Share

5.Signal Musuh

Setelah istirahat pertama yang ternyata berlangsung sejahtera tanpa adanya tanda-tanda dari cowok menyebalkan yang bisa saja datang lagi untuk mengganggunya, Titan dan Rheva kembali masuk kelas untuk mengikuti pelajaran. Ralat, itu tidak berlaku untuk salah satu gadis. Titan seperti biasa langsung lipat tangan di meja, bukan tertib bukan berdoa, ia malah langsung menenggelamkan kepalanya dan tertidur. Yah, sudah kebiasaan memang. Penjelasan guru ia jadikan sebagai dongeng pengantar tidur. Benar-benar murid yang tidak patut dibanggakan....

Titan tidur selama tiga jam penuh. Nyenyak sekali tidurnya. Memang ada beberapa guru yang oke-oke saja waktu materinya malah dijadikan dongeng tidur oleh Titan karena nilainya memang tinggi di beberapa mata pelajaran seperti Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Olahraga. Iya cuma tiga mata pelajaran itu saja. Sisanya? Tidak usah dibahas. Guru yang lain sudah angkat tangan dengan sifat kebonya yang mendarah daging meresap sampai ke tingkat sel. Tidak bisa disembuhkan.

"Weh, kebo. Bangun lo," Rheva memanggil. Masih berusaha membangunkan Titan dengan cara damai.

Tak ada respon. Titan masih nyenyak di dalam alam mimpinya sendiri.

"Bangun oi," panggil Rheva lagi sambil menepuk pipi sahabatnya yang tak juga bangun.

Titan malah menepis kasar tangan Rheva dari wajahnya lalu memalingkan muka ke arah lain. Rheva mulai gemas.

"Bangun dong!" Rheva menggoncangkan bahu Titan sedikit kuat.

Mati nih anak kayaknya kebanyakan ngebo, batin Rheva.

Cara halus tak bisa, maka saatnya cara bar-bar. Karena sudah tak tahan lagi, Rheva pun mengambil Kamus Bahasa Inggris. Iya, yang tebal banget itu, lalu ia angkat tinggi-tinggi dan ia pukul dengan sepenuh hati ke kepala temannya. Untung saja kepala Titan memang tidak ada yang penting isinya.

"Aduh! Gilak! Woi! Sakit! Kalau otak Titan pindah posisi gimana?!" Titan langsung terbangun dan mengaduh kesakitan sambil mengelus-elus puncak kepalanya.

"Otak lo emang udah merosot sampai dengkul," balas Rheva tanpa rasa berdosa sama sekali.

"Jahat!"

"Akhirnya bangun. Masih hidup lo," ujar Rheva sambil tersenyum miring. Puas melihat Titan akhirnya bisa bangun dengan caranya.

"Tadi itu KDRT namanya. Tahu nggak?!" Titan melotot.

Apa hubungannya? Kenapa jadi KDRT?

"Kita kan nggak suami istri, bego!" Rheva menatap aneh.

"Kekerasan Dalam Ranah perTemanan." Titan mulai menjelaskan dengan ngawur.

"Ya bodo amat. Buruan ah, udah istirahat kedua. Gabut gue, mau keluar kelas eh nungguin lo nggak bangun-bangun. Berasa bangunin mayat dah gue dari tadi, tahu nggak? Lo latihan meninggal apa gimana coba?" Rheva segera berdiri dari duduknya.

"Udah luka fisik tiga kali hari ini Titan gara-gara lo, si cowok gesrek, sama Bang Aldo." Titan juga berdiri dan beranjak mengikuti Rheva keluar kelas.

"Ya nggak apa-apa. Kan lo kebal gitu, sudah biasa teraniaya." Rheva mengangkat bahunya dengan acuh.

Mereka berjalan beriringan menuju lapangan yang terlihat cukup ramai siang ini. Ada cowok-cowok yang sedang main basket ternyata. Lapangan sekolah memang sering dipakai untuk main bebas oleh para siswa diluar jam olahraga atau ekskul dan memang diperbolehkan oleh para guru.

