Share

2. Ini Musibahnya

Penulis: donutmissme
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-15 00:08:21

Tristan Sagara hanya sedang asyik menyesap rokok yang ia jepit di antara telunjuk dan jari tengahnya. Kepulan asap rokok segera memenuhi udara di sekitarnya, dengan cepat segera menggantikan udara segar dengan karbon monoksida. Ia tidak sendirian, seperti biasa harus selalu bersama ketiga sohibnya yaitu, Bams, Sandi, dan Nyong. Mereka ada di belakang sekolah, tepatnya di samping kelas lantai bawah yang berada di paling ujung. Tempat aman buat bolos karena jauh dari pantauan guru piket. Mereka sudah sering menjadikan tempat ini sebagai lokasi mereka untuk tidak mengikuti pelajaran.

Tristan, cowok setinggi 176 cm dengan potongan rambut cepak serta wajah tengil yang cocok dengan kelakuan nakalnya. Sementara Nyong, temannya yang turunan Ambon itu berkulit gelap dan hobinya adalah berpantun ria. Kalau Bams, temannya yang satu ini berambut gondrong, dengan poni panjang yang selalu diikat ke belakang. Terakhir Sandi, yang paling tinggi dan kekar di antara mereka karena mencapai 180 cm, hampir mirip gorila.

Ya, keempat siswa nakal ini memang rutinitas hariannya adalah bolos. Selalu jadi buronan guru piket tiap harinya. Sehari tidak bolos, tidak lengkap rasanya. Kadang bisa bolos sampai tiga kali sehari, sudah seperti jadwal minum obat saja. Guru-guru mereka pun sudah kehabisan cara untuk menasehati murid nakalnya ini. Beruntung sekali mereka belum dikeluarkan dari sekolah. Jangan sampai tinggal menunggu waktu.

"Bagi rokok dong, Nyong," pinta Bams sambil menengadahkan telapak tangannya.

"Nyong mah baik, sabar, dan murah hati!" ujar Nyong sembari memberi sebatang rokok dan korek api pada Bams.

"Gigi lo murah hati." Bams yang sudah disumbang rokok malah dengan tidak tahu dirinya mengatai temannya.

"Diem bisa nggak sih, lo pada?" omel Sandi di samping Nyong. Wajahnya terlihat jelas sedang cemberut. Suasana hatinya berantakan.

"Ampun atuh, Mas. Yang lagi galau habis diputusin ceweknya jangan galak-galak gitu dong ke kita. Udah kayak cewe PMS aja," balas Nyong dengan nada meledek.

"Diputusin Bella gara-gara apa sih, lo?" Bams kepo berat. Duduknya bergeser mendekat ke samping Sandi.

"Si Bella kampret emang. Ternyata dia mau jadi pacar gue supaya bisa deket sama Tristan. Pantes dia sering ngelirik Tristan. Taunya Tristan nggak ngegubris eh diputusin gue." Sandi kesal sampai ubun-ubun karena dirinya yang notabene soerang playboy justru kini malah dimainkan balik.

"Wah berantem gih sama Tristan." Nyong malah kompor. Kepalanya mengedik ke arah Tristan.

"Tan, sini lo! Gue mau acak adul tuh muka lo." Sandi berusaha mengepet kepala Tristan karena gemas dengan sahabatnya itu.

"Noh kepala gue. Mau lo cakar muka gue juga bentukannya emang udah gini. Ditakdirkan cakep dari zigot." Tristan dengan santainya menjawab dengan level pede yang aduhai tidak ketulungan.

"Wah, ngeselin emang. Pepet aja tuh kepalanya sampai engap, San. Jangan lepasin. Tangan itu ada untuk digunakan buat baku hantam!" Nyong memberi dukungan moral. Terlihat semangat kalau sudah menyaksikan keributan.

"Berantem tuh, berantem. Silahkan. Gue nggak suka lihat kalian damai soalnya," tambah Bams ikutan kompor.

"Emang nih si kampret satu. Nih, rasain nih!" Sandi mulai mengapit kepala Tristan dengan lengan besarnya.

"Salah lo, udah gue bilang si Bella nggak serius masih aja lo pacarin. Makan tuh hati." Tristan melepaskan tangan Sandi dari lehernya dan bergeser ke kanan, bermaksud ingin cari aman.

"Gue sumpahin lo apes baru tahu ra-"

SRRAASHH....

"PAANAAASSS!!!" jerit Tristan tiba-tiba dan otomatis langsung berdiri tegap.

Ketiga sohibnya menoleh. Kaget karena ada yang tiba-tiba saja menyiram Tristan dari atas, lantai dua tepatnya.

