama—tenang, jelas, terukur. Slide presentasi berjalan rapi, setiap poin dijelaskan tanpa cela. Namun Karina merasa ada sesuatu yang hilang. Karina duduk di barisan tengah, iPad di depannya menyala, ia memutar-mutar pensil otomatisnya tanpa sadar. Matanya fokus menatap layar, kemudian ke arah papan tulis, lalu tanpa sadar, menatap Garda. Jauh dalam dirinya, Karina mendesah kecewa. Setiap kelas, tatapan mereka biasanya selalu bertemu meski itu hanya sepersekian detik. Hal itu seakan menjadi rahasia kecil di antara mereka. Di antara banyaknya manusia, mereka seolah berkomunikasi lewat kerlingan mata yang hanya sekelebat. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya sejak ia bisa mengingat, tatapan itu tidak pernah dibalas. Biasanya, me
Keesokan paginya, matahari muncul malu-malu dari balik kabut pegunungan. Udara masih segar, rumput basah oleh embun. Di lapang, berkumpul beberapa warga dan mahasiswa. Warga mengajak rombongan kampus untuk bermain permainan tradisional yang membutuhkan kerja sama dan menimbulkan banyak tawa.Karina sudah ikut lebih dulu, duduk bersama beberapa warga dan mahasiswa, ikut bermain bakiak panjang.“Ayo, ayo! Satu-dua-tiga! Langkahnya harus kompak!” seru warga yang memimpin permainan.Karina tertawa pelan, kakinya bergetar karena kesulitan mengikuti ritme. Tapi ia mencoba.Sampai akhirnya sebuah suara terdengar dari belakang.“Pak Garda! Ikut sini! Kekurangan satu orang!”Karina menegang seketika. Ia tahu suara itu. Ia tahu nama itu.Saat menoleh… Garda sudah berjalan mendekat.“Maaf, saya cuma lewat—”“Tapi Pak, satu orang lagi biar genap! Ayo, sekalian menghangatkan badan,” mahasiswa yang lain bersikeras saling bersahutan.Mahasiswa lain bersorak. Garda tidak bisa menolak. Dan tiba-tiba i
Malam turun dengan perlahan, seperti kabut tipis yang menyelimuti desa kecil di Puncak Bogor. Lampu-lampu kuning digantung di sepanjang lapangan, bergetar pelan diterpa angin gunung yang sejuk. Warga sudah berkumpul, beberapa anak kecil berlari-larian sambil memegang jagung bakar dan balon. Musik tradisional dari speaker tua mengalun rendah, menciptakan suasana hangat.Namun di tengah kehangatan itu, ruang ketegangan masih menggelayuti, sejak tadi tidak mau pergi dari dada Karina maupun Garda.Karina berdiri di antara mahasiswa lain, mengenakan sweater rajut tipis yang menghadangnya dari dingin udara pegunungan. Pipinya memerah bukan karena dingin, tapi karena ia terus memikirkan pria yang berdiri beberapa meter darinya.Garda.Pria itu sedang duduk bersama para dosen lain. Wajahnya tampak sangat… tenang. Terlalu tenang. Berbahaya-tenang. Seolah ia datang ke acara penutupan hanya sebagai pengamat, padahal tatapannya sesekali melesat ke arah Karina seperti refleks yang tidak bisa ia ke
Angin sore di desa itu dinginnya bukan main, sebagaimana dinginnya sesuatu yang belum selesai antara dua orang yang pura-pura baik-baik saja. Langit baru saja kehilangan cahaya terakhirnya, menyisakan warna tembaga di balik gunung yang jauh. Selepas kegiatan pengabdian hari itu, semua mahasiswa sibuk merapikan alat dan materi. Beberapa masih berdiskusi di depan aula, tertawa kecil meski wajah mereka terlihat lelah.Sementara itu, Karina melangkah keluar dari aula dengan kedua tangan penuh. Tripod, box alat tulis, map data, dan kotak peraga materi kesehatan mental, semuanya ia bawa kembali ke posko. Pundaknya nyeri, dan kakinya pegal di sana-sini karena seharian ini sering berjalan dan bolak-balik posko–aula desa untuk menyiapkan kegiatan.Ia hanya ingin ke posko, membersihkan diri dan beristirahat. Ketika ia melewati jalan kecil berkerikil menuju posko yang berupa rumah panggung sederhana yang disiapkan untuk tim tiga hari ini, siluet seseorang muncul dari tikungan.Seseorang dengan b







