Share

Bab 2

Penulis: Rira Faradina
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-26 12:08:53

Seorang laki laki memakai kemeja berwarna biru berdiri menatap nyalang padaku, bau pekat alkohol tercium dari tubuh dan mulutnya, aku mundur beberapa langkah, tak lama ia bertanya sambil membalikkan badan lalu mengunci pintunya.

"Siapa kau, cantik?" Sapanya dengan seringai tipis di wajahnya.

***

Aku menutup hidungku karena bau alkohol itu semakin tercium saat ia berbicara. Sesaat aku terdiam, tak bisa bicara. Hingga laki laki itu mengulang kembali pertanyaannya.

"Maaf, anda siapa?" Tanyaku, dalam hati aku terus bertanya mungkinkah laki laki ini suami Bu Soraya?

"Ini rumah kakakku. Kau siapa, bisa berada didalam rumah kakakku?" Tanyanya dengan nada suara berat.

"A-aku guru privat nya Allysa," jawabku gemetar.

"Gurunya Allysa. Oh ya sudah, dimana Mbak Soraya?" Matanya terus mendelik padaku, membuatku tak nyaman.

"B-bu Soraya, belum pulang, a-aku juga sedang menunggunya," jawabku terbata.

"Begitu ya." Mata itu menatapku nyalang, seringai tipis mengerikan nampak di wajahnya, aku mulai takut.

Dengan berjalan sempoyongan, laki laki itu menaiki anak tangga. Baru sampai pada anak tangga yang keempat tubuhnya ambruk. Karena kasihan, aku langsung menghampirinya, berniat untuk membantunya berdiri.

"Kau tidak apa apa, mas?" Tanyaku.

Ia tidak menjawabku, hanya terkekeh, tak lama wajah itu berubah. Tanpa banyak bicara lagi ia lalu menarikku kasar, lalu mencengkram erat lenganku, membawaku masuk ke dalam ke sebuah kamar.

"M-mau apa kau?" Hardikku gemetar.

"Kau mau menemaniku kan?" Ia kembali terkekeh. Tak lama ia menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur.

Merasa tidak nyaman akan situasi ini, aku pun bangkit dan setengah berlari kearah pintu. Sayang, lengan itu kembali mencengkram ku. Aku kembali dihempaskan kasar ke atas tempat tidur ini.

"Tolong, biarkan saya keluar, pak!" Pintaku memelas menahan tangis.

"Tidak, malam ini saja, tolong temani aku," bentaknya kasar.

"Tolong, jangan sakiti saya, saya akan diam. Tolong biarkan saya keluar," aku terduduk dihadapannya sambil menangis, tanpa kusadari jika kakiku mulai melangkah mundur hingga akhirnya bersandar di dinding.

Aku masih memohon, Namun, ia tak menggubrisnya dan dengan tangan kekarnya ia mengunci kedua tanganku, lalu melemparkan tubuhku ke ranjang, merampas bibirku dengan paksa, kemudian melucuti satu persatu pakaianku. (Skip)

***

Aku menangis di sudut ruangan kamar ini, laki laki itu, masih berada diatas ranjang, setelah puas melepas hasratnya padaku. Berbalut selimut, aku memungut kembali pakaian yang tadi terlucuti paksa dariku lalu memakainya. Bercak noda darah, tanda luka keperawananku, masih sangat jelas terlihat di atas seprei ranjang itu, menandakan betapa kuatnya laki laki itu merampasnya dariku.

Rasa nya ingin kupukul dan kubunuh laki laki lakn*t itu, sampai tewas. Namun, aku terlalu takut. Bayangan wajah bapak melintas di pikiranku, bagaimana dengan bapak jika aku dipenjara setelah membunuhnya?

Tidak. Aku tak mau itu terjadi.

Ponselku jadulku berdering, aku masih diam terisak, hanya bisa meratapi apa yang baru saja menimpaku, terdengar dari luar suara Bu Soraya memanggil namaku, sontak membuatku bertambah gugup dan takut.

