Share

6. Bab 6

Author: Amy_Asya
last update Last Updated: 2025-11-15 00:26:16

Eleanor diminta berkumpul bersama semua orang di rumah utama. Dia sudah berusaha menolak. Bukan karena tak menghargai kedua orang tuanya, hanya saja setiap menatap wajah Noah—putra Nathan yang ternyata begitu mirip dengan pria itu, kian menambah luka di hatinya.

“Eleanor.” Suara Tuan Carter terdengar menembus kesunyian di ruangan yang hening.

Tidak ada orang lain di sana, kecuali Olivia dan Noah, dua sosok yang entah mengapa masih berdiam diri di rumah keluarga Carter.

“Papa dan mama ingin minta maaf atas nama Nathan.”

Mendengar hal itu, Nyonya Carter langsung menatap suaminya dengan tidak suka. “Kenapa harus minta maaf? Lagi pula dia tidak bisa memberikan Nathan seorang anak. Andai saja tidak ada Noah, putraku itu meninggal dalam keadaan tak punya keturunan.” Mulut Nyonya Carter berujar tanpa peduli dengan perasaan Eleanor.

Eleanor hanya bisa mengigit bibir. Dia sungguh merasa asing di tengah keluarga Carter secara tiba-tiba.

“Mama, jangan bicara begitu. Apa pun itu, tindakan Nathan tak sepenuhnya benar. Dia tetap salah.”

Nyonya Carter melengos. Urat lehernya terasa begitu tegang. Dia tak suka ketika suaminya selalu membela Eleanor.

Sementara Eleanor, tak bisa lagi menyembunyikan mata yang semakin bengkak.

Tuan Carter hanya bisa menghela napas panjang, sebelum dia kembali menatap Eleanor yang tampak mengenaskan di matanya.

“Kami sudah memutuskan bahwa Olivia dan Noah akan tinggal di sini.”

Mendengar itu, wajah Eleanor langsung terangkat, menatap ayah mertuanya dengan tatapan tak percaya.

Mereka meminta Olivia dan putranya tinggal di sini? Di rumah yang menjadi saksi setiap tawa dan air matanya bersama Nathan?

“Pa—”

“Olivia tak punya siapa pun lagi,” potong Tuan Carter cepat dengan nada memohon. “Tempat tinggalnya di Maine hanya sewaan. Selain itu, Noah itu cucu kami, Eleanor. Tolong mengerti dan pahami kami. Kami hanya ingin Noah tumbuh dalam lingkungan keluarga yang baik, yang bisa mencukupi semua kebutuhannya.”

Eleanor tersenyum miris mendengar semua itu. “Kalian minta dimengerti dan dipahami? Lalu bagaimana dengan kondisku? Bagaimana dengan hatiku?” Eleanor menunjuk dirinya sendiri dengan mata berkaca-kaca.

Egois. Semua orang sungguh egois!

“Eleanor,” panggil Tuan Carter dengan penuh rasa bersalah.

“Jangan bicara lembut begitu padanya. Kau semakin membuat dia besar kepala!” Nyonya Carter langsung memotong ucapan suaminya. “Dasar wanita tidak tahu diri. Kau pikir kau siapa sehingga meminta semua orang memahami kondisimu? Kau hanya orang asing di rumah ini, Eleanor. Sedangkan Noah adalah darah daging Nathan yang sebenarnya. Dia dan Olivia lah yang berhak tinggal di sini. Di kediaman pribadi milik Nathan!”

“Mama, kita sudah sepakat Olivia dan Noah akan tinggal di rumah ini, bukan di rumah pribadi Nathan dengan Eleanor.” Tuan Carter menyela dengan perasaan tak enak.

“Kenapa? Dia itu orang asing di sini. Dulu, aku menerimanya hanya karena Nathan. Sekarang Nathan sudah tidak ada. Jadi, biarkan Olivia dan Noah yang tinggal di sana.”

Eleanor mengusap air mata yang tiba-tiba menetes. “Aku tak mau tinggal serumah dengan wanita itu.”

“Kalau begitu tinggalkan rumah ini! Kau bukan bagian keluarga Carter lagi mulai sekarang!” bentak Nyonya Carter.

Eleanor menggeleng dengan mengusap pipi secara kasar. Dia tatap Olivia yang hanya diam saja, dan terus menatapnya dengan senyum mengejek. Dia tak mungkin kalah lagi untuk kali ini, kan?

