ログインEleanor tampak mengerjapkan matanya berkali-kali, mencoba mencerna setiap ucapan yang baru dia dengar dari wanita asing di depannya.
“Ini bukan suasana yang pas untuk bergurau. Aku dan Nathan—kami belum memiliki seorang anak pun.” “Siapa bilang dia putramu dan Nathan?” Olivia menyilangkan kakinya. Menampakkan senyuman angkuh, yang seolah tak mau kalah. “Dia putraku bersama Nathan.” Pening. Kepala Eleanor benar-benar tak bisa berpikir jernih sekarang. Dia menggeleng dengan kuat. “Tidak mungkin! Aku kenal Nathan. D-dia bukan pria seperti itu,” jawab Eleanor dengan terbata-bata. “Pa, Ma, katakan pada wanita ini jika Nathan bukan pria seperti itu.” Namun, Eleanor tak mendapatkan jawaban yang diinginkan dari kedua orang tua Nathan. Mereka berdua hanya diam saja. “Pa, Ma—” “Kau butuh bukti kan, Eleanor?” tanya Olivia dengan menekankan nama wanita itu. Eleanor menoleh, menatap Olivia dengan dada naik turun. “Jangan sebut namaku dengan bibir kotormu itu!” Eleanor segera berdiri. “Aku tak punya waktu untuk meladeni omong kosongmu. Aku percaya Nathan tidak seperti itu.” Eleanor berjalan meninggalkan ruang keluarga yang tiba-tiba saja terasa begitu sempit baginya. Di ruangan itu, Eleanor merasa jika dia tidak bisa bernapas sama sekalli. Namun, baru beberapa langkah, suara Olivia kembali terdengar menghentikannya. Wanita itu berdiri dan menyusul Eleanor yang masih memunggungi semua orang yang ada. Senyum kepuasaan muncul di wajah Olivia ketika dia melihat wajah Eleanor yang memerah. “Kau marah? Mau menolak fakta bahwa dia putra Nathan, suamimu?” Eleanor membuang muka dengan meremas pakaiannya sendiri. Tidak mungkin! Nathan tidak mungkin mengkhianatinya! Nathan selalu mencintainya! “Aku tau kau pasti akan menyangkal. Jadi, mari kutunjukkan saja bukti jika kami memang memiliki hubungan.” Olivia menyerahkan ponselnya. Awalnya Eleanor ingin menolak, tetapi hati kecilnya terus saja mengusik dan meminta dia untuk mengambil ponsel wanita itu. “Bagus. Lihat saja semua foto-foto dan video yang ada di sana.” Tangan Eleanor yang gemetar membuka semua isi ponsel Olivia. Matanya langsung membulat begitu dia melihat foto Nathan dan Olivia yang tampak begitu mesra. Tubuhnya menegang ketika dia melihat dan membuka satu video yang berisi percintaan panas suaminya dengan wanita lain. Semakin membuka setiap fakta, mata Eleanor semakin panas. Rasa kepercayaan yang beberapa detik lalu masih ada, kini runtuh begitu saja. Sampai ponsel Olivia terjatuh dengan sendirinya dari genggaman Eleanor. “Berapa usia anak itu?” tanya Eleanor dengan bibir bergetar. Olivia menyeringai puas begitu melihat kekecewaan di mata Eleanor yang beberapa saat lalu masih tampak percaya diri. “Kenapa? Kau ingin tahu kapan semuanya dimulai?” “Katakan!” “Lima tahun. Ingin kuberitahu kapan semuanya dimulai?” Eleanor menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang kian menyesakkan dada. Lima tahun? Pernikahan mereka memasuki tahun ke enam sekarang. Jadi, Nathan sudah melakukannya sejak awal? Jadi, Nathan sudah mengkhianatinya sejak awal pernikahan mereka di mulai? Jadi, sejak awal semuanya hanya pura-pura saja? “Tepatnya setelah dua atau tiga bulan setelah pernikahan kalian.” Olivia masih berbicara tanpa peduli dengan kondisi Eleanor sekarang. “Kau