Setelah istirahat pertama yang ternyata berlangsung sejahtera tanpa adanya tanda-tanda dari cowok menyebalkan yang bisa saja datang lagi untuk mengganggunya, Titan dan Rheva kembali masuk kelas untuk mengikuti pelajaran. Ralat, itu tidak berlaku untuk salah satu gadis. Titan seperti biasa langsung lipat tangan di meja, bukan tertib bukan berdoa, ia malah langsung menenggelamkan kepalanya dan tertidur. Yah, sudah kebiasaan memang. Penjelasan guru ia jadikan sebagai dongeng pengantar tidur. Benar-benar murid yang tidak patut dibanggakan....
Titan tidur selama tiga jam penuh. Nyenyak sekali tidurnya. Memang ada beberapa guru yang oke-oke saja waktu materinya malah dijadikan dongeng tidur oleh Titan karena nilainya memang tinggi di beberapa mata pelajaran seperti Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Olahraga. Iya cuma tiga mata pelajaran itu saja. Sisanya? Tidak usah dibahas. Guru yang lain sudah angkat tangan dengan sifat kebonya yang mendarah daging meresap sampai ke tingkat sel. Tidak bisa disembuhkan.
"Weh, kebo. Bangun lo," Rheva memanggil. Masih berusaha membangunkan Titan dengan cara damai.
Tak ada respon. Titan masih nyenyak di dalam alam mimpinya sendiri.
"Bangun oi," panggil Rheva lagi sambil menepuk pipi sahabatnya yang tak juga bangun.
Titan malah menepis kasar tangan Rheva dari wajahnya lalu memalingkan muka ke arah lain. Rheva mulai gemas.
"Bangun dong!" Rheva menggoncangkan bahu Titan sedikit kuat.
Mati nih anak kayaknya kebanyakan ngebo, batin Rheva.
Cara halus tak bisa, maka saatnya cara bar-bar. Karena sudah tak tahan lagi, Rheva pun mengambil Kamus Bahasa Inggris. Iya, yang tebal banget itu, lalu ia angkat tinggi-tinggi dan ia pukul dengan sepenuh hati ke kepala temannya. Untung saja kepala Titan memang tidak ada yang penting isinya.
"Aduh! Gilak! Woi! Sakit! Kalau otak Titan pindah posisi gimana?!" Titan langsung terbangun dan mengaduh kesakitan sambil mengelus-elus puncak kepalanya.
"Otak lo emang udah merosot sampai dengkul," balas Rheva tanpa rasa berdosa sama sekali.
"Jahat!"
"Akhirnya bangun. Masih hidup lo," ujar Rheva sambil tersenyum miring. Puas melihat Titan akhirnya bisa bangun dengan caranya.
"Tadi itu KDRT namanya. Tahu nggak?!" Titan melotot.
Apa hubungannya? Kenapa jadi KDRT?
"Kita kan nggak suami istri, bego!" Rheva menatap aneh.
"Kekerasan Dalam Ranah perTemanan." Titan mulai menjelaskan dengan ngawur.
"Ya bodo amat. Buruan ah, udah istirahat kedua. Gabut gue, mau keluar kelas eh nungguin lo nggak bangun-bangun. Berasa bangunin mayat dah gue dari tadi, tahu nggak? Lo latihan meninggal apa gimana coba?" Rheva segera berdiri dari duduknya.
"Udah luka fisik tiga kali hari ini Titan gara-gara lo, si cowok gesrek, sama Bang Aldo." Titan juga berdiri dan beranjak mengikuti Rheva keluar kelas.
"Ya nggak apa-apa. Kan lo kebal gitu, sudah biasa teraniaya." Rheva mengangkat bahunya dengan acuh.
Mereka berjalan beriringan menuju lapangan yang terlihat cukup ramai siang ini. Ada cowok-cowok yang sedang main basket ternyata. Lapangan sekolah memang sering dipakai untuk main bebas oleh para siswa diluar jam olahraga atau ekskul dan memang diperbolehkan oleh para guru.
