Aku tak mampu meraba ke mana arah kalimat Yumi barusan, dia melepaskan cekalan tangannya. Menatapku dengan pandangan tak bisa kujelaskan, ada rasa putus asa di sana.
Andaikan Ayumi adalah wanita yang terbuka, akan tetapi dia bagaikan teka teki yang rumit. Aku bahkan hanya menemukan kebingungan setiap mencerna setiap sikapnya.
"Aku harus pergi, aku bisa terlambat," kataku pada Yumi. Yumi bahkan tak mengedipkan matanya, akan tetapi mata indah itu terlihat mengembun. Sejak malam pertama kami, Yumi berubah menjadi sosok yang amat rapuh.
"Aku pergi, jika Laura datang, usir dia! Aku mengharamkan rumahku diinjak olehnya. Kau mengerti?"
Yumi tak menjawab, tangannya menghapus air mata yang mulai menetes.
"Kenapa kau menangis?" Kuhela napasku, segala tingkah Yumi tak pernah kumengerti.
"Aku tak memiliki alasan untuk tertawa, Mas. Pergilah! Hati-hati di jalan."
Dia berbalik. Berjalan lurus menuju kamar kami.
"Apa kau ingin dibelikan sesuatu? Aku akan membelikan saat pulang kantor nanti."
"Tak perlu belikan apa-apa." Dia menghentikan langkah dan menoleh.
"Baiklah!" Kubuka pintu ke luar.
"Mas! Itu, dasimu ...."
Yumi bergerak ragu, akan tetapi aku mendekat padanya. Sejenak dia salah tingkah, tapi pada akhirnya mendekat juga.
"Boleh aku memperbaikinya?" Dia menengadah menatap mataku dengan matanya yang basah. Sesaat kemudian, kurasakan jarinya yang dingin singgah di leherku, kemudian ikatan dasi itu dirapikannya. Ada perasaan hangat di hatiku, saat Yumi memperhatikan hal lain selain makanan dan kebersihan rumah. Walaupun hanya sekadar merapikan dasi.
"Sudah," katanya menatap ke arah lain.
"Terimakasih," sahutku.
Yumi mengangguk, sambil meraba tengkuknya dan menghindari tatapanku.
***
POV Ayumi
Aku mengenalnya, seperti malaikat yang begitu suci tanpa noda yang berhak mendapatkan bidadari. Saat Ayah dan Ibu menjodohkanku dengannya, aku tak pernah berpikir untuk menolak. Dia berbeda dari laki-laki pada umumnya, tak terlihat berbahaya. Tak ada kilatan nakal di matanya saat menatapku, dia terlihat tenang dan berwibawa.
Aku cukup nyaman bersamanya, karena di bulan bulan awal pernikahan, dia sama sekali tak menagih nafkah bathin. Kami tidur bersama layaknya orang yang kebetulan tinggal seatap. Hanya tidur, tak melakukan apa-apa. Akan tetapi, di bulan-bulan terakhir ini, ketenanganku mulai terusik saat dia mulai menagih apa yang jadi seharusnya yang menjadi hak-nya.
Aku benci sentuhan, benci dengan semua bayangan buruk masa lalu yang pernah kualami dan membuatku nyaris gila. Aku benci, laki-laki membuang cairan nista di rahimku, menciptakan sebuah makhluk yang bernyawa yang aku sendiri tak tahu siapa pemiliknya. Hamil karena diperk*sa banyak laki-laki, membuatku tak lagi berharga layaknya sampah.
Aku hanya ingin sedikit perhatian, seperti Laura yang selalu memuji, mengatakan bahwa aku adalah wanita yang paling cantik dan amat sempurna. Dia juga mengatakan, aku adalah wanita hebat yang harus bangga dengan diri sendiri.
Adit, telah mengetahui sebagian kecil kekuranganku yang tak pernah kukatakan padanya. Tentu saja, laki-laki suci tak sudi memiliki istri yang tak suci. Selain tak suci juga penyuka sesama jenis, bukankah itu yang telah diketahuinya?
Kupandangi cermin di depanku, menatap diriku sendiri dengan benci. Kenapa aku dilahirkan dengan wajah yang cantik, jika saja aku tidak cantik, pria pria itu takkan tertarik dan takkan memperk*saku. Bukankah terlahir jelek adalah sebuah anugrah? Tak perlu khawatir akan diusik dan digoda.
Kuraba pipiku yang kurus. Kemudian perutku yang datar. Tak seharusnya benih laki-laki suci tersemai di rahim wanita hina. Aku tak ingin benih laki-laki suci tumbuh di sini. Di sebuah tempat yang pernah diisi benih laki-laki baj*ngan.
Aku yakin, cepat atau lambat Adit akan meninggalkanku. Pasti.
Ah, bisakah aku yang meninggalkannya lebih dulu? Aku selalu kehilangan orang-orang yang kuharapkan. Jika aku yang lebih dulu pergi, apakah ada dari mereka yang akan merasa kehilangan?
