Share

Bab 5. Menjenguk Maya

“Luar biasa kalian. Kalau mau me*sum, minimal sewa hotel, jangan di rumah sakit! Nggak malu kalau tiba-tiba ada perawat masuk!” Nilna kembali berteriak.

Mati-matian Nilna tetap menguatkan diri untuk masuk ke kamar Maya. Ia berusaha mengabaikan dua manusia yang mungkin saat ini sedang kehilangan kewarasan. Mereka menunggu orang sakit, tetapi justru tertawa dan ber*cumbu mesra dengan Rosa ada di pangkuan Satria.

Saat melihat kedatangan Nilna, Satria menoleh dan melepaskan diri dari Rosa. Nilna tidak peduli meski tahu Satria menatapnya tajam. Ia berjalan menuju samping ranjang Maya, lalu mengelus tangan wanita paruh baya yang tengah terlelap itu lembut. Diletakkannya makanan yang dibawa ke nakas samping Maya terbaring.

“Bilang aja kalau kamu cemburu?” Rosa berjalan menghampiri Nilna.

Nilna hanya menoleh sambil tersenyum.

“Aku bahkan sudah khatam melihat kemesraan kalian. Dan hatiku mungkin sudah mati rasa saat melihat kalian kayak gitu.”

“Oh, kasihan sekali. Istri, tapi tidak pernah disentuh oleh suaminya. Suaminya bahkan merasa nyaman dengan wanita lain. Ckckck!” Rosa melipat kedua tangannya di dada.

“Oh, kasihan juga dirimu dan pacarmu itu. Belum halal, tapi dengan bangga memamerkan dosa.”

“Ya, setidaknya saya bangga dicintai seorang pria yang juga mencintai saya. Sementara kamu? Hanya label doang sebagai istri. Tapi kenyataannya lebih tidak berguna dari sampah! Disentuh pun tak pernah”

“Rosa kamu–”

“Nilna cukup! Kalau kamu datang hanya ingin membuat rusuh, pergi dari sini!” Satria ambil suara. Telinganya sudah cukup panas mendengar pertengkaran istri dan pacarnya. Ia bangkit dari kursi.

“Aku ke sini mau jenguk Ibu. Tapi pacarmu yang memancing masalah!”

“Kamu yang memancing masalah! Datang-datang menyindir orang!” Rosa tidak mau kalah.

“Kamu berasa tersindir? Padahal saya baik, loh. Hanya mengingatkan.”

“Cukup kalian!” Satria kembali berteriak.

Nilna mengembuskan napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. Ia kembali menghadap ibu mertuanya yang berbaring. Wanita itu menyejajarkan bibirnya dengan telinga Maya.

“Bu, maafkan aku. Tapi demi Allah aku tidak melakukan apa yang sudah dituduhkan kepadaku. Kalaupun ada yang menyentuhku, itu di luar kuasaku. Bu, aku sayang Ibu. Lekaslah pulih dan sehat lagi,” bisik Nilna.

Tepat saat kalimat terakhir terucap, Satria menarik tubuh Nilna hingga terhuyung. Wanita itu terpejam sebentar untuk meredam sakit hati.

“Di mana urat malumu hingga masih berani datang ke sini menjenguk ibuku? Ibuku seperti ini gara-gara kamu dan kamu masih berani menjenguknya? Mungkin benar, urat malumu sudah putus!” tekan Satria. Ia mencekal kedua pergelangan tangan Nilna dan menguncinya di belakang tubuh wanita itu. Sementara ia berada di belakang Nilna. Diseretnya tubuh Nilna menjauh dari Maya.

“Aku datang karena ngerasa nggak salah. Terlepas kemarin ada pria yang menyentuhku atau tidak, itu tidak terlalu penting karena aku nggak sadar. Sudah berapa kali aku bilang aku nggak sadar! Yang penting, selama ini, selama nikah sama Abang aku selalu berusaha menjaga diri. Tidak seperti Abang yang dengan bangganya mempertontonkan dosa, selingkuh, bahkan di hadapanku,” balas Nilna berani.

Tekanan Satria di tangan Nilna kian kuat. Nilna mendesis karena menahan sakit.

Satria mendekatkan wajahnya dengan wajah Nilna dari belakang. Sangat dekat hingga terpaan napas pria itu terasa di pipi Nilna.

“Berani kamu sekarang?”

