Setelah dua minggu dalam masa menunggu, tim dokter memberikan kabar yang menggembirakan kepada Radit bahwa telah ada seseorang yang menyatakan siap untuk menjadi pendonornya. “Hanya saja,” kata sang dokter yang diterjemahkan oleh Nona Lie, “dengan alasan tertentu, sang pendonor meminta agar kami merahasiakan dulu identitasnya kepada Tuan Raditya.” “Mengapa seperti itu? Harusnya aku tahu siapa orang yang mau mengorbankan dirinya untuk menolomng hidup aku, Pak?” Radit justru menatap dan bertanya pada papanya. “Ya, seperti Pak Dokter barusan bilang, dengan alasan tertentu sang pendonor minta identitasnya untuk dirahasiapakan pada kamu. Papa kira nggak masalah. Mungkin itu berkenaan dengan privacy-nya sang pendonor?” Radit menoleh pada Nagita, “Apakah kamu yang akan melakukannya?” Nagita menggeleng, “Bukan, Mas. Lagi pula ... aku belum lama mendonorkan sumsum tulang kepada Noni. Apakah seseorang boleh mendonorkan bagian tubuhnya yang berbeda s
Kondisi Raditya sudah dinyatakan pulih seratus persen setelah beberapa bulan pasca operasi transplantasi. Kondisi Noni pun makin mengarah ke kemajuan. Hanya saja ia masih terus menjalani siklus kemoterasi. Namun tim dokter memprediksi, bahwa kesembuhan Noni bisa lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Sebuah keajaiban. Setelah benar-benar klir dinyatakan sembuh sempurna, Raditya diperbolehkan oleh sang ayah, Abdul Karim Pambudi, untuk kembali mengurus perusahaan. Ia tidak hanya menangani secara online, namun juga pulang ke Indonesia. Seminggu di Indonesia dan seminggu di Beijing secara rutin. Sementara Pak Abdul Karim lebih betah mengendalikan kerajaan bisnisnya di Beijing dengan dibantu oleh beberapa tenaga ahlinya yang didatangkan ke Beijing, walau sekali-sekali beliau datang ke Jakarta. Laki-laki paruh baya itu terlihat lebih betah, terlebih karena beliau di Beijing ia selalu ada Bu Ratri untuk temannya bercerita. Begitu pun Bu Ratri, terlihat selalu c
Beberapa menit kemudian terdengar ketukan di pintu. “Ya, silakan masuk,” ucap Radit. “Selamat siang, Mas,” salam Ningrum sembari menutup kembali pintunya. “Silakan duduk.” “Terima kasih.” Raditya menatap wajah wanita di depannya dan tersenyum. “Bagaimana keadaanmu hari ini?” tanya Raditya. “Alhamdulillah baik, Mas.” “Tadi malam Ning punya mimpi apa?” “Mimpi?” Kedua Ningrum saling merapat. Terasa ada semacam kejanggalan yang ia rasakan dalam pertanyaan itu. “Malah aku nggak sempet mimpi kayaknya, Mas. Tidur saja baru jam dua dini hari baru bisa terlelap, trus bangun subuh. Kenapa, Mas?” “Ntar kujawab pertanyaanmu, aku ingin lanjut bertanya dulu,” ucap Radit. “Kenapa tidurnya terlambat?” “Hm, nggak tau juga, Mas. Terasa gelisah saja, padahal aku sedang tidak memikirkan sesuatu apa pun yang sifatnya berat.” “Hm, berarti itu pengganti mimpinya!” celetuk Radit. “Maksud, Mas?” “Begini, tadi papaku video ca
Beberapa bulan kemudian Noni sudah menemukan kembali keceriaannya. Pihak tim dokter yang menanganinya sudah memperbolehkan ia untuk check out dari rumah sakit. Artinya sudah diperbolehkan untuk dibawa pulang ke Indonesia. Hanya saja, gadis kecil itu selanjutnya masih harus menjalani terapi-terapi khusus di rumah sakit Indonesia secara berkala, terutama untuk mengetahui perkembangan dari kondisi penyakitnya. Namun dokter di Beijing itu berpendapat, bahwa Noni akan mendapatkan kesehatan kesehatannya secara optimal seiring waktu. Setelah di Indonesia, gadis itu lebih banyak tidur bersama kedua orang tuanya, Radit dan Nagita. Ia sangat bahagia karena ia bisa kembali tidur di antara kedua orang yang paling disayanginya. Ia memang selalu rindu pada dongeng-dongeng yang selalu dituturkan oleh kedua orang tuanya itu untuk mengantarkannya ke dunia mimpi. “Oh ya, Sayang,” ucap Radit suatu malam pada Noni, sebelum ia menuturkan sebuah dongeng pada sang putrinya, “sembari menungg
