Share

Bab 4

Penulis: Rira Faradina
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-26 14:58:47

"Melamar? Maksud Mas Bima?" Balasku bertanya padanya.

"Sebenarnya, sudah lama aku suka padamu. A-aku ... ingin menikahimu. Secepatnya, aku akan minta kedua orangtuaku datang kesini untuk melamarmu," ucapnya sambil menatapku.

Aku gugup. Melamar? Tuhan, mungkinkah saat ini aku sedang bermimpi?

***

Tak ada gadis di daerah sini yang tak mengenal sosok Bima Satria Hanggono. Pemuda itu adalah putra pertama dari sebuah keluarga terpandang daerah sini, ayahnya memiliki usaha furniture dan puluhan ruko. Sedang ibunya, mengelola usaha bakery yang sedang berkembang.

Mas Bima adalah kakak kelasku sewaktu di SMA dulu, beliau dua tingkat diatasku. Kudengar ia baru saja menyelesaikan kuliahnya dua bulan lalu, Rasanya aneh, pria dengan banyak wanita yang mengidolakannya tiba tiba melamar seorang yatim piatu sepertiku.

Hubungan kami selama ini biasa saja, tak ada yang istimewa, kadang kami bertemu saat aku sedang berjualan, sesekali ia memborong daganganku, dengan alasan untuk cemilan adiknya di rumah.

Aku masih terpaku menatapnya, apakah saat ini ia sedang bercanda padaku. Jika benar, bagiku ini tidak lucu.

"Zia, apa kau mendengarku?"

"Hah?"

Ia menggeleng pelan, aku membulatkan mataku, meyakinkan ini benar-benar terjadi?

"Mas sedang tidak bercanda kan?"

"Apa aku terlihat seperti itu? Aku serius, Zia. Kebetulan papa sedang sedang keluar kota, nanti jika ia pulang, aku akan meminta melamarmu secepatnya." Jelasnya.

"Apa kau bersedia menerimaku, Zia?"

Degg.

Jantungku mulai berdegup kencang, ingatanku tiba tiba kembali mengingat malam terkut*k itu. Andai Mas Bima mengetahuinya, masihkah ia mau menerimaku?

"Zia, aku masih belum mendengar jawabanmu?" Ia bertanya kembali.

Aku menggelengkan kepalaku," maaf Mas, bukan aku bermaksud menolaknya, hanya saja aku masih berkabung atas kematian bapak, saat ini belum terpikir bagiku untuk menikah," jawabku.

"Aku mengerti, Zia. Jika kau izinkan bisakah kita memulai hubungan kita? Pelan pelan saja, dan saat kau mulai menerima hubungan ini, aku akan melamarmu."

Aku tak menjawabnya, hanya seulas senyum tipis merekah diwajahku.

****

Pagi ini aku sudah bersiap, tak lupa mengambil tas dan menyandangkannya di bahuku. Hari ini aku akan mulai berjualan lagi, setelah cukup lama tidak keluar rumah.

Dengan mendorong gerobak, aku mampir dulu kerumah Mak Siti, mengambil barang dagangan yang nantinya akan kujual, aku harus mulai mengumpulkan uang, enam bulan lagi tahun ajaran baru akan dimulai, aku ingin melanjutkan pendidikanku, mengejar kembali impianku menjadi seorang guru.

"Neng Zia, udah siap mau jualan lagi?" Tanya Mak Siti, begitu aku tiba dirumahnya.

"Iya, Mak. Mulai ngumpulin uang lagi, buat kuliah." Jawabku.

"Bagus itu neng, nih barangnya, mau ambil berapa banyak?" Mak Siti bertanya lagi.

"Kayak biasa aja mak," jawabku.

"Neng Zia, yang sabar ya, Mak yakin kok, neng Zia bisa jadi guru nanti. Habis neng Zia, orangnya ulet. Suka kerja keras," puji Mak Siti.

Aku mengambil barang dagangan dari Mak Siti dan menatanya di atas gerobak milikku. Tak sampai sepuluh menit akupun mohon diri dan mulai mendorong gerobakku. Memulai rute jualanku.

