Share

Bab 3

Author: Rira Faradina
last update Last Updated: 2022-05-26 12:40:15

Seminggu sudah kepergian bapak. hanya tinggal aku sendiri dirumah ini, terkadang aku mencari bayangan bapak dikamarnya, membuatku merasa tak sendiri dan kesepian.

Aku berdiri di belakang rumah. Memandang buah pepaya yang sudah setengah matang. Biasanya buah pepaya itu jarang sekali ada yang matang, karena seringnya kupetik sebelum matang.

Aku, kini tak ubahnya seperti buah pepaya itu. Tak akan pernah ada Zia yang ranum dan merekah. Semuanya sudah hilang. Aku seperti seonggok tubuh yang sudah terkelupas. Dipetik paksa.

Kuambil sebuah galah panjang, yang biasa dipakai untuk memetik buah pepaya ini. Kupetik buah yang hampir matang itu, tak ada apapun di dapur yang bisa kumakan, karena sejak kematian bapak aku belum pernah meninggalkan rumah ini.

Ku kupas kulit buah pepaya, Buahnya yang sudah hampir matang, sudah terasa manis saat di makan. Beberapa saat aku diam menatap buah pepaya ini.

Entah kenapa dalam diam, tiba tiba aku teringat akan pesan terakhir bapak. Kutinggalkan saja buah pepaya itu, aku bergegas masuk ke dalam kamar bapak. Mencari sebuah kotak kayu yang ada dalam pesan terakhirnya waktu itu.

Sebuah kotak kayu berukuran kecil dengan ukiran khas Jawa itu, langsung menjadi fokus perhatianku. Kotak itu tertutup rapat dan terkunci dengan gembok kecil.

Kunci ...?

Aku ingat bapak pernah mengatakan, jika kehilangan kunci. Carilah di atas lemari bapak. Waktu itu aku tak mengerti apa maksud bapak sering mengingatkanku seperti itu. Apakah mungkin maksud perkataan bapak adalah kunci dari kotak ini?

Aku mengambil kursi dan naik ke atasnya, benar saja. Sebuah kunci kecil ada disana. Dengan cepat aku turun, dan langsung membuka kotak itu.

Sebuah surat yang sudah usang dan cincin akik merah ada didalamnya begitu kotak ini dibuka. Kubuka dan kubaca pelan pelan isi surat itu. Mungkin saja ada alamat Pak Lukman, yang harus kutemui sesuai pesan terakhir bapak.

Tak ada kalimat panjang atau pesan maupun informasi apapun didalam secarik kertas usang ini. Hanya ada satu kalimat saja yang tertulis.

Janji adalah hutang.

Apa ini? Apa maksud surat ini? Siapa Pak Lukman? Lalu, dimana aku akan mencarinya?

Aku menatap nanar tulisan di kertas itu. Apa maksud semua ini? Surat macam apa ini? Sewaktu masih hidup, bapak tak pernah memberitahu apapun tentang kotak dan surat ini. Lalu, bagaimana aku harus mencari dimana Pak Lukman, yang wajahnya pun aku tak tahu?

Ku teliti kembali kotak itu. Nihil, aku tak menemukan apapun lagi selain kertas usang dan cincin akik merah ini.

Bapak, apa maksud semua ini. Kenapa memintaku mencari pak Lukman?

"Siapa itu Pak Lukman?" Kembali benakku bertanya.

Cukup lama aku berada di kamar bapak, membongkar isi lemari tua miliknya, memeriksa tiap lipatan demi lipatan baju bapak, berharap ada petunjuk lain. Namun saat hendak merapikannya kembali, sebuah foto usang milik bapak terjatuh.

Foto bapak dan seorang pria sewaktu beliau masih muda, dalam foto itu terlihat dua orang pria berdiri yang saling merangkul erat.

"Apakah ini Pak Lukman?" Batinku bertanya.

Ditengah kebingunganku akan pesan dan kotak milik bapak, pintu rumahku tiba tiba diketuk.

"Assalamualaikum," terdengar seseorang mengucap salam didepan.

Aku menjawabnya dan bergegas keluar dari kamar bapak, untuk melihat siapa gerangan yang datang bertamu. Tanpa kusadari foto itu masih kupegang.

