Share

Bab 2

Seorang laki laki memakai kemeja berwarna biru berdiri menatap nyalang padaku, bau pekat alkohol tercium dari tubuh dan mulutnya, aku mundur beberapa langkah, tak lama ia bertanya sambil membalikkan badan lalu mengunci pintunya.

"Siapa kau, cantik?" Sapanya dengan seringai tipis di wajahnya.

***

Aku menutup hidungku karena bau alkohol itu semakin tercium saat ia berbicara. Sesaat aku terdiam, tak bisa bicara. Hingga laki laki itu mengulang kembali pertanyaannya.

"Maaf, anda siapa?" Tanyaku, dalam hati aku terus bertanya mungkinkah laki laki ini suami Bu Soraya?

"Ini rumah kakakku. Kau siapa, bisa berada didalam rumah kakakku?" Tanyanya dengan nada suara berat.

"A-aku guru privat nya Allysa," jawabku gemetar.

"Gurunya Allysa. Oh ya sudah, dimana Mbak Soraya?" Matanya terus mendelik padaku, membuatku tak nyaman.

"B-bu Soraya, belum pulang, a-aku juga sedang menunggunya," jawabku terbata.

"Begitu ya." Mata itu menatapku nyalang, seringai tipis mengerikan nampak di wajahnya, aku mulai takut.

Dengan berjalan sempoyongan, laki laki itu menaiki anak tangga. Baru sampai pada anak tangga yang keempat tubuhnya ambruk. Karena kasihan, aku langsung menghampirinya, berniat untuk membantunya berdiri.

"Kau tidak apa apa, mas?" Tanyaku.

Ia tidak menjawabku, hanya terkekeh, tak lama wajah itu berubah. Tanpa banyak bicara lagi ia lalu menarikku kasar, lalu mencengkram erat lenganku, membawaku masuk ke dalam ke sebuah kamar.

"M-mau apa kau?" Hardikku gemetar.

"Kau mau menemaniku kan?" Ia kembali terkekeh. Tak lama ia menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur.

Merasa tidak nyaman akan situasi ini, aku pun bangkit dan setengah berlari kearah pintu. Sayang, lengan itu kembali mencengkram ku. Aku kembali dihempaskan kasar ke atas tempat tidur ini.

"Tolong, biarkan saya keluar, pak!" Pintaku memelas menahan tangis.

"Tidak, malam ini saja, tolong temani aku," bentaknya kasar.

"Tolong, jangan sakiti saya, saya akan diam. Tolong biarkan saya keluar," aku terduduk dihadapannya sambil menangis, tanpa kusadari jika kakiku mulai melangkah mundur hingga akhirnya bersandar di dinding.

Aku masih memohon, Namun, ia tak menggubrisnya dan dengan tangan kekarnya ia mengunci kedua tanganku, lalu melemparkan tubuhku ke ranjang, merampas bibirku dengan paksa, kemudian melucuti satu persatu pakaianku. (Skip)

***

Aku menangis di sudut ruangan kamar ini, laki laki itu, masih berada diatas ranjang, setelah puas melepas hasratnya padaku. Berbalut selimut, aku memungut kembali pakaian yang tadi terlucuti paksa dariku lalu memakainya. Bercak noda darah, tanda luka keperawananku, masih sangat jelas terlihat di atas seprei ranjang itu, menandakan betapa kuatnya laki laki itu merampasnya dariku.

Rasa nya ingin kupukul dan kubunuh laki laki lakn*t itu, sampai tewas. Namun, aku terlalu takut. Bayangan wajah bapak melintas di pikiranku, bagaimana dengan bapak jika aku dipenjara setelah membunuhnya?

Tidak. Aku tak mau itu terjadi.

Ponselku jadulku berdering, aku masih diam terisak, hanya bisa meratapi apa yang baru saja menimpaku, terdengar dari luar suara Bu Soraya memanggil namaku, sontak membuatku bertambah gugup dan takut.

"Zia ... apa kau ada didalam?"

Aku membisu tak menjawabnya, hingga panggilan ketiga, akhirnya aku mengumpulkan sedikit keberanian, melangkah perlahan menuju pintu dan membuka pintunya.