Sepanjang hari mendorong gerobak, menjual dagangan membuat kaki terasa pegal, untung saja sebentar lagi mau pulang, kulirik sebentar isi gerobakku, kelihatannya sudah tak ada lagi barang yang harus ku jual, berarti sudah saatnya untuk pulang. Bergegas kudorong gerobak menuju kerumah.

Ku letakkan gerobak disamping rumah, rasanya hari ini cukup lelah, kubuka pintu rumah dan tak lupa untuk menguncinya kembali, tak lama, akupun mengambil handuk dan membersihkan diri.

Siang tadi Mas Bima mencariku, ia bilang hari minggu depan akan mengajakku ke rumahnya, mengenalkan aku pada keluarga besarnya. Aku tak tahu apakah harus senang atau merasa sedih, bayang bayang malam itu terus menghantui hari-hari ku. Aku takut mas Bima akan membuangku ketika tahu jika kehormatanku sudah hilang.

Bapak.

Aku menghela nafas panjang, sendirian di rumah, kadang membuatku mencari bayangan bapak. Seandainya bapak masih ada tentu ia akan senang mendengar lamaran Mas Bima.

Kupandangi kotak kayu yang ada diatas meja kecil di kamarku, kotak kayu kecil berisi sebuah cincin akik merah dan surat itu masih membuatku bingung. Tak ada alamat yang tertulis, lalu kemana aku mencari Pak Lukman?

Ah iya, Foto!

Sebuah foto usang yang kutemukan waktu itu kuambil dari dalam lemari pakaianku. Lama aku memandang foto itu. Tetap tak ada petunjuk disana yang bisa kudapatkan.

Ditengah lamunanku, tanpa sengaja aku menjatuhkan foto itu dari tanganku, sebuah kalimat tertulis dibalik foto itu, sebuah kalimat yang nantinya akan membawaku kesebuah tempat.

Rahman dan Lukman (Desa Sejahtera, Banyumas Mei 1990)

Jadi benar, ini foto diri bapak dan Pak Lukman?

Kupandangi kembali foto itu, sebuah senyum kini mengembang diwajahku, sekarang aku tahu kemana harus mencari Pak Lukman.

Banyumas adalah kota kelahiran bapak, kenapa aku sampai tak terpikirkan hal kecil seperti ini. Aku menepuk pelan kepalaku. Sudah kuputuskan, esok aku akan pergi ke Banyumas, akan kupenuhi keinginan terakhir bapak. Menagih hutang dan janji Pak Lukman.

****

Hari masih terang, saat aku turun dari bus yang membawaku ke kota ini. Menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di kota asing ini. Banyumas, sebuah kota di Jawa tengah, yang terkenal dengan tempe mendoan khasnya.

Akupun mencari angkutan desa, menurut petunjuk arah G****e, jarak ke Desa sejahtera, hanya sekitar dua puluh lima kilometer saja dari terminal bus. Aku pun menyandang tas punggungku kembali dan bergegas naik dan duduk disebelah Pak sopir, tujuannya jelas agar mempermudahku untuk bertanya alamat.

"Pak, maaf nanti tolong berhenti di Balai Desa sejahtera ya," pintaku pada Pak sopir angkutan desa ini.

"Nggih mbak," Jawabnya.

Lima menit kemudian, mobil angkutan desa ini pun berjalan, meninggal terminal bus di kota Banyumas.

Sepanjang perjalanan aku sangat menikmati pemandangan alam desa. Sawah sawahnya yang membentang, para petani yang melintas sambil membawa keranjang dan topi capingnya, adalah sesuatu yang tidak bisa kulihat dikota.

"Mbak, niku balai Desa sejahtera, " ucap Pak sopir itu menunjuk ke sebuah bangunan di sisi kiriku.

Aku mengangguk dan turun, setelah menyerahkan selembar pecahan uang sepuluh ribu kepada Pak sopir.

"Kembaliannya, mbak." Ucapnya sambil menyerahkan dua lembar uang pecahan dua ribuan.

"Terima kasih."

Mobil angkutan desa itu kembali melaju, aku menatap bangunan ini, Sepi, aku menoleh kekanan dan kekiri, mencari seseorang yang bisa diajak bicara. Sayang, hanya ada kendaraan saja yang lalu lalang melintas.