"PANASSS SIALAN!!" lanjut Tristan bagai cacing kepanasan. Bahkan rokoknya yang tadi masih menyala langsung padam tertumpah cairan berwarna coklat yang diguyurkan padanya.

"Ebuset... langsung kejadian habis Nyong sumpahin." Nyong kaget.

Tristan mendongak, mendapati seorang sisiwi yang sedang melongok dari lantai dua padanya. Cewek itu juga kaget. Mereka jadi kaget berjamaah.

"LO-" Belum sempat memaki, jendela sudah ditutup di atasnya.

"TRISTAN, SANDIKA, BAMS, DAN NYONG!!! KALIAN BOLOS LAGI YA!!! APA TIDAK CAPEK?! SAYA SAJA SUDAH CAPEK MENCARI LOKASI BOLOS KALIAN!!! AYO SINI, IKUT SAYA SEKARANG!!!!" Belum reda panas di tubuhnya, sekarang telinganya juga panas dijewer oleh guru piket yang sedang keliling. Guru itu rupanya mendengar jeritan Tristan sehingga menghampirinya. Jelas saja, hukuman juga sudah menanti.

Mampus .... batin mereka serempak.

****

Sepanjang pelajaran, Titan yang biasanya mengantuk justru kini terjaga. Matanya terbuka lebar walau tidak bisa fokus ke papan tulis, tempat guru mereka sedang mengajar di depan sana. Kakinya juga mengetuk-ngetuk lantai. Gadis itu juga sesekali menggigit bibirnya. Titan, sebenarnya sedang gelisah sekarang. Ia meringis mengingat kelakuannya barusan.

"Lo kenapa dah? Dari tadi nengok jendela mulu. Biasa udah mau molor lo." Rheva yang duduk di sampingnya jadi heran juga. Kedua alisnya terangkat tinggi-tinggi. Bingung karena tumben sekali temannya begini.

"Tadi Titan nggak sengaja nyiram kopi panas ke anak cowok yang lagi bolos di bawah. Langsung teriak-teriak orangnya." Titan mengakui dosanya.

"Hah? Lo buang kopi panas kagak liat-liat dulu di bawah ada orang? Pinter amat lo jadi manusia."

"Ya habisnya tadi kepepet gara-gara Bu Cemara udah mau masuk. Jadi ya mana sempet ngintip lagi." Titan membela diri, tidak tahu-tahu nama kalau gurunya masih salah ia sebut dengan sembarangan.

"Yang lo siram sempat lihat muka lo gak?" tanya Rheva.

"Sempat, soalnya tadi Titan noleh ke bawah pas dia teriak." Titan kembali mengigit bibir bawahnya. Selain panik, ia tentu merasa bersalah karena kulit cowok itu pasti melepuh akibat ulahnya.

"Terima nasib aja dah lo kalau dilabrak entar." Rheva menepuk-nepuk pundak Titan sambil mengangguk-angguk dan memberi senyum pasrah. Antara prihatin atau mengejek versi sahabatnya itu memang cuma beda tipis.

****

Bel istirahat berbunyi. Entah bagaimana suara bel yang berdentang begitu cempreng itu justru terdengar sangat indah di telinga para murid. Mereka yang matanya semula terlihat sipit lima watt langsung melotot. Kemerdekaan telah tiba. Semua murid langsung lari maraton ke kantin, tidak peduli kalau gurunya bahkan belum keluar kelas. Biasalah....

"Duh cacing-cacing perut gue udah pada unjuk rasa dari tadi. Buruan ayo ke kantin," pinta Rheva sambil mengelus-elus perutnya dengan gerakan memutar.

"Ay-" Belum sempat menyetujui, sudah ada orang yang menggebrak mejanya. Cowok yang tadi ia siram rupanya.

Duh, dia kan ... batin Titan.

"LO-" ucapannya terpotong.

"BUKAAANNNN!!! Bukan Titan yang nyiram lo pakai kopi panas." Titan menutup wajahnya dengan buku.

"Lah itu lo-" Lagi-lagi harus terpotong.

"Titan juga nggak lihat lo lagi bolos sama temen-temen lo itu." Titan masih belum sadar.

"Sadar nggak sih sama yang lo-"

"Titan juga nggak tahu kalau kalian semua pada ngerokok di bawah," Ia malah tanpa sadar mengaku sebagai saksi mata kejahatan. Maklum, otaknya sedikit lemot. Kelakuannya selalu ceroboh.

"...."

Hening cipta seisi kelas. Tristan dan sisa murid di XII IPA 4 pun heran. Heran dengan pengakuan dosa yang baru saja cewek ini lakukan.

