Teriakan dari luar kamar kos-kosan diabaikan Nilna. Ia bersimpuh di lantai sambil menutup kedua telinga dengan ponsel masih di genggaman tangan kanan. Air mata wanita berwajah pucat itu terus berderai. Hingga akhirnya, suara di luar yang merupakan suara pemilik kos-kosan menghilang.
Perlahan, ia merebahkan dirinya di lantai. “Apa ini yang dimaksud Bang Satria sanksi sosial? Tega sekali dia, Ya Allah.”
Nilna terus terisak sambil mendekap dada dengan kedua tangan.
“Aku lelah, ingin menyerah.”
**
Video dengan Nilna tokoh utamanya terus menyebar ke orang-orang terdekat Nilna. Mereka semua menggunjing dan mencemooh wanita itu seenaknya.
Nilna pun terpaksa bercerita kepada Anggi tentang tragedi yang dulu pernah menimpa dan kenapa bisa ada video itu. Ia tidak ingin sang sahabat ikut menyalahkan dan mengucilkannya.
“Aku ngerasa bo*doh dan kotor dalam satu waktu, Nggi. Sementara pelakunya bebas berkeliaran di luar sana,” ujar Nilna.
“Usut ke hotelnya. Di sana ada CCTV.”
“Udah dan aku nggak diizinin lihat. Sekarang, tolong bantu aku up video klarifikasiku meski itu artinya aku membuka luka lama.”
Anggi mengangguk.
Melalui semua sosial media milik Anggi, akhirnya video klarifikasi Nilna diunggah sebagai senjata untuk meredam. Berbagai pro dan kontra terus bermunculan. Ternyata, banyak yang tidak tahu video apa yang dimaksud Nilna karena yang tahu video tersebut hanya orang terdekat.
Sang penyebar video sengaja melakukan itu sebab hanya ingin memancing Nilna agar membongkar aib sendiri. Sementara Nilna dan Anggi mengira video benar-benar tersebar luas.
Beruntung Anggi juga berhasil membujuk dan meyakinkan pemilik kos yang hendak mengusir Nilna. Pemilik kos akhirnya percaya kalau Nilna korban.
“Gi*la itu orang yang sudah memfitnahmu. Kita terlalu gegabah, Na. Ternyata tidak banyak yang tahu video itu. Dan kemunculan videomu hanya membuat nitizen penasaran. Mereka jadi ingin tahu video apa yang kamu lakukan,” ujar Anggi.
“Apa? Astagfirullah. Lalu kita harus gimana?” Nilna kian kalut.
“Aku udah hapus semua video klarifikasinya. Semoga nggak ada yang nyimpen dan nggak ada yang nyebarin video panasmu itu lagi. Tapi kalau video panasmu malah tersebar, kamu harus buat video klarifikasi lagi. Ah, rumit sekali masalahmu, Na.”
“Aku takut, Nggi. Aku takut.”
“Husst. Kamu nggak sendiri. Ada aku.” Anggi merengkuh kepala Nilna yang tengah terisak-isak.
Anggi geram luar biasa kepada orang yang sudah menyebarkan video Nilna.
Karena kejadian itu, Nilna terbaring sakit hampir sebulan karena memikirkan masalah yang dialami. Kondisinya kian melemah. Fisik dan psikisnya lelah. Mentalnya benar-benar tumbang. Wanita itu berada di titik terendah dalam hidup. Ketakutan, rasa malu, dan rasa bersalah selalu menghantui.
Setiap hari, Nilna hanya menangis dan kadang menyakiti diri sendiri. Beruntung Anggi benar-benar sahabat sejati yang tidak pergi saat ia dirundung masalah seperti ini.
Nilna sudah tidak mau tahu dan tidak mau mendengar berita tentang dirinya lagi di luaran sana. Wanita itu juga tidak pernah keluar kamar. Menurutnya, mengurung diri adalah cara tepat. Semua akses ke media sosial juga ditutup rapat. Ponselnya tidak pernah dinyalakan.
“Kita ke rumah sakit, ya,” ajak Anggi yang sudah tidak tega melihat sang sahabat terbaring tidak berdaya.
“Nggak usah. Lebih baik aku ma*ti perlahan dengan cara seperti ini.”
“Ish. Kamu ini ngomong apa, hah? Menyerah sama saja mengaku kalah sama penja*hat itu. Dan aku yakin ini ulah Satria!” Anggi benar-benar marah.
“Jangan sebut nama dia lagi, Nggi. Aku nggak sanggup.”
Anggi hanya bisa mengembuskan napas panjang.
Dokter akhirnya didatangkan Anggi untuk memeriksa Nilna karena sang sahabat selalu menolak saat diajak ke rumah sakit. Beberapa obat diberikan, tetapi tidak jua membuat kondisi Nilna membaik.