Dengan berbagai pertimbangan, Nagita pun memutuskan untuk mengajak Radit untuk bicara. Akan tetapi, ketika ia hendak membuka mulutnya, laki-laki yang telah berstatus sebagai mantan suaminya itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya, dan tidur miring memeluk guling dengan posisi membelakangi Noni dan dirinya. Nagita menghela nafasnya lalu mengecilnya nyala lampu tidur. Selanjutnya ia berusaha untuk memejamkan matanya. Saat itu jarum jam dinding telah menunjukkan pukul 00.22. Namun pada keesokan harinya ia masih memikirkan tentang rencananya itu. Setelah memikirkannya secara berulang-ulang, Nagita pun memutuskan untuk menelepon Radit. Ia menyampaikan keinginannya untuk bicara itu dengan sangat hati-hati. “Ya silakan bicara saja, insha Allah aku akan mendengarkannya?” sahut Radit. Saat itu kebetulan ia baru saja selesai melakukan pengecekan terhadap file-file laporan yang masuk pada hari itu yang tertera pada layar laptop di hadapannya. “Aku ingin bicara empat mata d
“Mama...” Nagita spontan menoleh. Noni, gadis kecilnya, mengikutinya dari belakang bersama Bi Ipah, sang asisten rumah tangga yang akan mengantar dan menunggunya di sekolah TK-nya. “Iya, Sayang, ada apa...?” tanya Nagita sembari sedikit membungkukkan tubuhnya agar ia bisa menatap wajah imut itu dengan sempurna dari dekat. “Mama tak lupa kan hari ultah Noni besok?” Kedua alis Nagita tertarik ke atas sehingga kedua bola matanya pun sedikit melebar. “Oh iya ... tentu Mama ingat, dooong.” “Tau nggak, Mam, Noni sudah cerita sama teman-teman Noni bahwa acara ultah Noni akan diadakan di sebuah kafe atau restoran,” ucap Noni girang dengan wajah polosnya. “Noni ...!!” spontan Nagita meninggikan suaranya. “Kenapa kaulancang seperti itu? Mama ini lagi nggak pegang uang banyak. Kaukira ngadain pesta di kafe atau di restoran itu biayanya sedikit, heh!? Mama dan ... apalagi papamu, tak akan mampu memenuhi keinginanmu itu, ngerti!? Pesta ultahmu d
Radit langsung keluar dari rumah tanpa sempat lagi untuk menyodorkan tangannya kepada Nagita untuk dicium. Saat itu pun Nagita sudah lebih dahulu melangkah keluar dari rumah dan langsung menuju mobilnya yang terparkir di halaman depan rumah. Radit sendiri berangkat kerja dengan naik sepeda motor, seperti biasa. Posisi sang istri itu memang lebih tinggi di perusahaannya tempatnya bekerja. Sementara Radit sendiri hanya pegawai administrasi biasa di perusahaan yang berbeda. Ketika mulai menjalankan mobilnya, Nagita memberitahukan Radit yang saat itu sudah duduk menghidupkan sepeda motornya bahwa dia akan jalan. Radit membalasnya dengan lambaian tangan. Belum lagi jauh ia melaju di jalanan yang mulai padat, ponsel dalam tasnya berbunyi. Nada panggil. Saat melihat siapa yang panggil, wajah Nagita langsung berubah cerah. Senyumannya mengembang. Dengan cepat ia memasang headset di kedua telinganya. “Pagi, Ganteng. Ini masih dalam perjalanan. Ganteng sendiri di m
Pada saat yang sama, Pak Gunawan Dimitra, Dirut perusahaan, sedang berbicara santai dengan seseorang melalui sambungan telepon kantornya. “Ingat pesan saya, Pak Gunawan, jangan sampai dia mengetahui hal apa pun tentang pemberian itu. Sebab seperti yang saya katakan tadi, jika dia tahu bahwa itu bantuan dari saya, dia bakalan marah dan menolak, sekalipun tujuan saya hanya ingin ikut menyenangkan hati cucu saya di hari ulang tahunnya. Dia sudah mersumpah untuk membangun rumah tangan impiannya dan mendidik anak-anaknya dalam kondisi jauh dari kemewahan dulu. Dan untuk sekian kalinya saya harus mengingatkan Pak Gunawan, jangan pernah memperlakukan dia secara istimewa. Perlakukan secara wajar sebagaimana karyawan pada umumnya.” “Baik, Pak. Tentu saya akan menjadi melaksanakan semua petunjuk Bapak dengan baik.” Ketukan di pintu membuat ia harus mengakhiri pembicaraan lalu berkata, “Ya, silakan masuk...!” Bersamaan dengan pintu terkuak, terlihat wajah Radit. “Maaf, Bap