"Zia ... apa kau ada didalam?"

Aku membisu tak menjawabnya, hingga panggilan ketiga, akhirnya aku mengumpulkan sedikit keberanian, melangkah perlahan menuju pintu dan membuka pintunya.

Aku menangis di hadapan Bu Soraya begitu pintu ini terbuka, mata Bu Soraya menatapku bingung dan penuh tanya, tak lama aku melebarkan pintunya hingga terlihat laki laki yang setengah telanjang itu masih tertidur pulas di atas ranjang.

"Zia, kau ... " Dengan bibir bergetar, Bu Soraya menatapku penuh arti, aku hanya bisa mengangguk lemah.

Dengan penuh kemarahan, Bu Soraya, menuju ketempat laki laki itu berada, matanya langsung melihat noda bercak darah yang masih belum mengering di seprei, sesaat ia memandang noda itu dan berbalik badan memandangku.

"Zia ...." Sebutnya.

"Bu, aku mau pulang!"

Tanpa menunggu jawaban dari Bu Soraya, aku mengambil tasku dan berlari menuju pintu keluar. Aku masih mendengar suara Bu Soraya yang memanggil namaku. Hatiku perih dan sakit, begitu juga ragaku. Yang kuinginkan saat ini hanyalah pulang.

Hujan masih mengguyur, meski tidak sederas tadi ketika langkahku keluar dari rumah Bu Soraya. Aku terus saja berlari menghiraukan hujan, hingga akhirnya merasa lelah dan duduk di sebuah halte bis yang kosong.

"Tuhan, apa salahku?" Jeritku tertahan.

Aku menutup wajahku, bagaimana jika bapak tahu, apa yang akan terjadi padanya, lalu bagaimana nasibku? Apakah ada laki laki yang akan menerimaku dan bersedia menikahiku kelak?

Aku lemas, lututku gemetar, lelah mataku menangis, entah sudah berapa lama aku duduk diam disini, hingga tak menyadari jika sebuah mobil kini berhenti dihadapanku.

"Zia ... ayo cepat masuk kedalam!" Suara seseorang terdengar disusul dengan kaca jendela mobil yang dibuka.

"Bu Soraya," ucapku pelan. Mataku menyipit memastikan jika ia sendiri di dalam mobil.

Aku tak menyangka jika ia menyusulku hingga kemari, beberapa kali ia berteriak memintaku masuk kedalam mobilnya, meski ragu akhirnya akupun menerima ajakannya.

"Akan kuantar kau pulang, Zia!" Ujarnya begitu aku sudah duduk di jok mobilnya.

Ia mulai memutar kemudi mobilnya, aku masih diam, airmata bahkan tak lagi keluar.

"Maafkan adikku, aku tak mengerti mengapa ia minum alkohol dan bertindak kurang ajar seperti itu padamu, sungguh Zia, aku benar benar menyesali apa yang terjadi padamu. Andai saja aku tidak memintamu menunggu Allysa, tentu kau tidak akan mengalami hal buruk seperti ini," ucapnya dengan suara parau.

Mobil ini menyusuri jalanan ditengah gerimis yang masih mengguyur, aku lebih banyak diam, menatap nanar kedepan. Sepanjang perjalanan Bu Soraya berkali kali berucap kata maaf atas apa yang terjadi padaku.

"Akan kupastikan ia menemuimu, dan minta maaf padamu. Aku tidak akan membelanya, kau bisa melaporkan dan menghukumnya jika kau mau. Karena ia pantas menerimanya." Mobil pun berhenti, aku menoleh, tanpa terasa air mata ku kembali menetes. Saat melihat wajah bapak yang cemas karena menungguku pulang.

"Bapak," ucapku lirih.

"Bu, tolong jangan katakan apapun pada bapak, ia tak akan kuat mendengarnya. Aku mohon, jangan sampai bapak tahu," pintaku memelas padanya.