Seolah ada yang memukul kepalanya, Tristan lalu tersadar kembali akan tujuannya kemari. Ia hampir saja lupa karena speechless dengan lemotnya cewek di hadapannya ini. Ia menarik paksa tangan gadis itu untuk segera berdiri dan menghimpitnya ke dinding kelas, lalu menarik kerah bajunya sekalian.

"BUKA MATA LO!!!" bentaknya terdengar super galak.

Titan perlahan membuka matanya, melihat dengan jelas amarah cowok di depannya. Matanya melotot, dengan hidung berkedut-kedut karena amarah. Cengkraman di kerah seragam Titan juga terasa semakin kuat, lehernya pun jadi sesak. Sedikit sulit untuk bernapas dan ia pun jadi terbatuk-batuk kecil.

"HEH GOBLOK KALAU MAU BUANG KOPI PANAS TUH TENGOK DULU KE BAWAH!!! PAKAI TUH MATA!!! GARA-GARA LO KULIT GUE MELEPUH TAHU NGGAK?! GUE SAMA TEMEN-TEMEN GUE JUGA JADI DIHUKUM SAMA GURU PIKET GARA-GARA KETAHUAN BOLOS!!!" Tristan betul-betul marah.

"Aduh, nggak usah pake tarik urat berapa? Titan ada di depan lo ini nggak usah teriak-teriak. Titan nggak budek kali!" Gadis itu malah nyolot.

"UDAH TAHU SALAH MALAH NYOLOT!"

"NGGAK NYOLOT CUMA NGASIH TAHU," teriaknya masih tak mau kalah. Dia tentu tidak boleh kelihatan takut.

"Minta maaf nggak lo atau gue laporin guru BK?!" Cowok di depannya menuntut.

Gesrek .... Titan membatin.

Tidak tahan, ia pun menendang selangkangan cowok rusuh di depannya dengan sepenuh hati. Sangat tepat, cepat,dan kuat. Kena sasaran. Lehernya bebas saat itu juga.

"AARRGHHH-" Belum selesai ia mengekspresikan rasa sakitnya, cewek di depannya sudah lanjut mengomelinya lagi.

"HEH BODOH, KALAU LO MAU NGELAPORIN TITAN KE BK, APA KABAR LO??!"

"MAKSU-"

"TITAN JUGA BISA NGADU KE GURU BK KAPAN-KAPAN AJA LO BOLOS TITAN HAFAL!!!"

"Haa-"

"TITAN SERING LIAT LO BOLOS SAMA TEMEN-TEMEN LO ITU!!!"

"Kok-"

"MAU TITAN LAPORIN KE GURU BK HAH??? JAWAB!!!" Sekakmat.

"Eh jang-"

"Yaudah sana pergi! Ganggu aja Titan udah lapar nih butuh micin dan gorengan!"

"Eh oke..." Cowok ini loading untuk sesaat, "ENAK AJA PERGI-PERGI!!!"

"Dengar! Kali ini lo gue lepasin, lihat aja lain kali. Gue bakal balas kelakuan lo!" ujarnya sambil beranjak. Ia masih meringis sambil memegangi selangkangannya. Pedis, pedis... masa depannya untuk memiliki keturunan terancam sekarang.

••••

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Serendipity in Magnanimous   75.Aladdin and His Princess

    "Sayang-sayang pala lo peyang!" sentak Titan kesal seraya meninju bantal tidurnya tak henti-henti. Setelah meninjunya, ia melempar bantal itu ke sembarang arah. Iya, Titan sedang dalam mode siluman ekor rubah. Ia benar-benar kesal kala mengingat bagaimana Tristan memanggilnya sayang tadi saat di aula ketika latihan. Satu aula benar-benar menyorakinya dan ia langsung bingung harus menaruh muka di mana. "Sayang-sayang lo banyak! Bukan cuma Titan doang!" geramnya lagi. Bahkan sekarang ia mulai menggigiti sarung guling saking kesalnya. Ia semakin kesal kala mengingat bagaimana Tristan begitu dekat dengan teman-teman ceweknya yang lain. Mungkin saja kan ada si sayang nomor dua, nomor tiga, dan seterusnya. Mau marah juga rasanya aneh, statusnya bukan siapa-siapa walau tak bisa juga dibila

  • Serendipity in Magnanimous   74.Iya, Sayangku?