Selama didera sakit, membuat tubuh Nilna kian kurus. Uang pesangon dan tabungan setidaknya masih cukup untuk menghidupi dirinya dan membayarkan uang kos-kosan Anggi. Ia tidak mau hanya menumpang hidup. Anggi tidak mengizinkan saat Nilna ingin mencari kos-kosan sendiri.
Anggi juga harus kuat mental saat menjadi tabrakan banyak orang yang bertanya tentang Nilna kepadanya; tentang video apa dan kenapa ada video klarifikasi. Ia terus menjawab sekenanya.
“Jangan terlalu peduli sama aku, Nggi. Biar aku ma*ti aja. Aku nggak kuat ngadepi semua ini. Biarin aku ma*ti,” ujar Nilna, saat Anggi merawatnya sepenuh hati. Selalu seperti itu.
“Jangan ngomong gitu. Di luar sana, kasus ini sudah agak reda. Aku mau membantumu mengusut siapa orang ja*hat itu.”
“Dulu aku memang ingin mengusut, tapi tidak. Bang Satria pasti tidak tinggal diam karena mungkin benar katamu kalau dia yang nyebarin. Aku punya kuasa apa lawan dia, Nggi? Lebih baik aku mengalah. Allah tidak tidur. Diam tidak berarti kalah. Tapi agar semua ini tidak melebar ke mana-mana. Aku capek.”
“Iya, tapi kapan pun kamu mau, semua ini bisa diusut ke pihak berwajib. Masalah itu untuk dihadapi, bukan dihindari. Berusaha dulu mendapatkan keadilan. Pasti nanti ada jalan. Semua orang juga tahu kalau kamu korban.”
“Enggak, Nggi. Itu sama saja aku makin membuka aib, mengorek luka lama.”
“Ya tapi biar pelakunya ketangkep.”
Semua usul Anggi hanya ditanggapi Nilna dengan menggeleng. Nilna benar-benar lelah. Setidaknya, sebulan hidup tanpa tahu dunia luar sudah sedikit membuatnya tenang.
**
Pada suatu malam, kondisi Nilna benar-benar drop. Beberapa hari ini, ia sering pusing dan mual. Obat pereda asam lambung sudah dikonsumsi, tetapi tidak berpengaruh apa-apa.
Keesokan harinya, Nilna terpaksa keluar kos-kosan untuk membeli testpack setelah Anggi berangkat kerja. Ia mengenakan masker agar tidak terlalu dikenali orang. Begitu dicek, hasilnya ....
“Mas!” panggil Zia. Ia mendatangi Faruq di ruang fitness pribadi yang ada di rumahnya. “A-pa, Sa-yang,” jawab Faruq sambil berolahraga angkat beban. “Aku mau kasih tahu sesuatu. Tapi udahi dulu olahraganya.” Faruq menatap sang istri sebentar, lalu menuruti apa yang dipinta. Dengan napas masih terengah-engah, Faruq duduk sambil mengelap peluh dengan handuk kecil. Zia menyerahkan amplop. “Apa ini? Tagihan?” Faruq membolak-baliknya. “Iya. Tagihan dalam jumlah gede pokoknya. Cepetan buka!” Faruq pun membuka amplop itu dan ternyata isinya tiga buah testpack berbeda merek bergaris dua. “Ka-kamu hamil?” Faruq tergagap. Zia mengangguk. “Hm’eh. Gimana ini? Aku takut.” Faruq terdiam. Harusnya ia yang takut, harusnya ia yang khawatir. Istrinya pun ternyata punya rasa yang sama. Jika ketakutannya juga ditunjukkan, pria itu takut sang istri tambah kepikiran. “Ssst! Jangan mikir macam-macam. Kita berdoa saja semoga semuanya selamat dan baik-baik saja. Mulai sekarang kalau Mas ada dinas k
“Katanya, Latifa hamil,” jawab Faruq sambil menunjukkan pesan teks dan gambar dari Mahardika. “Apa! Ini kabar luar biasa, Mas Sayang!” Zia terlonjak, memeluk suaminya erat. “Ya, dan katanya lagi, kemungkinan mulai bulan depan Mahardika akan dimutasi ke Surabaya. Itu artinya, Latifa juga akan dibawa ke sana. Alhamdulillah, semoga dengan semua ini kehidupan semuanya jauh lebih baik.” “Aamiin. Semoga setelah jauh dari Mas, obsesinya itu bisa mereda.” “Dan kamu nggak ada yang ngusik!” Faruq kembali menggotong istrinya menuju ranjang. ** “Zia sudah siap dirias, Mbak?” tanya Faruq kepada Farah yang baru masuk kamar. “Belum, dikit lagi. Jangan usik dia dulu. Nanti kalau selesai, pasti kamu Mbak panggil,” jawab Farah, lalu keluar lagi. Hari ini adalah walimatul ursy sekaligus resepsi pernikahan di Kilisuci Ballroom Hotel Grand Surya Kediri. Sementara Zia dirias, Faruq harus mengungsi di kamar kakaknya. Fariz tengah bermain di sampingnya. “Boy, kalau punya adek, kamu pengen cowok apa