"Siapa sih yang lagi main? Heboh bener perasaan?" Rheva penasaran. Ia langsung masuk ke lautan penonton dan mendongak untuk melihat pemain di tengah lapangan sana. Rupanya, ada Tristan, Bams, Nyong, Sandi, dan beberapa siswa dari ekskul basket sekolah mereka.

"Bodo amat lah. Lo mau ke mana?!" Titan tak suka tempat ramai. Apalagi tubuh gadis itu yang mungil, gampang kegencet sana, gampang kegencet sini. Nasib punya badan yang minimalis.

"Bosen gue, mending nonton mereka main.Ayok ah," Rheva menggerek paksa Titan untuk menerobos ke barisan paling depan, "yang lagi main basket si cowok yang gangguin lo tuh, sama temen-temennya noh." Rheva mengedikkan dagu ke tengah lapangan.

"Yaudah sih pergi aja. Ini ramai banget lagian." Titan merasa tak nyaman. Sekarang saja badannya sudah terdorong ke kanan dan kiri. Kakinya juga beberapa kali kena injak. Benar-benar ramai banget kayak lagi nonton konser.

Tristan yang di tengah lapangan dan sedang sibuk mengejar bola, ternyata berhasil menyadari keberadaan sosok mungil di pinggir lapangan, Titan. Sepertinya dia punya antena pendeteksi untuk keberadaan cewek itu. Seketika seolah bola lampu di atas kepalanya menyala, perhatiannya langsung teralihkan. Tiba-tiba, setelah merebut bola, Tristan justru berhenti bermain dan langsung berdiri di depan Titan. Permainan mereka pun terhenti, karena sekarang bola mereka malah ditahan Tristan di tangannya.

"Lo kenapa sih nyiram gue pakai kopi panas kemarin, padahal gue cuma duduk-duduk doang? Kulit gue melepuh parah tahu, nggak?" Tristan memanfaatkan keadaan. Ia ingin membuat cewek-cewek lain geram dan menatap Titan dengan sinis. Tristan sangat tahu penggemarnya yang banyak dan ganas.

Titan terdiam. Tentu saja. Mukanya mau ditaruh di mana?

"Nih bahu gue sampai gini merah-merah perih. Salah apa sih, gue sama lo?" Tristan dengan mudah menunjukkan bahunya. Ia memang sedang memakai baju basket yang dapat dengan mudah menunjukkan bahunya yang kemerahan akibat melepuh.

Titan masih diam. Rasa bersalah merayapi dirinya ketika melihat bahu terluka itu. Ia juga tak punya pembelaan.

"Jadi dia yang bikin kulit lo melepuh gitu? Kalau naksir nggak usah segitunya sama temen gue cuman gara-gara Tristan nggak nganggep lo dong." Bams datang memanasi. Mengatakan yang aneh-aneh dan tidak benar.

"Hah?"

Titan langsung terdiam. Ia masih menjadi pusat perhatian banyak orang. Ia malu dan menunduk dalam.

Rheva yang sudah paham dengan kondisi langsung menarik tangan Titan dan membawanya keluar dari kerumunan.Mereka menuju taman sekolah.

"Lo nggak apa?" Rheva mendudukkan Titan di bangku taman. Dirinya juga ikut duduk di tempat kosong sebelah gadis itu.

"Nggak apa. Cuma gak suka aja dilihatin gitu. Malu iya, ngerasa bersalah apalagi." Titan menghela napas pasrah. Kepalanya lalu mendongak menatap langit biru di atas.

"Gue satu SMP sama dia. Sama teman-temannya juga sih," ujar Rheva.

Titan mendongak, "Oh."

"Udah, oh gitu doang? Lo gak kepo tentang dia?" Rheva menggaruk tengkuknya.

"Waw... haruskah Titan terkejut? Menyalakan petasan seperti Asian games kemarin? Guling-guling di bukit Teletubbies? Berlari ke sana kemari bersama Spongebob dan Patrick menangkap ubur-ubur?" Gadis itu malah mendramatisir.

"Ck! Gak! Yaudah kalau gak penasaran."

"Gak seneng banget tuh makhluk hidup satu kayaknya sama Titan," Titan cemberut, "siapa sih namanya tadi?"

"Tristan."

"Kebagusan! Ganti aja namanya jadi dajjal! Baru cocok!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status