Share

Seratus Kali Janji Palsu
Seratus Kali Janji Palsu
Author: Makjos

Bab 1

Author: Makjos
Dari telepon terdengar suara jernih Yeni.

"Maaf ya, Cesya. Jantungku lagi nggak enak. Soni khawatir, jadi maksa aku tinggal di rumah sakit buat observasi beberapa hari. Nanti pulang, aku pasti suruh dia minta maaf sama kamu."

Aku tidak menjawab, hanya diam mendengarkan suara angin yang berdesir, lalu terdengar suara dingin Soni.

"Kamu memang terlalu lembut. Kalau ada yang nyakitin kamu, kamu sendiri pun nggak sadar."

"Cesya, kamu jangan terlalu mempermasalahkan ini. Badan Yeni memang selalu lemah. Kita cari waktu lain saja buat urus pernikahan ini."

Ternyata dia bukannya tidak tahu hari ini hari mendaftar pernikahan, hanya sibuk menemani perempuan yang paling dia sayangi bahkan kabar pembatalan pun enggan dia sampaikan padaku.

Dulu, di saat seperti ini, aku pasti sudah hancur, menangis, dan kehilangan kendali. Aku akan memaksa bertengkar dengan Soni untuk mencari jawaban.

Sekarang, hatiku benar-benar tenang.

Suaraku tetap datar. "Kalau nggak ada urusan lain, aku tutup dulu."

Soni mengira aku akhirnya mengerti, suaranya bahkan terdengar lembut. "Asal kamu nggak marah. Aku beneran nggak bisa ninggalin Yeni sekarang. Nanti beberapa hari lagi kita…"

Aku tanpa ekspresi memutus telepon, menatap pintu Kantor Catatan Sipil yang tertutup rapat. Aku melepaskan cincin dari jariku dan membuangnya ke tempat sampah di samping.

Dalam perjalanan pulang, aku membuka status WhatsApp Yeni.

Waktu unggahannya baru saja. [Naik gunung bareng orang tercinta! Bos besar hari ini sibuk sekali, tapi tetap mau luangin waktu nemenin aku! Cinta kamu!]

Mereka berdua bergandengan erat, wajah saling menempel mesra seperti pasangan yang sedang dimabuk cinta. Sinar matahari senja menyinari mereka, tenang dan indah.

Kolom komentar penuh dengan tulisan “iri banget!”

Jujur saja, selama bertahun-tahun, aku dan dia bahkan tidak punya satu pun foto yang layak ditunjukkan.

Dulu aku pernah berkali-kali mengajaknya naik gunung, tapi dia hanya tertawa sambil bilang akan menemaniku setelah urusannya selesai.

Aku menunggu tahun demi tahun. Saat aku bertanya terlalu sering, dia hanya melambaikan tangan dan berkata, "Naik gunung itu capek. Aku sibuk kerja. Kamu bisa nggak berhenti ganggu aku sama hal kecil begini?"

Ternyata dia bukan nggak mau naik gunung, dia hanya tidak mau naik gunung denganku.

Aku terus menggulir linimasa Yeni, dadaku terasa perih seperti ditusuk jarum rapat-rapat.

Mereka pernah melihat indahnya pegunungan salju bersama, menonton konser penyanyi favoritku bersama, bahkan keliling dunia bersama. Setiap foto yang mereka ambil jadi bukti mereka pernah saling memiliki.

Semua momen itu jatuh tepat di hari ketika Soni bilang padaku bahwa dia harus dinas luar kota atau sedang bersiap urus pernikahan denganku.

Aku seperti lelucon, terus-menerus menghibur diri sendiri dengan keyakinan bahwa dia pasti sedang berusaha demi masa depan kami.

Saat sampai di rumah, aku membuka kotak yang dia simpan rapi di ruang kerjanya.

Melihat setumpuk tiket pesawat dan foto-foto yang tak terhitung jumlahnya. Hatiku benar-benar mati. Aku langsung menekan nomor telepon seniorku.

"Kak Risti, aku sudah memutuskan. Aku siap pergi ke luar negeri bergabung sama orkestra yang Kakak dirikan. Aku nggak akan kembali lagi."

Seniorku jelas terkejut, lalu suaranya terdengar senang.