Aku menangis di hadapan Bu Soraya begitu pintu ini terbuka, mata Bu Soraya menatapku bingung dan penuh tanya, tak lama aku melebarkan pintunya hingga terlihat laki laki yang setengah telanjang itu masih tertidur pulas di atas ranjang.

"Zia, kau ... " Dengan bibir bergetar, Bu Soraya menatapku penuh arti, aku hanya bisa mengangguk lemah.

Dengan penuh kemarahan, Bu Soraya, menuju ketempat laki laki itu berada, matanya langsung melihat noda bercak darah yang masih belum mengering di seprei, sesaat ia memandang noda itu dan berbalik badan memandangku.

"Zia ...." Sebutnya.

"Bu, aku mau pulang!"

Tanpa menunggu jawaban dari Bu Soraya, aku mengambil tasku dan berlari menuju pintu keluar. Aku masih mendengar suara Bu Soraya yang memanggil namaku. Hatiku perih dan sakit, begitu juga ragaku. Yang kuinginkan saat ini hanyalah pulang.

Hujan masih mengguyur, meski tidak sederas tadi ketika langkahku keluar dari rumah Bu Soraya. Aku terus saja berlari menghiraukan hujan, hingga akhirnya merasa lelah dan duduk di sebuah halte bis yang kosong.

"Tuhan, apa salahku?" Jeritku tertahan.

Aku menutup wajahku, bagaimana jika bapak tahu, apa yang akan terjadi padanya, lalu bagaimana nasibku? Apakah ada laki laki yang akan menerimaku dan bersedia menikahiku kelak?

Aku lemas, lututku gemetar, lelah mataku menangis, entah sudah berapa lama aku duduk diam disini, hingga tak menyadari jika sebuah mobil kini berhenti dihadapanku.

"Zia ... ayo cepat masuk kedalam!" Suara seseorang terdengar disusul dengan kaca jendela mobil yang dibuka.

"Bu Soraya," ucapku pelan. Mataku menyipit memastikan jika ia sendiri di dalam mobil.

Aku tak menyangka jika ia menyusulku hingga kemari, beberapa kali ia berteriak memintaku masuk kedalam mobilnya, meski ragu akhirnya akupun menerima ajakannya.

"Akan kuantar kau pulang, Zia!" Ujarnya begitu aku sudah duduk di jok mobilnya.

Ia mulai memutar kemudi mobilnya, aku masih diam, airmata bahkan tak lagi keluar.

"Maafkan adikku, aku tak mengerti mengapa ia minum alkohol dan bertindak kurang ajar seperti itu padamu, sungguh Zia, aku benar benar menyesali apa yang terjadi padamu. Andai saja aku tidak memintamu menunggu Allysa, tentu kau tidak akan mengalami hal buruk seperti ini," ucapnya dengan suara parau.

Mobil ini menyusuri jalanan ditengah gerimis yang masih mengguyur, aku lebih banyak diam, menatap nanar kedepan. Sepanjang perjalanan Bu Soraya berkali kali berucap kata maaf atas apa yang terjadi padaku.

"Akan kupastikan ia menemuimu, dan minta maaf padamu. Aku tidak akan membelanya, kau bisa melaporkan dan menghukumnya jika kau mau. Karena ia pantas menerimanya." Mobil pun berhenti, aku menoleh, tanpa terasa air mata ku kembali menetes. Saat melihat wajah bapak yang cemas karena menungguku pulang.

"Bapak," ucapku lirih.

"Bu, tolong jangan katakan apapun pada bapak, ia tak akan kuat mendengarnya. Aku mohon, jangan sampai bapak tahu," pintaku memelas padanya.

"Aku mengerti, Zia, dan ini ambillah, anggap saja ini gajimu bulan ini." Sebuah amplop coklat di berikannya padaku. Aku diam karena bingung. Disatu sisi sebenarnya aku tak ingin menerimanya, tapi mengingat uang didompet hanya tinggal satu lembaran hijau saja, membuat tanganku akhirnya mengengamnya.

"Istirahatlah, Zia."

