Share

Bab 5

"Saya cari rumahnya Pak Lukman, Mbah," jawabku.

''Pak Lukman?" Ia terlihat mengernyitkan dahi, berpikir.

Aku mengeluarkan foto usang  yang kubawa dari rumah, dan memperlihatkan foto itu padanya.

"Ini bu, yang ini." Kutunjuk gambar diri seorang pria dalam foto itu.

***

"Ora ketonan mbak," balasnya, aku mulai bingung, diusianya yang mulai sepuh, wajar saja matanya sudah tak begitu jelas melihat.

"Bu, niki sopo?" Seorang pria berusia sekitar empat puluh tahunan tiba tiba mendekat.

"Maaf, saya cuma bertanya Pak, kenal dengan Pak Lukman?"

"Pak Lukman siapa, Mbak. Maaf, tapi desa ini cukup luas, dan yang namanya Lukman cukup banyak disini."

Aku tersenyum getir sambil membuang nafas panjang saat  mendengarnya. Oh tuhan, jangan sampai pencarianku sia sia.

"Njenengan coba nanya Pak kades, mbak. Rumahnya disana," katanya sambil menunjuk arah.

"Imah, ngeneh." Laki laki itu memanggil seorang gadis remaja, tak lama gadis itu menghampiri kami.

"Dalem pak,"

"Anterin mbak'e, kerumah Pak Kades, gawa montorre bapak ya."

Gadis itu menurut, tak lama ia pun menatapku dan langsung mengajakku naik keatas sepeda motor miliknya.

"Ayo Mbak." Akupun mengikutinya, sambil tak lupa mengucapkan terima kasih.

Kami naik sepeda motor milik Imah, sepuluh menit kemudian kami pun berhenti didepan sebuah rumah bertingkat dua.

Seorang pria yang kutaksir berusia sekitar lima puluh tahunan langsung menyapa kami ramah, Imah pun pamit, aku pun menyampaikan maksud dan tujuanku datang kemari.

"Pak Lukman yah,"ucapnya sambil menatap foto usang yang kuberikan padanya.

"Iya pak, yang disebelahnya itu bapak saya, Pak Rahman," terangku.

"Pak Rahman, Pak Lukman," gumamnya.

"Pak, apakah itu Pak Lukman, anak mbareppe Mbah Saripah yang merantau ke Jakarta itu?" Ucap seorang wanita yang tiba tiba datang.

"Kayaknya iya buk, maaf mbak, apa Pak Rahman juga orang sini,?" Tanya Pak Kades.

Aku menggeleng, "ibunya Pak Rahman, maksudnya bapakku, memang berasal dari desa ini, pak. Masa kecil bapak juga dihabiskan disini." Jawabku.

Yah, nenekku memang berasal dari desa ini, lalu bersama kakek, mereka mencoba mengubah nasib dengan meninggalkan desa ini saat bapak mulai beranjak dewasa.

Aku pun tak mengerti, takdir apa yang mempertemukan bapak dengan Pak Lukman dulu, hingga membuat bapak berpesan untuk menagih janji dan hutang Pak Lukman padanya. Tak lama, Pak Kades pun mengajakku kerumah Mbah Saripah. Sebuah rumah yang terlihat lebih bagus dari rumah warga yang lain ditunjukkan Pak Kades padaku.

Kami pun datang bertamu dan Pak Kades menyampaikan maksud kedatanganku ke desa ini, mencari Pak Lukman ttg, anak lelaki Mbah Saripah. Ditemani cucu lelakinya, wanita itu dengan ramah menyambut kedatangan kami.

Wanita yang sudah sangat sepuh itu, sudah tak begitu mengerti apa yang kami bicarakan. Terakhir cucu lelakinya, membenarkan jika pria didalam foto itu memang benar Pak Lukman, anak lelaki Mbah Saripah.

"Ini alamatnya dijakarta, Mbak." Sebuah kertas bertuliskan alamat diberikannya padaku.

Aku membaca dengan seksama alamat yang ditulis di atas kertas ini. Astaga, alamat Pak Lukman berada tak begitu jauh dari rumahku. Aku bersyukur setidaknya kedatanganku ke desa ini tidaklah sia sia.

"Terima kasih banyak, Mbah, mas," pamitku pada keluarga Pak Lukman.

Aku dan Pak kades pergi meninggalkan rumah keluarga Pak Lukman. Rasanya aku sudah tak sabar ingin segera pulang ke Jakarta.