"Serius, Cesya? Begitu visa kamu turun, aku langsung belikan tiket. Aku sudah mengundangmu dari lama, akhirnya kamu mau juga."

Lalu dia terdengar sedikit khawatir. "Soni tahu belum? Jangan-jangan ini karena kalian bertengkar, terus kamu asal mengiyakan?"

Aku menggeleng. "Bukan, ini keinginanku sendiri."

Risti terdengar lega. Setelah memastikan, dia langsung mengirim kontrak padaku.

Tanpa ragu sedikit pun aku menandatanganinya.

Aku mendorong pintu gudang sesampainya depan gudang lantai dua.

Di tengah ruangan, piano itu dipenuhi debu tebal, persis seperti semua waktu yang dulu kuanggap indah tapi diam-diam terkubur.

Setelah lama bersama, Soni selalu nggak suka kalau aku ikut tur bersama orkestra. Dia selalu bilang orang-orang di sana penuh intrik dan berantakan, katanya itu bisa merusak pikiranku. Dia takut aku meninggalkannya.

Karena dulu dia putus dengan Yeni juga gara-gara Yeni ingin mengejar mimpi musiknya ke luar negeri.

Aku tahu dia tidak punya rasa aman, aku pikir dia sungguh membutuhkanku.

Hatiku luluh, aku mengundurkan diri dari orkestra, meninggalkan mimpiku yang sudah kujalani bertahun-tahun, lalu hidup hanya untuk mengurus rumah tangga demi dia.

Tapi, di linimasa Yeni, aku justru melihat di hari jadi hubungan kami. Soni sengaja memborong semua tiket konser dan mengajak seluruh karyawannya datang untuk mendukungnya. Hari itu aku jelas-jelas sudah memberi tahu lebih awal, menyiapkan belasan hidangan dan kue, menunggunya sampai tengah malam.

Mataku panas dan basah, lalu air mata jatuh begitu saja.

Kenapa Yeni bisa bebas mengejar mimpinya?

Sedangkan aku tidak.

Pernah aku bertanya padanya. Dia hanya tertawa sambil merangkulku. "Kamu dan Yeni itu beda."

Saat itu aku yakin, di matanya aku istimewa.

Sekarang aku baru mengerti. Bedanya ada di sana. Yeni adalah perempuan yang paling dia sayangi, jadi dia bisa bebas melakukan apa pun. Sedangkan aku tidak. Aku hanya dianggap pelengkap hidupnya. Semua tentangku harus ada dalam genggamannya.

Aku meminta pembantu membersihkan piano. Setelah itu aku duduk sendiri dengan tenang, memainkan beberapa lagu.

Esok harinya, untuk pertama kalinya aku bisa tidur sampai bangun alami.

Soni duduk di sofa dan menatapku dengan nada kesal. "Hari ini kenapa bangun selambat ini? Masih kepikiran soal kemarin? Kamu kok sekecil itu saja dibawa perasaan?"

Aku memotong perkataannya. "Aku nggak marah. Akhir-akhir ini capek, jadi tidur lebih lama."

"Bagus kalau begitu." Soni meletakkan ponselnya dan mengerutkan kening. "Cuma soal daftar nikah, nggak usah dibesar-besarkan. Beberapa hari lagi kita bisa pilih tanggal lain."

"Yeni kondisinya memang nggak bagus. Dia sendirian di sini tanpa keluarga. Aku harus lebih sering jagain dia. Kamu jangan manja."

Tatapan Soni tajam. Alisnya terkatup rapat, seolah pertanyaan kecilku kemarin adalah kesalahan besar yang tidak bisa dimaafkan.

Dia mendorong kotak kecil berisi roti udang dari Hadalo ke arahku. Suaranya datar seperti memberi sisa makanan. "Sarapan, makanlah."

Karena aku tidak segera mengambilnya, dia berdiri dengan nada jengkel. "Kamu ini masih marah, 'kan? Sebenarnya kamu maunya apa…"

"Aku alergi makanan laut."

Sepuluh tahun bersamanya, dia tetap tidak ingat apa yang kusuka dan apa yang membuatku alergi.