"Siapa sih yang lagi main? Heboh bener perasaan?" Rheva penasaran. Ia langsung masuk ke lautan penonton dan mendongak untuk melihat pemain di tengah lapangan sana. Rupanya, ada Tristan, Bams, Nyong, Sandi, dan beberapa siswa dari ekskul basket sekolah mereka.
"Bodo amat lah. Lo mau ke mana?!" Titan tak suka tempat ramai. Apalagi tubuh gadis itu yang mungil, gampang kegencet sana, gampang kegencet sini. Nasib punya badan yang minimalis.
"Bosen gue, mending nonton mereka main.Ayok ah," Rheva menggerek paksa Titan untuk menerobos ke barisan paling depan, "yang lagi main basket si cowok yang gangguin lo tuh, sama temen-temennya noh." Rheva mengedikkan dagu ke tengah lapangan.
"Yaudah sih pergi aja. Ini ramai banget lagian." Titan merasa tak nyaman. Sekarang saja badannya sudah terdorong ke kanan dan kiri. Kakinya juga beberapa kali kena injak. Benar-benar ramai banget kayak lagi nonton konser.
Tristan yang di tengah lapangan dan sedang sibuk mengejar bola, ternyata berhasil menyadari keberadaan sosok mungil di pinggir lapangan, Titan. Sepertinya dia punya antena pendeteksi untuk keberadaan cewek itu. Seketika seolah bola lampu di atas kepalanya menyala, perhatiannya langsung teralihkan. Tiba-tiba, setelah merebut bola, Tristan justru berhenti bermain dan langsung berdiri di depan Titan. Permainan mereka pun terhenti, karena sekarang bola mereka malah ditahan Tristan di tangannya.
"Lo kenapa sih nyiram gue pakai kopi panas kemarin, padahal gue cuma duduk-duduk doang? Kulit gue melepuh parah tahu, nggak?" Tristan memanfaatkan keadaan. Ia ingin membuat cewek-cewek lain geram dan menatap Titan dengan sinis. Tristan sangat tahu penggemarnya yang banyak dan ganas.
Titan terdiam. Tentu saja. Mukanya mau ditaruh di mana?
"Nih bahu gue sampai gini merah-merah perih. Salah apa sih, gue sama lo?" Tristan dengan mudah menunjukkan bahunya. Ia memang sedang memakai baju basket yang dapat dengan mudah menunjukkan bahunya yang kemerahan akibat melepuh.
Titan masih diam. Rasa bersalah merayapi dirinya ketika melihat bahu terluka itu. Ia juga tak punya pembelaan.
"Jadi dia yang bikin kulit lo melepuh gitu? Kalau naksir nggak usah segitunya sama temen gue cuman gara-gara Tristan nggak nganggep lo dong." Bams datang memanasi. Mengatakan yang aneh-aneh dan tidak benar.
"Hah?"
Titan langsung terdiam. Ia masih menjadi pusat perhatian banyak orang. Ia malu dan menunduk dalam.
Rheva yang sudah paham dengan kondisi langsung menarik tangan Titan dan membawanya keluar dari kerumunan.Mereka menuju taman sekolah.
"Lo nggak apa?" Rheva mendudukkan Titan di bangku taman. Dirinya juga ikut duduk di tempat kosong sebelah gadis itu.
"Nggak apa. Cuma gak suka aja dilihatin gitu. Malu iya, ngerasa bersalah apalagi." Titan menghela napas pasrah. Kepalanya lalu mendongak menatap langit biru di atas.
"Gue satu SMP sama dia. Sama teman-temannya juga sih," ujar Rheva.
Titan mendongak, "Oh."
"Udah, oh gitu doang? Lo gak kepo tentang dia?" Rheva menggaruk tengkuknya.
"Waw... haruskah Titan terkejut? Menyalakan petasan seperti Asian games kemarin? Guling-guling di bukit Teletubbies? Berlari ke sana kemari bersama Spongebob dan Patrick menangkap ubur-ubur?" Gadis itu malah mendramatisir.