"Bu Soraya ...!" Panggilku, takkala wajah itu terlihat ketika aku membuka pintu rumahku.

"Zia, maaf. Aku tak tahu jika kau sedang berduka, aku turut berduka cita atas meninggalnya bapakmu." Ucapnya langsung memelukku.

"Masuk dulu bu," kupersilakan ia masuk kedalam.

"Maaf, ada perlu apa bu, sampai datang kemari?" Tanyaku.

"Aku diminta seseorang untuk kesini, Zia. Maaf, baru hari ini, aku sempat menjengukmu."

"Tak apa apa," ucapku pelan padanya. Bu Soraya mengikuti langkahku, beberapa saat kemudian kami berdua sudah duduk disofa butut rumahku.

"Maaf, jika rumahku tak sebagus rumah ibu," ucapku menunduk.

Ia menggeleng.

"Zia, aku datang kesini mewakili adikku. Ingin meminta maaf padamu. Adikku tak berani datang menemuimu. Ia takut jika dengan melihat wajahnya, kau akan lari karena teringat kejadian malam itu." Bu Soraya menjelaskan maksud kedatangannya.

"A-aku ... hanya ingin melupakannya bu, itu saja," jawabku pelan.

"Zia, apakah kau hamil?"

Aku langsung mengangkat wajahku, saat mendengar pertanyaan dari Bu Soraya. Hamil, itulah hal yang sangat kutakutkan.

"Zia ...?" Panggilnya lagi karena melihatku bungkam.

"Aku tak tahu, bu, hampir setiap hari aku mengeceknya, dan hasilnya selalu negatif," Jawabku.

Ia masih memandangi ku. Entah apa maksudnya menatapku seperti itu. Aku meremas jemariku, menahan rasa sesak karena tiba tiba teringat kejadian malam itu.

"Zia, apa kau bersedia jika adikku menikahimu?"

Lama aku terdiam, saat mendengar perkataan Bu Soraya. Menikah? Itukah jalan keluar yang diberikan mereka padaku.

Aku menggeleng pelan.

"Aku masih punya cita cita menjadi seorang guru, aku sadar jika saat ini kehormatanku sudah hilang, tapi aku masih memiliki impian. Mungkin saatnya aku memperjuangkan impianku. Maaf, tapi ... aku sangat membenci laki laki itu, bahkan tiap hari aku selalu mengutuknya. Dan sekarang ibu memintaku menikahinya? Tidak. Aku tidak bisa menikahi seorang bajin*an, dan pemerk**a seperti dia," Jawabku tegas.

Bu Soraya diam, hanya saja aku bisa merasakan tatapan matanya menaruh iba padaku.

"Baiklah, aku bisa mengerti dan menghormati keputusanmu, Zia, tapi, bolehkah aku membantumu?"

"Tak perlu bu, aku masih bisa berusaha sendiri," tolakku.

"Zia, maaf. Aku hanya ingin kau tahu, jika seandainya kau membutuhkan bantuanku. Katakan saja. Sungguh, adikku sangat menyesali apa yang terjadi pada malam itu. Ia sudah menceritakan semuanya padaku mengapa ia bisa

bertindak diluar batas seperti itu padamu. Demi Tuhan Zia, percayalah padaku. Adikku tidak seburuk itu."

Cukup lama aku dan Bu Soraya, membicarakan hal ini, hingga pembicaraan kami terhenti, saat seseorang datang bertamu kerumahku.

"Zia ...!" Panggil seorang pria yang sudah berdiri dipintu.

"Mas Bima?"

Aku melirik Bu Soraya yang memandang tajam pada Mas Bima, tak lama ia meraih tasnya.

"Maaf, aku pulang dulu."

"Zia, ingatlah apa yang kukatakan tadi," pamit Bu Soraya. Aku hanya bisa diam melihatnya berdiri melangkah keluar dari rumahku.

"Hati hati bu," sahutku.

Kuantar Bu Soraya sampai ke luar pagar bambu rumahku hingga masuk kedalam mobilnya, tak lama mobil itu perlahan bergerak menjauh lalu kemudian berbelok arah, menghilang dari pandangan.

"Siapa dia? Rasanya wajahnya sedikit familiar," tanya Mas Bima, pria yang baru saja bertamu kerumahku.