“Kalau pergi dari sini, aku haru pergi ke mana lagi? Mama jelas tahu, bagaimana konflik keluargaku karena aku memilih Nathan dulu. Aku harus ke mana lagi?”

“Itu urusanmu!” Nyonya Carter tampak acuh tak acuh. Dia melotot tajam ketika melihat suaminya ingin membela Eleanor lagi. “Dan satu lagi, kafe yang diberikan Nathan padamu … sekarang aku yang akan mengambil alih.”

Lagi?

Eleanor meremas bajunya sendiri. Dia ingin marah pada semua orang, tetapi sungguh dia masih menghormati Tuan Carter yang setidaknya membelanya walau hanya sekali tadi.

“Kau tidak dengar, Eleanor?” bentak Nyonya Carter yang mengejutkan semua orang. “Kau orang asing di sini. Jadi, sebaiknya tinggalkan rumah ini sekarang juga. Aku tidak peduli kau mau tinggal dan pergi ke mana pun. Aku sudah benar-benar muak melihat kau—penyebab kematian putraku!”

Eleanor berdiri dan menghampiri ibu mertuanya. Dia meraih kedua tangan wanita itu dengan menggeleng kuat.

Meski kebenciannya pada Nathan terlalu dalam, tetapi rumah itu sudah seperti tempat dia pulang selama ini. Semua kenangan manisnya ada di dalam sana.

“Ma, tolong jangan lakukan ini!”

Nyonya Carter menghempaskan tangan Eleanor dengan kasar, lalu mendorong tubuh lemah wanita itu hingga jatuh di atas lantai. “Pergi dari rumahku, jalang brengsek!”

Tangisan Eleanor pecah. Tidak keras, tetapi lirih seperti serpihan kaca yang menyayat hati.

Hingga terdengar suara langkah kaki yang memecah keheningan. Suara sepatu yang beradu dengan lantai marmer itu begitu menggema, membuat semua orang yang ada di sana terdiam dan langsung menoleh, termasuk Nyonya Carter yang sedang mengamuk.

“Dia tidak akan pergi ke mana pun!"

Tatapan Nyonya Carter dan Tuan Carter langsung terpaku pada pria yang memakai kemeja biru muda yang berjalan menghampiri mereka. Sosok yang selama ini hampir mereka lupakan keberadaanya.

Eleanor mendongakkan kepala ketika dia merasakan seseorang menyentuh bahunya, dan membantu dia untuk bangkit. Mata Eleanor sempat bersitatap dengan mata berwarna cokelat gelap yang menyorot dengan tajam.

Sesaat Eleanor bisa merasakan bagaimana pria itu meneliti wajahnya dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan. Sampai akhirnya Eleanor memilih membuang muka saat Adrian kembali menatap ibu dan ayah mertuanya, satu persatu.

“Adrian!” Suara Nyonya Carter terdengar bergetar. Dia tampak tak percaya dengan kemunculan Adrian.

“Kau baru ingat pulang setelah adikmu tiada?”

Adrian tak menghiraukan ucapan kedua orang tuanya. Dia masih memegang bahu Eleanor, dan berusaha mengabaikan tatapan heran wanita itu.

“Adrian!” seru Nyonya Carter sekali lagi. Wanita paruh baya itu hendak maju menghampiri Adrian, tetapi Adrian mundur beberapa langkah, menolaknya.

“Dia tidak akan pergi ke mana pun. Menantu keluarga Carter akan tetap menjadi menantu keluarga Carter selamanya.”

“Tapi dia—” Nyonya Carter menunjuk Olivia dan Noah bergantian. Matanya kembali menyiratkan amarah karena Adrian membela Eleanor. “Adrian, jangan bodoh. Mereka lebih berhak tinggal di sini, dibandingkan wanita pembawa sial ini. Mama dan papa sudah memutuskan rumah pribadi Nathan untuk mereka. Tak ada tempat untuk menampung wanita ini.”

Adrian menaikkan sudut bibirnya, dengan tatapan tajam yang begitu menusuk. "Sejak kapan hak ditentukan oleh orang yang pandai berpura-pura suci?"

"Adrian!" bentak Tuan Carter, marah.

Namun, Adrian mengabaikannya. Dia meminta ayahnya untuk diam, setelah itu menatap ke arah Mary yang sejak tadi sembunyi di balik pintu. “Mary!”

