Share

Bab 2

Author: Makjos
Aku sarapan sambil membuka laptop untuk mengurus pendaftaran visa daring.

Setelah semua selesai, tanpa sadar aku kembali membuka linimasa Yeni.

Ada dua unggahan baru.

Ungahan pertama baru saja diunggah. [Aku bilang lagi nggak enak badan, kamu langsung nyetir ke sini. Aku benar-benar beruntung bisa ketemu kamu! Kamu beneran sayang banget sama aku! Aku juga sayang kamu!]

Fotonya memperlihatkan Soni dari samping. Dia menggenggam tangan Yeni erat-erat, seakan takut dia pergi di detik berikutnya.

Seketika aku teringat beberapa tahun lalu. Demi pekerjaan, aku sering begadang berlatih piano sampai lupa makan. Akhirnya maagku kambuh. Rasa sakit itu membuatku hampir tidak bisa berdiri. Dengan susah payah aku memohon padanya untuk mengantarku ke rumah sakit. Tapi, dia hanya menjawab, "Kamu bisa nggak jangan lebay? Paling juga nggak parah. Minum air hangat saja, beres."

Pada akhirnya, karena sudah tidak kuat, aku sendiri yang menelpon ambulans.

Saat aku pingsan, samar-samar kudengar suaranya. "Ih, merepotkan sekali."

Aku baru benar-benar paham. Perlakuan manusia pada manusia lain memang bisa sangat berbeda.

Aku terus menggulir linimasa. Pagi ini, ada unggahan dengan latar kamar hotel. Meja dipenuhi sarapan mewah. Yeni tersenyum bahagia sambil berpose tanda damai.

[Kakak memang baik banget! Tadi malam aku cuma bilang mau makan roti sup udang dari Hadalo. Pagi ini kamu langsung bangun lebih awal, nyetir satu jam buat beliin aku. Yang nggak habis malah dikasih ke anjing.]

Aku hanya bisa tertawa getir.

Dulu aku percaya cinta bisa mengalahkan segalanya. Aku pikir, selama aku memberikan lebih banyak, Soni akhirnya akan melihat ketulusanku.

Nyatanya aku terlalu tinggi menilai posisiku di hatinya.

Aku tidak tahan lagi melihat unggahan itu. Aku membereskan barang-barang lalu pergi jalan-jalan. Tidak kusangka, begitu masuk ke toko tas, aku justru berpapasan dengan Soni dan Yeni yang baru keluar.

Yeni sedang manja. Suaranya manis sekali. "Aku 'kan sudah bilang jangan kebanyakan beli. Tapi kamu tetap beliin, beliin, beliin! Ini terlalu banyak, pasti habis banyak uang ya?"

Aku jelas melihat Soni membawa lima sampai enam kantong belanjaan. Padahal dulu saat aku minta dia membawakan satu tas belanja saja, dia langsung menolak dengan wajah kesal.

Wajah Soni sedikit canggung. "Kamu kok di sini? Yeni bilang dia lagi butuh tas, jadi aku temani dia lihat-lihat."

Lalu dia menambahkan. "Kamu ada yang mau dibeli nggak?"

Aku menggeleng. Kami sudah di ambang perpisahan. Untuk apa aku menyimpan barang-barang darinya.

Soni merasa sedikit kesal, entah kenapa juga muncul rasa tidak tenang.

Yeni merangkul lenganku dengan ramah. "Waktu itu untung ada Soni yang bantu aku. Aku sudah bilang, nanti aku pasti suruh dia minta maaf sama kamu. Kebetulan kami mau makan malam, kamu ikut ya?"

Soni langsung menimpali. "Ikut saja."

Belum sempat aku menolak, dia sudah menarikku dengan paksa.

...

Aku akhirnya duduk di kursi belakang, terhimpit bersama banyak kantong belanjaan.

Yeni menoleh dan tersenyum padaku. "Maaf banget, aku gampang mabuk kalau naik mobil. Jadi aku duduk di depan. Kamu nggak keberatan, 'kan?"

