Share

Bab 4

"Melamar? Maksud Mas Bima?" Balasku bertanya padanya.

"Sebenarnya, sudah lama aku suka padamu. A-aku ... ingin menikahimu. Secepatnya, aku akan minta kedua orangtuaku datang kesini untuk melamarmu," ucapnya sambil menatapku.

Aku gugup. Melamar? Tuhan, mungkinkah saat ini aku sedang bermimpi?

***

Tak ada gadis di daerah sini yang tak mengenal sosok Bima Satria Hanggono. Pemuda itu adalah putra pertama dari sebuah keluarga terpandang daerah sini, ayahnya memiliki usaha furniture dan puluhan ruko. Sedang ibunya, mengelola usaha bakery yang sedang berkembang.

Mas Bima adalah kakak kelasku sewaktu di SMA dulu, beliau dua tingkat diatasku. Kudengar ia baru saja menyelesaikan kuliahnya dua bulan lalu, Rasanya aneh, pria dengan banyak wanita yang mengidolakannya tiba tiba melamar seorang yatim piatu sepertiku.

Hubungan kami selama ini biasa saja, tak ada yang istimewa, kadang kami bertemu saat aku sedang berjualan, sesekali ia memborong daganganku, dengan alasan untuk cemilan adiknya di rumah.

Aku masih terpaku menatapnya, apakah saat ini ia sedang bercanda padaku. Jika benar, bagiku ini tidak lucu.

"Zia, apa kau mendengarku?"

"Hah?"

Ia menggeleng pelan, aku membulatkan mataku, meyakinkan ini benar-benar terjadi?

"Mas sedang tidak bercanda kan?"

"Apa aku terlihat seperti itu? Aku serius, Zia. Kebetulan papa sedang sedang keluar kota, nanti jika ia pulang, aku akan meminta melamarmu secepatnya." Jelasnya.

"Apa kau bersedia menerimaku, Zia?"

Degg.

Jantungku mulai berdegup kencang, ingatanku tiba tiba kembali mengingat malam terkut*k itu. Andai Mas Bima mengetahuinya, masihkah ia mau menerimaku?

"Zia, aku masih belum mendengar jawabanmu?" Ia bertanya kembali.

Aku menggelengkan kepalaku," maaf Mas, bukan aku bermaksud menolaknya, hanya saja aku masih berkabung atas kematian bapak, saat ini belum terpikir bagiku untuk menikah," jawabku.

"Aku mengerti, Zia. Jika kau izinkan bisakah kita memulai hubungan kita? Pelan pelan saja, dan saat kau mulai menerima hubungan ini, aku akan melamarmu."

Aku tak menjawabnya, hanya seulas senyum tipis merekah diwajahku.

****

Pagi ini aku sudah bersiap, tak lupa mengambil tas dan menyandangkannya di bahuku. Hari ini aku akan mulai berjualan lagi, setelah cukup lama tidak keluar rumah.

Dengan mendorong gerobak, aku mampir dulu kerumah Mak Siti, mengambil barang dagangan yang nantinya akan kujual, aku harus mulai mengumpulkan uang, enam bulan lagi tahun ajaran baru akan dimulai, aku ingin melanjutkan pendidikanku, mengejar kembali impianku menjadi seorang guru.

"Neng Zia, udah siap mau jualan lagi?" Tanya Mak Siti, begitu aku tiba dirumahnya.

"Iya, Mak. Mulai ngumpulin uang lagi, buat kuliah." Jawabku.

"Bagus itu neng, nih barangnya, mau ambil berapa banyak?" Mak Siti bertanya lagi.

"Kayak biasa aja mak," jawabku.

"Neng Zia, yang sabar ya, Mak yakin kok, neng Zia bisa jadi guru nanti. Habis neng Zia, orangnya ulet. Suka kerja keras," puji Mak Siti.

Aku mengambil barang dagangan dari Mak Siti dan menatanya di atas gerobak milikku. Tak sampai sepuluh menit akupun mohon diri dan mulai mendorong gerobakku. Memulai rute jualanku.

Sepanjang hari mendorong gerobak, menjual dagangan membuat kaki terasa pegal, untung saja sebentar lagi mau pulang, kulirik sebentar isi gerobakku, kelihatannya sudah tak ada lagi barang yang harus ku jual, berarti sudah saatnya untuk pulang. Bergegas kudorong gerobak menuju kerumah.

Ku letakkan gerobak disamping rumah, rasanya hari ini cukup lelah, kubuka pintu rumah dan tak lupa untuk menguncinya kembali, tak lama, akupun mengambil handuk dan membersihkan diri.