Mendengar suara Adrian, Mary segera masuk dengan tergesa-gesa. Sesaat matanya menatap Adrian dengan berkaca-kaca. “Tu-tuan Adrian … akhirnya—”

“Bawa dia ke rumah pribadiku!" perintah Adrian pada Mary.

Perkataan Adrian tadi sukses membuat semua orang terdiam, termasuk Tuan Carter.

“Adrian, kau tidak bisa melakukan ini—“

“Bisa!" potong Adrian pada ucapan Nyonya Carter. "Aku bisa melakukan apa pun.” Adrian sekali menatap Eleanor yang tampak lemah, lalu beralih menatap Tuan dan Nyonya Carter dengan rahang mengeras. “Mulai sekarang dia akan tinggal di rumah pribadiku. Tak ada penolakan. Jangan lupa seluruh mansion ini milikku!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Terlarang Kakak Ipar   6. Bab 6

    Eleanor diminta berkumpul bersama semua orang di rumah utama. Dia sudah berusaha menolak. Bukan karena tak menghargai kedua orang tuanya, hanya saja setiap menatap wajah Noah—putra Nathan yang ternyata begitu mirip dengan pria itu, kian menambah luka di hatinya. “Eleanor.” Suara Tuan Carter terdengar menembus kesunyian di ruangan yang hening. Tidak ada orang lain di sana, kecuali Olivia dan Noah, dua sosok yang entah mengapa masih berdiam diri di rumah keluarga Carter. “Papa dan mama ingin minta maaf atas nama Nathan.” Mendengar hal itu, Nyonya Carter langsung menatap suaminya dengan tidak suka. “Kenapa harus minta maaf? Lagi pula dia tidak bisa memberikan Nathan seorang anak. Andai saja tidak ada Noah, putraku itu meninggal dalam keadaan tak punya keturunan.” Mulut Nyonya Carter berujar tanpa peduli dengan perasaan Eleanor. Eleanor hanya bisa mengigit bibir. Dia sungguh merasa asing di tengah keluarga Carter secara tiba-tiba. “Mama, jangan bicara begitu. Apa pun itu

  • Sentuhan Terlarang Kakak Ipar   5. Bab 5

    Eleanor tampak mengerjapkan matanya berkali-kali, mencoba mencerna setiap ucapan yang baru dia dengar dari wanita asing di depannya. “Ini bukan suasana yang pas untuk bergurau. Aku dan Nathan—kami belum memiliki seorang anak pun.” “Siapa bilang dia putramu dan Nathan?” Olivia menyilangkan kakinya. Menampakkan senyuman angkuh, yang seolah tak mau kalah. “Dia putraku bersama Nathan.” Pening. Kepala Eleanor benar-benar tak bisa berpikir jernih sekarang. Dia menggeleng dengan kuat. “Tidak mungkin! Aku kenal Nathan. D-dia bukan pria seperti itu,” jawab Eleanor dengan terbata-bata. “Pa, Ma, katakan pada wanita ini jika Nathan bukan pria seperti itu.” Namun, Eleanor tak mendapatkan jawaban yang diinginkan dari kedua orang tua Nathan. Mereka berdua hanya diam saja. “Pa, Ma—” “Kau butuh bukti kan, Eleanor?” tanya Olivia dengan menekankan nama wanita itu. Eleanor menoleh, menatap Olivia dengan dada naik turun. “Jangan sebut namaku dengan bibir kotormu itu!” Eleanor segera b

  • Sentuhan Terlarang Kakak Ipar   4. Bab 4

    Siang itu hujan turun dengan begitu deras, seolah alam sedang membantu Eleanor untuk menyembunyikan air mata yang sejak kemarin tak berhenti menetes. Hari ini, Eleanor akan benar-benar melepaskan Nathan untuk yang terakhir kalinya. Setelah upacara pemakaman yang memakan waktu cukup lama, kini Eleanor melihat bagaimana peti yang di dalamnya terdapat tubuh Nathan itu turun ke bawan tanah secara perlahan. Kaki Eleanor tak sanggup berdiri lagi. Sejak tadi Mary dan Lucas lah yang membantunya dengan sepenuh hati. Hanya kedua orang tesebut yang peduli dengan keadaan Eleanor yang tampak begitu kacau. Saat tanah terakhir menutup peti itu, pandangan mata Eleanor perlahan menggelap. Kepalanya terasa berputar, dan tak lama setelah itu dia merasakan tubuhnya begitu ringan sampai matanya tertutup disertai dengan teriakan beberapa orang. “Nyonya Eleanor.” *** Eleanor membuka matanya yang terasa begitu berat. Mata biru pekat itu menatap sekeliling ruangan tempatnya berada. Ini bu