Aku tertawa masam. Dari pada menduga-duga, bagusnya dicoba saja, bukan? Tak ada lagi yang tersisa dariku, hanya kepedihan dan kekosongan. Aku takkan berubah menjadi bidadari tanpa noda yang layak bersama dengan Adit.
Kuambil sebuah pisau yang sudah lama kusembunyikan di bawah ranjang. Apa melukai pergelangan tangan itu sakit? Kurasa, mungkin tak sesakit saat janin dikeluarkan paksa dari tubuh mudaku. Atau tak sesakit saat diriku dibelah tanpa kasihan sehingga mahkotaku terenggut sebelum saatnya.
Ah, sudahlah, kenapa tak coba saja? Jika aku mati, siapa yang akan menangis pertama kali?
"Hentikan itu!" Aku merebut pisau dari tangan Yumi, melempar benda itu ke dinding, menghasilkan bunyi benturan kecil di sana. Yumi kaget dan tak menyangka aku datang di waktu yang tepat. Saat masuk tadi, aku mendapati pintu rumah dalam keadaan terbuka, kemudian kudengar suara bercakap-cakap kecil, sempat kukira Laura datang kembali, ternayata Yumi yang menatap dirinya di depan cermin."Kau gila ...." Kuguncang bahu Yumi, matanya kosong. Lalu detik kemudian, dia menangis."Kenapa kau cegah aku? Kenapa kau lempar pisaunya? Aku baru saja menemukan cara agar penderitaaanku berakhir." Yumi merosot, namun dia kembali merangkak memungut pisau itu. Sia-sia, benda tajam tersebut lebih dulu ketendang.Aku merasakan emosi dan kebingungan, tanpa pikir panjang, kupanggul dia ke luar kamar, tak mengacuhkan rontaan Yumi.Apakah selain aneh, memiliki kelainan, aku juga menikahi wanita sakit jiwa? Yang berniat mengakhiri hidupnya dengan alasan yang tak jelas.
"Sudah berapa usiamu, Dit?" tanya Ibu sambil menyiapkan kopi untukku. Wanita yang lemah lembut dan amat penyayang. Tak bertanya pun, Ibu tahu berapa usiaku, karena aku anak satu-satunya dan beliau takkan lupa tanggal berapa dan tahun berapa aku dilahirkan."Sebentar lagi tiga puluh, pasti Ibu ingin menyuruh mencari istri lagi, kan? Ayolah, Bu. Aku belum menemukan tambatan hati."Ibu meletakkan kopi di depanku, dia menatapku dengan pandangan lelah."Jadi, Ibu yang akan terus membuat kopi untukmu? Umur segini, harusnya ibu menimang cucu.""Ibu ...." Aku kehabisan kata-kata. Sialnya, Ibu menangis."Ibu, aku tak suka Ibu seperti ini." Aku bangkit, memeluk tubuh Ibu yang kecil."Jangan seperti ini, tak ada yang kurang dari kita, kita diberikan harta yang cukup, tubuh yang sehat, tak ada alasan lagi untuk bersedih, jangan begini, ya, Bu.""Terus Ibu harus bagaimana? Apakah Ibu akan mati di ranjang yang dingin tanpa melihat anak Ibu menikah
Yumi membuka matanya perlahan, dia agak kaget saat mendapati wajahku tengah dekat dengan wajahnya. Bahkan dia langsung mengambil jarak dariku. Aku tak bermaksud apa-apa, aku hanya memastikan dia masih bernapas atau tidak. Sebuah pikiran gila yang menakutkan, karena bisa saja dia meminum sesuatu dan mencoba bunuh diri lagi."Kau sudah tak apa-apa?" tanyaku memastikan. Yumi yang mengubah posisi berbaring menjadi duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng sekilas."Aku baik-baik saja.""Ayo kita ke Dokter!""Tidak," sahutnya dengan suara tinggi nyaris membentak, aku melihat kepanikan dan ketakutan saat aku menyebut kata Dokter. Selain takut disentuh, apa dia juga takut dengan dokter? Aneh sekali."Yumi, kondisimu lemah, aku takut terjadi apa-apa dengan kandunganmu, kita belum pernah konsultasi, kan?"Yumi tak bergeming, tatapan matanya yang sayu hanya menikmati pemandangan dinding berjarak beberapa meter di depannya."Apa aku bis
"AC di kamar tamu tidak terasa," ucap Yumi yang tiba-tiba datang di kamarku. Setelah makan malam yang lebih tepat dikatakan tengah malam, aku meminum obat. Reaksi obat cukup cepat, sehingga aku merasakan keinginan untuk bersin berkurang. Hanya saja hidungku masih tersumbat."Kita perlu mencari tukang service untuk membersihkannya, terakhir kali dibersihkan, enam bulan yang lalu, tentu debu telah menempel di dalamnya."Aku tahu pasti, Yumi paling tak suka dengan udara panas. Sedangkan kamar kami, AC menyala dengan maksimal. Mungkin kami mengabaikan kamar tamu, yang jarang ditempati, sehingga lupa memeriksanya secara berkala."Lalu, bagaimana?" tanyaku padanya, apakah dia menyuruhku ke sana dan dia di sini? Itu terdengar kejam."Aku tak bisa tidur, entah kenapa malam ini juga terasa gerah dari biasanya.""Tidur di sini saja." Aku menarik selimut kembali. Yumi masih berdiri tegak tanpa bergerak."Tak usah takut, aku takkan menyentuhmu." A
