Happy Reading*****Hening beberapa menit hingga suara salam terdengar. Jangan ditanya bagaimana senangnya hati Risma saat doanya dikabulkan. Dia membuang napas lega. Setidaknya dengan kedatangan seseorang yang mengucap salam tadi, ayah dan ibunya akan berhenti mengintimidasi.Namun, begitu pintu dibuka oleh ibunya, Risma mengucap istigfar. Bakalan panjang perbincangan mereka. Lutfi pasti telah mengundang sahabat karibnya yang tak lain sang mertua. Memejamkan mata sambil memijat pelipisnya, Risma berdesis."Santai, Yang. Aku yang bakal tanggung jawab kalau Ayah marah," bisik Riswan menenangkan."Aku nggak pernah lihat Ayah mertua marah, Mas. Jadi takut banget. Kenapa mesti nyari gara-gara, sih." Risma menjawab tak kalah lirih."Duduk, Dil. Kamu datang tepat waktu," kata Lutfi setelah bersalaman dengan sahabatnya."Jelaslah. Kamu tahu, aku paling anti dengan kata telat. Jadi, gimana?" tanya Fadil to the point."Gimana, Mas? Tolong kamu jawab pertanyaan ayahmu," perintah Lutfi.Kedua or
"Sayang, denger dulu," pinta Riswan mengiba.Setelah mendapat telepon dari perempuam bernama Yustina, Risma meminta suaminya untuk membatalkan rencana mereka. "Aku nggak mau denger, Mas. Pokoknya kita pulang sekarang atau aku akan loncat.""Ris, jangan gitu, dong," rayu lelaki dengan tinggi 170 cm itu. "Percayalah aku cuma berusaha menghibur dia. Kita sudah berteman lama, masak iya Mas nggak peduli dengan kesedihannya. Kalau Zikri dalam keadaan seperti itu, Mas, yakin kamu juga akan berusaha menghiburnya mati-matian. Bener, kan?""Mas, cukup. Sebaiknya kamu antar aku ke rumah Ibu. Jangan samakan kasusmu dengan sahabatku, Zikri nggak akan pernah meminta hal demikian. Sekarang antar aku ke rumah Ibu," pinta Risma. Pikirannya benar-benar kacau. Tega sekali suaminya berbuat hal semacam itu."Jangan, dong. Kamu mau Mas diinterogasi kayak tadi? Jangan buat keluarga makin cemas dengan pernikahan kita. Kita pulang ke rumah aja, ya?" rayu si lelaki.Risma memutar bola mata. "Kamu yang bikin ul
Happy Reading*****Bukannya terkejut dengan pertanyaan perempuan di depannya, Iklima malah tertawa. Bocah kecil di pangkuannya sampai ikut terkikik. Tak urung membuat malu Risma."Kamu serius cemburu sama aku, Ris," tanya Iklima memastikan."Wajar nggak sih, Mbak? Secara kalian berdua itu sangat deket apalagi dulu kalian terkenal dengan couple goals." Risma menunduk, menyembunyikan rasa malu.Tawa Iklima makin keras, beberapa orang yang ada di warung sampai melirik ke arahnya. Sadar tengah diperhatikan, dia menutup mulut, malu. "Kamu tuh pasti termakan gosip di sekolah dulu.""Bukan cuma di sekolah, kan? Dulu pas kuliah walau beda fakultas, nama kalian tetap terdengar sebagai pasangan romantis di kalangan anak BEM. Mbak Iklima dengan segala kecantikan, kepintarannya dan Mas Riswan dengan sikap cool serta ketampanannya. Siapa yang nggak kenal kalian di kampus." Risma mengungkap fakta yang didengarnya selama ini."Ah, kamu. Kayak nggak tahu gosip aja. Makin digosok makin sip, kan? Nah
Happy Reading*****"Kaget, kan? Semua itu benar, Mbak. Yustina telah bercerai dengan suaminya dan kemarin lelaki itu meninggal." Risma berkata dengan tegas. Menatap lawan bicaranya agar apa yang disampaikan dipercaya."Meninggal kenapa?" Oleh karena Dara menangis, Iklima tak menghiraukan perkataan Risma lagi. Fokusnya berpindah pada sang putri. Ternyata gadis kecil itu, bajunya terjepit kayu bangku sehingga membuatnya tidak bisa berjalan.Tingkah lucu si bocah membuat Risma tersenyum. Membayangkan jika kelak dia memiliki seorang putri. Namun, ketika teringat akan perlakuan Riswan, dia menjadi sedih."Ris, gimana kalau kita lanjut ngobrol di rumahku saja. Biar lebih leluasa. Dara sudah kelihatan bosen kalau di suruh duduk terus," saran Iklima."Apa nggak masalah, Mbak?""Nggaklah. Aku hari ini dinas malam, jadi siang sampai sore free. Tadi tuh baru aja pulang. Makanya ngajak ketemuan sesuai permintaanmu tempo hari." Wajah Iklima tampak berbinar."Oke kalau gitu. Mbak, ke sini tadi nai
