Share

Bab 6. Video Asusila

“Iyalah. Maksud Kakak apa nanya gitu?”

“Kakak hanya curiga semua fitnah ini konspirasi dari abangmu. Tapi, ya, sudahlah. Mungkin hanya perasaan Kakak saja. Lalu, kenapa kamu dan Ibu ikut Bang Satria waktu itu?”

“Kakak ini playing victim, ya. Udah tahu salah, masih aja melempar kesalahan ke Abang. Asal Kak Nilna tahu, aku sama ibu diajak Abang yang saat itu tergesa-gesa. Kami nggak tahu diajak ke mana karena Abang hanya diam saja saat ditanya. Ternyata diajak buat mergoki sendiri ulah menji*jikkan Kakak. Udah ah. Aku mau nemui Ibu.” Gadis yang masih duduk di bangku SMA itu melangkah, menjauhi Nilna.

Baru beberapa langkah, tangan Samira dicekal Nilna. “Titip Ibu. Jaga beliau baik-baik. Kalau ada apa-apa, kabari Kakak.”

“Basi, Kak. Tanpa Kakak bilang, aku dan Abang akan jaga Ibu. Kami sudah nggak butuh Kakak lagi, nggak butuh hubungi Kakak lagi.” Samira melepaskan kasar pergelangan tangannya dari cengkeraman Nilna.

Nilna meremas tali tasnya untuk meredam panas hati yang tengah bergejolak antara marah dan kecewa.

**

Sambil menunggu mendapatkan kos-kosan baru, Nilna masih menumpang di tempat Anggi. Ia langsung pergi dari rumah Satria setelah pulang dari rumah sakit menjenguk sang mertua waktu itu. Nilna ingin secepatnya pergi dari daerah tersebut setelah proses perceraiannya dengan Satria nanti tuntas. Ia ingin memulai hidup baru meski bayang-bayang hitam kejadian memilukan waktu itu selalu mengiringi. Pergi sejauhnya dari Satria adalah pilihan tepat.

Nilna selalu merasa dirinya kotor dan tidak berarti. Setiap hari, ia selalu menangisi kisah hidupnya yang pilu.

Jika ia serupa kertas, tragedi waktu itu serupa noda tumpah yang mengotori, tidak bisa dihapus. Wanita berpostur tinggi itu ingin hidupnya sempurna dengan tinta yang tertulis rapi. Namun, tinta yang merupakan penggambaran dari sosok Satria tidak ubahnya hanya memberi coretan tidak bermakna, mengoyak harga dirinya, dan menusuk-nusuk ketahanannya. Ditambah tragedi di hotel. Sempurna sudah penderitaannya.

Setiap hari, Nilna masih bekerja. Namun, ada yang berbeda dari tatapan semua rekan kerjanya hari ini. Sejak berangkat, ia merasa seperti dipandang penuh selidik.

“Na, dipanggil bos ke ruangannya,” ujar salah seorang rekan kerjanya. Nilna mengangguk.

Dengan gelisah, ia menuju ruangan manajer. Di sana, sang bos sudah menunggu dengan raut tegang.

“Permisi, Bapak manggil saya?” tanya Nilna kepada Ridwan setelah duduk di kursi. Sementara bosnya itu ada di depannya. Keduanya dipisahkan meja.

“Jelaskan apa ini?” Ridwan bertanya sambil meletakkan ponsel di meja, menyuruh Nilna melihatnya.

Di sana, terpampang video berdurasi dua menit yang mempertontonkan tubuh polos Nilna. Wanita itu terlelap. Sementara ada seorang pria yang tidak terlihat wajahnya sedang melakukan hal tidak senonoh kepadanya.

Nilna membekap mulut. Detakan jantungnya berdetak lebih cepat. Napasnya tidak beraturan. “Astagfirullah.”

“Ini kamu, ‘kan?”

“Pak, Bapak lihat sendiri saya dalam kondisi tidak sadar. Saya waktu itu pingsan, Pak. Ada yang membekap mulut saya dan begitu bangun saya ada di situ.”

“Saya tidak peduli dengan penjelasanmu, Nilna. Yang saya pedulikan restoran ini, nama baiknya, karyawannya. Saya tidak bisa mempertaruhkan semua itu demi satu orang yaitu kamu. Jika kamu masih berada di sini, restoran akan kena imbasnya.”

“Apa itu berarti saya dipecat, Pak?”

“Tepat sekali. Nilna, saya harap kamu paham. Saya harus mengorbankan kamu demi hajat hidup banyak orang. Saya takut satu hal. Orang-orang yang sudah tahu kasus ini bisa jadi enggan ke sini dan restoran akan sepi. Jadi, dengan berat hati saya memberhentikanmu.”

“Pak.” Nilna masih berusaha menawar. Matanya berkaca-kaca.

“Video ini dikirim orang tidak dikenal sejak seminggu yang lalu. Awalnya saya diam karena saya ingin tahu seperti apa perkembangannya. Tapi sekarang videonya sudah menyebar luas. Sudah banyak yang tahu. Jadi, saya melakukan ini sebelum nama restoran tercemar. Sekali lagi saya minta maaf karena melakukan ini. Ini pesangon kamu.”

Ridwan meletakkan amplop cokelat ke hadapan Nilna.

Nilna hanya memandang amplop itu nanar. Lalu perlahan, ia menghapus air matanya kasar.

“Baiklah, saya akan mencoba mengerti. Semoga restoran ini selalu rame setelah saya pergi. Terima kasih untuk kesempatannya menjadi bagian restoran beberapa tahun ini. Maaf kalau saya ada salah.” Nilna berucap sambil berusaha tersenyum.

Ia lalu mengambil amplop itu dan bangkit. Tergesa-gesa ia keluar. Di depan ruangan sang bos, banyak karyawan lain yang sedang menguping. Ia tidak peduli. Wanita berhijab hitam tersebut terus berjalan cepat menjauh dari sana.

Sementara sang manajer, menelepon seseorang setelah Nilna tidak ada di ruangannya. “Saya sudah melakukan apa yang Anda perintah.”

“Kerja bagus!” Suara di seberang membalas dengan nada puas.

**

Dengan mengendarai sepeda motornya, Nilna kembali ke kos-kosan Anggi sambil terus menangis.

“Angin, kamu bisa dengan mudah mengeringkan air mataku. Tapi apakah bisa kamu juga mengeringkan lukaku? Aku lelah dengan semua ujian yang ada.” Nilna terus berbisik kepada angin.

Tiba di kos-kosan dengan wajah yang masih sembab, Nilna mengambil ponsel. Ia sengaja merekam wajahnya. Entah nanti di-unggah atau tidak, ia hanya ingin menyuarakan kebenaran.

“Saya mau memberikan klarifikasi mengenai video itu. Posisi saya tidur pulas dan saya tidak tahu apa yang terjadi. Saya korban dan ternyata ada seseorang yang mele*cehkan saya hingga memvideonya.” Nilna menjeda karena tangisnya kian kencang.

“Tolong usut siapa pria itu, siapa penyebar video itu, siapa pemain pria itu. Saya hanya korban. Tolong, temukan pria bia*dab itu.”

Tepat saat video diakhiri, ada teriakan dan gedoran di pintu kamar. “Nilna! Keluar kau!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status