“Si dedek udah waktunya diselameti, Na. Udah empat bulan, 'kan?” tanya Anggi malam harinya sepulang Nilna dari rumah sakit. Keduanya tengah bersantai di dalam rumah.Nilna terdiam. Sebenarnya, ia ingin bercerita tentang pertemuannya dengan Satria tadi. Hanya saja, masih ragu.Nilna merupakan pribadi yang sangat tertutup sekalipun kepada Anggi, sahabatnya sendiri. Wanita tersebut sering tidak nyaman menceritakan apa yang telah terjadi. Kecuali jika sudah sangat kepepet.“Yang ibunya aku apa kamu, sih? Hafal bener kayaknya.” Akhirnya, Nilna menyahut setelah Anggi menyenggol lengannya.Anggi tergelak. “Aku, kan, aunty yang perhatian, baik hati, dan rajin ibadah.”“Iyain aja, deh. Biar nggak nangis.”“Katanya, empat bulan itu bayi saatnya ditiup nyawa, dicatat jodoh, maut, dan rezekinya. Kesempatan yang baik buat diadakan kirim doa biar semuanya dicatat baik. Jadi, kapan?” tanya Anggi lagi.“Nyari hari yang tepat. Kalau menurut penanggalan Jawa, yang baik itu hari Sabtu Wage. Tapi aku leb
Plak!Anggi menghadiahi pipi Satria dengan tamparan.“Itu mulut enteng banget, ya, ngomong kayak gitu? Mau aku sobek-sobek? Kalau mau bayi Nilna, langkahi dulu bangkaiku.” Anggi berbicara sambil menunjuk wajah Satria.“Aku pikir kamu benar-benar datang baik-baik. Tapi ternyata masih saja punya niatan bu*uk. Keluar dari rumah ini!”Satria tersenyum sinis sambil memegangi pipi. “Itu bukan anakmu, tapi anak Nilna. Dia yang berhak menentukan. Kenapa kamu ikut campur? Nilna, keluar kamu! Jangan jadi pengecut! Sini adepi aku!” Satria berteriak kembali.“Satria! Keluar! Atau aku laporin ke RT karena kamu bikin ulah di sini!” Lukman ambil suara.“Oke, aku keluar. Padahal harusnya kalian berterima kasih karena aku bakal sudi merawat bayi tidak jelas asal usul penanam benihnya itu.”Kali ini, bogem mentah Lukman mendarat di wajah Satria.“Baji*an kau, ya! Mulutmu layak dihancurkan!”Satria tidak tinggal diam. Ia membalas pukulan Lukman. Perkelahian pun tidak dapat dihindari.“Lanjutkan sampai s
“Apaan teriak-teriak depan rumah orang? Gak ada akhlak!” Anggi keluar sambil berkacak pinggang.“Nilna mana? Ini ada jambu dersono. Biasanya orang hamil pegen makan ini!” Sri, tetangga kontrakan yang sudah sepuh dan telinganya sudah menurun daya dengarnya berbicara cukup keras. Wanita itu salah satu di antara orang yang peduli dengan Nilna dan Anggi.Saat melihat Sri, tampang marah Anggi berubah. Ia lalu menyengir setelah melihat kantong plastik yang dibawa wanita renta tersebut.“Eh, Mbah Sri. Mari masuk.” Anggi menghampiri.“Nggak usah. Langsung pulang saja. Ini tadi ada banyak di pohon, nyuruh cucu Mbah metik. Keinget Nilna. Makanya Mbah bawakan,” ujar Sri sambil menyerahkan kantong plastik.“Wuah, matur suwun, Mbah. Semoga Mbah panjang umur, sehat, tambah cantik, dan dapat cogan baru”“Co-cogan? Makanan apa itu?”Anggi tertawa. “Cogan itu cowok ganteng. Lelaki tampan.”Sri tertawa, lalu memukul pelan lengan Anggi.“Woh, bocah gemblung. Yowes, Mbah pulang. Kamu nggak boleh ikut mak
“Menggoda suaminya? Hah, ada-ada saja.” Nilna bergumam dan terus berjalan menuju mobil yang sudah menunggu.Tidak lama kemudian, Lukman menyusul dan duduk di kursi belakang, di samping Nilna.Mobil yang ditumpangi Lukman dan Nilna lantas berangkat, meninggalkan Anggi yang masih berdiri bersedekap sambil menatap Rosa tajam.“Heh, Lemper! Salah besar kalau kamu menuduh Nilna masih menggoda suamimu. Justru aku curiga suamimu yang masih mengharapkan Nilna.” Anggi jongkok di hadapan Rosa yang masih kesulitan berusaha berdiri.“Diam kamu, Wanita barbar! Dasar preman!” Rosa tidak mau kalah.“Ya, kamu memang datang ke sarang preman. Suami Nilna sudah kamu rebut dan itu berhasil. Sekarang justru menuduhnya menggoda suamimu? Kamu waras? Maumu apa lagi, sih? Belum puas bikin dia menderita?”“Belum! Sebelum si buruk rupa itu benar-benar pergi dari dunia ini!”“Hey! Dasar parasit, sun*dal bolong! Kira-kira kalau ngomong! Kamu ini kemaruk, ya! Sudah mendapatkan semuanya tapi masih saja mengusik hid
