เข้าสู่ระบบSiang itu hujan turun dengan begitu deras, seolah alam sedang membantu Eleanor untuk menyembunyikan air mata yang sejak kemarin tak berhenti menetes.
Hari ini, Eleanor akan benar-benar melepaskan Nathan untuk yang terakhir kalinya. Setelah upacara pemakaman yang memakan waktu cukup lama, kini Eleanor melihat bagaimana peti yang di dalamnya terdapat tubuh Nathan itu turun ke bawan tanah secara perlahan. Kaki Eleanor tak sanggup berdiri lagi. Sejak tadi Mary dan Lucas lah yang membantunya dengan sepenuh hati. Hanya kedua orang tesebut yang peduli dengan keadaan Eleanor yang tampak begitu kacau. Saat tanah terakhir menutup peti itu, pandangan mata Eleanor perlahan menggelap. Kepalanya terasa berputar, dan tak lama setelah itu dia merasakan tubuhnya begitu ringan sampai matanya tertutup disertai dengan teriakan beberapa orang. “Nyonya Eleanor.” *** Eleanor membuka matanya yang terasa begitu berat. Mata biru pekat itu menatap sekeliling ruangan tempatnya berada. Ini bukan kamarnya. Lalu di mana dia berada? Terakhir kali yang dia ingat, Eleanor berada di pemakaman Nathan, suaminya, tetapi dia tidak ingat apa pun lagi setelah itu. Mata Eleanor langsung bergerak ke arah pintu setelah mendengar benda tersebut dibuka. Mary muncul dengan senyum khas miliknya. Wanita paruh baya itu langsung menghampiri begitu tahu jika Eleanor sudah sadar. “Nyonya tadi tidak sadarkan diri. Tuan arter meminta saya untuk mengantarkan Nyonya ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan dulu.” “Nathan—” Suara Eleanor tertahan saat menyebut nama suaminya itu. “Aku meninggalkan sendirian Nathan tadi.” Mary menggeleng dengan mengusap tangan Eleanor lembut. “Nyonya harus sehat dulu. Setelah sehat seperti semula, kita bisa berkunjung ke makan Tuan Nathan.” Entah mengapa mendengar kata makam, membuat Eleanor kembali menutup mata. Setitik air mata itu kembali jatuh. Semua ini benar-benar nyata. Entah sudah berapa kali Eleanor berharap jika semua ini hanyalah sebuah mimpi. Mary mengusap tangan Eleanor dengan pelan setelah melihat wanita itu kembali menagis. Dia tak ingin memberikan kata-kata penghiburan karena tahu betapa rapuhnya jiwa Eleanor sekarang. “Saya keluar sebentar, kalau Nyonya butuh sesuatu bisa hubungi saya atau Lucas. Kami ada di luar.” Eleanor mengabaikan perkataan Mary begitu saja. Dia hanya terisak pelan dan membuka mata setelah mendengar suara pintu tertutup yang menandakan jika Mary sudah pergi. Dalam kesendirian, dalam sunyinya ruangan yang terasa menghimpit tubuhnya, tangisan Eleanor tak bisa lagi disembunyikan. Dia benar-benar rindu dengan Nathan-nya. Dia benar-benar ingin memeluk suaminya. *** Eleanor pulang bersama Mary dan Lucas saat hari menjelang gelap. Sebenarnya dokter masih melarangnya untuk pulang, tetapi Eleanor memaksa ingin kembali ke rumah. Menurutnya obat apa pun yang diberikan dokter tak akan bisa mengobati rasa perih di dalam hatinya. Ketika mobil yang dikendarai Lucas mulai memasuki mansion keluarga Carter yang luas, ponsel Mary berbunyi. “Ya, Tuan besar. Kami sudah tiba di depan.” Mary terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menyahut dengan suara pelan. “Baik, Tuan. Kami akan masuk.” “Ada apa, Mary?” “Tuan meminta kita untuk ke rumah utama dulu. Ada sesuatu yang ingin dibahas katanya.” Eleanor hanya mengangguk sebagai tanda mengerti. Kediaman keluarga Carter ini terdiri dari tiga bangunan besar. Bangunan utama di bagian depan dengan empat lantai itu adalah rumah utama yang ditinggali oleh kedua orang tua Nathan. Sementara Nathan dan Eleanor tinggal di bangunan yang ada di sayap timur. Bangunan berlantai tiga menjadi tempat tinggal Eleanor semenjak menikah. Sedangkan pada bagian barat terdapat bangunan yang tak kalah besar dan megah dari rumah utama, tetapi sayangnya, Eleanor tak pernah tahu pasti siapa yang tinggal di bangunan tersebut. Dengan bantuan Mary, Eleanor melangkah masuk ke dalam rumah utama. Eleanor langsung duduk di sofa ketika melihat Tuan Carter dan istrinya sedang duduk di sana menungunya. Melihat Eleanor duduk, Nyonya Carter langsung membuang muka dengan tatapan tak suka. “Kau sudah lebih baik, Eleanor?” Eleanor