Share

Sepiring Tumis Pepaya Muda
Sepiring Tumis Pepaya Muda
Penulis: Rira Faradina

Bab 1

Sepiring tumis pepaya muda sudah terhidang diatas meja, hanya itu saja menu kami hari ini, kupikir masih ada sisa ikan asin yang kubeli beberapa hari lalu di dapur, ternyata aku salah, hanya tinggal kertas pembungkusnya saja.

Buah pepaya muda ini kupetik dari pohon pepaya yang tumbuh di belakang rumah, sudah sangat sering aku menghidangkan menu ini untuk lauk makan kami. Kadang rasanya malu menghidangkan tumis pepaya muda ini untuk bapak. Karena seringnya buah ini menjadi lauk makan kami.

"Bapak, ayo makanlah dulu. Maaf hanya ini yang ada, semoga besok ada rejeki." Aku memanggil bapak dan mengajaknya untuk makan bersama.

Bapak menatapku dengan tatapan sendu, guratan usia semakin tampak di wajahnya, kuambilkan sepiring nasi untuk bapak dan memberikan piring itu padanya.

"Maafkan bapak ya nak, hanya bisa menyusahkankanmu," lirih bapak.

"Bapak selalu saja mengatakan hal itu, sampai bosan mendengarnya. Sudahlah jangan berpikir macam macam, yang penting bapak sehat. Besok, jika ada rejeki lebih, akan Zia belikan ayam goreng untuk bapak," hiburku.

Kami makan dengan nikmat, meski hanya dengan lauk buah pepaya muda yang ku tumis dengan bumbu seadanya. Sebenarnya aku sangat ingin membahagiakan bapak di usia senjanya, hanya saja keberuntungan belum berpihak padaku.

Sejak ibu meninggal sepuluh tahun yang lalu, bapak tak pernah menikah lagi, bapak bilang kehadiranku sudah membuatnya bahagia meski tanpa kehadiran ibu. Aku adalah anak mereka satu satunya. Kata bapak, wajahku yang cantik menurun dari garis keturunan ibu, dan lagi penantian mereka akan kehadiranku cukup lama, menunggu hampir sepuluh tahun pernikahan mereka.

"Pak, Zia berangkat jualan dulu ya, bapak istirahat saja, jangan terlalu banyak berpikir, Zia hanya ingin bapak sehat," pamitku usai membereskan sisa sarapan pagi kami.

"Hati hati, Zia."

"Iya pak, doakan dagangan Zia banyak yang laku ya." Bapak hanya tersenyum sambil mengangguk kecil.

Aku mulai mendorong gerobak yang akan kupakai untuk berjualan berbagai aneka cemilan anak, tahu bulat, otak otak, sosis, pangsit, semuanya harus kugoreng dahulu, sebelum bisa dikonsumsi.

Gerobak ini memang milik bapak, tapi barang barang yang akan kujual, kuambil dulu dari Mak Siti, seorang penjual makanan beku yang masih tetanggaku, penghasilan yang kudapat cukup untuk makan dan menyisihkan sedikit untuk membeli obat bapak. Untunglah kami tak harus membayar sewa rumah. Karena rumah yang kami tempati adalah warisan dari Kakek.

Kadang rasanya ingin mencari pekerjaan lain, namun hal itu kutepis jauh, karena aku tak bisa meninggalkan bapak terlalu lama. Bahkan aku harus mengubur impianku untuk menjadi seorang guru, karena keterbatasan biaya. Tadinya, bapaklah yang berjualan. Namun, sudah dua tahun ini bapak sakit sakitan, beberapa kali aku harus membawa bapak ke dokter karena kondisi bapak yang tiba tiba menurun. Meski telah menggunakan kartu jaminan kesehatan dari pemerintah untuk berobat, tetap saja kami masih harus mengeluarkan uang untuk membeli obat. Terdesak oleh biaya hidup dan tak ada pemasukan untuk membeli obat bapak. Membuatku akhirnya menggantikan bapak berjualan.

Aku mendorong gerobak ke arah sebuah sekolah dasar yang tak jauh dari rumahku. Masih ada sekitar lima belas menit lagi sebelum bel sekolah dimulai. Kupercepat langkahku mendorong gerobak. Aku tak mau kehilangan rejekiku pagi ini.

"Ah, Mbak Zia datang," seru anak anak mulai berkerumun.

"Mbak Zia, aku mau sosis gorengnya dua ya, aku pangsit goreng tiga," teriak mereka berebut minta dilayani lebih dulu.