"Aku mengerti, Zia, dan ini ambillah, anggap saja ini gajimu bulan ini." Sebuah amplop coklat di berikannya padaku. Aku diam karena bingung. Disatu sisi sebenarnya aku tak ingin menerimanya, tapi mengingat uang didompet hanya tinggal satu lembaran hijau saja, membuat tanganku akhirnya mengengamnya.

"Istirahatlah, Zia."

Aku masuk kedalam dengan perasaan yang tak menentu, bapak langsung tersenyum padaku, dan mengunci pintunya.

Sepiring tumis buah pepaya muda dan tempe goreng, yang kumasak tadi pagi sebelum berangkat kerumah Bu Soraya masih tersisa banyak diatas meja. Aku menatap bapak yang mengerti akan sikapku.

"Bapak menungguku lagi, sudah kubilang bapak makan saja duluan," lirihku menunduk, tak berani menatap wajah bapak.

"Tidak nak, bapak khawatir. Bapak tak bisa makan jika belum melihatmu pulang."

"Bajumu basah, ayo mandilah dulu, nanti kita akan makan bersama," ucap bapak dengan senyum teduhnya yang mengiris hatiku.

Perih.

Luka yang ditorehkan lelaki tadi akan terus menganga dihati seumur hidupku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Semoga saja aku bisa segera melupakan semua ini.

Aku membasuh seluruh tubuhku, entah kenapa, meski sudah berkali kali kusabun dan kusiram, namun aku masih tetap merasa kotor, bau alkohol itu, bahkan masih samar tercium di bajuku.

"Zia, jangan terlalu lama nak dikamar mandi, sudah malam. Nanti kau bisa masuk angin," pekik bapak.

Aku membilas tubuhku kembali sebelum akhirnya mengelapnya dengan handuk kering. Dengan rambut yang masih basah, aku duduk menemani bapak untuk makan malam bersama. Aku tak ingin bapak curiga Jika aku bersikap tak seperti biasanya.

****

Sudah hampir sebulan sejak malam terkutuk itu terjadi. Tiga hari aku tidak keluar dari dalam kamar. Membuat bapak sangat mencemaskanku.

Ditiap sujud aku selalu berdoa, memohon kepada tuhan, agar benih laki laki itu tidak menyatu didalam rahimku, diam diam aku selalu membeli test pack, untuk mengetahui kondisi rahimku.

Sejak hari itu, aku memutuskan berhenti mengajar Allysa. Dan sudah dua Minggu terakhir aku kembali mendorong gerobak, menjajakan daganganku kembali. Kadang jika teringat malam terkutuk itu, rasanya membuatku ingin mati saja, hanya karena masih takut akan dosa. Membuat niat itu tak terlaksana.

"Neng Zia, cepat pulang neng, Pak Rahman, bapaknya Neng Zia, pingsan." Ucap seorang tetangga yang datang tergopoh-gopoh mencariku.

Aku yang sedang melayani pembeli langsung mempercepat menggoreng pesanan. Beberapa saat kemudian, ku dorong gerobak kembali kerumah. Beberapa hari terakhir ini bapak memang demam, dan tak mau diajak berobat ke dokter, ia selalu beralasan jika itu hanya demam biasa, dan akan pulih sendiri.

Bapak.

Karena kalut dan cemas dengan kabar yang kuterima, aku mengabaikan semua calon pembeli, dari kejauhan aku melihat beberapa orang berdiri didepan rumahku, segera kupercepat langkahku menuju kerumah.

Wajah bapak mulai pucat, nafasnya kini terdengar satu satu. Aku duduk menghampiri bapak, memegang tangannya.

"Bapak ...."

"Zia, dengarkan bapak, nak. Didalam lemari bapak ada kotak kayu, bukalah, disana ada sebuah surat, dan cincin akik merah. Ambil dan cari Pak Lukman, katakan padanya bapak menagih hutang dan janjinya."

"Bapak," isakku.

"Zia, maafkan bapak nak ...." Mata bapak pelan pelan mulai menutup. Nafasnya kini mulai sulit.