tidak ingin tau kami tinggal di mana?” “Olivia, hentikan!” Suara Tuan Carter terdengar mengehentikan Olivia yang ingin memberitahu semuanya lebih lanjut. “Katakan!” pinta Eleanor tanpa peduli dengan perkataan ayahnya. Kenapa pria itu baru bicara sekarang. “Katakan, brengsek!” “Kami tinggal di Maine. Kau pasti apa kelanjutan ucapanku, kan? Nathan bilang kau cerdas, tetapi sepertinya kau sangat bodoh.” “Maine?” Ingatan Eleanor kembali berputar. Maine, tempat itu sudah seperti rumah kedua bagi Nathan, begitu ujar pria itu dulu semasa hidupnya. Nathan mengembangkan bisnis pariwisata di sana setelah satu pernikahan mereka. Itulah sebabnya pria itu lebih sering menghabiskan waktu di Maine, dan meninggalkan Eleanor sendirian di Manhattan. Dulu, Eleanor selalu meminta untuk ikut ke Maine, tetapi Nathan selalu melarangnya dengan berbagai alasan. Sampai akhirnya pria itu membuka kafe dan meminta Eleanor untuk mengelolanya, dengan dalih agar Eleanor punya kesibukan sendiri di sini. Nyatanya, di tempat itulah Nathan menyembunyikan kehidupannya yang lain. Eleanor mengepalkan tangannya setelah sadar jika di sudah dibohongi sejauh ini. Tangan dan bibirnya bergetar. Eleanor ingin berteriak dan memaki semua orang yang ada di sana, sampai akhirnya Mary datang untuk menenangkan dan segera membantunya untuk pergi dari sana. Eleanor bahkan tak memedulikan ucapan ibu mertuanya yang meminta dia untuk tetap diam di sana. Bagaimana Eleanor bisa tetap diam dan menatap wajah anak kecil itu? “Nyonya mau saya temani?” tanya Mary ketika mereka sudah sampai di kediaman pribadi Nathan. Sungguh, dia merasa iba melihat kemalangan yang terus menerus menimpa Eleanor. “Nyonya—” “Aku mau sendiri, Mary. Tolong tinggalkan aku.” Eleanor segera masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu, seolah tahu jika tak dikunci Mary akan memaksa untuk masuk. Setelah pintu terkunci, kaki Eleanor terasa begitu lemas hingga jatuh di depan pintu. Wanita itu memeluk lututnya, dengan bahu yang bergetar. Tangisannya terdengar parau, seolah Eleanor tak ingin ada yang mendengarnya. Bayangan wajah Nathan terus menari dalam benaknya. Bayangan tentang bagaimana Nathan memperlakukannya dengan manis dan penuh cinta, bayangan tentang bagaimana Nathan mencumbunya saat bercinta terus saja berputar di kepalanya, berpadu dengan bayangan dari video-video yang dia lihat di ponsel Olivia tadi. Sungguh, Eleanor ingin marah dan bertanya pada Nathan kenapa tega melakukan ini kepadanya. Namun, lagi-lagi pria itu mencuranginya dengan pergi setelah membuat luka besar di jiwanya. Eleanor berdiri, melangkah dengan terhuyung-huyung menuju kamar mandi. Dia ingin membersihkan diri dari setiap noda yang sempat Nathan tinggalkan dulu. Dia ingin membersihkan hasrat dan jiwanya yang pernah lapar dan menuruti setiap keinginan Nathan. Eleanor menjatuhkan segala benda yang ada di kamar mandi. Botol-botol kaca dari pelengkapan kecantikan jatuh berceceran, hingga tanpa sadar Eleanor menginjaknya. Namun, dia sama sekali tak memedulikan rasa sakit dan darah yang mengalir dari telapak kakinya. Luka di hatinya jauh lebih sakit. Jika orang lain yang melakukan ini, mungkin Eleanor masih bisa menerimanya, tetapi ini Nathan yang melakukannya. Pria itu adalah orang yang paling Eleanor