Kalimat singkat itu langsung menahan amarahnya. Wajahnya memerah. Matanya berkedip penuh rasa gugup dan bersalah. Suaranya merendah. "Tadi pagi aku terlalu buru-buru… kamu… kamu minta bibi bikinin yang lain saja, ya."

Aku menatapnya lurus. Tatapanku membuatnya gelisah dan tidak nyaman.

Dering telepon yang tiba-tiba nyaring menyelamatkannya. Dia menoleh padaku ragu, lalu menggenggam ponselnya erat-erat.

Aku berkata tenang. "Jawab saja, siapa tahu penting."

Dari seberang terdengar suara Yeni. Manja dan terisak, katanya dia lagi nggak enak badan.

Beberapa kalimat ringan itu saja sudah cukup membuat Soni panik. Dia langsung menyuruh Yeni menunggu, lalu meraih mantel dan keluar terburu-buru tanpa menoleh.

Padahal aku sudah memutuskan pergi. Tapi hatiku tetap terasa sakit.

Soni, kalau kamu memang sudah nggak cinta, aku tidak akan menunggu lagi.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Seratus Kali Janji Palsu   Bab 7

    Dua-duanya bukan orang baik. Warganet terus menghujat mereka berdua sebagai pasangan bajingan dan murahan. Kabar beredar bahwa banyak mitra Grup Lardi menilai Soni tidak punya integritas karena meninggalkan orang yang telah menemaninya sepuluh tahun. Satu per satu kerja sama pun dibatalkan.Seperti pepatah ada gula ada semut. Di dalam Grup Lardi situasinya kacau balau. Kudengar Soni sampai kewalahan mengurus semuanya.Tapi, dia tetap berusaha membangun citra sebagai korban. Dia memberi tahu publik bahwa penyakit jantung Yeni sebenarnya sudah diobati saat masih di luar negeri. Setelah pulang, Yeni hanya memanfaatkan penyakit itu untuk mencari simpati. Dia mengaku dirinya hanya sempat khilaf dan terjebak rasa iba.Dia bahkan memanfaatkan akun resmi perusahaan untuk menandai namaku. [@Cesya, ini adalah satu-satunya cinta dalam hidupku, juga satu-satunya nyonya Grup Lardi! Cesya, aku mohon menikahlah denganku!]Aku hanya tersenyum miris.Menganggap semua itu seperti lelucon belaka....Per

  • Seratus Kali Janji Palsu   Bab 6

    Suasana di sekitar mendadak ramai oleh suara bisik-bisik. Soni tetap berlutut, seakan ingin memaksaku menerima.Aku dan Kak Risti buru-buru meminta maaf pada penonton, lalu petugas keamanan segera menyeretnya turun panggung.Aku menatapnya tajam. "Kamu belum puas bikin keributan? Mau lihat aku hancur dulu baru kamu senang?"Soni panik, mencoba menyematkan cincin di tanganku. "Aku nggak ada maksud begitu. Aku beneran nggak sengaja. Cesya, jangan tolak aku, ya?"Kak Risti langsung mendorongnya menjauh. "Berhenti pura-pura. Kamu sudah buang sepuluh tahun hidup Cesya sambil main kotor sama Yeni. Sekarang kamu kira dia masih mau maafin kamu dan nikah sama kamu?"Cincin itu terlepas, jatuh dan bergulir di lantai. Aku hanya menatapnya dingin. Soni hampir saja merusak penampilan penting pertamaku!Dia buru-buru jongkok, memungut cincin itu lagi, lalu kembali berlutut. "Semuanya salahku. Aku yang salah. Aku yang selalu mengabaikan perasaanmu..."Sambil berkata begitu, dia menarik tanganku dan m

  • Seratus Kali Janji Palsu   Bab 5

    Aku langsung menelpon polisi, melaporkan Soni atas tuduhan masuk rumah tanpa izin. Polisi pun segera membawanya pergi.Saat digiring keluar, dia masih berteriak histeris. "Cesya, aku pasti bakal balik cari kamu! Tunggu saja!""Kita ini pasangan yang paling cocok! Bukankah kita sudah janji mau menikah?"Aku membalas dengan suara lantang. "Soni, dengar baik-baik. Ini terakhir kalinya! Kita nggak punya masa depan, nggak ada kemungkinan! Aku nggak akan nikah sama kamu!""Jangan pernah ganggu aku lagi, jangan hancurkan hidupku!" Aku pikir kata-kataku cukup tegas untuk memutus semuanya.Tidak kusangka, dia tetap saja terus mengusikku!Satu bulan kemudian, tibalah hari pertunjukan panggungku yang pertama.Selama se