Aku mulai menggoreng pesanan mereka, syukurlah sebelum bel sekolah berbunyi, semua pesanan mereka sudah siap. Tak lama, bel sekolah pun berbunyi, menandakan telah selesai waktuku disini, bergegas kurapikan kembali barang barang yang berantakan, karena ulah anak anak tadi. Setelah dirasa semua rapi. Aku duduk sebentar, sekedar melepas lelah dan menghitung rupiah yang kudapat pagi ini.

"Delapan belas ribu rupiah, Alhamdulillah," aku bersyukur, dan menyimpan uang itu didalam tas kecil yang kusandang dibahuku.

Aku mulai mendorong gerobakku kembali meninggalkan sekolah dasar ini, berjalan dari satu gang ke gang lain, menyusuri rute yang sama yang selalu kulewati untuk menjajakan daganganku.

"Eh, Neng Zia udah lewat. Gorengin sosisnya lima ya neng." Ucap Bu Salwa, seorang pelanggan ku.

"Iya, bu."

"Neng Zia itu sebenarnya cantik lho, kulit putih, wajah bersih, badan ramping dan tinggi. Kalau Neng Zia mau, ibu kenalin sama adik ipar ibu yang masih jomblo, lumayan lho udah PNS, gajinya tiga jutaan lebih katanya sebulan."

Aku hanya tersenyum simpul menanggapi perkataan Bu Salwa. Sejak awal aku berjualan, banyak orang yang menyayangkan nasibku. Bahkan tak sedikit yang mencibir pekerjaanku.

Apa yang salah dengan pekerjaanku?

"Neng Zia itu cantik, sayang rejekinya gak secantik orangnya."

"Emang gak malu neng, dagang sambil dorong gerobak, toh kan bisa cari pekerjaan lain."

Kalimat itu masih kerap terdengar di telingaku. Malu, untuk apa, aku mencari rejeki halal, aku malu jika ketahuan mencuri.

"Nih bu, sosisnya." Kuserahkan sebungkus plastik bening berisi sosis goreng itu pada Bu Salwa.

"Terima kasih Neng Zia, jangan lupa, pikirkan lagi tawaran ibu tadi ya, lumayan lho nikmatin gaji tiga jutaan lebih sebulan," ucapnya setengah berbisik padaku.

Aku tidak menanggapinya, hanya tersenyum tipis. Tak lama aku pamit padanya, mendorong gerobakku kembali sembari menjajakan daganganku.

Sebuah sepeda motor berhenti dan pengemudinya melambaikan tangan saat aku keluar dari gang sempit ini, aku tersenyum melihat seorang gadis seusiaku kini tengah berjalan menghampiriku.

"Zia ... Gimana mau gak, kerja di tempat temen mamaku?"

"Gimana ya, aku gak bisa ninggalin Bapak, Sheila. Aku aja gak berani jualan jauh jauh, takut bapak kenapa-napa. Kau kan tahu sendiri, bapak sudah tua dan sendirian dirumah," jelasku.

"Ya, padahal aku sudah berharap kamu mau, kan lumayan rumahnya gak begitu jauh, dan kamu bisa pulang, gak harus menginap disana, lagipula gajinya besar, kerjanya cuma ngajarin anak SD saja."

Aku menggeleng," maaf ya, aku belum bisa."

Sheila menarik tanganku, dan berteriak pada seorang pedagang warung, yang berada tak jauh dari tempat kami bicara sekarang.

"Bang, titip gerobaknya sebentar ya." Ujar Sheila.

"Iya, taruh di samping warung saja." Sahut pemilik warung.

Lekas Sheila melepaskan tanganku lalu menepikan gerobak ke samping warung. Aku masih tak mengerti apa yang sebenarnya ingin ia lakukan. Begitu melihat gerobakku dirasa sudah aman, kembali ia menarik tanganku.

"Mau kemana, Sheila?" Tanyaku bingung.

"Sudahlah, ikut saja."

Sebuah helm diletakkan di atas tanganku, aku masih belum mengerti, apa yang direncanakan Sheila. Tak lama ia menyuruhku mengenakan helm dan memintaku duduk di boncengan belakang motornya.

"Cepat naik, Zia," perintahnya.

"Iya, tapi kemana?"

"Kerumah calon majikanmu,aku kesal jika melihatmu mendorong gerobak terus. Kau itu cerdas, kenapa tak berpikir mencari pekerjaan saja. Setidaknya, dengan wajah cantikmu itu, kau bisa jadi seorang beauty consultants produk kosmetik." Sheila mencicit.

"Ijazahku cuma SMA," jawabku spontan. Membuat Sheila langsung balas bertanya," lalu, kenapa?"

Sheila kembali berdiri menatapku, tak lama ia membuang pandangannya kearah jalan.

"Kau hanya akan mengajari baca, tulis, hitung seorang anak SD, tak perlu ijazah," desis Sheila.