“Ya, dulu aku selalu diam karena aku istrimu. Sekarang, kita tidak ada hubungan apa-apa. Tidak ada kewajiban untukku menghormatimu. Aku lelah kamu zalimi terus, Bang.”

Rosa hanya menonton drama gratis itu sambil tersenyum sinis. Ia kembali duduk di kursi sambil menyilangkan kaki.

“Boleh juga ternyata nyalimu. Awas, kamu, Nilna. Ada hukuman berat karena ulahmu itu.”

“Oh, ya? Lalu apa yang Abang mau? Laporin aku polisi karena tuduhan zi*na atau penyebab sakitnya Ibu? Silakan. Aku nggak takut. Aku tunggu. Toh, biar terungkap sekalian siapa pria yang sudah berbuat ke*ji itu kepadaku tanpa aku perlu repot-repot bertindak. Polisi nggak bo*doh, Bang. Mereka pasti tahu aku korban karena aku yakin nggak melakukan adegan apa-apa.”

“Yakin banget kamu. Bisa jadi kamu mabuk dan nggak sadar apa yang kamu lakuin. Mungkin kamu berlagak seperti aktris sinetron panas yang menggoda pria. Mungkin saja, 'kan?”

Nilna hanya diam.

“Nggak bisa jawab, kan, kamu?”

“Tidak mungkin. Kalau aku mabuk, setidaknya aku ingat meski samar. Asal Abang tahu satu hal. Saat semua terungkap, aku pastikan Abang akan menyesal telah memfitnahku. Dan jika Abang berani membeberkan semua kemalanganku ke publik, itu sama artinya dengan mengumbar aib Abang sendiri.”

“Apa maksudmu?”

“Kalau sampai itu terjadi, aku akan bilang kalau aku tidak pernah dapat nafkah lahir batin dari Abang. Biar Abang yang ganti dihujat karena nggak be*cus jadi suami. Bukankah namaku sudah buruk? Lebih baik buruk sekalian, ‘kan?”

Satria hanya tersenyum miring. “Tunggu saja, apa yang bisa aku lakukan. Kamu justru akan mendapat sanksi sosial sangat berat. Sekarang, pergilah dari sini!”

Satria lalu melepaskan cekalan di tangan Nilna kasar. Saat sudah terbebas, bukannya pergi sesuai titah Satria, Nilna justru kembali menghampiri Maya dan mengecup kening mertuanya itu.

“Bu, aku pamit dulu. Kalau masih ada kesempatan, aku akan datang lagi mengunjungi Ibu. Maafkan salahku selama ini. Terima kasih karena selalu menjadi ibu mertua yang sangat baik untukku. Aku sayang Ibu." Usai mengatakan itu, Nilna baru bergegas keluar dari ruang inap Maya sambil menyeka air matanya.

Maya, sosok mertua super sabar. Berbanding terbalik dengan putranya yang kasar.

Sebelum keluar sempurna, Nilna berhenti dan berbalik. Ia menatap Rosa dan Satria bergantian.

“Setidaknya, dengan adanya kasus ini, aku bisa bebas dari pernikahan toksik. Selamat tinggal, Bang. Aku tunggu surat pisah darimu. Aku sudah nggak sabar menjadi janda.” Usai mengatakan itu, barulah Nilna keluar.

Sepanjang perjalanan menuju lobi, air mata Nilna terus berderai. Meski perkataannya diucapkan secara tegas, tidak bisa dipungkiri hatinya tetap sakit.

Siapa yang ingin bergelar janda? Rasanya semua wanita tidak ada yang mau. Hanya saja, semua ini mungkin sudah jalan yang harus dilalui meski berkelok-kelok.

Allah memang membenci perceraian, tetapi apa boleh buat? Daripada bertahan dengan pernikahan yang hanya akan menyakiti.

Tiba di lobi, Nilna berpapasan dengan Samira.

“Dek, bisa bicara sebentar?” tanya Nilna setelah mendekat. Samira memasang wajah kesal. Adik ipar Nilna itu masih sangat muak dengan tindakan Nilna.

“Buat apa lagi, Kak? Kakak itu menjijikkan.”

“Buat memastikan satu hal. Kakak hanya ingin tanya, malam waktu kejadian itu, apa Bang Satria ada di acara pernikahan keluarga? Maksud Kakak, apa dia benar-benar ada di sana?” tanya Nilna.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status