Pak Yahya, seorang tetanggaku, yang dituakan memandu bapak mengucap syahadat. Aku menangis ketika akhirnya nyawa pria yang sangat kusayangi itu akhirnya lepas dengan mudahnya meninggalkan segores senyum diwajahnya.

"Innalilahi w* innailaihi roji'un"

"Maaf, nak Zia, Pak Rahman sudah berpulang, ikhlaskan bapakmu," ucap Pak Yahya.

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 70

    Apa kau masih jatuh cinta padaku?" "Aku ...." Ah, sial lidahku mendadak kaku, membuatku akhirnya menggigit bibirku. Kulirik ia terkekeh geli melihat sikapku yang masih malu malu, karena tak tahan menahan malu, kucoba untuk mengalihkan perhatiannya. Lagipula aku masih belum mendengar ungkapan cintanya, untukku. "Mas, bagaimana kabar Mbak Kinanti, apa ia baik baik saja?" Mendengar pertanyaanku Mas Rangga sontak menghentikan tawanya, raut wajahnya langsung berubah cemas. "Kinanti, dia ...." Ucap Mas Rangga ragu. "Apa yang terjadi padanya, katakan mas, aku ingin tahu," desakku penasaran. *** Mas Rangga menatapku dalam, beberapa kali ia mengerjapkan matanya, seolah ragu untuk mengatakannya, membuatku semakin ingin tahu apa yang terjadi pada Kinanti pasca kecelakaan itu. Ia menatapku, meraih dan menggenggam tanganku, lalu menciumnya perlahan, tak lama sebuah kenyataan pahit keluar dari bibirnya. "Kinanti meninggal saat dalam perjalanan kerumah sakit, Zia" Ucap Mas Rangga dengan sua

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 69

    Mas Rangga kembali menghampiri, lalu memegang erat tanganku, ada rasa hangat dihatiku saat tangannya kemudian menyentuh pipiku, rasa takutku selama ini ketika berdekatan dengannya, tiba tiba menguap dan hilang entah kemana, berganti dengan rasa rindu yang menggebu. "Maafkan aku, Zia!" Aku mengedipkan kedua mataku beberapa kali saat mendengar kalimat itu darinya, Mas Rangga meminta maaf padaku, untuk apa? ****Lidahku masih kaku untuk kuajak bicara. Kucoba untuk duduk, tapi rasa sakit langsung menjalar saat tubuh ini kupaksa bergerak. "Tak usah bergerak, kau mau apa? Cukup katakan saja padaku." Ia bertanya, raut wajahnya terlihat cemas. "A-aku cuma mau minum, mas!" Jawabku pelan dan terbata. "Sebentar, akan kuambilkan untukmu," ucapnya lalu menuang air di teko kecil itu kedalam sebuah gelas. Aku masih berusaha untuk duduk, sayang, dengan tenaga yang kumiliki, ternyata masih belum bisa untuk mengangkat tubuhku sendiri, melihatku yang kesulitan, Ia pun membantu mengangkat tubuhku

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 68

    Benarkah ini? Leon sudah mati?" Ia terus bergumam. Aku dan adik perempuan Leon, hanya memperhatikan saja. Untuk beberapa saat ia menangis. Tertunduk lemas. Setelah puas menangis, ia kembali menatapku, kupikir ia sudah mengingat masa lalu yang ingin ia kubur itu, sayang, kegembiraanku hanya sesaat. Tak berselang lama. Kinanti pun tertawa. "Makam siapa ini Mas? Ini tidak mungkin Leon," Ujarnya. **** Ia masih tertawa, sesekali diam menatap sedih kearah nisan itu. Karena merasa usahaku tak membuahkan hasil, akupun menelpon adik laki laki Kinanti yang sudah menyusul kami ke Singapura kemarin, agar bersiap membawanya kembali pulang ke Indonesia. Tak lama, Kubujuk dia untuk kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan pulang dari pemakaman menuju hotel, tangan Kinanti tak lepas dari lenganku, sesekali wajah itu menatapku tajam seolah ingin melampiaskan kemarahannya. Dua hari lamanya Kinanti menolak keluar dari dalam kamar hotelnya saat mengetahui adiknya datang untuk menjemputnya pulang. D