Soni langsung mewakiliku menjawab, "Dia nggak keberatan. Cuma naik mobil sebentar saja."

Padahal aku pernah bilang padanya bahwa kursi depan itu khusus untuk pacarnya.

Dia bahkan pernah berjanji manja padaku. "Ya, ya, kursi depan itu punyamu. Nggak boleh ada orang lain yang duduk di sana."

Mataku menatap foto mereka berdua yang ditempel di dekat setir. Di bawahnya ada tulisan kecil dengan gambar hati. Hati-hati nyetirnya ya, jangan sampai kelelahan!

Soni buru-buru menjelaskan. "Yeni takut aku ngantuk pas nyetir, jadi dia sengaja nulis itu. Kalau kamu nggak suka, nanti aku hapus."

"Nggak apa-apa." Suaraku datar tanpa emosi.

Soni sadar ada yang aneh denganku. Saat menyetir, dia berkali-kali melirik kaca spion, memastikan aku baik-baik saja sambil berusaha mengajakku bicara.

Tapi, aku sama sekali tidak menyangka tujuan mereka ternyata restoran seafood. Dia lupa, aku alergi makanan laut.

Dengan manis, dia membukakan pintu mobil, menggenggam tanganku, lalu mengajakku masuk. "Restoran ini enak banget. Nanti kita bisa sering datang. Kamu mau makan apa, bilang saja."

Aku hanya menatapnya, sambil berbicara dalam hati.

Tapi, Soni, antara kita sudah tidak ada masa depan lagi.

Katanya aku boleh pilih menu, tapi tidak ada yang bisa kumakan. Aku akhirnya hanya memesan beberapa hidangan penutup, sementara Yeni memesan banyak seafood.

Saat makanan tersaji, aku hanya menyentuh makanan penutup di depanku. Yeni menarik lengan Soni dengan wajah polos. "Cepat minta maaf sama dia! Pasti gara-gara kamu kemarin di rumah sakit nemenin aku. Makanya Cesya sekarang cuma makan manis-manis, nggak makan lauknya."

Soni menggenggam tanganku erat dengan wajah penuh penyesalan. "Maaf, Cesya. Soal nikah kemarin, aku pasti akan menebus kesalahanku."

Aku jengkel lalu menarik tanganku. "Aku alergi makanan laut. Aku sudah bilang ke kamu."

Wajah Soni makin dipenuhi rasa bersalah. Tapi, Yeni justru menimpali dengan manja. "Aku saja yang jantungku nggak bagus, tetap berani coba hal-hal yang menantang. Ada orang sedikit-sedikit alergi, benar-benar manja."

Aku menunduk. Aku malas menanggapi, lalu bangkit hendak pergi.

Soni baru saja berdiri untuk mengejarku, Yeni langsung memegangi dadanya dan merengek. "Aduh, Soni… jantungku… jantungku mulai sakit lagi."

Tanpa pikir panjang, dia menggendong Yeni dan bergegas keluar.

Yeni sempat menoleh padaku dan melemparkan senyum penuh tantangan.

Tengah malam, Soni akhirnya pulang.

Dia langsung memeluk pinggangku erat, menyandarkan kepala di pundakku sambil merengek. "Baru pulang dari rumah sakit. Capek banget. Kamu bikinin aku mi ya?"

Aku mendorongnya pelan dan tetap fokus membaca novel. "Pesan saja makanan. Aku nggak mau masak."

Itu pertama kalinya aku menolak permintaannya. Dia mengira aku sedang marah, lalu mencubit pipiku sambil tertawa. "Kamu lagi cemburu sama Yeni, ya? Aku sama dia sekarang cuma teman kok."

Aku hanya mengangguk, tidak menanggapi lebih jauh.

Suaranya bergetar, penuh kegelisahan. "Besok kita ke Kantor Catatan Sipil, ya? Kali ini nggak bakal ada halangan apa pun."

Aku menoleh sebentar dan hanya menjawab singkat. "Ya."

Soni girang bukan main. Dia mencium pipiku dengan keras, lalu manja memanggilku, "Sayang."