Aku masuk kedalam dengan perasaan yang tak menentu, bapak langsung tersenyum padaku, dan mengunci pintunya.

Sepiring tumis buah pepaya muda dan tempe goreng, yang kumasak tadi pagi sebelum berangkat kerumah Bu Soraya masih tersisa banyak diatas meja. Aku menatap bapak yang mengerti akan sikapku.

"Bapak menungguku lagi, sudah kubilang bapak makan saja duluan," lirihku menunduk, tak berani menatap wajah bapak.

"Tidak nak, bapak khawatir. Bapak tak bisa makan jika belum melihatmu pulang."

"Bajumu basah, ayo mandilah dulu, nanti kita akan makan bersama," ucap bapak dengan senyum teduhnya yang mengiris hatiku.

Perih.

Luka yang ditorehkan lelaki tadi akan terus menganga dihati seumur hidupku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Semoga saja aku bisa segera melupakan semua ini.

Aku membasuh seluruh tubuhku, entah kenapa, meski sudah berkali kali kusabun dan kusiram, namun aku masih tetap merasa kotor, bau alkohol itu, bahkan masih samar tercium di bajuku.

"Zia, jangan terlalu lama nak dikamar mandi, sudah malam. Nanti kau bisa masuk angin," pekik bapak.

Aku membilas tubuhku kembali sebelum akhirnya mengelapnya dengan handuk kering. Dengan rambut yang masih basah, aku duduk menemani bapak untuk makan malam bersama. Aku tak ingin bapak curiga Jika aku bersikap tak seperti biasanya.

****

Sudah hampir sebulan sejak malam terkutuk itu terjadi. Tiga hari aku tidak keluar dari dalam kamar. Membuat bapak sangat mencemaskanku.

Ditiap sujud aku selalu berdoa, memohon kepada tuhan, agar benih laki laki itu tidak menyatu didalam rahimku, diam diam aku selalu membeli test pack, untuk mengetahui kondisi rahimku.

Sejak hari itu, aku memutuskan berhenti mengajar Allysa. Dan sudah dua Minggu terakhir aku kembali mendorong gerobak, menjajakan daganganku kembali. Kadang jika teringat malam terkutuk itu, rasanya membuatku ingin mati saja, hanya karena masih takut akan dosa. Membuat niat itu tak terlaksana.

"Neng Zia, cepat pulang neng, Pak Rahman, bapaknya Neng Zia, pingsan." Ucap seorang tetangga yang datang tergopoh-gopoh mencariku.

Aku yang sedang melayani pembeli langsung mempercepat menggoreng pesanan. Beberapa saat kemudian, ku dorong gerobak kembali kerumah. Beberapa hari terakhir ini bapak memang demam, dan tak mau diajak berobat ke dokter, ia selalu beralasan jika itu hanya demam biasa, dan akan pulih sendiri.

Bapak.

Karena kalut dan cemas dengan kabar yang kuterima, aku mengabaikan semua calon pembeli, dari kejauhan aku melihat beberapa orang berdiri didepan rumahku, segera kupercepat langkahku menuju kerumah.

Wajah bapak mulai pucat, nafasnya kini terdengar satu satu. Aku duduk menghampiri bapak, memegang tangannya.

"Bapak ...."

"Zia, dengarkan bapak, nak. Didalam lemari bapak ada kotak kayu, bukalah, disana ada sebuah surat, dan cincin akik merah. Ambil dan cari Pak Lukman, katakan padanya bapak menagih hutang dan janjinya."

"Bapak," isakku.

"Zia, maafkan bapak nak ...." Mata bapak pelan pelan mulai menutup. Nafasnya kini mulai sulit.

Pak Yahya, seorang tetanggaku, yang dituakan memandu bapak mengucap syahadat. Aku menangis ketika akhirnya nyawa pria yang sangat kusayangi itu akhirnya lepas dengan mudahnya meninggalkan segores senyum diwajahnya.

"Innalilahi w* innailaihi roji'un"

"Maaf, nak Zia, Pak Rahman sudah berpulang, ikhlaskan bapakmu," ucap Pak Yahya.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status