  • Sentuhan Terlarang Kakak Ipar   3. Bab 3

    Tak ada yang bisa menggambarkan duka yang dirasakan Eleanor saat ini. Seharusnya kemarin adalah hari yang indah. Hari yang dia nantikan selama dua bulan terakhir. Namun, siapa yang menduga jika di hari itu juga Nathan benar-benar pergi meninggalkannya sendirian untuk selamanya. “Ini semua gara-gara wanita pembawa sial ini!” Nyonya Carter masih terus menunjuk wajah Eleanor dengan amarah yang membara. “Panggilan terakhir Nathan dari dia. Pasti dia yang merengek meminta Nathan pulang dengan cepat.” Eleanor hanya mampu menundukkan wajah dengan linangan air mata yang tak pernah terhenti. Biarlah, murka mertuanya tak sebanding dengan duka Eleanor saat ini. “Jawab aku, kau pasti merengek seperti biasa dan meminta Nathan untuk tiba dengan cepat, kan?” Nyonya Carter menjambak rambut Eleanor yang langsung dilerai oleh Tuan Carter. “Lepaskan, Ma. Dia juga sama-sama merasa kehilangan seperti kita.” “Tidak!” bentak Nyonya Carter dengan suara bergetar. “Gara-gara dia putra kesa

  • Sentuhan Terlarang Kakak Ipar   2. Bab 2

    Eleanor tak memberikan reaksi apa pun. Dia terlalu terkejut mendapatkan perlakuan yang kasar dari ibu mertuanya. Eleanor tahu dan tak menutup mata jika selama ini, Nyonya Carter—ibu mertuanya itu memang tak pernah menyukai keberadaanya. Akan tetapi, perlakuannya sekarang benar-benar di luar dugaan Eleanor. “Dasar wanita pembawa sial!” maki Nyonya Carter lagi. “Mama sudah.” Suara Tuan Carter bergetar saat mencoba menenangkan istrinya. “Ma, bagaimana dengan kondisi Nathan sekarang?” tanya Eleanor dengan penuh harap. Dia mengabaikan semua perlakuan buruk yang diterima barusan. Namun, Nyonya Carter sama sekali tak menjawab. Dia justru kembali menampar pipi Eleanor untuk yang kedua kalinya. Setelah itu, wanita paruh baya itu kembali menangis dengan kencang. Menjerit dan meraung dalam pelukan suaminya. “Oh, Nath-ku. Putraku sayang yang malang.” Eleanor terpaku. Pikirannya berusaha keras mencerna apa yang sedang terjadi, hingga rasa sesak kembali menghantam dadanya. “Ma

  • Sentuhan Terlarang Kakak Ipar   1. Bab 1

    Eleanor berjalan ke sana kemari dengan perasaan gembira. Hari ini, Nathan—suaminya akan kembali ke rumah setelah dua bulan bekerja di Maine. Eleanor bekerja keras menyiapkan sambutan hangat untuk kepulangan Nathan. Bahkan, wanita itu turun tangan sendiri ke dapur dan memasak khusus untuk suaminya. “Nyonya, mau saya bantu?” Eleanor menoleh, menatap kepala pelayan yang menawarkan bantuan kepadanya. Dia langsung menggeleng cepat dengan senyum hangat yang tak lepas dari bibir sejak tadi. “Tolong ambilkan ponselku saja, Mary. Seharusnya Nathan sudah tiba di bandara sekarang.” “Baik, Nyonya.” Mary menganggukkan kepala dengan sopan. Dia menghormati keputusan Eleanor dan segera melaksanakan perintah wanita yang tampak berbahagia itu. Siapa pun bisa melihat betapa bahagianya Eleanor hari itu. Senyuman lebar di bibirnya tak pernah lepas sejak pagi, membuat suasana di rumah besar itu seolah ikut terhanyut dalam semangat yang sama. Begitu Mary menyerahkan ponsel, Eleanor lang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status