“Baiklah,” lanjut Pak Abdul karim Pambudi, “agar Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sekalian tidak penasaran lagi dengan sosok putra dan pewaris tunggal saya itu, saya minta kepada putra saya agar berdiri dan duduk di kursi yang berada di samping saya ini.” Spontan, seluruh mata menembarkan pandangan mereka ke seluruh ruangan, ingin melihat siapakah gerangan ‘Sang Putra Mahkota” yang disebutkan itu? Ketika tiba-tiba Raditya Pambudi yang berdiri, sebagian menghela nafas panjang dan lega dan mengangguk-angguk, karena kini mereka telah mengetahui sosok ‘Sang Putra Mahkota’ dari Kerajaan Bisnis Grup Ekajaya Persada. Namun, bagi siapa pun yang telah mengenal Raditya Pambudi, mereka seperti terhenyak. Tentu yang paling dibuat kaget adalah Ningrum, lebih-lebih Nagita dan Dody Setiawan. Mulut kedua manusia terakhir melongo dengan mata membeliak. Keduanya seperti tengah berada dalam sebuah mimpi yang paling buruk dalam hidupnya. Jadi, selama ini mereka hanyalah pekerja dalam peru
Raditya Pambudi menghentikan ucapannya, membuat seluruh peserta rapat menjadi tegang dengan ekpresi gugup. Yang paling terlihat kegugupannya adalah Dody Setiawan dan Nagita. Keduanya adalah seorang manajer juga dalam perusahaan itu. “Saya minta maaf kepada Saudara Dody Setiawan, karena posisi Anda akan digantikan oleh beliau, Bu Ningrum.” Kalimat Raditya Pambudi itu membuat semua wajah terangkat lalu hening sesaat sebelum tepuk tangan pecah. “Saya terima, dan saya maklumi, mengapa saya diganti,” tiba-tiba Dody Setiawan berdiri. “Ini tentu berkenaan dengan urusan pribadi antara saya dengan Anda.” “Raditya Pambudi hanya tersenyum dan menjawab, “Anda salah besar, Pak Dody. Ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan urusan di luar perusahaan, tetapi menyangkut keberlanjutan perusahaan saya ini.” “Apa maksud Anda?” “Banyak maaf, Pak Dody, biarkan pihak kepolisian nantinya yang akan menjelaskannya. Security, buka pintunya.” Semua wajah langsung m
Apa yang dikatakan oleh Radit akhirnya terbukti beberapa hari kemudian. Pihak penyidik melakukan penyitaan terhadap rumah yang dibelikan oleh Dody Setiawan. Pada hari itu juga Nagita diminta untuk mengosongkan rumah. Tak ada yang mampu dilakukan oleh Nagita selain pasrah. Ia hanya mengambil barang-barang yang sangat diperlukannya dari dalam rumah itu. Saat itu ia merasakan bahwa dirinya tak ubahnya hanyalah seonggok sampah yang telah disingkirkan, dan ia tak tahu lagi apa yang bisa ia perbuat selanjutnya. Umpama ia besok atau lusa memasukkan lamaran ke sebuah perusahaan, bisa jadi Mas Radit mengirimkan ‘balck list’ tentangnya ke perusahaan-peruasaan yang tersebar di Jabodetabek. Bukankah ia adalah putra mahkota dari sebuah konglomerasi yang cukup besar? “Ya Tuhan, aku benar-benar terkena prank rumah tangga laki-laki itu. Andaikata aku bisa sedikit bersabar dan menghormatinya sebagai suamiku, tentu akan menjadi wanita yang paling beruntung di dunia ini. Ukh, betapa bod
Nagita langsung menaikkan kaca mobilnya. “Tidak, aku tidak boleh menyalahkan siapa pun! Ini murni kesalahanku sendiri!” ucapnya sembari menggeleng-gelengkan kepala. Ia pun terisak. Ada perasaan menyesal yang mulai merasuk ke dalam ruang batinnya. Hanya saja, saat itu bukan waktunya untuk dia lebih larut dalam sebuah penyesalan. Yang dibutuhkannya saat ini adalah uang untuk mengontrak rumah atau sebuah apartemen sederhana. Itu saja. Maka satu-satunya miliknya yang berharga yang bisa dia jual adalah mobil yang sedang dikendarainya. “Ya terpaksa, mobil ini harus kujual,” desahnya sembari mengusap air matanya. “Mungkin sebagian dari harganya aku bisa membeli sebuah mobil second yang murah,” batinnya pula. Dua jam kemudian, ia terlihat keluar dari sebuah showroom mobil second hand. Tujuan Nagita selanjutnya adalah kembali ke apartemen yang tadi pernah didatanginya dengan naik taksi. Sembari menunggu taksi di pinggir trotoar ia menyempatkan diri untuk mengecek ponselnya.