"Nak Zia, akan langsung ke terminal bus? Tidak menginap dulu disini," tanya istri Pak Kades, aku langsung menggeleng pelan.

"Tidak bu, terima kasih. Maaf saya sudah merepotkan, tapi malam ini juga saya harus pulang kejakarta." Jawabku cepat.

"Bapak, tenanglah! tak lama lagi hutang dan janji Pak Lukman akan kutagih," gumamku dalam hati.

***

Aku memandang bangunan megah di hadapanku, sebuah rumah berlantai tiga yang hampir sebagian dicat berwarna kuning emas. ditambah dengan lantai keramik yang mewah, Sungguh, rumah itu terlihat sangat megah bagiku.

Semilir angin menerpa wajah, ketika tanganku hendak menyentuh pagar rumah ini, tak lama seorang laki laki tinggi besar dan berseragam hitam datang menghampiriku.

"Cari siapa, Mbak? Maaf, jika ingin minta sumbangan, bisa ketempat lain saja," ucapnya tak bersahabat.

Aku hanya tersenyum getir, melihatku yang memakai pakaian sederhana, sendal jepit dan membawa tas punggung, wajar saja jika penjaga rumah ini mengira kedatanganku kesini untuk mencari sumbangan.

"Maaf, apa benar ini rumah Pak Lukman?" Tanyaku dari balik pagar.

"Iya, ini memang rumahnya Pak Lukman, Mbak siapa dan ada perlu apa dengan Pak Lukman?" Balasnya sedikit ketus.

"Boleh saya bertemu dengan beliau, Pak?"

"Maaf, mbak. Sudah punya janji belum? Gak sembarang orang bisa bertemu dengan Pak Lukman," sinisnya sambil memandangku tajam.

"Belum, cuma saya ada perlu penting dengan Pak Lukman, maaf, apa saya terlihat seperti seorang pengemis?" Balasku kesal.

"Baiklah, hanya saja jangan salahkan saya, jika nanti akan diusir keluar," ucapnya sambil membuka kunci pagar rumah ini.

Tiga buah mobil terlihat berbaris di halaman rumahnya, saat menjejakkan kaki di halaman rumah ini. Ditemani penjaga tadi, aku melangkahkan kaki menuju pintu utama. Tak lama, penjaga itu menekan bel rumah yang berada disudut kanan atas.

Wajah seorang wanita berusia tiga puluhan, langsung menyembul ketika pintu ini terbuka, wanita dengan kemoceng ditangannya itu memandangku heran. Untunglah, pria penjaga yang berdiri disampingku langsung mengatakan maksud dan tujuanku datang kerumah ini.

"Bapak ada didalam, ayo masuk dulu mbak," ajaknya sambil membuka lebar daun pintu ini.

Pria penjaga itu lalu pergi meninggalkan kami, wanita itu memintaku untuk duduk lalu dengan sopan menanyakan namaku.

"Namaku Zivara, katakan saja aku putrinya Pak Rahman, tujuanku datang kesini ialah untuk menagih hutang dan janji beliau pada bapakku," jelasku.

"Baiklah."

Meski terlihat bingung, wanita itu membalikkan badannya, lalu pamit sebentar untuk menyampaikan pesanku pada majikannya. Berselang lima menit kemudian, wanita tadi datang, dengan membawa baki berisi segelas minuman dingin, tak lama ia meletakkannya di atas meja.

"Minum dulu mbak, nanti bapak akan kesini, tadi sewaktu saya menyampaikan pesan Mbak Zia, beliau masih bicara dengan Den Rangga, putranya." Ucap wanita itu kemudian berlalu meninggalkanku sendiri.

Aku mengangguk, cukup lama aku duduk menunggu disini, kulirik jam di dinding ruangan ini, ternyata sudah lima belas menit berlalu, kupeluk tas punggungku, tas satu satunya yang kumiliki. Berharap kedatanganku kemari tidak sia sia.

Rumah ini sangat mewah dalam penilaian mataku, sofa ini juga sangat empuk saat kududuki, sangat berbeda jauh dengan sofa butut dirumahku. Sungguh, aku sangat mengagumi desain interior rumah ini.

"Maaf, mbaknya yang ingin bertemu dengan saya?"

Aku membalikkan badanku, menoleh ke asal suara, Tampak di sana berdiri seorang pria, karena terkejut, aku menjawabnya terbata.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status