cinta dan percaya. Nathan adalah manusia yang paling dia puja sejak pertama kali dia mengenal cinta. Bahkan, ketika ayah dan saudaranya menentang Nathan, Eleanor lah yang maju paling depan untuk melindungi pria itu. Dia bahkan rela meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan keluarga dan segala yang dia punya demi Nathan. “Jadi, balasan seperti ini yang aku terima darimu, Nath?” tanya Eleanor dengan memukul dadanya yang terasa sesak. Sungguh, semua ini terasa begitu sakit. Bahkan untuk bernapas saja, Eleanor benar-benar kesusahan. "Kenapa, Nath? Kenapa kau tega pergi meninggalkanku dengan luka sebesar ini?"Eleanor diminta berkumpul bersama semua orang di rumah utama. Dia sudah berusaha menolak. Bukan karena tak menghargai kedua orang tuanya, hanya saja setiap menatap wajah Noah—putra Nathan yang ternyata begitu mirip dengan pria itu, kian menambah luka di hatinya. “Eleanor.” Suara Tuan Carter terdengar menembus kesunyian di ruangan yang hening. Tidak ada orang lain di sana, kecuali Olivia dan Noah, dua sosok yang entah mengapa masih berdiam diri di rumah keluarga Carter. “Papa dan mama ingin minta maaf atas nama Nathan.” Mendengar hal itu, Nyonya Carter langsung menatap suaminya dengan tidak suka. “Kenapa harus minta maaf? Lagi pula dia tidak bisa memberikan Nathan seorang anak. Andai saja tidak ada Noah, putraku itu meninggal dalam keadaan tak punya keturunan.” Mulut Nyonya Carter berujar tanpa peduli dengan perasaan Eleanor. Eleanor hanya bisa mengigit bibir. Dia sungguh merasa asing di tengah keluarga Carter secara tiba-tiba. “Mama, jangan bicara begitu. Apa pun itu
Eleanor tampak mengerjapkan matanya berkali-kali, mencoba mencerna setiap ucapan yang baru dia dengar dari wanita asing di depannya. “Ini bukan suasana yang pas untuk bergurau. Aku dan Nathan—kami belum memiliki seorang anak pun.” “Siapa bilang dia putramu dan Nathan?” Olivia menyilangkan kakinya. Menampakkan senyuman angkuh, yang seolah tak mau kalah. “Dia putraku bersama Nathan.” Pening. Kepala Eleanor benar-benar tak bisa berpikir jernih sekarang. Dia menggeleng dengan kuat. “Tidak mungkin! Aku kenal Nathan. D-dia bukan pria seperti itu,” jawab Eleanor dengan terbata-bata. “Pa, Ma, katakan pada wanita ini jika Nathan bukan pria seperti itu.” Namun, Eleanor tak mendapatkan jawaban yang diinginkan dari kedua orang tua Nathan. Mereka berdua hanya diam saja. “Pa, Ma—” “Kau butuh bukti kan, Eleanor?” tanya Olivia dengan menekankan nama wanita itu. Eleanor menoleh, menatap Olivia dengan dada naik turun. “Jangan sebut namaku dengan bibir kotormu itu!” Eleanor segera b
Siang itu hujan turun dengan begitu deras, seolah alam sedang membantu Eleanor untuk menyembunyikan air mata yang sejak kemarin tak berhenti menetes. Hari ini, Eleanor akan benar-benar melepaskan Nathan untuk yang terakhir kalinya. Setelah upacara pemakaman yang memakan waktu cukup lama, kini Eleanor melihat bagaimana peti yang di dalamnya terdapat tubuh Nathan itu turun ke bawan tanah secara perlahan. Kaki Eleanor tak sanggup berdiri lagi. Sejak tadi Mary dan Lucas lah yang membantunya dengan sepenuh hati. Hanya kedua orang tesebut yang peduli dengan keadaan Eleanor yang tampak begitu kacau. Saat tanah terakhir menutup peti itu, pandangan mata Eleanor perlahan menggelap. Kepalanya terasa berputar, dan tak lama setelah itu dia merasakan tubuhnya begitu ringan sampai matanya tertutup disertai dengan teriakan beberapa orang. “Nyonya Eleanor.” *** Eleanor membuka matanya yang terasa begitu berat. Mata biru pekat itu menatap sekeliling ruangan tempatnya berada. Ini bu