mengangguk pelan. “Sudah lebih baik, Pa. Kalau boleh tau ada apa?” Tuan Carter menjeda sejenak ucapannya. Pria yang rambutnya tampak putih itu menghela napas panjang sebelum kembali menatap menantunya dengan tatapan iba. “Kami punya kabar yang mungkin tak kalah mengejutkan dengan kabar kemarin.” Eleanor terdiam. Jantungnya kembali berdegup kencang mendengar perkataan mertuanya. Ada apa lagi? “Kami juga sama terkejutnya tadi, ketika kabar itu datang. Sebenarnya kami ingin mneyembunyikan ini lebih dulu, tapi rasanya—” “Ada apa, Pa?” tanya Eleanor dengan kening berkerut. “Langsung katakan saja, Pa. Jangan bertele-tele. Apa mau aku yang menyampaikannya?” tukas Nyonya Carter tak sabar. “Diam, Camilla! Jangan membuat kegaduhan lagi.” Lagi, Tuan Carter kembali memandang Eleanor dengan perasaan iba. Sementara itu, Eleanor tak henti-hentinya meremas tangannya satu sama lain. Ada apa sebenarnya? Apa yang ingin mereka katakan dan sembunyikan dari dirinya?” “Eleanor—” “Nenek!” Suara anak kecil yang berlari turun dari tangga membuat ucapan Tuan Carter terputus. Anak laki-laki berambut pirang itu langsung berlari ke arah Nyonya Carter, yang mana langsung disambut dengan senyum hangat oleh perempuan paruh baya, yang beberapa detik lalu menatap Eleanor dengan penuh kebencian. Eleanor menatap anak laki-laki itu dengan raut kebingungan? Ingin dia bertanya, siapa anak laki-laki ini? Kenapa dia memanggil ibu mertuanya dengan sebutan nenek? Berbagai pikiran buruk mulai bergelanyut di benaknya, tetapi secepat mungkin Eleanor menepis semua itu. Mungkin saja … mungkin saja anak laki-laki itu adalah cucu dari putra keluarga Carter yang lain. Tak sampai di situ, tatapan Eleanor langsung teralihkan pada wanita yang memakai dress berwarna hitam selutut yang menyapanya dengan senyum tipis. Wanita itu langsung duduk di hadapan Eleanor tanpa melepaskan tatapannya. “Me-mereka siapa, Pa? Apa mereka—” “Perkenalkan namaku Olivia.” Olivia mengulurkan tangannya ke arah Eleanor dengan senyum lebar. “Dan dia Noah, putraku. Cucu keluarga Carter.” “Cucu?” Eleanor memaksakan senyum. “Apa dia istri putra sulungmu, Pa? Apa putra sulungmu sudah kembali ke sini? Ya, dia pasti kembali setelah mendengar kabar kematian adiknya, kan?” Tuan Carter tampak begitu gugup mendapatkan pertanyaan beruntun dari Eleanor. Dia ingin segera menjawab, tetapi perkataan Olivia membuat segalanya berantakan. “Dia putra kandung Nathan!”Eleanor diminta berkumpul bersama semua orang di rumah utama. Dia sudah berusaha menolak. Bukan karena tak menghargai kedua orang tuanya, hanya saja setiap menatap wajah Noah—putra Nathan yang ternyata begitu mirip dengan pria itu, kian menambah luka di hatinya. “Eleanor.” Suara Tuan Carter terdengar menembus kesunyian di ruangan yang hening. Tidak ada orang lain di sana, kecuali Olivia dan Noah, dua sosok yang entah mengapa masih berdiam diri di rumah keluarga Carter. “Papa dan mama ingin minta maaf atas nama Nathan.” Mendengar hal itu, Nyonya Carter langsung menatap suaminya dengan tidak suka. “Kenapa harus minta maaf? Lagi pula dia tidak bisa memberikan Nathan seorang anak. Andai saja tidak ada Noah, putraku itu meninggal dalam keadaan tak punya keturunan.” Mulut Nyonya Carter berujar tanpa peduli dengan perasaan Eleanor. Eleanor hanya bisa mengigit bibir. Dia sungguh merasa asing di tengah keluarga Carter secara tiba-tiba. “Mama, jangan bicara begitu. Apa pun itu
Eleanor tampak mengerjapkan matanya berkali-kali, mencoba mencerna setiap ucapan yang baru dia dengar dari wanita asing di depannya. “Ini bukan suasana yang pas untuk bergurau. Aku dan Nathan—kami belum memiliki seorang anak pun.” “Siapa bilang dia putramu dan Nathan?” Olivia menyilangkan kakinya. Menampakkan senyuman angkuh, yang seolah tak mau kalah. “Dia putraku bersama Nathan.” Pening. Kepala Eleanor benar-benar tak bisa berpikir jernih sekarang. Dia menggeleng dengan kuat. “Tidak mungkin! Aku kenal Nathan. D-dia bukan pria seperti itu,” jawab Eleanor dengan terbata-bata. “Pa, Ma, katakan pada wanita ini jika Nathan bukan pria seperti itu.” Namun, Eleanor tak mendapatkan jawaban yang diinginkan dari kedua orang tua Nathan. Mereka berdua hanya diam saja. “Pa, Ma—” “Kau butuh bukti kan, Eleanor?” tanya Olivia dengan menekankan nama wanita itu. Eleanor menoleh, menatap Olivia dengan dada naik turun. “Jangan sebut namaku dengan bibir kotormu itu!” Eleanor segera b