“Ya, Mas jijik.” Zia mendorong kasar tubuh suaminya hingga pria itu mundur selangkah. “Pergilah. Aku ingin menyelesaikan mandi,” ujar Zia sambil berusaha menutupi tubuh depannya. Faruq kembali merapatkan diri dengan istrinya. Dicekalnya pinggang ramping itu. Tubuh keduanya kembali saling menempel. “Mas jijik dengan kelakuan mantan suamimu itu. Dia yang membuat tubuhmu jadi seperti ini.” Faruq menyapu bibir Zia dengan ganas. Ia juga menciumi semua bekas luka itu termasuk luka bekas operasi cesar, membuat Zia kembali terpejam sambil menggigit bibir menahan agar suara khas gejolak gairah terdengar. Tangannya refleks meremas rambut sang suami. “Bekasnya memang tidak bisa hilang, tapi Mas pastikan tidak akan ada lagi tambahan luka di tubuhmu. Mas sangat mencintaimu.” Faruq menatap Zia serius. Dengan tubuh masih berpakaian lengkap meski basah, Faruq kembali mendekap tubuh sang istri. “Ya sudah, lekaslah mandi. Jangan lama-lama. Mas mau ganti pakaian di ruang sebelah. Bajumu sudah pind
“Assalamualaikum. Ada apa, Ka?” Faruq mengangkat panggilan seraya masih menggandeng sang istri, membawanya duduk di bibir ranjang.Zia melepas cadar, lalu berkata lirih, “Loudspeaker, Mas.”Faruq mengangguk dan panggilan dilakukan dengan pengeras suara.“Latifa dirawat di rumah sakit, Mas. Dari tadi teriak nyebut nama Zia. Saya ingat-ingat, itu nama calon istri Mas bukan?”“Iya dan hari ini dia resmi jadi istri saya. Apa yang terjadi?”Zia mulai didera ketakutan.“Maaf kalau telepon saya mengganggu. Tapi saya ingin bertanya apa yang sudah dilakukan istri Mas ke Latifa sampai dia sekacau itu.”Spontan Faruq menatap Zia. Wanita itu merebut ponsel suaminya. “Maaf, Mas. Apa dia beneran bunuh diri? I-ini saya Zia yang bicara.”“Ya, dia mengamuk bahkan melukai dirinya sendiri. Apa yang sudah Mbak lakukan ke dia?”Zia menghela napas berat dan mengeluarkan pelan. “Baik, akan saya ceritakan apa yang terjadi.”Zia menceritakan semua yang terjadi tadi pagi saat Tuti menemuinya. Faruq yang juga b
“Mengancam bunuh diri?” Zia mengulang. Beruntung Tuti datang setelah ia memakai cadarnya. Ia masih duduk, enggan berdiri sebab gaun pengantinnya lumayan panjang. Salah berdiri takutnya malah menginjak baju dan bisa-bisa jatuh.“I-iya. Hanya kamu yang bisa menghentikannya.” Tuti terlihat sangat khawatir. Ia sempat mengunci pintu kamar agar tidak ada orang yang masuk.“Bu, mohon maaf sebelumnya. Bukankah Latifa sudah punya suami? Harusnya Ibu mencari suaminya, bukan saya.”“Tapi ini ada urusannya sama kamu. Bukan sama suaminya.”“Tapi dia masih menggertak, ‘kan? Belum bunuh diri sungguhan?”Tuti menggeleng. “Tolong. Bilang sama Faruq agar membatalkan pernikahan ini. Demi Latifa.”Sikap Tuti berbanding terbalik dengan saat dulu pernah melabrak Zia saat di rumah sakit. Keangkuhan dan kesombongannya seolah-olah runtuh berganti tampang permohonan.“Kenapa harus saya, Bu? Bukannya Ibu bisa bicara sendiri ke Mas Faruq?”Tuti menggeleng. “Kalau saya yang meminta, dia tidak akan mau. Kalau kamu