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 67

    Sebuah rencana mulai terpikir olehku saat aku melihat obat penenang yang disiapkan mama untukku ini. Rencana untuk membuat Rangga kembali mengingatku dan membuatnya tak akan pergi meninggalkanku lagi. "Rencana yang hebat," Ucapku sambil tertawa puas saat melihat pil perangsang yang kubeli via online ini sudah berada ditanganku. "Kau adalah milikku mas, selamanya akan selalu jadi milikku. Tak akan kubiarkan kau pergi meninggalkanku lagi," ucapku sambil tersenyum manis.*** PoV Rangga. Singapura Pesawat ini perlahan lahan mulai menukik tajam kebawah, sebentar lagi akan landing di Changi Airport Singapura. Kulihat Kinanti sedang bersiap dan merapikan barang barangnya. Perjalanan ke Singapura ini memang kurencanakan bukan untuk berlibur seperti yang ada dalam pikiran istriku, Zia. Tapi untuk mencoba berusaha menyadarkan dan membuka mata Kinanti. Rencana perjalanan ke Singapura ini kubuat bersama dengan adik laki lakinya, aku terpaksa meminta bantuan dari keluarga Kinanti demi me

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 66

    Duarr .... Suara tabrakan itu terdengar keras dan membuat tubuhku berguncang. Ditengah kesadaranku yang makin menipis, masih kulihat ia yang tersenyum dalam tangis, menyebut sebuah nama. "Leon, kenapa kau pergi meninggalkanku!" Tak lama setelah mengucap kalimat itu ia menutup kedua matanya. Dengan mengumpulkan sisa tenaga, aku memanggil namanya, dan berusaha membangunnya, namun, kesadaranku semakin menghilang, hal terakhir yang masih kuingat adalah mencium bau parfum Mas Rangga yang sangat kusukai. **** PoV Kinanti. Kutatap undangan pernikahan di tanganku, Undangan yang telah selesai dicetak dan sudah sebagian disebar. Undangan berwarna biru bercampur emas dengan desain kekinian ini terlihat mewah dan elegan. Aku tersenyum saat mendengar laporan dari Wedding Organizer yang kusewa untuk mengurus acara pernikahanku. Aku puas mendengar laporannya yang menyatakan bahwa semua persiapan hampir selesai, sungguh, rasanya sudah tak sabar menunggu hari istimewa ini dua minggu lagi.

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 65

    "Ayo kita pulang kerumah, Mbak," ajak adik laki lakinya. Kinanti diam saja, akhirnya wanita itu menurut, membuang pecahan vas bunga itu kelantai setelah Mas Rangga yang berhasil membujuknya. Ia masih diam terpaku disana, aku menghela nafas lega, setidaknya benda tajam itu tak lagi dipegangnya. Tanpa menyadari jika sedetik kemudian wanita itu tiba tiba berdiri dengan seringai mengerikan di wajahnya lalu berjalan cepat kearahku, tangannya kembali mencengkram leherku. "Aku akan menyingkirkan wanita ini Mas, agar kau tak meninggalkanku lagi," ancamnya dengan pecahan vas ditangan kirinya yang ia tempelkan di wajahku. **** "Lepaskan Zia, Kinanti, Jangan melukainya. Dia tak tahu apa apa," Mas Rangga mencoba membujuknya. Aku memejamkan mata, pecahan vas itu kini turun ke leherku. Cengkeraman tangannya terlalu kuat untukku, membuatku semakin sulit bernapas. "Mbak, lepaskan aku ... A-aku tak tahu apapun tentang kalian," ucapku terbata. "Diam kau, ikut aku," ia menarikku paksa lalu mas

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status