Siang itu hujan turun dengan begitu deras, seolah alam sedang membantu Eleanor untuk menyembunyikan air mata yang sejak kemarin tak berhenti menetes. Hari ini, Eleanor akan benar-benar melepaskan Nathan untuk yang terakhir kalinya. Setelah upacara pemakaman yang memakan waktu cukup lama, kini Eleanor melihat bagaimana peti yang di dalamnya terdapat tubuh Nathan itu turun ke bawan tanah secara perlahan. Kaki Eleanor tak sanggup berdiri lagi. Sejak tadi Mary dan Lucas lah yang membantunya dengan sepenuh hati. Hanya kedua orang tesebut yang peduli dengan keadaan Eleanor yang tampak begitu kacau. Saat tanah terakhir menutup peti itu, pandangan mata Eleanor perlahan menggelap. Kepalanya terasa berputar, dan tak lama setelah itu dia merasakan tubuhnya begitu ringan sampai matanya tertutup disertai dengan teriakan beberapa orang. “Nyonya Eleanor.” *** Eleanor membuka matanya yang terasa begitu berat. Mata biru pekat itu menatap sekeliling ruangan tempatnya berada. Ini bu
Tak ada yang bisa menggambarkan duka yang dirasakan Eleanor saat ini. Seharusnya kemarin adalah hari yang indah. Hari yang dia nantikan selama dua bulan terakhir. Namun, siapa yang menduga jika di hari itu juga Nathan benar-benar pergi meninggalkannya sendirian untuk selamanya. “Ini semua gara-gara wanita pembawa sial ini!” Nyonya Carter masih terus menunjuk wajah Eleanor dengan amarah yang membara. “Panggilan terakhir Nathan dari dia. Pasti dia yang merengek meminta Nathan pulang dengan cepat.” Eleanor hanya mampu menundukkan wajah dengan linangan air mata yang tak pernah terhenti. Biarlah, murka mertuanya tak sebanding dengan duka Eleanor saat ini. “Jawab aku, kau pasti merengek seperti biasa dan meminta Nathan untuk tiba dengan cepat, kan?” Nyonya Carter menjambak rambut Eleanor yang langsung dilerai oleh Tuan Carter. “Lepaskan, Ma. Dia juga sama-sama merasa kehilangan seperti kita.” “Tidak!” bentak Nyonya Carter dengan suara bergetar. “Gara-gara dia putra kesa
Eleanor tak memberikan reaksi apa pun. Dia terlalu terkejut mendapatkan perlakuan yang kasar dari ibu mertuanya. Eleanor tahu dan tak menutup mata jika selama ini, Nyonya Carter—ibu mertuanya itu memang tak pernah menyukai keberadaanya. Akan tetapi, perlakuannya sekarang benar-benar di luar dugaan Eleanor. “Dasar wanita pembawa sial!” maki Nyonya Carter lagi. “Mama sudah.” Suara Tuan Carter bergetar saat mencoba menenangkan istrinya. “Ma, bagaimana dengan kondisi Nathan sekarang?” tanya Eleanor dengan penuh harap. Dia mengabaikan semua perlakuan buruk yang diterima barusan. Namun, Nyonya Carter sama sekali tak menjawab. Dia justru kembali menampar pipi Eleanor untuk yang kedua kalinya. Setelah itu, wanita paruh baya itu kembali menangis dengan kencang. Menjerit dan meraung dalam pelukan suaminya. “Oh, Nath-ku. Putraku sayang yang malang.” Eleanor terpaku. Pikirannya berusaha keras mencerna apa yang sedang terjadi, hingga rasa sesak kembali menghantam dadanya. “Ma
Eleanor berjalan ke sana kemari dengan perasaan gembira. Hari ini, Nathan—suaminya akan kembali ke rumah setelah dua bulan bekerja di Maine. Eleanor bekerja keras menyiapkan sambutan hangat untuk kepulangan Nathan. Bahkan, wanita itu turun tangan sendiri ke dapur dan memasak khusus untuk suaminya. “Nyonya, mau saya bantu?” Eleanor menoleh, menatap kepala pelayan yang menawarkan bantuan kepadanya. Dia langsung menggeleng cepat dengan senyum hangat yang tak lepas dari bibir sejak tadi. “Tolong ambilkan ponselku saja, Mary. Seharusnya Nathan sudah tiba di bandara sekarang.” “Baik, Nyonya.” Mary menganggukkan kepala dengan sopan. Dia menghormati keputusan Eleanor dan segera melaksanakan perintah wanita yang tampak berbahagia itu. Siapa pun bisa melihat betapa bahagianya Eleanor hari itu. Senyuman lebar di bibirnya tak pernah lepas sejak pagi, membuat suasana di rumah besar itu seolah ikut terhanyut dalam semangat yang sama. Begitu Mary menyerahkan ponsel, Eleanor lang