Nagita melangkah di halaman bekas rumahnya dengan hati-hati. Rumah itu terlihat sepi dan pintunya pun tertutup. Sebuah mobil BMW terparkir di halamannya. Berarti si pemilik baru rumah itu ada di dalam. Tiba-tiba pintu rumah terbuka bersamaan dengan munculnya seorang wanita yang berusia mungkin empat puluhan tahun dan langsung menatap ke arah Nagita dengan tatapan agak curiga. Mungkin pemilik baru rumah itu. “Maaf, Anda siapa dan mau bertemu siapa?” tanya wanita itu. “Sa-saya mau bertemu dengan pemilik rumah ini, ada?” sahut Nagita. Wanita itu tak menjawab tetapi membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam. Sesaat kemudian muncul wanita lain yang lebih muda dan tampak berkelas. “Maaf, Jeng siapa?” “Oh, Jeng pemilik baru rumah ini?” Nagita balik bertanya. “Ya, benar, kenapa?” “Oh iya, perkenalkan, nama saya Nagita, bekas pemilik rumah ini,” sahut Nagita. “Oh iya, terus gimana?” “Begini, Jeng. Cincin nikah saya tiba-tiba menghila
Untungnya, tak jauh dari komplek itu ada sebuah rumah sakit swasta yang cukup ternama. Noni langsung ditangani di ruang ICU. “Tolong Bapak tunggu saja di luar sini, putri bapak akan kami tangani dulu,” ucap Pak Dokter yang menangani Noni ketika Radit hendak ikut masuk ke dalam ruang ICU. Radit duduk di bangku panjang di depan ruang rawat itu. Suara tangisnya harusnya keluar, namun hanya air matanya saja yang tak mampu ia tahan. Ia hanya berharap, sang buah hatinya akan baik-baik saja. “Kamu harus menghubungi Nagita, Nak Radit,” ucap Bu Ratri sembari mengambil tempat duduk di samping Radit. “Karena bagaimana pun, Nagita tetaplah ibunya Noni, dan Noni tentu saja sangat butuh kehadiran mamanya. Beberapa hari ini, ia selalu bertanya tentang mamanya. Bahkan ia suka menangis sambil memanggil-manggil mamanya.” “Nomornya tak lagi aktif, Bu. Mungkin ia telah mengganti nomornya,” jawab Radit pelan, tanpa melihat pada Bu Ratri. “Harusnya kamu tahu, Dit, karena k
Suara itu membuat Radit sontak mengangkat wajahnya. Sekilas ia menoleh dan melihat Nagita yang terisak dengan kedua matanya yang sudah berkaca-kaca. “Iya,” jawab Radit singkat. Nagita dengan ekspresi merasa sangat bersalah mengambil tempat duduk di samping Radit. “Maafkan aku, Mas. Jika ini hukuman bagi aku, aku rela melakukan apa pun demi kesembuhan Noni.” Radit tertawa pendek. “Jangan khawatir. Aku sebagai papanya akan mengobati Noni hingga sembuh. Bila perlu, aku akan membawanya berobat ke rumah sakit terbaik di dunia ini, di mana pun itu.” “Bagaimana kata dokter yang menanganinya, Mas?” “Normatif. Saat ini leukemia yang diderita Noni sudah hampir stadium dua.” “Ya Allah,” desah Nagita lalu kembali terisak. “Noni ... maafkan Mama ....” Radit menghela nafas panjang dan menghembuskannya, “Kasihan, Noni,” gumamnya, “dia sangat kurang mendapatkan perhatian dari orang tuanya. Orang tuanya lebih memilih untuk melakukan kesibukan palsunya
Pada hari kedua Noni tiba-tiba mengalami kondisi drop dan tak sadarkan diri. Suasana menjadi panik. Bukan saja kedua orang tuanya yang tak panik, bahkan Pak Abdul Karim Pambudi yang kebetulan sedang ada di rumah sakit menunjukkan ekspresi takut kehilangan yang luar biasa. “Tolong Pak Dokter, lakukan penanganan yang intensif terhadap cucu saya? Itu cucu saya satu-satunya, tolong Pak Dokter, berapa pun biayanya, tak masalah bagi saya,” ucap Pak Abdul Karim dengan wajah nyaris menangis. “Insha Allah, Pak. Kami akan memberikan perawatan terbaik pada pasien,” sahut Dokter Ediman. “Yang dibutuhkan oleh pasien saat ini adalah transfusi sel darah merah. Kadar sel darah merah pada pasien sangat rendah. Apakah di antara keluarganya yang memiliki golongan darah B positif?” “Ya Allah, golongan darah saya AB,” ucap Radit, sama dengan golongan darah papanya. “Saya yang golongan darahnya B positif, Dok,” ucap Nagita. “Baik, Ibu harus dicek dulu. Silakan, Bu, i