  • Seratus Kali Janji Palsu   Bab 4

    Sejak telepon terakhir itu, hidupku kembali tidak tenang.Soni pun kalap karena tidak bisa menghubungiku. Dia menyuruh siapa pun yang bisa menghubungiku untuk terus-terusan menggangguku, menanyakan kapan aku akan kembali untuk menikah dengannya.Bahkan seniorku ikut diganggu, ditanya-tanya soal keberadaanku. Saking kesalnya, dia langsung memaki Soni dan Yeni habis-habisan, lalu memblokir mereka.Kak Risti menepuk bahuku sambil menenangkan. "Dasar brengsek. Selalu baru merasa kehilangan setelah ditinggal. Aku carikan kamu pengawal saja. Biar Soni nggak bisa cari gara-gara atau nekat nyulik kamu, itu baru repot."Aku menoleh pada Kak Risti, lalu melihat adiknya yang tinggi hampir dua meter berdiri di depanku. Dia tersenyum sambil menjamin. "Tenang, Kak. Aku sudah latihan tinju. Aku pasti bisa jagain kamu!"Aku menatap "pengawal" dadakan itu sampai tidak tahu harus tertawa atau menangis. "Ini 'kan negara hukum. Harusnya nggak sampai segitunya."Kak Risti hanya melambaikan tangan, menyerah

  • Seratus Kali Janji Palsu   Bab 3

    Begitu turun pesawat dan keluar dari gerbang stasiun bandara, Kak Risti langsung memelukku erat.Dia menepuk pundakku dengan gembira. "Kami semua sudah lama nunggu kamu. Bertahun-tahun kamu selalu menolak, akhirnya sekarang kamu kembali juga!"Aku tahu yang dia maksud adalah teman-teman lama di orkestra.Hidungku terasa asam, lalu aku spontan menyembunyikan wajah di bahunya sambil berbisik pelan."Syukurlah, aku sudah kembali.""Yang penting kamu sudah kembali."Dulu aku punya banyak teman di orkestra. Tapi, karena campur tangan Soni, sadar atau tidak, mereka satu per satu menjauh.Sampai akhirnya aku benar-benar terkurung dalam lingkaran rumah tangga, hampir memutus semua hubungan sosial. Seluruh hidupku hanya berputar di sekitar Soni, tiap hari hanya mengurus dirinya.Setelah Kak Risti membawaku kembali, semua anggota orkestra menyambut dengan senang. Mereka bahkan memberi selamat karena aku akhirnya berhasil menendang bajingan itu.Sejak dulu mereka memang tidak suka sifat Soni yang

  • Seratus Kali Janji Palsu   Bab 2

    Aku sarapan sambil membuka laptop untuk mengurus pendaftaran visa daring.Setelah semua selesai, tanpa sadar aku kembali membuka linimasa Yeni.Ada dua unggahan baru.Ungahan pertama baru saja diunggah. [Aku bilang lagi nggak enak badan, kamu langsung nyetir ke sini. Aku benar-benar beruntung bisa ketemu kamu! Kamu beneran sayang banget sama aku! Aku juga sayang kamu!]Fotonya memperlihatkan Soni dari samping. Dia menggenggam tangan Yeni erat-erat, seakan takut dia pergi di detik berikutnya.Seketika aku teringat beberapa tahun lalu. Demi pekerjaan, aku sering begadang berlatih piano sampai lupa makan. Akhirnya maagku kambuh. Rasa sakit itu membuatku hampir tidak bisa berdiri. Dengan susah payah aku memohon padanya untuk mengantarku ke rumah sakit. Tapi, dia hanya menjawab, "Kamu bisa nggak jangan lebay? Paling juga nggak parah. Minum air hangat saja, beres."Pada akhirnya, karena sudah tidak kuat, aku sendiri yang menelpon ambulans.Saat aku pingsan, samar-samar kudengar suaranya. "Ih

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status