Keesokan paginya, aku mendapati visaku sudah disetujui.

Namun, Soni lagi-lagi dipanggil Yeni. Dia hanya meninggalkan pesan. [Sayang, jam sepuluh ketemu di Kantor Catatan Sipil.]

Aku mendengus, mengabaikan pesan itu. Cepat-cepat aku berkemas dan memesan taksi menuju bandara.

Setelah itu aku langsung menghapus dan memblokir mereka berdua.

Soni, mulai hari ini kita tidak akan pernah bertemu lagi!

Aku patahkan kartu SIM, melemparkannya ke tempat sampah, lalu melangkah masuk ke pesawat yang membawaku pergi ke luar negeri.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Seratus Kali Janji Palsu   Bab 7

    Dua-duanya bukan orang baik. Warganet terus menghujat mereka berdua sebagai pasangan bajingan dan murahan. Kabar beredar bahwa banyak mitra Grup Lardi menilai Soni tidak punya integritas karena meninggalkan orang yang telah menemaninya sepuluh tahun. Satu per satu kerja sama pun dibatalkan.Seperti pepatah ada gula ada semut. Di dalam Grup Lardi situasinya kacau balau. Kudengar Soni sampai kewalahan mengurus semuanya.Tapi, dia tetap berusaha membangun citra sebagai korban. Dia memberi tahu publik bahwa penyakit jantung Yeni sebenarnya sudah diobati saat masih di luar negeri. Setelah pulang, Yeni hanya memanfaatkan penyakit itu untuk mencari simpati. Dia mengaku dirinya hanya sempat khilaf dan terjebak rasa iba.Dia bahkan memanfaatkan akun resmi perusahaan untuk menandai namaku. [@Cesya, ini adalah satu-satunya cinta dalam hidupku, juga satu-satunya nyonya Grup Lardi! Cesya, aku mohon menikahlah denganku!]Aku hanya tersenyum miris.Menganggap semua itu seperti lelucon belaka....Per

  • Seratus Kali Janji Palsu   Bab 6

    Suasana di sekitar mendadak ramai oleh suara bisik-bisik. Soni tetap berlutut, seakan ingin memaksaku menerima.Aku dan Kak Risti buru-buru meminta maaf pada penonton, lalu petugas keamanan segera menyeretnya turun panggung.Aku menatapnya tajam. "Kamu belum puas bikin keributan? Mau lihat aku hancur dulu baru kamu senang?"Soni panik, mencoba menyematkan cincin di tanganku. "Aku nggak ada maksud begitu. Aku beneran nggak sengaja. Cesya, jangan tolak aku, ya?"Kak Risti langsung mendorongnya menjauh. "Berhenti pura-pura. Kamu sudah buang sepuluh tahun hidup Cesya sambil main kotor sama Yeni. Sekarang kamu kira dia masih mau maafin kamu dan nikah sama kamu?"Cincin itu terlepas, jatuh dan bergulir di lantai. Aku hanya menatapnya dingin. Soni hampir saja merusak penampilan penting pertamaku!Dia buru-buru jongkok, memungut cincin itu lagi, lalu kembali berlutut. "Semuanya salahku. Aku yang salah. Aku yang selalu mengabaikan perasaanmu..."Sambil berkata begitu, dia menarik tanganku dan m

  • Seratus Kali Janji Palsu   Bab 5

    Aku langsung menelpon polisi, melaporkan Soni atas tuduhan masuk rumah tanpa izin. Polisi pun segera membawanya pergi.Saat digiring keluar, dia masih berteriak histeris. "Cesya, aku pasti bakal balik cari kamu! Tunggu saja!""Kita ini pasangan yang paling cocok! Bukankah kita sudah janji mau menikah?"Aku membalas dengan suara lantang. "Soni, dengar baik-baik. Ini terakhir kalinya! Kita nggak punya masa depan, nggak ada kemungkinan! Aku nggak akan nikah sama kamu!""Jangan pernah ganggu aku lagi, jangan hancurkan hidupku!" Aku pikir kata-kataku cukup tegas untuk memutus semuanya.Tidak kusangka, dia tetap saja terus mengusikku!Satu bulan kemudian, tibalah hari pertunjukan panggungku yang pertama.Selama se