Dengan paksaan darinya, akhirnya aku menyerah. Mengikutinya kerumah teman ibunya yang kebetulan sedang mencari seorang guru privat untuk mengajari anaknya. Setengah jam kemudian, kami tiba disebuah rumah mewah.

Rumah dengan desain Mediterania ini memiliki dua lantai, dengan taman yang didesain sangat menawan di halamannya depannya.

Aku terpukau saat menginjak lantai marmer di rumah ini, begitu bersih dan berkilau, ada rasa getir dihati, rasanya sandal jepitku yang usang tak pantas untuk menjejakkan langkah disini.

Seorang asisten rumah tangga membuka pintunya, beberapa saat setelah bel ditekan Sheila. Ia mempersilahkan kami untuk menunggu disofa tamu, sebelum ia memanggil majikannya.

Aku dan Sheila, menunggu dengan cemas disofa ini, desain interior ruang tamunya terlihat mewah dengan berbagai koleksi kristal yang tertata rapi didalam lemari kaca, tak lama, seorang wanita yang kutaksir berusia hampir empat puluh tahunan datang dengan gaya yang fashionable, menenteng sebuah tas branded keluaran rumah mode Paris akhirnya menemui kami.

"Tante Soraya!" Panggil Sheila.

"Sheila, ada perlu apa?" Jawab wanita itu.

Sheila pun mengenalkan aku dan mengutarakan niat kami kesini. Lama wanita bernama Soraya itu menatapku dan memperhatikan penampilanku, tak lama bibirnya tersenyum.

"Aku percaya padamu, Sheila. Baiklah, kau diterima kerja disini, kau akan mengurus anak perempuanku, Allysa. Tolong ajari dia." Wanita itu mengulurkan tangannya. Akupun menyambut uluran tangannya sambil berucap terima kasih.

"Mulai besok, Mbak Zia. Kau bisa memulai pekerjaanmu. Kau bisa datang jam sebelas. Sabtu Minggu kau libur. Pekerjaanmu adalah mengajari Allysa menulis, baca dan berhitung. Jika ada sesuatu yang menyangkut soal pekerjaan, kau bisa langsung bertanya padaku," Jelasnya.

"Iya, saya mengerti. Terima kasih, Bu Soraya," jawabku.

"Sama sama."

Setelah selesai dan tak ada keperluan lain, aku dan Sheila pamit pulang, sungguh aku sangat berterima kasih pada Sheila. Kupeluk dia berkali kali, sebagai ungkapan rasa terima kasih atas bantuannya.

****

Sudah hampir dua minggu aku menjadi guru privat bagi Allysa. Sebenarnya, Allysa anak yang baik dan cerdas, hanya saja anak itu kesepian, hingga kadang menyembunyikan emosinya dengan diam dan menyendiri. Bu Soraya bilang Allysa menjadi agak pendiam sejak ditinggal pengasuhnya yang pulang kampung dua bulan lalu.

Suami Bu Soraya adalah seorang pekerja tambang yang pulang sekali atau dua kali dalam sebulan. Sedang Bu Soraya sendiri mengelola sebuah butik dan salon mewah. Wajar saja jika Allysa merasa kesepian.

Selain Allysa, dirumah ini ada dua orang Asisten Rumah Tangga, hanya saja, salah satu dari mereka tidak menginap. Setengah jam yang lalu, sebenarnya aku sudah bisa pulang setelah mengajari Allysa membaca, hanya saja tadi Bu Soraya menelepon, meminta tolong untuk menemani Allysa sampai ia pulang, karena asisten rumah tangganya tadi sore tiba tiba meminta izin untuk menjenguk seorang kerabatnya di rumah sakit.

Diluar hujan turun cukup deras, dalam pesannya, Bu Soraya sudah memberitahu akan pulang terlambat, aku menoleh kearah jam didinding rumah ini, sudah hampir pukul tujuh malam. Aku memang sudah mengabari bapak. Hanya saja entah mengapa dari tadi perasaanku tidak enak.

Selepas Maghrib, Allysa sudah tertidur di kamarnya. Aku masih duduk, menunggu kepulangan Bu Soraya. Tepat pukul tujuh, pintu rumah tiba tiba diketuk. Karena mengira itu adalah Bu Soraya, sang pemilik rumah, aku langsung membuka pintunya.

Seorang laki laki memakai kemeja berwarna biru berdiri menatap nyalang padaku, bau pekat alkohol tercium dari tubuh dan mulutnya, aku mundur beberapa langkah, tak lama ia bertanya sambil membalikkan badan lalu mengunci pintunya.

"Siapa kau, cantik?" Sapanya dengan seringai tipis di wajahnya.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status