"Ck! Gak! Yaudah kalau gak penasaran."
"Gak seneng banget tuh makhluk hidup satu kayaknya sama Titan," Titan cemberut, "siapa sih namanya tadi?"
"Tristan."
"Kebagusan! Ganti aja namanya jadi dajjal! Baru cocok!"
Hari Senin. Hari terkutuk yang paling dibenci semua siswa SMA Garuda atau bahkan se-Indonesia. Karena dengan diadakannya upacara, membuat semuanya jadi sangat malas dan gerah. Tidak bersemangat walau jarum jam masih menunjukkan pukul delapan.Matahari di langit pagi Bandung memang sedang bersinar dengan teriknya. Bahkan matahari saja mendukung jalannya upacara, membuat Titan yang harus berdiri di barisan paling depan kelasnya merasa sangat dongkol. Selalu di baris depan, karena dia yang paling pendek di antara teman-temannya. Otomatis, dia juga tidak bisa menghindar dari silau dan panasnya matahari yang membakar kulit wajah sensitifnya. Ia jadi merutuki Bu Damara dalam hati karena selalu berpidato panjang lebar di tengah lapangan dengan semangat empat lima yang menggebu-gebu. Sementara semua siswanya semakin loyo di barisan masing-masing.
Setelah memakai sepatu Bimo yang sangat-sangat kebesaran, maka Titan dan Rheva kembali ke kelas untuk menyimpan buku komputer, mengambil botol minum, lalu mereka menuju kantin. Untuk menuju ke kantin, mereka perlu menaiki beberapa anak tangga.Ya dan di sanalah si biang keladi sudah menunggu Titan sambil bersandar di salah satu tiang penyangga atap kantin bersama teman-temannya. Tristan, cowok itu langsung gondok begitu melihat gadis yang habis dikerjainya malah datang dengan memakai sepatu. Jelas sekali itu sepatu laki-laki. Merasa tak senang korbannya mendapat bantuan, ia mulai angkat bicara. Ingin cari masalah lagi. Pokoknya, membuat Titan kesal adalah motonya untuk beberapa saat ke depan."Sepatu baru lo?" ucapnya sambil turun satu anak tangga, menjulang di hadapan Titan yang jauh lebih pendek darinya.
Hari Selasa. Entah kesialan apa lagi yang akan dialami Titan hari ini. Untuk menyemangati dirinya sendiri, ia memutuskan untuk sedikit berias di pagi hari. Biasanya ia hanya akan menguncir rambutnya, tapi hari ini gadis itu memilih membiarkannya tergerai dan menambahkan sedikitcurlydi bagian bawah. Ia juga memakai bedak tabur tipis ke wajahnya, memberi kesan kulit wajah yang halus. Memakaimascaratipis-tipis untuk menambah kesan manis dan terakhir memoles bibirnya yang mungil denganliptintwarna merah muda natural. Ia tampil benar-benar manis hari ini.Oke, udah dandan cakep-cakep imut jadi harus semangat hari ini,batinnya dalam hati sambil berusaha menyemangati diri sendiri.Titan lalu turun ke lantai bawah dan sarapan bersama Aldo. Baru sebentar duduk, abangny
Titan masih merasa nyaman bergelung di alam mimpinya sendiri. Setelah melewati dua mata pelajaran sambil molor, ia akhirnya terbangun karena suara grasak-grusuk di sebelahnya. Rheva sepertinya sedang sibuk."Hoaaam.... berisik banget dah lo, Rev. Nyari apaan, sih? Grasak-grusuk mulu dari tadi." Titan melirik malas pada Rheva yang masih terlihat rusuh membongkar semua isi tasnya seperti sedang mencari sesuatu."Jas lab gue ke mana, njir? Gue ingat gue taroh di laci meja." Rheva masih sibuk mencari bahkan sudah berjongkok karena siapa tahu jasnya itu jatuh di lantai. Sementara bel mata pelajaran ketiga sudah berbunyi dan sekarang kelas XII IPA 4 harus menuju ke Laboratorium Biologi."Oh, tadi pas istirahat jatuh di bawah meja lo. Mau gue taruh di laci lo, eh penuh banget jadi daripada en