Happy Reading*****"Aku nggak melindungi kesalahan Riswan, Ris. Percaya sama suamimu. Bukankah itu kunci langgengnya suatu pernikahan?" Iklima benar-benar tidak mampu untuk mengatakan yang sejujurnya. Selisih beberapa rumah dari kediamannya, berarti tempat tinggal Farel.Perempuan itu tahu apa yang dilakukan Riswan di sana. Namun, Iklima tidak bisa menceritakan hal itu karena janji yang sudah terucap pada sahabatnya. Dia sendiri belum tahu pasti untuk apa lelaki itu berkonsultasi kesehatan, sedangkan keadaannya terlihat baik-baik saja. Riswan pernah memintanya untuk berjanji agar tak mengatakan pada siapa pun, termasuk Risma, istrinya."Rasanya aku nggak percaya, Mbak. Secara dia deket banget sama kamu bahkan melebihi kedekatan denganku sebagai istrinya.""Gini aja, deh. Kamu fokus sama rumah tangga kalian dan mendapatkan momongan karena aku sering dengar Tante Rini pengen banget punya cucu. Kayak waktu itu, beliau sempat meminta vitamin untuk kesuburan kalian." Iklima menutup mulut
Happy Reading***** Risma sengaja tak memanggil suaminya. Dia masih ingin mendengar percakapan Riswan lebih lanjut. Anehnya, lelaki itu tak menyadari kehadirannya. Mungkin saking asyiknya ngobrol dengan orang yang menelepon. Sedikit kesal menunggu, Risma berdeham keras yang membuat suaminya langsung mematikan sambungan telepon. Makin curiga saja si istri jika seperti itu. Aneh, Riswan tak berusaha menjelaskan apa pun. Malah mengajak Risma untuk segera makan. "Mas telponan sama siapa tadi?" tanya Risma. Tangannya sibuk mengisi piring dengan makanan baik untuk dirinya sendiri maupun sang suami. "Telpon tadi?" Lelaki di sebelahnya malah balik bertanya. "Iya. Kapan lagi, sih. Emang ada berapa orang yang telpon tadi." Sengaja, Risma melempar pertanyaan lagi. "Satu aja. Kamu mau tau apa mau tahu banget." Riswan malah melempar candaan. Belum tahu saja kalau seorang perempuan sedang kesal dan cemburu. Dia seperti sengaja membangunkan macan betina. "Terserahmu, Mas. Palingan juga kamu j
Happy Reading*****'Ya Allah, Mas. Kenapa begitu banyak perempuan di sekelilingmu?' Ucap Risma dalam hati.Dia masih mengamati dua orang berbeda jenis itu. Melihat bagaimana cara sang suami memperlakukan seorang wanita yang sangat jauh berbeda dengan perlakuannya pada Risma. Saling mencium pipi kanan-kiri layaknya dua pasang insan yang mengenal dekat satu sama lain.Risma menangis dalam hati. Berapa banyak lagi, kecewa dan rasa sedih yang harus diterima dari perbuatan Riswan yang seperti itu. Tak terasa air mata Risma mengalir deras. Semakin lama berada di taman uni tentu akan membuatnya semakin terluka."Pak tolong antar saya pulang sekarang," kata Risma ketika sudah berada dekat dengan tukang ojek yang dia sewa tadi."Mbak nggak papa, kan? Kok, nangis?" tanya si Mas ojek. Bukan ranahnya untuk menanyakan hal pribadi pada penumpang yang menyewa. Namun, rasa empatinya mengalahkan etika itu."Saya nggak papa, Pak. Tolong antar saya sekarang." Risma naik di belakang si Mas ojek.Sedikit
Happy Reading*****Lelah memikirkan siapa perempuan yang ditemui Riswan di taman kota tadi. Indera penglihatan Risma mulai meredup dan perlahan menutup sempurna.Sebuah pergerakan di atas ranjang berpegas menggangu tidur Risma. Bola matanya bergerak-gerak masih susah untuk di buka. Mencoba membuka mata, di sampingnya sudah ada Riswan.Risma sengaja mengerjap-ngerjapkan mata. Mencoba peruntungan dan berharap suaminya akan menjelaskan tentang pertemuannya tadi dengan perempuan lain di taman kota. Sampai beberapa menit, tidak ada tanda-tanda pertanyaan atau perkataan dari lelaki di sebelahnya. Malah terdengar dengkuran halus beberapa saat kemudian.Risma menaikkan tubuh dengan hati-hati. Setengah duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Melirik jam, ternyata sudah pukul dua dini hari. Tanpa sengaja, Risma menyenggol kepala Riswan. "Kok aneh? Apa Mas Riswan habis keramas? Jam segini rambutnya basah. Apa yang telah dia lakukan dengan perempuan tadi? Astagfirullah. Semoga pikiranku salah."