"Bagaimana keadaanmu?"Pertanyaan yang sama, pertanyaan yang amat kusukai. Mungkin remeh bagi sebagian orang, tapi tidak bagiku. Aku suka saat Adit peduli, senang saat dia mengkhawatirkanku, setidaknya pertanyaan itu berarti aku masih dibutuhkan.Sejak kejadian bertahun-tahun silam, nyaris tak ada yang bertanya bagaimana keadaanku. Ayah dan Ibu sibuk dengan dunianya, dia tak lagi peduli pada anak yang dulu dibanggakannya. Mungkin mereka merasa, bahwa aku tak lagi berguna, tak lagi memiliki masa depan. Ya, masa depan apa yang dimiliki wanita yang hampir gila, yang pernah mengurung diri selama berbulan-bulan di dalam kamar dan takut terkena cahaya matahari."Yumi?""Eh, aku ... Baik." Aku menyahut setelah terbangun dari lamunan. Pria itu, yang memiliki tatapan setajam elang dan memiliki senyum sehangat mentari, tengah duduk dengan beberapa jarak di antara kami. Mataku mengawasinya, melihat bagaimana kelopak matanya bergerak sambil mengamati wajahku. O
Malang bagi kami, saat di perjalanan. Hujan turun dengan lebatnya. Baju blus putih yang dilapisi kardigan itu langsung basah kuyup. Memang, saat di kafe tadi, langit sudah hitam mengandung awan."Apa kita berhenti mencari tempat berteduh?" Suara Adit agak keras mengalahkan deru hujan."Tanggung! Aku sudah basah!" seruku juga."Kau yakin?""Ya," sahutku lagi.Entah kenapa, sejak Adit menawarkan hubungan pertemanan, hatiku merasa sedikit bahagia. Perasaan dibutuhkan dan berharga, itu yang kurasakan. Sudah lama perasaan bangga ini tak kurasakan, bangga saat Adit mengkhawatirkanku."Pegang yang erat! Kita ngebut!" serunya lagi.Aku melingkarkan tanganku ke pinggangnya, menempel tanpa menyisakan jarak. Kulit kami bersentuhan saling meresapi rasa hangat walaupun dibatasi baju basah.Debaran itu lagi, debaran yang sama saat pertama aku mengiyakan perjodohan kami dulu.Debaran yang menjanjikan bahagia, yang tak sadar diri bahwa
"Istrimu ditikam orang,"Rasanya duniaku langsung runtuh, suara panik di seberang telepon sana, membuatku nyaris tak bernyawa. Tak hanya suara Mas Haris, pekikan keributan orang yang berada di sana pun sampai terdengar, jeritan orang yang memanggil tetangga kami.Yumi, siapa yang melakukannya pada Yumi? Dia tengah hamil. Siapa yang begitu tega berbuat jahat padanya. Setahuku, Yumi tak memiliki musuh, apakah rampok yang masuk di pagi hari ke rumah kami?Tanpa pikir panjang, aku berlari ke parkiran, memacu mobilku dengan kecepatan tinggi, suara teguran tak kuindahkan, mungkin mereka heran melihat aku lari seperti kesetanan.Mobil kupacu, tanpa memutus sambungan telepon, Mas Haris mengatakan, bahwa dia tengah dalam perjalanan menuju rumah sakit Harapan.Aku benci ini, saat darurat jalan malah macet, sebuah truk terguling menumpahkan pasir ke tengah jalan.
Yumi sudah diperbolehkan pulang setelah dirawat selama lima hari. Kondisinya mulai membaik, walaupun dia lebih pendiam dari biasanya. Ya, kami belum pulih betul dari rasa kehilangan, kehilangan anak yang kami harapkan. Akan berbeda persoalan jika kami adalah pasangan yang normal, tentu memiliki kesempatan untuk kembali memprogram kehamilan. Ah, entahlah, aku dan Yumi mulai dekat, dekat atas nama teman karena anak yang ada dalam kandungannya, kami mulai memperhatikannya bersama-sama. Sekarang, semua sudah tak ada lagi.Tak lama bagi polisi untuk menangkap Laura, tak sampai lima jam setelah Yumi selesai dioperasi, Laura ditangkap saat berada di perbatasan kota. Di sebuah kafe yang cukup terkenal ramai.Di sini aku sekarang, ingin memastikan sendiri wanita itu telah berada di jeruji besi. Selain marah dan dendam, aku juga ingin memastikan apa yang ada di pikiran wanita itu sehingga berniat menghabisi Yumi.Laura pantas digelari sebagai wanita gila. Lihatlah!