"Ibu dari Allysa, anak yang kuajari privat waktu itu," jawabku singkat, lalu menoleh padanya.

"Ada apa kemari, Mas?" Tanyaku.

Ia terdiam, matanya menatapku dalam, tak biasanya Mas Bima bersikap serius seperti ini.

"Zia, aku ...."

"Ada apa mas? Ayo duduk dulu," ajakku.

Kami duduk berhadapan di sofa butut milikku, beberapa kali ia terlihat gelisah dan menggaruk kepalanya, sambil sesekali mengalihkan pandangannya dariku.

"Zia ... maaf jika ini terdengar mendadak, tapi aku ingin melamarmu."

"Melamar? Maksud Mas Bima?" Balasku bertanya padanya.

"Sebenarnya, sudah lama aku suka padamu. A-aku ... ingin menikahimu. Secepatnya, aku akan minta kedua orangtuaku datang kesini untuk melamarmu," ucapnya sambil menatapku.

Aku gugup. Melamar? Tuhan, mungkinkah saat ini aku sedang bermimpi?

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 70

    Apa kau masih jatuh cinta padaku?" "Aku ...." Ah, sial lidahku mendadak kaku, membuatku akhirnya menggigit bibirku. Kulirik ia terkekeh geli melihat sikapku yang masih malu malu, karena tak tahan menahan malu, kucoba untuk mengalihkan perhatiannya. Lagipula aku masih belum mendengar ungkapan cintanya, untukku. "Mas, bagaimana kabar Mbak Kinanti, apa ia baik baik saja?" Mendengar pertanyaanku Mas Rangga sontak menghentikan tawanya, raut wajahnya langsung berubah cemas. "Kinanti, dia ...." Ucap Mas Rangga ragu. "Apa yang terjadi padanya, katakan mas, aku ingin tahu," desakku penasaran. *** Mas Rangga menatapku dalam, beberapa kali ia mengerjapkan matanya, seolah ragu untuk mengatakannya, membuatku semakin ingin tahu apa yang terjadi pada Kinanti pasca kecelakaan itu. Ia menatapku, meraih dan menggenggam tanganku, lalu menciumnya perlahan, tak lama sebuah kenyataan pahit keluar dari bibirnya. "Kinanti meninggal saat dalam perjalanan kerumah sakit, Zia" Ucap Mas Rangga dengan sua

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 69

    Mas Rangga kembali menghampiri, lalu memegang erat tanganku, ada rasa hangat dihatiku saat tangannya kemudian menyentuh pipiku, rasa takutku selama ini ketika berdekatan dengannya, tiba tiba menguap dan hilang entah kemana, berganti dengan rasa rindu yang menggebu. "Maafkan aku, Zia!" Aku mengedipkan kedua mataku beberapa kali saat mendengar kalimat itu darinya, Mas Rangga meminta maaf padaku, untuk apa? ****Lidahku masih kaku untuk kuajak bicara. Kucoba untuk duduk, tapi rasa sakit langsung menjalar saat tubuh ini kupaksa bergerak. "Tak usah bergerak, kau mau apa? Cukup katakan saja padaku." Ia bertanya, raut wajahnya terlihat cemas. "A-aku cuma mau minum, mas!" Jawabku pelan dan terbata. "Sebentar, akan kuambilkan untukmu," ucapnya lalu menuang air di teko kecil itu kedalam sebuah gelas. Aku masih berusaha untuk duduk, sayang, dengan tenaga yang kumiliki, ternyata masih belum bisa untuk mengangkat tubuhku sendiri, melihatku yang kesulitan, Ia pun membantu mengangkat tubuhku

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 68

    Benarkah ini? Leon sudah mati?" Ia terus bergumam. Aku dan adik perempuan Leon, hanya memperhatikan saja. Untuk beberapa saat ia menangis. Tertunduk lemas. Setelah puas menangis, ia kembali menatapku, kupikir ia sudah mengingat masa lalu yang ingin ia kubur itu, sayang, kegembiraanku hanya sesaat. Tak berselang lama. Kinanti pun tertawa. "Makam siapa ini Mas? Ini tidak mungkin Leon," Ujarnya. **** Ia masih tertawa, sesekali diam menatap sedih kearah nisan itu. Karena merasa usahaku tak membuahkan hasil, akupun menelpon adik laki laki Kinanti yang sudah menyusul kami ke Singapura kemarin, agar bersiap membawanya kembali pulang ke Indonesia. Tak lama, Kubujuk dia untuk kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan pulang dari pemakaman menuju hotel, tangan Kinanti tak lepas dari lenganku, sesekali wajah itu menatapku tajam seolah ingin melampiaskan kemarahannya. Dua hari lamanya Kinanti menolak keluar dari dalam kamar hotelnya saat mengetahui adiknya datang untuk menjemputnya pulang. D