“Apa, Mas?” Nilna pura-pura bertanya.“Bukan apa-apa. Nggak penting.”Nilna mendesah kecewa. Di benaknya, ada rasa curiga seperti yang dirasakan Anggi.Entah apa yang mendasari Anggi justru meminta pria itu mengantarnya.“Lari dari amukan ulat bulu, Anggi menyuruhku masuk perangkap singa. Emang nggak konsisten pikiran anak itu.” Nilna membatin.**Beberapa saat kemudian, Nilna dan Lukman tiba di klinik. Keduanya duduk berdampingan karena masih antre menunggu giliran. Jika dilihat, mereka tampak seperti pasangan suami istri lain yang juga sedang periksa.“Nggi. Pake aja motorku ke mana aja kamu mau. Beri kesempatan buat aku sama Nilna berdua saja lebih lama.” Lukman mengirim pesan kepada Anggi.Anggi yang sudah sampai parkiran, mengerutkan dahi saat membaca pesan tersebut.“Bilang kek dari tadi biar aku nggak capek-capek nyusul.” Anggi membalas.“Ya udah, nanti aku kasih tip penghilang capek kalo udah di kontrakan. Sekarang cepet pulang lagi. Tapi inget, harus tutup mulut dari Nilna. C
Saat mendengar perkataan orang itu, Nilna dan Lukman menoleh bersamaan. Keduanya mengembuskan napas panjang.Nilna mengepalkan tangan. Entah mengapa Rosa serupa lalat yang ada di mana-mana, selalu mengganggunya. Rosa terus berjalan melewati Nilna sambil sedikit terseok-seok. Bibir wanita itu menyungging sebelah, seolah-olah ekspresi jijik. Kakinya masih terasa sakit karena sempat terkilir tadi.“Mas, nyari tempat lain aja gimana?” ajak Nilna. Lukman mengangguk.“Kak Nilna!” Suara Samira menginterupsi dari arah kiri Nilna. Wanita hamil itu urung melangkah.“Samira? Tadi Rosa ....” Nilna berbicara sambil menunjuk ke dalam, syarat pertanyaan. Sebuah kode tanya apakah Samira datang bersama Rosa atau tidak.“Iya. Ada Ibu dan Bang Satria juga di sini. Dia siapa, Kak?” Dari nada suaranya, Samira sudah tidak marah lagi dengan Nilna. Samira menatap Lukman, meminta penjelasan.“Dia Mas Lukman. Teman kerja Kakak di restoran dulu,” jawab Nilna.Samira dan Lukman pun bersalaman sambil saling melem
Nilna sangat tahu itu suara siapa. Namun, ia mengabaikannya. Pandangannya justru fokus kepada Maya. Nilna berdiri, matanya berkabut. Langkah kakinya pelan tetapi pasti, menghampiri sang mantan ibu mertua.Satria hendak membawa Maya pergi, tetapi dihadang Nilna. “Tolong beri aku satu kesempatan bicara sama Ibu. Sekali ini aja. Aku mohon, Bang.”Satria terdiam. Ia sejenak berpikir, lalu menatap Maya. Sang ibu mengangguk sambil menatapnya syarat permohonan. Dibalik sikap Satria yang kasar, kejam, dan dingin, sebenarnya ia berhati lembut. Apalagi jika menyangkut masalah sang ibu. Pria asli Bandung itu sangat menyayangi Maya dan bisa berbuat apa pun demi ibunya.Awalnya, Nilna berpikir pria yang mencintai dan hormat kepada sang ibu akan memperlakukan istri dengan baik pula. Ternyata Nilna salah. Cinta kepada orang tua dan kepada lawan jenis itu berbeda. Cinta tidak bisa tumbuh begitu saja meski sudah berusaha. Nilna tidak bisa merebut hati Satria yang sepenuhnya sudah terisi dengan nama Ro
“Mas Lukman, kok, gitu?” Anggi sangat kecewa.“Maaf, Nggi. Ini tugas mendadak. Restoran kedatangan tamu istimewa, makanya semua chef dilarang izin atau cuti dulu. Maaf banget, ya.” Suara Lukman di seberang telepon terdengar.“Aku bela-belain udah berangkat, ini lagi nunggu di tepi jalan kayak orang ilang. Eh, dengan entengnya Mas batalin gitu aja.”“Anggi, maaf banget sekali lagi. Kalau nggak percaya, tanya sama karyawan lain. Kamu pasti masih berhubungan sama mereka, kan?”“Ogah, buang-buang tenaga. Kenapa nggak bilang sebelum aku berangkat tadi cobak? Dasar pria!”“Maaf, Nggi. Sekali lagi maaf. Aku nggak bisa nolak titah bos.”Anggi mengembuskan napas kasar. Ia tadi berhenti sebab teleponnya terus berdering dan memutuskan mengangkatnya. Ternyata Lukman yang menelepon.“Mas Lukman jujur aja kalo gitu. Mas Lukman takut ketauan, kan?”“Ketauan apa maksudmu?”“Ketauan kalau sebenarnya Mas-lah yang pernah menggagahi Nilna. Makanya Mas nggak mau bantuin aku. Ingat, Mas, aku akan mengungka