Hari ini Titan tidak banyak molor di kelas. Ia justru lebih banyak melamun sepanjang pelajaran. Matanya sendu menatap ke arah ubin kelasnya. Hanya penjelasan dari Bu Fatimah yang mencegahnya agar tidak kesambet. Rheva yang jadi temannya saja sampai heran."Tumben lo nggak molor?" Rheva menepuk jidat sahabatnya dengan pulpen, menyadarkan Titan kalau-kalau temannya itu beneran kesambet."Sssh!" Titan berdesis tapi tatapannya tetap kosong ke depan.Sekarang pulpen Rheva sudah berpindah posisi ke lipatan ketiak Titan. Rheva menggelitiki Titan tapi tak berpengaruh sama sekali. Cewek itu tetap bergeming.Wah kesambet beneran nih anak, batin Rheva.Rheva lalu menarik kunciran rambu
Titan lapar. Cacing-cacing di perutnya memang paling tidak bisa diajak buat kompromi. Di luar langit sudah gelap dan Aldo belum pulang juga. Titan membuang napas kasar lalu beranjak menuju meja belajarnya. Ia mengambil dompet dan berjalan keluar kamar. Menuruni tangga lalu keluar rumah dan mengunci rapat pintu rumahnya.Demi cacing-cacing di perut, Titan datang!!!Ia beranjak keluar kompleks menuju ruko-ruko di depan kompleks perumahan. Ada minimarket di daerah belakang deretan ruko tersebut. Karena letaknya di belakang, maka minimarket tersebut tidak terlalu ramai karena hanya segelintir orang yang tinggal di dekat ruko atau kompleks depan yang tahu letaknya.Titan menarik napas dalam-dalam. Merasakan tiap desiran angin malam yang menyapu anak rambutnya. Tiap tarikan napas ya
Rheva membuang napas kasar. Ia menengok ke jam berbentuk kepala doraemon yang tergantung di atas dinding kamarnya yang bernuansababy blue.Pukul 21.00. Dengan malas, ia beranjak turun dari kasur dan keluar kamar menuju lantai satu. Tiap sudut rumah terang-benderang namun rumahnya selalu benar-benar sepi. Sendiri. Entah kapan terakhir kali suasana rumah ini pernah terasa hangat baginya. Ia sudah terbiasa hidup seperti ini.Ia membuka kulkas namun lagi-lagi hanya bisa menghembuskan napas kasar ketika melihat isinya yang kosong melompong. Ia mengingatkan diri sendiri agar besok meminta mbak yang selalu datang pagi untuk bersih-bersih agar sekalian membelikannya bahan makanan. Akhirnya, ia cuma meminum segelas air di kursibardapurnya.Merogoh kantong celana, Rheva membuka daftar kontak dan mengamati
Titan mendengus kesal karena ucapannya tidak dihiraukan. Ia melangkahkan kakinya menuju toilet perempuan dan memperbaiki ikatan rambutnya di sana. Karena jam pertama adalah olahraga dan ia tidak mau kegerahan karena rambut panjangnya sendiri.Seperti biasa, toilet perempuan akan ramai saat pagi hari dipenuhi siswi-siswi yang berdandan. Mereka memakai berbagai macam dempul yang menurut Titan terlalu tebal. Beberapa dari mereka sudah selesai dan keluar setelah mereka melipat roknya menjadi lebih pendek.Muka kok putihnya udah kayak tukang sapu jalanan aja, ia membatin heran.Setelah selesai memperbaiki kuncirannya, ia hendak beranjak keluar, namun gerakan tangannya untuk membuka pintu terhenti kala mendengar suara salah satu siswi."Eh, lo yang mau keluar, lo yang disamperin Tristan waktu basket kapan lalu kan?" tanya seorang siswi sambil memakailiptint.Titan hanya memandangnya dengan kening berkerut, menunggu lanjutan ucapan