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 67

    Sebuah rencana mulai terpikir olehku saat aku melihat obat penenang yang disiapkan mama untukku ini. Rencana untuk membuat Rangga kembali mengingatku dan membuatnya tak akan pergi meninggalkanku lagi. "Rencana yang hebat," Ucapku sambil tertawa puas saat melihat pil perangsang yang kubeli via online ini sudah berada ditanganku. "Kau adalah milikku mas, selamanya akan selalu jadi milikku. Tak akan kubiarkan kau pergi meninggalkanku lagi," ucapku sambil tersenyum manis.*** PoV Rangga. Singapura Pesawat ini perlahan lahan mulai menukik tajam kebawah, sebentar lagi akan landing di Changi Airport Singapura. Kulihat Kinanti sedang bersiap dan merapikan barang barangnya. Perjalanan ke Singapura ini memang kurencanakan bukan untuk berlibur seperti yang ada dalam pikiran istriku, Zia. Tapi untuk mencoba berusaha menyadarkan dan membuka mata Kinanti. Rencana perjalanan ke Singapura ini kubuat bersama dengan adik laki lakinya, aku terpaksa meminta bantuan dari keluarga Kinanti demi me

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 66

    Duarr .... Suara tabrakan itu terdengar keras dan membuat tubuhku berguncang. Ditengah kesadaranku yang makin menipis, masih kulihat ia yang tersenyum dalam tangis, menyebut sebuah nama. "Leon, kenapa kau pergi meninggalkanku!" Tak lama setelah mengucap kalimat itu ia menutup kedua matanya. Dengan mengumpulkan sisa tenaga, aku memanggil namanya, dan berusaha membangunnya, namun, kesadaranku semakin menghilang, hal terakhir yang masih kuingat adalah mencium bau parfum Mas Rangga yang sangat kusukai. **** PoV Kinanti. Kutatap undangan pernikahan di tanganku, Undangan yang telah selesai dicetak dan sudah sebagian disebar. Undangan berwarna biru bercampur emas dengan desain kekinian ini terlihat mewah dan elegan. Aku tersenyum saat mendengar laporan dari Wedding Organizer yang kusewa untuk mengurus acara pernikahanku. Aku puas mendengar laporannya yang menyatakan bahwa semua persiapan hampir selesai, sungguh, rasanya sudah tak sabar menunggu hari istimewa ini dua minggu lagi.

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 65

    "Ayo kita pulang kerumah, Mbak," ajak adik laki lakinya. Kinanti diam saja, akhirnya wanita itu menurut, membuang pecahan vas bunga itu kelantai setelah Mas Rangga yang berhasil membujuknya. Ia masih diam terpaku disana, aku menghela nafas lega, setidaknya benda tajam itu tak lagi dipegangnya. Tanpa menyadari jika sedetik kemudian wanita itu tiba tiba berdiri dengan seringai mengerikan di wajahnya lalu berjalan cepat kearahku, tangannya kembali mencengkram leherku. "Aku akan menyingkirkan wanita ini Mas, agar kau tak meninggalkanku lagi," ancamnya dengan pecahan vas ditangan kirinya yang ia tempelkan di wajahku. **** "Lepaskan Zia, Kinanti, Jangan melukainya. Dia tak tahu apa apa," Mas Rangga mencoba membujuknya. Aku memejamkan mata, pecahan vas itu kini turun ke leherku. Cengkeraman tangannya terlalu kuat untukku, membuatku semakin sulit bernapas. "Mbak, lepaskan aku ... A-aku tak tahu apapun tentang kalian," ucapku terbata. "Diam kau, ikut aku," ia menarikku paksa lalu mas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status