Share

Bab 3

Seminggu sudah kepergian bapak. hanya tinggal aku sendiri dirumah ini, terkadang aku mencari bayangan bapak dikamarnya, membuatku merasa tak sendiri dan kesepian.

Aku berdiri di belakang rumah. Memandang buah pepaya yang sudah setengah matang. Biasanya buah pepaya itu jarang sekali ada yang matang, karena seringnya kupetik sebelum matang.

Aku, kini tak ubahnya seperti buah pepaya itu. Tak akan pernah ada Zia yang ranum dan merekah. Semuanya sudah hilang. Aku seperti seonggok tubuh yang sudah terkelupas. Dipetik paksa.

Kuambil sebuah galah panjang, yang biasa dipakai untuk memetik buah pepaya ini. Kupetik buah yang hampir matang itu, tak ada apapun di dapur yang bisa kumakan, karena sejak kematian bapak aku belum pernah meninggalkan rumah ini.

Ku kupas kulit buah pepaya, Buahnya yang sudah hampir matang, sudah terasa manis saat di makan. Beberapa saat aku diam menatap buah pepaya ini.

Entah kenapa dalam diam, tiba tiba aku teringat akan pesan terakhir bapak. Kutinggalkan saja buah pepaya itu, aku bergegas masuk ke dalam kamar bapak. Mencari sebuah kotak kayu yang ada dalam pesan terakhirnya waktu itu.

Sebuah kotak kayu berukuran kecil dengan ukiran khas Jawa itu, langsung menjadi fokus perhatianku. Kotak itu tertutup rapat dan terkunci dengan gembok kecil.

Kunci ...?

Aku ingat bapak pernah mengatakan, jika kehilangan kunci. Carilah di atas lemari bapak. Waktu itu aku tak mengerti apa maksud bapak sering mengingatkanku seperti itu. Apakah mungkin maksud perkataan bapak adalah kunci dari kotak ini?

Aku mengambil kursi dan naik ke atasnya, benar saja. Sebuah kunci kecil ada disana. Dengan cepat aku turun, dan langsung membuka kotak itu.

Sebuah surat yang sudah usang dan cincin akik merah ada didalamnya begitu kotak ini dibuka. Kubuka dan kubaca pelan pelan isi surat itu. Mungkin saja ada alamat Pak Lukman, yang harus kutemui sesuai pesan terakhir bapak.

Tak ada kalimat panjang atau pesan maupun informasi apapun didalam secarik kertas usang ini. Hanya ada satu kalimat saja yang tertulis.

Janji adalah hutang.

Apa ini? Apa maksud surat ini? Siapa Pak Lukman? Lalu, dimana aku akan mencarinya?

Aku menatap nanar tulisan di kertas itu. Apa maksud semua ini? Surat macam apa ini? Sewaktu masih hidup, bapak tak pernah memberitahu apapun tentang kotak dan surat ini. Lalu, bagaimana aku harus mencari dimana Pak Lukman, yang wajahnya pun aku tak tahu?

Ku teliti kembali kotak itu. Nihil, aku tak menemukan apapun lagi selain kertas usang dan cincin akik merah ini.

Bapak, apa maksud semua ini. Kenapa memintaku mencari pak Lukman?

"Siapa itu Pak Lukman?" Kembali benakku bertanya.

Cukup lama aku berada di kamar bapak, membongkar isi lemari tua miliknya, memeriksa tiap lipatan demi lipatan baju bapak, berharap ada petunjuk lain. Namun saat hendak merapikannya kembali, sebuah foto usang milik bapak terjatuh.

Foto bapak dan seorang pria sewaktu beliau masih muda, dalam foto itu terlihat dua orang pria berdiri yang saling merangkul erat.

"Apakah ini Pak Lukman?" Batinku bertanya.

Ditengah kebingunganku akan pesan dan kotak milik bapak, pintu rumahku tiba tiba diketuk.

"Assalamualaikum," terdengar seseorang mengucap salam didepan.

Aku menjawabnya dan bergegas keluar dari kamar bapak, untuk melihat siapa gerangan yang datang bertamu. Tanpa kusadari foto itu masih kupegang.

"Bu Soraya ...!" Panggilku, takkala wajah itu terlihat ketika aku membuka pintu rumahku.

"Zia, maaf. Aku tak tahu jika kau sedang berduka, aku turut berduka cita atas meninggalnya bapakmu." Ucapnya langsung memelukku.

"Masuk dulu bu," kupersilakan ia masuk kedalam.

"Maaf, ada perlu apa bu, sampai datang kemari?" Tanyaku.

"Aku diminta seseorang untuk kesini, Zia. Maaf, baru hari ini, aku sempat menjengukmu."