    "Cie... habis kena marah ya? Kusut bener mukanya kayak keset depan WC." Titan terkikik geli sekembalinya Tristan setelah sesi berbincang-bincang tidak ria dengan papanya di atap rumah sakit barusan.Sekarang mereka ada di taman rumah sakit, setelah Tristan selesai dengan papanya dan langsung menghubungi Titan untuk bertemu di sana."Kamu juga kusut mukanya," balas Tristan."Hah, masa? Udah cuci muka tadi pakai air padahal." Titan memegang pipinya sendiri dengan punggung tangannya."Iya kusut, kayak kurang asupan perhatian dari aku.""Jijik banget dengernya tahu nggak?" Ekspresi Titan langsung berubah sedatar mungkin."Aku kayaknya y

  • Serendipity in Magnanimous   73.Makanya Jangan Keneng

    Setelah mendapat lokasi balapan motor dengan lagi-lagi harus menelpon Bams, maka Rheva semakin menggas mobilnya. Ia jarang ngebut apalagi kebut-kebutan begini. Alhasil, ia hampir menabrak seorang pejalan kaki yang menyeberang jalan di tengah gelapnya malam ditambah guyuran hujan. Syukur-syukur selamat."Rev." Titan memanggil."....""Rev.""Hm?""Rev!""Apa, sih?!""Lo bawa mobil mahal apa bawa bajaj sih!""Mobil mahal lah ini.""Lelet banget tahu nggak?! Saingan sama siput?!""Yang penting jalan mobilnya.""INI CUMA 20 KILOMETER PER JAM REPPPP!!!! KAPAN NYAMPENYA ISHHH!!! LIMA BELAS MENIT LAGI TENGAH MALEM NIH UDAH MULAI BALAPANNYA ENTAR!!!""Udah cepet ini! Lo mau kita hampir nabrak lagi apa?! Jantung gue tadi rasanya mau loncat keluar tahu nggak?!""Ishhh Rhevaaaaa...." Titan merengek."Entar lagi juga sampe elah. Gue kapok ngebut! Lagian ini hujan, buram kacanya!""Entar mere

  • Serendipity in Magnanimous   72.Kalang Kabut Balap Liar

    "Aku sayang sama kamu, Tan!" teriak Aundy di ujung lorong yang sudah sepi.Tristan ada di hadapannya, menatap dirinya dengan tatapan datar dan tak tertarik sama sekali."Guenya nggak.""Bohong! Kamu meluk aku waktu itu! Waktu di parkiran aku nangis kejer-kejer bahkan di rumah sakit kamu temenin aku sampai malem." Mata gadis itu berkaca-kaca, berusaha meyakinkan dirinya sendiri pada sebuah harapan kosong."Waktu itu, cuma itu yang bisa gue lakuin buat nolongin lo. Jangan kegeeran.""Nggak mungkin cuma gara-gara itu. Kalau emang iya kamu sukanya sama Titan, kamu harusnya ninggalin aku gitu aja. Kamu tahu Titan nggak suka sama aku deketin kamu."

  • Serendipity in Magnanimous   71.Rindu Memang Berat

    Tristan seharian ini tidak sempat bertemu dengan Titan. Entah ke mana gadis itu saat ia mencarinya, mereka tidak berpapasan sama sekali. Mereka juga sudah sibuk dihadang berbagai ujian menjelang UN, membuat kesempatan bertemu semakin sulit karena gadis itu biasanya langsung ngacir pulang begitu selesai ujian.Sekolah tidak pernah terasa seluas ini bagi Tristan, namun ketika dia tidak bisa bertemu Titan, semua berbeda. Hari ini, ketika ia bertemu salah satu siswa laki-laki yang diingatnya sekelas dengan Titan, maka ia pun bertanya di mana keberadaan cewek itu. Cowok itu menjawab, hari ini seharusnya anakbandakan latihan.Maka ia bergegas, mencari ke aula tapi tak ada siapapun di sana. Ia lalu berlari ke ruang musik, namun melihat dari jendela luar saja sudah kelihatan jelas bahwa tempat itu juga kosong, pintunya pun

  • Serendipity in Magnanimous   70.Tolong, Pemilik Hati

    Tristan mengerang, pusing. Ia masih terjebak di tempat ini, Rumah Sakit Medika. Orang tua Aundy mengalami kecelakaan cukup parah, yang memerlukan operasi untuk segera menangani mereka. Luka-luka dan patah tulang. Sementara keluarga Aundy yang lain yaitu om dan tantenya baru saja datang.Pengurusan untuk surat tindakan medis semuanya ditangani mereka yang sudah berusia di atas 21 tahun. Sementara Aundy sendiri hanya bisa menangis sedari tadi, terlebih setelah mendengar penjelasan dokter sebelumnya mengenai kondisi papa dan mamanya yang akan segera ditangani."Tolong temani Aundy dulu, ya. Biar saya dan omnya yang mengurus semua."Tristan tadi dimintai tolong oleh Arini dan Budi yaitu tante dan om dari Aundy agar bantu menenangkan Aundy yang masih histeris. Setelah Arini dan Budi menguru

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status