Cukup lama aku terdiam menatap bangunan balai desa ini, hingga akhirnya seorang wanita paruh baya menggendong seorang anak kecil, menyapaku ramah.

"Nggoletti sopo, mbak?" Aku langsung menoleh, senyumku kembali merekah. Tuhan benar-benar tak akan meninggalkan hambanya yang berusaha.

"Saya cari rumahnya Pak Lukman, Mbah," jawabku.

''Pak Lukman?" Ia terlihat mengernyitkan dahi, berpikir.

Aku mengeluarkan foto usang yang kubawa dari rumah, dan memperlihatkan foto itu padanya.

"Ini bu, yang ini." Kutunjuk gambar diri seorang pria dalam foto itu.

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 70

    Apa kau masih jatuh cinta padaku?" "Aku ...." Ah, sial lidahku mendadak kaku, membuatku akhirnya menggigit bibirku. Kulirik ia terkekeh geli melihat sikapku yang masih malu malu, karena tak tahan menahan malu, kucoba untuk mengalihkan perhatiannya. Lagipula aku masih belum mendengar ungkapan cintanya, untukku. "Mas, bagaimana kabar Mbak Kinanti, apa ia baik baik saja?" Mendengar pertanyaanku Mas Rangga sontak menghentikan tawanya, raut wajahnya langsung berubah cemas. "Kinanti, dia ...." Ucap Mas Rangga ragu. "Apa yang terjadi padanya, katakan mas, aku ingin tahu," desakku penasaran. *** Mas Rangga menatapku dalam, beberapa kali ia mengerjapkan matanya, seolah ragu untuk mengatakannya, membuatku semakin ingin tahu apa yang terjadi pada Kinanti pasca kecelakaan itu. Ia menatapku, meraih dan menggenggam tanganku, lalu menciumnya perlahan, tak lama sebuah kenyataan pahit keluar dari bibirnya. "Kinanti meninggal saat dalam perjalanan kerumah sakit, Zia" Ucap Mas Rangga dengan sua

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 69

    Mas Rangga kembali menghampiri, lalu memegang erat tanganku, ada rasa hangat dihatiku saat tangannya kemudian menyentuh pipiku, rasa takutku selama ini ketika berdekatan dengannya, tiba tiba menguap dan hilang entah kemana, berganti dengan rasa rindu yang menggebu. "Maafkan aku, Zia!" Aku mengedipkan kedua mataku beberapa kali saat mendengar kalimat itu darinya, Mas Rangga meminta maaf padaku, untuk apa? ****Lidahku masih kaku untuk kuajak bicara. Kucoba untuk duduk, tapi rasa sakit langsung menjalar saat tubuh ini kupaksa bergerak. "Tak usah bergerak, kau mau apa? Cukup katakan saja padaku." Ia bertanya, raut wajahnya terlihat cemas. "A-aku cuma mau minum, mas!" Jawabku pelan dan terbata. "Sebentar, akan kuambilkan untukmu," ucapnya lalu menuang air di teko kecil itu kedalam sebuah gelas. Aku masih berusaha untuk duduk, sayang, dengan tenaga yang kumiliki, ternyata masih belum bisa untuk mengangkat tubuhku sendiri, melihatku yang kesulitan, Ia pun membantu mengangkat tubuhku

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 68

    Benarkah ini? Leon sudah mati?" Ia terus bergumam. Aku dan adik perempuan Leon, hanya memperhatikan saja. Untuk beberapa saat ia menangis. Tertunduk lemas. Setelah puas menangis, ia kembali menatapku, kupikir ia sudah mengingat masa lalu yang ingin ia kubur itu, sayang, kegembiraanku hanya sesaat. Tak berselang lama. Kinanti pun tertawa. "Makam siapa ini Mas? Ini tidak mungkin Leon," Ujarnya. **** Ia masih tertawa, sesekali diam menatap sedih kearah nisan itu. Karena merasa usahaku tak membuahkan hasil, akupun menelpon adik laki laki Kinanti yang sudah menyusul kami ke Singapura kemarin, agar bersiap membawanya kembali pulang ke Indonesia. Tak lama, Kubujuk dia untuk kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan pulang dari pemakaman menuju hotel, tangan Kinanti tak lepas dari lenganku, sesekali wajah itu menatapku tajam seolah ingin melampiaskan kemarahannya. Dua hari lamanya Kinanti menolak keluar dari dalam kamar hotelnya saat mengetahui adiknya datang untuk menjemputnya pulang. D