Zia bangkit. Ia berjalan cepat meninggalkan Faruq dan Fariz yang masih ada di samping peristirahatan terakhir Rizkia. “Yang, tunggu!” Faruq mengejar sampai ia tiba di samping sang istri. Dicekalnya pergelangan tangan Zia dengan tangan kiri sementara yang kanan menggendong Fariz. “Bukan gitu maksud Mas. Mas hanya trauma. Mas nggak mau kehilangan kamu! Apalagi kamu bilang kayak gitu barusan. Untuk itu cukup Fariz saja yang jadi anak kita. Sungguh, Mas sanggup lagi jika harus kehilangan istri lagi.” “Memang tadi Mas tahu aku mau ngomong apa? Main motong gitu aja.” “Tahu. Pengen mati syahid kayak Rizkia, 'kan? Mas jadi mikir mungkin lebih baik anak kita cukup Fariz saja. Sudahlah, ayo pulang. Kita bicara lagi kalau sudah di rumah.” Zia terdiam. Sepertinya Faruq menyembunyikan banyak hal. Ia harus mengorek lebih jauh jika nanti tiba di rumah. Sepanjang perjalanan pulang, hanya didominasi suara cerewet Fariz. Sementara Zia menolak membahas hal apa pun dan meminta suaminya fokus menyeti
“Assalamualaikum.” Zia mengucapkan salam, lalu langsung menuju ke samping ranjang suaminya. Faruq terpejam, terlihat sedang tidur.“Bu Latifa apa kabar?” tanya Zia sopan. Mati-matian ia menahan diri agar tidak marah melihat keberadaan Latifa di sana.Latifa melengos tanpa berniat menjawab.Zia mengambil tangan kanan suaminya pelan karena terpasang jarum infus, lalu menciumnya takzim.Latifa menyeret tangan Zia keluar ruang inap setelah Zia melepaskan tangannya dari Faruq.“Berani-beraninya kamu kembali menampakkan diri,” ucap Latifa dengan napas memburu.“Kamu sekarang istri dr. Faruq Dahlan, Sp. A. Hempaskan rasa minder, bangun kepercayaan dirimu setinggi-tingginya. Kamu punya hak atas Mas. Kasih perhitungan sama Latifa biar dia menjauh dari kehidupan kita karena penolakan Mas sudah tidak mempan.” Perkataan Faruq kembali terngiang di benak Zia. Suaminya benar. Ia sekarang punya kuasa penuh atas Faruq, termasuk menjaganya dari bibit pelakor seperti Latifa.“Memangnya ada yang salah?”
“Bu-bu Latifa?” Zia hendak melepaskan diri dari pelukan suaminya, tetapi pelukan itu justru makin erat.“Jangan salah paham. Saya bisa menjelaskan. Manggilnya aku kamu aja kali, ya, mulai sekarang? Biar kesannya nggak formal dan kaku banget. Gimana?” tanya Faruq. Zia masih diam.“Ngambek? Cemburu? Alhamdulillah kalau istri saya, eh, istri Mas cemburu.” Faruq tertawa, lalu menggelitiki istrinya.Ada rasa tak biasa dirasakan Zia saat Faruq menyebut dirinya dengan sebutan mas. Ah, pria itu memang pandai membuatnya jungkir balik.“Lepas! Nggak lucu.” Zia berusaha melepaskan diri, tetapi tidak berhasil.“Dengerin Mas sini, jangan ngambeknya yang diduluin. Jadi, Latifa itu sudah menikah dengan dokter umum yang dinasnya di Puskesmas Grogol. Dia menikah karena dijodohkan orang tuanya pasca Mas menolak keinginan mertua turun ranjang. Mungkin Latifa menikah karena terpaksa, melihat bagaimana dulu dia ngebet banget dinikahi Mas. Entah apa yang terjadi dengan rumah tangganya, sebulan lalu dia dat
“Yang, ditanya, kok, diem?” Faruq terpejam. Sementara hidungnya sibuk menghidu aroma harum tubuh sang istri. “Eh, i-itu. Sa-at saya di rumah sakit kemarin, di-dia terpaksa lepas sama saya, nggak mau ASI lagi,” jawab Zia terputus-putus. Faruq terkekeh. “Grogi, ya, diginiin?” Bukannya melepaskan pelukan, tangan pria itu justru bergerilya nakal. “Mulai sekarang, kamu harus membiasakan diri dengan stimulasi kayak gini. Nggak usah grogi, dibuat santai saja. Saya nggak bakal nerkam kamu. Mungkin hanya menghamilimu.” “Pak!” Faruq tertawa. “Saat bertemu pertama kali di kontrakanmu kemarin, kalau saya tidak punya iman kuat, saya hampir saja kalap ingin memelukmu.” Faruq kembali berbisik. “Pak, geli. Ta-tangannya tolong dikondisikan,” ucap Zia sambil menangkap jari telunjuk suaminya. Faruq tertawa. “Sumpah saya itu gemes banget sama kamu. Fariz udah tidur lagi?” “Sudah kayaknya.” “Ya sudah, ayo kita sholat Isya’ dulu.” Faruq melepaskan pelukan, lalu meletakkan kepalanya di atas pipi Z