Siang tadi Mas Bima mencariku, ia bilang hari minggu depan akan mengajakku ke rumahnya, mengenalkan aku pada keluarga besarnya. Aku tak tahu apakah harus senang atau merasa sedih, bayang bayang malam itu terus menghantui hari-hari ku. Aku takut mas Bima akan membuangku ketika tahu jika kehormatanku sudah hilang.

Bapak.

Aku menghela nafas panjang, sendirian di rumah, kadang membuatku mencari bayangan bapak. Seandainya bapak masih ada tentu ia akan senang mendengar lamaran Mas Bima.

Kupandangi kotak kayu yang ada diatas meja kecil di kamarku, kotak kayu kecil berisi sebuah cincin akik merah dan surat itu masih membuatku bingung. Tak ada alamat yang tertulis, lalu kemana aku mencari Pak Lukman?

Ah iya, Foto!

Sebuah foto usang yang kutemukan waktu itu kuambil dari dalam lemari pakaianku. Lama aku memandang foto itu. Tetap tak ada petunjuk disana yang bisa kudapatkan.

Ditengah lamunanku, tanpa sengaja aku menjatuhkan foto itu dari tanganku, sebuah kalimat tertulis dibalik foto itu, sebuah kalimat yang nantinya akan membawaku kesebuah tempat.

Rahman dan Lukman (Desa Sejahtera, Banyumas Mei 1990)

Jadi benar, ini foto diri bapak dan Pak Lukman?

Kupandangi kembali foto itu, sebuah senyum kini mengembang diwajahku, sekarang aku tahu kemana harus mencari Pak Lukman.

Banyumas adalah kota kelahiran bapak, kenapa aku sampai tak terpikirkan hal kecil seperti ini. Aku menepuk pelan kepalaku. Sudah kuputuskan, esok aku akan pergi ke Banyumas, akan kupenuhi keinginan terakhir bapak. Menagih hutang dan janji Pak Lukman.

****

Hari masih terang, saat aku turun dari bus yang membawaku ke kota ini. Menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di kota asing ini. Banyumas, sebuah kota di Jawa tengah, yang terkenal dengan tempe mendoan khasnya.

Akupun mencari angkutan desa, menurut petunjuk arah G****e, jarak ke Desa sejahtera, hanya sekitar dua puluh lima kilometer saja dari terminal bus. Aku pun menyandang tas punggungku kembali dan bergegas naik dan duduk disebelah Pak sopir, tujuannya jelas agar mempermudahku untuk bertanya alamat.

"Pak, maaf nanti tolong berhenti di Balai Desa sejahtera ya," pintaku pada Pak sopir angkutan desa ini.

"Nggih mbak," Jawabnya.

Lima menit kemudian, mobil angkutan desa ini pun berjalan, meninggal terminal bus di kota Banyumas.

Sepanjang perjalanan aku sangat menikmati pemandangan alam desa. Sawah sawahnya yang membentang, para petani yang melintas sambil membawa keranjang dan topi capingnya, adalah sesuatu yang tidak bisa kulihat dikota.

"Mbak, niku balai Desa sejahtera, " ucap Pak sopir itu menunjuk ke sebuah bangunan di sisi kiriku.

Aku mengangguk dan turun, setelah menyerahkan selembar pecahan uang sepuluh ribu kepada Pak sopir.

"Kembaliannya, mbak." Ucapnya sambil menyerahkan dua lembar uang pecahan dua ribuan.

"Terima kasih."

Mobil angkutan desa itu kembali melaju, aku menatap bangunan ini, Sepi, aku menoleh kekanan dan kekiri, mencari seseorang yang bisa diajak bicara. Sayang, hanya ada kendaraan saja yang lalu lalang melintas.

Cukup lama aku terdiam menatap bangunan balai desa ini, hingga akhirnya seorang wanita paruh baya menggendong seorang anak kecil, menyapaku ramah.

"Nggoletti sopo, mbak?" Aku langsung menoleh, senyumku kembali merekah. Tuhan benar-benar tak akan meninggalkan hambanya yang berusaha.

"Saya cari rumahnya Pak Lukman, Mbah," jawabku.

''Pak Lukman?" Ia terlihat mengernyitkan dahi, berpikir.

Aku mengeluarkan foto usang yang kubawa dari rumah, dan memperlihatkan foto itu padanya.

"Ini bu, yang ini." Kutunjuk gambar diri seorang pria dalam foto itu.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status