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 67

    Sebuah rencana mulai terpikir olehku saat aku melihat obat penenang yang disiapkan mama untukku ini. Rencana untuk membuat Rangga kembali mengingatku dan membuatnya tak akan pergi meninggalkanku lagi. "Rencana yang hebat," Ucapku sambil tertawa puas saat melihat pil perangsang yang kubeli via online ini sudah berada ditanganku. "Kau adalah milikku mas, selamanya akan selalu jadi milikku. Tak akan kubiarkan kau pergi meninggalkanku lagi," ucapku sambil tersenyum manis.*** PoV Rangga. Singapura Pesawat ini perlahan lahan mulai menukik tajam kebawah, sebentar lagi akan landing di Changi Airport Singapura. Kulihat Kinanti sedang bersiap dan merapikan barang barangnya. Perjalanan ke Singapura ini memang kurencanakan bukan untuk berlibur seperti yang ada dalam pikiran istriku, Zia. Tapi untuk mencoba berusaha menyadarkan dan membuka mata Kinanti. Rencana perjalanan ke Singapura ini kubuat bersama dengan adik laki lakinya, aku terpaksa meminta bantuan dari keluarga Kinanti demi me

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 66

    Duarr .... Suara tabrakan itu terdengar keras dan membuat tubuhku berguncang. Ditengah kesadaranku yang makin menipis, masih kulihat ia yang tersenyum dalam tangis, menyebut sebuah nama. "Leon, kenapa kau pergi meninggalkanku!" Tak lama setelah mengucap kalimat itu ia menutup kedua matanya. Dengan mengumpulkan sisa tenaga, aku memanggil namanya, dan berusaha membangunnya, namun, kesadaranku semakin menghilang, hal terakhir yang masih kuingat adalah mencium bau parfum Mas Rangga yang sangat kusukai. **** PoV Kinanti. Kutatap undangan pernikahan di tanganku, Undangan yang telah selesai dicetak dan sudah sebagian disebar. Undangan berwarna biru bercampur emas dengan desain kekinian ini terlihat mewah dan elegan. Aku tersenyum saat mendengar laporan dari Wedding Organizer yang kusewa untuk mengurus acara pernikahanku. Aku puas mendengar laporannya yang menyatakan bahwa semua persiapan hampir selesai, sungguh, rasanya sudah tak sabar menunggu hari istimewa ini dua minggu lagi.

  • Sepiring Tumis Pepaya Muda   Bab 65

    "Ayo kita pulang kerumah, Mbak," ajak adik laki lakinya. Kinanti diam saja, akhirnya wanita itu menurut, membuang pecahan vas bunga itu kelantai setelah Mas Rangga yang berhasil membujuknya. Ia masih diam terpaku disana, aku menghela nafas lega, setidaknya benda tajam itu tak lagi dipegangnya. Tanpa menyadari jika sedetik kemudian wanita itu tiba tiba berdiri dengan seringai mengerikan di wajahnya lalu berjalan cepat kearahku, tangannya kembali mencengkram leherku. "Aku akan menyingkirkan wanita ini Mas, agar kau tak meninggalkanku lagi," ancamnya dengan pecahan vas ditangan kirinya yang ia tempelkan di wajahku. **** "Lepaskan Zia, Kinanti, Jangan melukainya. Dia tak tahu apa apa," Mas Rangga mencoba membujuknya. Aku memejamkan mata, pecahan vas itu kini turun ke leherku. Cengkeraman tangannya terlalu kuat untukku, membuatku semakin sulit bernapas. "Mbak, lepaskan aku ... A-aku tak tahu apapun tentang kalian," ucapku terbata. "Diam kau, ikut aku," ia menarikku paksa lalu mas

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status