"Tak apa apa," ucapku pelan padanya. Bu Soraya mengikuti langkahku, beberapa saat kemudian kami berdua sudah duduk disofa butut rumahku.

"Maaf, jika rumahku tak sebagus rumah ibu," ucapku menunduk.

Ia menggeleng.

"Zia, aku datang kesini mewakili adikku. Ingin meminta maaf padamu. Adikku tak berani datang menemuimu. Ia takut jika dengan melihat wajahnya, kau akan lari karena teringat kejadian malam itu." Bu Soraya menjelaskan maksud kedatangannya.

"A-aku ... hanya ingin melupakannya bu, itu saja," jawabku pelan.

"Zia, apakah kau hamil?"

Aku langsung mengangkat wajahku, saat mendengar pertanyaan dari Bu Soraya. Hamil, itulah hal yang sangat kutakutkan.

"Zia ...?" Panggilnya lagi karena melihatku bungkam.

"Aku tak tahu, bu, hampir setiap hari aku mengeceknya, dan hasilnya selalu negatif," Jawabku.

Ia masih memandangi ku. Entah apa maksudnya menatapku seperti itu. Aku meremas jemariku, menahan rasa sesak karena tiba tiba teringat kejadian malam itu.

"Zia, apa kau bersedia jika adikku menikahimu?"

Lama aku terdiam, saat mendengar perkataan Bu Soraya. Menikah? Itukah jalan keluar yang diberikan mereka padaku.

Aku menggeleng pelan.

"Aku masih punya cita cita menjadi seorang guru, aku sadar jika saat ini kehormatanku sudah hilang, tapi aku masih memiliki impian. Mungkin saatnya aku memperjuangkan impianku. Maaf, tapi ... aku sangat membenci laki laki itu, bahkan tiap hari aku selalu mengutuknya. Dan sekarang ibu memintaku menikahinya? Tidak. Aku tidak bisa menikahi seorang bajin*an, dan pemerk**a seperti dia," Jawabku tegas.

Bu Soraya diam, hanya saja aku bisa merasakan tatapan matanya menaruh iba padaku.

"Baiklah, aku bisa mengerti dan menghormati keputusanmu, Zia, tapi, bolehkah aku membantumu?"

"Tak perlu bu, aku masih bisa berusaha sendiri," tolakku.

"Zia, maaf. Aku hanya ingin kau tahu, jika seandainya kau membutuhkan bantuanku. Katakan saja. Sungguh, adikku sangat menyesali apa yang terjadi pada malam itu. Ia sudah menceritakan semuanya padaku mengapa ia bisa

bertindak diluar batas seperti itu padamu. Demi Tuhan Zia, percayalah padaku. Adikku tidak seburuk itu."

Cukup lama aku dan Bu Soraya, membicarakan hal ini, hingga pembicaraan kami terhenti, saat seseorang datang bertamu kerumahku.

"Zia ...!" Panggil seorang pria yang sudah berdiri dipintu.

"Mas Bima?"

Aku melirik Bu Soraya yang memandang tajam pada Mas Bima, tak lama ia meraih tasnya.

"Maaf, aku pulang dulu."

"Zia, ingatlah apa yang kukatakan tadi," pamit Bu Soraya. Aku hanya bisa diam melihatnya berdiri melangkah keluar dari rumahku.

"Hati hati bu," sahutku.

Kuantar Bu Soraya sampai ke luar pagar bambu rumahku hingga masuk kedalam mobilnya, tak lama mobil itu perlahan bergerak menjauh lalu kemudian berbelok arah, menghilang dari pandangan.

"Siapa dia? Rasanya wajahnya sedikit familiar," tanya Mas Bima, pria yang baru saja bertamu kerumahku.

"Ibu dari Allysa, anak yang kuajari privat waktu itu," jawabku singkat, lalu menoleh padanya.

"Ada apa kemari, Mas?" Tanyaku.

Ia terdiam, matanya menatapku dalam, tak biasanya Mas Bima bersikap serius seperti ini.

"Zia, aku ...."

"Ada apa mas? Ayo duduk dulu," ajakku.

Kami duduk berhadapan di sofa butut milikku, beberapa kali ia terlihat gelisah dan menggaruk kepalanya, sambil sesekali mengalihkan pandangannya dariku.

"Zia ... maaf jika ini terdengar mendadak, tapi aku ingin melamarmu."

"Melamar? Maksud Mas Bima?" Balasku bertanya padanya.

"Sebenarnya, sudah lama aku suka padamu. A-aku ... ingin menikahimu. Secepatnya, aku akan minta kedua orangtuaku datang kesini untuk melamarmu," ucapnya sambil menatapku.

Aku gugup. Melamar? Tuhan, mungkinkah saat ini aku sedang bermimpi?

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status