Tak ada yang bisa menggambarkan duka yang dirasakan Eleanor saat ini. Seharusnya kemarin adalah hari yang indah. Hari yang dia nantikan selama dua bulan terakhir. Namun, siapa yang menduga jika di hari itu juga Nathan benar-benar pergi meninggalkannya sendirian untuk selamanya. “Ini semua gara-gara wanita pembawa sial ini!” Nyonya Carter masih terus menunjuk wajah Eleanor dengan amarah yang membara. “Panggilan terakhir Nathan dari dia. Pasti dia yang merengek meminta Nathan pulang dengan cepat.” Eleanor hanya mampu menundukkan wajah dengan linangan air mata yang tak pernah terhenti. Biarlah, murka mertuanya tak sebanding dengan duka Eleanor saat ini. “Jawab aku, kau pasti merengek seperti biasa dan meminta Nathan untuk tiba dengan cepat, kan?” Nyonya Carter menjambak rambut Eleanor yang langsung dilerai oleh Tuan Carter. “Lepaskan, Ma. Dia juga sama-sama merasa kehilangan seperti kita.” “Tidak!” bentak Nyonya Carter dengan suara bergetar. “Gara-gara dia putra kesa
Eleanor tak memberikan reaksi apa pun. Dia terlalu terkejut mendapatkan perlakuan yang kasar dari ibu mertuanya. Eleanor tahu dan tak menutup mata jika selama ini, Nyonya Carter—ibu mertuanya itu memang tak pernah menyukai keberadaanya. Akan tetapi, perlakuannya sekarang benar-benar di luar dugaan Eleanor. “Dasar wanita pembawa sial!” maki Nyonya Carter lagi. “Mama sudah.” Suara Tuan Carter bergetar saat mencoba menenangkan istrinya. “Ma, bagaimana dengan kondisi Nathan sekarang?” tanya Eleanor dengan penuh harap. Dia mengabaikan semua perlakuan buruk yang diterima barusan. Namun, Nyonya Carter sama sekali tak menjawab. Dia justru kembali menampar pipi Eleanor untuk yang kedua kalinya. Setelah itu, wanita paruh baya itu kembali menangis dengan kencang. Menjerit dan meraung dalam pelukan suaminya. “Oh, Nath-ku. Putraku sayang yang malang.” Eleanor terpaku. Pikirannya berusaha keras mencerna apa yang sedang terjadi, hingga rasa sesak kembali menghantam dadanya. “Ma
Eleanor berjalan ke sana kemari dengan perasaan gembira. Hari ini, Nathan—suaminya akan kembali ke rumah setelah dua bulan bekerja di Maine. Eleanor bekerja keras menyiapkan sambutan hangat untuk kepulangan Nathan. Bahkan, wanita itu turun tangan sendiri ke dapur dan memasak khusus untuk suaminya. “Nyonya, mau saya bantu?” Eleanor menoleh, menatap kepala pelayan yang menawarkan bantuan kepadanya. Dia langsung menggeleng cepat dengan senyum hangat yang tak lepas dari bibir sejak tadi. “Tolong ambilkan ponselku saja, Mary. Seharusnya Nathan sudah tiba di bandara sekarang.” “Baik, Nyonya.” Mary menganggukkan kepala dengan sopan. Dia menghormati keputusan Eleanor dan segera melaksanakan perintah wanita yang tampak berbahagia itu. Siapa pun bisa melihat betapa bahagianya Eleanor hari itu. Senyuman lebar di bibirnya tak pernah lepas sejak pagi, membuat suasana di rumah besar itu seolah ikut terhanyut dalam semangat yang sama. Begitu Mary menyerahkan ponsel, Eleanor lang