  • Seratus Kali Janji Palsu   Bab 4

    Sejak telepon terakhir itu, hidupku kembali tidak tenang.Soni pun kalap karena tidak bisa menghubungiku. Dia menyuruh siapa pun yang bisa menghubungiku untuk terus-terusan menggangguku, menanyakan kapan aku akan kembali untuk menikah dengannya.Bahkan seniorku ikut diganggu, ditanya-tanya soal keberadaanku. Saking kesalnya, dia langsung memaki Soni dan Yeni habis-habisan, lalu memblokir mereka.Kak Risti menepuk bahuku sambil menenangkan. "Dasar brengsek. Selalu baru merasa kehilangan setelah ditinggal. Aku carikan kamu pengawal saja. Biar Soni nggak bisa cari gara-gara atau nekat nyulik kamu, itu baru repot."Aku menoleh pada Kak Risti, lalu melihat adiknya yang tinggi hampir dua meter berdiri di depanku. Dia tersenyum sambil menjamin. "Tenang, Kak. Aku sudah latihan tinju. Aku pasti bisa jagain kamu!"Aku menatap "pengawal" dadakan itu sampai tidak tahu harus tertawa atau menangis. "Ini 'kan negara hukum. Harusnya nggak sampai segitunya."Kak Risti hanya melambaikan tangan, menyerah

  • Seratus Kali Janji Palsu   Bab 3

    Begitu turun pesawat dan keluar dari gerbang stasiun bandara, Kak Risti langsung memelukku erat.Dia menepuk pundakku dengan gembira. "Kami semua sudah lama nunggu kamu. Bertahun-tahun kamu selalu menolak, akhirnya sekarang kamu kembali juga!"Aku tahu yang dia maksud adalah teman-teman lama di orkestra.Hidungku terasa asam, lalu aku spontan menyembunyikan wajah di bahunya sambil berbisik pelan."Syukurlah, aku sudah kembali.""Yang penting kamu sudah kembali."Dulu aku punya banyak teman di orkestra. Tapi, karena campur tangan Soni, sadar atau tidak, mereka satu per satu menjauh.Sampai akhirnya aku benar-benar terkurung dalam lingkaran rumah tangga, hampir memutus semua hubungan sosial. Seluruh hidupku hanya berputar di sekitar Soni, tiap hari hanya mengurus dirinya.Setelah Kak Risti membawaku kembali, semua anggota orkestra menyambut dengan senang. Mereka bahkan memberi selamat karena aku akhirnya berhasil menendang bajingan itu.Sejak dulu mereka memang tidak suka sifat Soni yang

  • Seratus Kali Janji Palsu   Bab 2

    Aku sarapan sambil membuka laptop untuk mengurus pendaftaran visa daring.Setelah semua selesai, tanpa sadar aku kembali membuka linimasa Yeni.Ada dua unggahan baru.Ungahan pertama baru saja diunggah. [Aku bilang lagi nggak enak badan, kamu langsung nyetir ke sini. Aku benar-benar beruntung bisa ketemu kamu! Kamu beneran sayang banget sama aku! Aku juga sayang kamu!]Fotonya memperlihatkan Soni dari samping. Dia menggenggam tangan Yeni erat-erat, seakan takut dia pergi di detik berikutnya.Seketika aku teringat beberapa tahun lalu. Demi pekerjaan, aku sering begadang berlatih piano sampai lupa makan. Akhirnya maagku kambuh. Rasa sakit itu membuatku hampir tidak bisa berdiri. Dengan susah payah aku memohon padanya untuk mengantarku ke rumah sakit. Tapi, dia hanya menjawab, "Kamu bisa nggak jangan lebay? Paling juga nggak parah. Minum air hangat saja, beres."Pada akhirnya, karena sudah tidak kuat, aku sendiri yang menelpon ambulans.Saat aku pingsan, samar-samar kudengar suaranya. "Ih

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status